SOSIO-KULTURAL
2.Vygotsky
Jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dengan cara menelusuri asal usul tindakan sadarnya
dari interaksi sosial (aktivitas dan bahasa yang digunakan) yang dilatari sejarah hidupnya.
Peningkatan fungsi-fungsi mental bukan berasal dari individu itu sendiri melainkan berasal dari
kehidupan sosial atau kelompoknya.
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan, keterampilan dan nilai-
nilai sosial budaya. Anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui
interaksi sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun keluarganya secara aktif. Perolehan
pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran
berinteraksi dengan lingkungan dimensi sosial yang bersifat primer dan demensi individual
bersifat derivatif atau turunan dan sekunder, sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan
pendekatan Co-Konstruktivisme artinya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan
oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat terjadi melalui kolaborasi antar
anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya. Perkembangan anak terjadi dalam
budaya dan terus berkembang sepanjang hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain. Dari
perspektif ini para penganut aliran sosiokultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin
menilai seseorang tanpa mempertimbangkan orang-orang penting di lingkungannya.
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham denga konsep yang diajukan Vygotsky.
Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak
terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Ia menekankan bahwa proses-proses
perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan
orang–orang yang ada di lingkungan sosialnya. Selain itu ia juga menekankan bagaimana anak-
anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil di dalam
bidang-bidang tersebut.
b.Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk memberikan
pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku pada anak, misalnya kursus membatik. Pendidikan ini
diberikan untuk membekali anak hal-hal tradisi yang berkembang di lingkungan sosial
masyarakatnya.
c.Pendidikan formal
Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa segi antara lain:
1). Kurikulum.
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan kurikulum pendidikan sesuai Peraturan
Menteri nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan KTSP, Peraturan Menteri nomor 23 tahun
2006 tentang standar kompetensi, dan Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2006 tentang standar
kompetensi dan kompetensi dasar, jelas bahwa pendidikan di Indonesia memberikan
pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap kepada anak untuk mempelajari sosio-kultural
masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional melalui beberapa mata pelajaran yang
telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan kewarganegaraan, pengetahuan sosial, muatan lokal,
kesenian, dan olah raga.
2). Siswa
Dalam pembelajaran KTSP anak mengalami pembelajaran secara langsung ataupun melalui
rekaman. Oleh sebab itu pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap bukan sesuatu yang verbal
tetapi anak mengalami pembelajaran secara langsung. Selain itu pembelajaran memberikan
kebebasan anak untuk berkembang sesuai bakat, minat, dan lingkungannya pencapaiannya sesuai
standar kompetensi yang telah ditetapkan.
3). Guru
Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran lebih berperanan sebagai
fasilitator, mediator, motivator, evaluator, desainer pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran
yang lain, oleh karenanya dalam pembelajaran ini peran aktif siswa sangat diharapkan,
sedangkan guru membantu perilaku siswa yang belum muncul secara mandiri dalam bentuk
pengayaan, remedial pembelajaran.
Kelemahan dari teori sosio-kultural yaitu terbatas pada perilaku yang tampak, proses-proses
belajar yang kurang tampak seperti pembentukan konsep, belajar dari berbagai sumber belajar,
pemecahan masalah dan kemampuan berpikir sukar diamati secara langsung oleh karena itu
diteliti oleh para teoriwan perilaku.
http://renataliaa.wordpress.com/2011/05/23/teori-belajar-sosio-kultural/
Di dalam kegiatan belajar piaget lebih mementingkan interaksi antara siswa dengan
kelompoknya. Perkembangan kognitif akan terjadi dalam interaksi antara siswa dengan
kelompok sebayanya dari pada dengan orang yang lebih dewasa.
Ia menyatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial-budaya dan
sejarahnya. Memahami pikiran seseorang dapat dilakukan dari asal-usul tindakan sadarnya, dari
interaksi sosial yang dilatari oleh sejarah hidupnya.(Moll & Greenberg, 1990).
Menurut Vygotsky, perolehan pengetahauan dan perkembangan kognitif seseorang seturut
dengan teori sociogenesis. Dimensi kesadaran sosial bersifat primer, sedangkan dimensi
individualnya bersifat derivatif atau merupakan turunan dan bersifat sekunder (Palincsar,
Wertsch & Tulviste, dalam Supratiknya,2002).
Teori vygotsky lebih tepat disebut dengan pendekatan konstruktivistikme. Maksudnya,
erkembangan konstruktivistikme. Maksudnya perkembangan kognitif seseorang disamping
ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, jika oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
a. Hukum genetika tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati
dua tataran, yaitu tataran sosial tempat orang-orang membentuk lingkungan sosialnya (dapat
dikategorikan sebagai interpesikologis atau intermental) dan tataran psikologis di dalam diri
orang yang bersangkutan (dapat dikategorikan sebagai intrapsiologis atau intramental).
c. Mediasi
Kunci utama untuk memahami proses-proses sosial dan psikologis adalah tanda-tanda atau
lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau lambang-lambang tersebut
merupakan produk dari lingkungan sosio-kultural dimana seseorang berada.