Anda di halaman 1dari 3

Pulang

Cerpen Miftahus Sa’adah

Matahari masih berkelana di sisi lain, bahkan binatang berkaki dua itupun masih berleha-
leha diatas tumpukan jerami. Wanita itu telah berdandan cantik dengan balutan dress biru
selutut yang mempesona. Kasual, tetapi terlihat elegan. Ia melangkah keluar dari rumah
yang selama dua tahun terakhir Ia tempati seorang diri, kemudian menumpang angkutan
umum terdekat yang lewat di jalan yang sepi.
Angkutan umum tadi berisi lima orang. Supir, dua pria tua yang sedari tadi terus
melemparkan seringai kepadanya, seorang pria penjual bunga yang mengenakan topi dan
masker, dan wanita itu. Mengapa sepagi ini lelaki itu sudah menggunakan masker, ah
mungkin saja Ia sedang terkena flu atau mungkin Ia hanya suka memakainya, batin wanita
itu.
Salah satu dari dua pria menyeramkan tadi pindah duduk disampingnya. Ada bau
alkohol menyengat yang keluar dari tubuh pria tua itu. Tiba-tiba pria tua tadi merangkul
pundaknya. Alena yang terkejut sontak melakukan penolakan.
“Lepaskan,” desis wanita itu ketakutan sambil berusaha menepis.
“Halah sok jual mahal,” jawab pria tua sambil mencolek dagu wanita itu.
Teman pria tua yang kelihatannya sama-sama dibawah pengaruh alkohol tertawa
mengejek kemudian pindah disisi lain dari wanita itu. Sekarang Ia sedang diapit oleh dua
pria tua brengsek.
“Aku mohon lepaskan,” wanita tersebut mulai menangis
“Cantik kenapa menangis? Kami hanya ingin bersenang-senang denganmu,” kata salah
satu pria tua.
Bugh, satu tinju menghantam kepala pria tua itu. Semenit kemudian, dua pria tadi sudah
penuh dengan lebam dan darah. Lelaki penjual bunga kembali duduk ditempatnya, dua pria
tadi langsung turun dari angkutan umum dan lari terbirit-birit, dan wanita itu masih bingung
dengan apa yang baru saja terjadi.
“Te terimakasih kau sudah membantuku, kalau tidak ada kau mungkin,”
“Diamlah, suara cemprengmu sangat menyebalkan,” kata pria itu.
Wanita itu terdiam. Apa yang harus Ia lakukan untuk membalas budi. Matanya tertuju
kepada seikat mawar biru. Mawar biru? Ia baru tau jika ada yang menjual mawar biru di
kotanya.
“Jika kau tidak keberatan, aku ingin membeli bunga mawar biru itu,” katanya.
“Tidak, yang ini tidak ku jual,” jawab pria itu dingin.
***
Angkutan umum tiba ditempat pemberhentian, pria penjual bunga itu juga ikutan turun.
Wanita itu memasuki area perkuburan, wajahnya berubah menjadi sendu. Di kuburan itu
terbaring cinta pertamanya. Wanita itu mulai menangis. Selembar sapu tangan muncul di
depannya. Hantu? Tidak, itu pria penjual bunga tadi.
“Hapus air matamu, suamimu pasti ingin istrinya terus tersenyum.”
“Siapa kamu? Mengapa kau tau ini suamiku?” jawab wanita itu.
Pria penjual bunga itu tidak menjawab. Tangannya memberi isyarat agar wanita itu
mengikutinya keluar dari area perkuburan. Pria penjual bunga itu kemudian memberikan dua
ikat mawar biru lalu pergi tanpa sepatah kata.
***
Keesokan harinya, wanita itu berjalan-jalan di pusat hiburan malam. Ia mencoba
mencari hiburan semenjak suaminya meninggal. Wanita yang malang, Ia bahkan tidak
diperbolehkan mendekat ke jasad suaminya ketika pemakaman diadakan. Suaminya
dinyatakan meninggal karena terjangkit virus ganas ketika sedang dalam perjalanan bisnis.
Puk, tepukan ringan mendarat di bahunya. Tampak sosok laki-laki yang telah
melindunginya dari dua pria hidung belang di atas angkutan umum tempo hari.
“Hei maaf mengagetkanmu? Datang dengan siapa?”
Datang dengan siapa? Apa urusan lelaki ini dengannya? Tapi bagaiamanapun Ia telah
menyelamatkan nyawanya.
“Sendiri,” jawabnya singkat
“Perkenalkan namaku Ilham, dan aku bukan penjual bunga,” jawab laki-laki itu seraya
tersenyum.
“Aku Alena, terimakasih telah menyelamatkanku tempo hari.”
“Oke diterima, ikutlah denganku,” kata Ilham itu seraya menggamit tangan Alena.
Alena masih kebingungan. Mengapa Ia mau saja diajak oleh laki-laki yang Ia tidak
kenal? Namun tangan dan suara Ilham seperti tidak asing baginya. Ilham mengajaknya naik
bianglala. Alena sangat senang, Ia mengambil beberapa foto pemandangan kota dari atas
bianglala. Setelah dua jam puas bermain, Ilham pamit pulang.
“Maaf tidak bisa mengantarkanmu, ada hal penting yang harus ku lakukan,” kata Ilham
“Ah tidak mengapa, terimakasih untuk hari ini.”
Ilham mengangguk pelan seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya. Sepucuk
mawar biru dengan kartu yang berisikan nomor telpon didalamnya.
“Telponlah aku jika sempat, aku sangat merindukanmu,” bisik Ilham seraya melangkah
menjauh dari Alena.
***
Semenjak hari itu Alena dan Ilham sering bertemu. Lebih tepatnya pertemuan yang
tidak direncanakan karena Ilham seringkali muncul tiba-tiba dihadapannya. Perilaku Ilham
yang seperti itu membuat Alena merasa aneh karena Ilham sangat mirip dengan mendiang
suaminya. Ia rutin membawakannya mawar biru, membuatkannya puisi, bahkan Ia tau
makanan kesukaan Alena. Malam itu Alena sedang berada di taman kota ketika Ilham
mendatanginya.
Ilham membawakannya sebuah bingkisan besar dengan seikat mawar biru diatasnya.
Alena menatap kotak besar dihadapannya.
“Apa ini Ilham?” tanya Alena.
“Bukalah ini ketika kau sampai di rumah.”
Ilham lalu bangkit kemudian menggapai tangan Alena. Apakah Ilham akan menyatakan
cinta pada Alena? Alena memang mulai tertarik kepadanya namun apakah rasa ketertarikan
itu karena Ia mencintai Ilham atau hanya karena Ilham sangat mirip dengan mendiang
suaminya?
“Izinkan aku memelukmu malam ini saja, aku akan sangat merindukanmu Eleana.”
Ilham memeluk erat Alena, mengecup keningnya, kemudian pergi meninggalkan Alena
yang masih berdiri mematung. Eleana adalah nama kesayangan untuk Alena yang suaminya
berikan. Tidak ada yang tau akan nama itu kecuali mereka berdua. Mengapa Ilham selalu
mengatakan Ia merindukannya, Ia tidak mengerti.
Ia bergegas kembali ke rumahnya. Dibukanya bingkisan besar itu, ada sepucuk surat
didalamnya.

Eleana istriku tercinta


Tunggulah aku sebentar lagi, aku pasti akan menjemputmu kembali. Jangan lupakan
aku.

***
Seorang wanita berkacamata melepaskan alat yang berbentuk seperti tempurung kelapa
dari kepala Alena. Ini konsultasi yang ke dua puluh namun tidak ada perkembangan.
Kondisi yang Alena alami saat ini membuatnya berhalusinasi bahwa suaminya masih hidup
dan akan kembali suatu saat nanti.
Wanita berkacamata itu kemudian keluar dari ruangan, berbicara dengan sepasang
pasangan paruh baya.
“Kondisi yang dialami oleh anak Ibu tidak ada perkembangan. Saya sudah berusaha
sekuat mungkin namun perasaan dan pikiran anak Ibu melakukan penolakan yang sangat
kuat.”
Pasangan paruh baya itu mulai menangis, merasa iba dengan kondisi putri semata
wayangnya. Sedangkan didalam ruangan, Alena yang sudah sadar menggenggam setangkai
mawar biru ditangannya. Biarlah semua orang menganggapnya gila, biarlah tidak ada yang
percaya dengannya. Ia tau pasti itu bukanlah sekedar halusinasi. Tangan wanita itu
menggenggam semakin erat setangkai mawar biru yang sengaja Ia biarkan layu. Matanya
menatap sendu langit sore, meratap. Pulanglah suamiku, aku merindukanmu.

Anda mungkin juga menyukai