Anda di halaman 1dari 14

KONFLIK ORGANISASI

MATA KULIAH PERILAKU DAN PERANCANGAN ORGANISASI

Nama Dosen : Irma Eka Trianawati, S.E., M.M.

Oleh:
Aa Mustofa Sugiatna
0520234009

PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS WIDYATAMA
BANDUNG
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia mempunyai peran utama dalam setiap kegiatan perusahaan.
Walaupun didukung dengan sarana dan prasarana serta sumber dana yang berlebihan, tetapi
tanpa dukungan sumber daya manusia yang andal kegiatan perusahaan tidak akan terselesaikan
dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa sumber daya manusia merupakan kunci pokok yang
harus diperhatikan dengan segala kebutuhannya. Sebagai kunci pokok, sumber daya manusia
akan menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan perusahaan. Perusahaan harus mempunyai
perencanaan kinerja yang merupakan suatu proses dimana pegawai dan manajer bekerja sama
merencanakan apa yang harus dikerjakan pada tahun mendatang, menentukan bagaimana kinerja
diukur merencanakan dan mengenali bagaimana mengatasi kendala serta mencapai pemahaman
bersama bagaimana pekerjaan yang dilakukan itu.

Dalam setiap organisasi/perusahaan, perbedaan pendapat sering kali disengaja atau dibuat
sebagai salah satu strategi para pemimpin untuk melakukan perubahan. Perubahan tersebut dapat
dilakukan dengan menciptakan sebuah konflik. Akan tetapi, konflik juga dapat terjadi secara
alami karena adanya kondisi obyektif yang dapat menimbulkan terjadinya konflik. Seperti yang
dikemukakan oleh Hocker dan Wilmot (Wirawan, 2010:8), konflik terjadi karena pihak-pihak
yang terlibat konflik memiliki tujuan yang berbeda. Konflik bisa juga terjadi karena tujuan pihak
yang terlibat konflik sama tapi cara untuk mencapainya berbeda.

Konflik merupakan masalah hubungan dalam komunikasi antarpribadi. Jika hubungan


dalam komunikasi antarpribadi sudah tidak berjalan dengan baik, maka kemungkinan besar
hubungan komunikasi dalam skala yang lebih besar tidak akan berjalan baik pula. Dalam
komunikasi antarpribadi komunikan dan 2 komunikator harus dapat memahami maksud atau
pesan yang disampaikan supaya pesan yang diterima sama dengan pesan yang disampaikan.
Perbedaan pesan yang diterima dengan pesan yang disampaikan inilah yang menjadi penyebab
utama timbulnya konflik. Ketika dua orang sepakat mengenai interpretasi satu sama lain, mereka
dikatakan telah mencapai makna interpersonal. Makna interpersonal saling diciptakan oleh para
partisipan dalam komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal merujuk pada komunikasi
yang terjadi antar dua orang. Dalam komunikasi terjadi pertukaran pesan yang memiliki makna
interpersonal. Makna interpersonal adalah makna yang terbentuk oleh pribadi-pribadi dengan
pengalaman hidupnya yang berbeda-beda. Pesan yang disampaikan oleh komunikan kepada
komunikator dapat memiliki makna yang berbeda, oleh karena itu dapat menimbulkan sebuah
permasalahan baru.

Dengan tidak terkendalinya konflik pada diri pegawai maka tidak tertutup kemungkinan
akan menimbulkan keadaan yang merugikan perusahaan. Konsentrasi kerja yang biasanya penuh
pada diri pegawai berubah menjadi tidak berkonsentrasi dalam bekerja. Dengan tidak adanya
konsentrasi dalam bekerja secara langsung akan mengakibatkan produktivitas pegawai menurun.
Dengan penurunan produktivitas kerja pegawai maka akan berakibat pada produktivitas
perusahaan. Konflik pada diri pegawai yang dapat dikendalikan maka akan berakibat pada
penurunan produktivitas kerja pegawai yang tidak begitu buruk. Akan tetapi jika konflik yang
terjadi tidak dapat dikendalikan, maka akan memperburuk kondisi kinerja pegawai.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dirumuskan masalah adalah
bagaimana pengaruh konflik kerja terhadap kinerja pegawai?.

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan yang hendak dicapai adalah mengetahui pengaruh konflik kerja
terhadap kinerja pegawai.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Konflik Kerja

Dalam kehidupan manusia termasuk dalam dunia kerja tidak akan terlepas dengan yang
namanya konflik. Konflik biasanya timbul dalam kerja sebagai hasil adanya masalah
komunikasi, hubungan pribadi atau struktur organisasi. Ketidaksesuaian antara dua lebih anggota
atau kelompok organisasi yang timbul adanya kenyataan bahwa mereka punya perbedaan status,
tujuan, nilai dan persepsi.

Secara definitif konflik memiliki pengertian yang berbeda-beda, demikian juga para ahli
dalam memberikan definisi konflik tidak ada yang sama, karena sudut pandang mereka yang
berbeda. Kata konflik berasal dari kata bahasa latin yaitu con yang berarti sama dengan figen
berarti penyerangan (Hartatik, 2005). Dalam kamus besar bahasa indonesia, konflik didefinisikan
sebagai percekcokan, perselisihan, atau pertentangan. Dengan demikian, secara sederhana
konflik merujuk pada adanya dua hal atau lebih yang berseberangan, tidak selaras, dan
bertentangan.

Banyak pengertian tentang konflik yang dapat diberikan oleh para ahli untuk
merumuskan suatu teori tentang konflik itu sendiri. Menurut Gillin dan Gillin melihat konflik
sebagai bagian dari proses interaksi sosial manusia yang saling berlawanan (oppositional
process). Artinya, konflik adalah bagian dari sebuah proses interaksi sosial yang terjadi karena
adanya perbedaan-perbedaan baik fisik, emosi kebudayaan, dan perilaku.

Berikut definisi dan pengertian konflik kerja dari beberapa sumber buku:

Menurut Tommy (2010), konflik kerja adalah adanya pertentangan antara seseorang
dengan orang lain atau ketidakcocokan kondisi yang dirasakan pegawai karena adanya hambatan
komunikasi, perbedaan tujuan dan sikap serta ketergantungan aktivitas kerja.

Menurut Wahyudi (2011), konflik kerja adalah perselisihan, pertentangan antara dua
orang atau dua kelompok dimana perbuatan yang satu berlawanan dengan yang lainnya sehingga
salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut Mangkunegara (2000), konflik kerja adalah pertentangan yang terjadi antara apa
yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan dari
apa yang diharapkan.

Menurut Nawawi (2010), konflik kerja adalah ketidaksesuaian dua orang atau lebih
anggota atau kelompok-kelompok organisasi yang timbul karena adanya kenyataan bahwa
mereka harus membagi sumber daya-sumber daya yang terbatas atau kegiatan kerja atau karena
kenyataan bahwa mereka mempunyai perbedaan status, tujuan nilai dan persepsi.

Menurut Rivai (2011), konflik kerja adalah ketidaksesuaian diantara dua atau lebih
anggota-anggota atau kelompok (dalam suatu organisasi/ perusahaan) yang harus membagi
sumber daya yang terbatas atau kegiatan-kegiatan kerja dan atau karena kenyataan bahwa
mereka mempunyai perbedaan status, tujuan, nilai, atau persepsi.

2.2 Penyebab Konflik Kerja

Penyebab konflik dalam organisasi dan manajemen bisa dibagi dalam 3 kategori pokok
yaitu:

a. Faktor Komunikasi

Disebabkan oleh besarnya perusahaan atau organisasi yang secara implisit membawa
kesulitan komunikasi yang dapat menimbulkan konflik antara lain:

1) Bermacam-macam unit kerja tidak dapat berkomunikasi dengan baik.

2) Konflik yang distimulir oleh salah paham dan tidak adanya usaha untuk memberikan
informasi satu sama lain.

3) Ketidaklancaran komunikasi antara manajer dengan karyawan mengakibatkan


timbulnya emosi-emosi yang ambisius, rasa tidak pasti, tidak aman, dan tidak memahami tujuan
secara jelas. Semua hal tersebut memudahkan timbulnya konflik.

4) Relasi yang sangat formal dan non pribadi memudahkan timbulnya konflik dalam
batin individu sendiri dan konflik antar unit.
5) Komunikasi yang tidak baik antara atasan dengan bawahan menimbulakn banyak
prasangka, kecemasan dan ketegangan batin, karena buruh dan karyawan serta bawahan sangat
bergantung pada penilaian atasan.

6) Ketidaklancaran komunikasi menyebabkan timbulnya rasa terisolasi dengan dunia


kerja. Hal ini banyak menimbulkan ketegangan batin, kecemasan dan ketakutan sehingga orang
terlalu peka dan mudah berkonflik dengan orang lain.

7) Komunikasi yang tidak lancar menyebabkan kesalahpahaman, yang tidak bisa


didialogkan, atau dikomunikasikan dan dipecahkan bersama.

b. Faktor Struktur Organisasi

Konflik banyak terjadi diperusahaan dan lembaga-lembaga yang besar dalam struktur
organisasi yang luas. Intensitas dan keseriusan konflik bisa diperkuat oleh variabel-variabel
dibawah ini:

1) Sistem birokrasi dan overbirokrasi

2) Heterogenitas dalam staff pimpinan

3) Supervisi yang terlalu ketat

4) Sistem hadiah yang tidak merata

5) Limitasi sumber energi

6) Spesialisasi teknis kontra kekuasaan formal

7) Struktur organisasi yang piramida, semakin mengkrucut ke atas dengan manajer eselon
atas semakin sedikit

c. Faktor Tingkah Laku Pribadi

Jika struktur organisasi merupakan suatu variabel yang bisa dikontrol, maka tingkah laku
pribadi itu tidak mudah atau tidak bisa dikontrol. Faktor tingkah laku mencakup:

1) Pribadi pemimpin meliputi:


a) Pemimpin yang otoriter adalah pemimpin yang selalu bertindak menurut dirinya dan
tidak mempedulikan pendapat orang lain.

b) Pemimpin yang neurotis adalah pemimipin yang selalu bimbang atau takut dalam
pengambilan keputusan.

2) Kepuasan dan apresiasi terhadap status sendiri, jika seseorang tidak bisa
mengandalkan apresiasi dan merasa tidak puas dengan status sendiri, dalam hal ini menjadi
konflik yang terbuka dan konflik batin.

3) Tujuan yang ingin dicapai oleh beberapa individu dari kelompok sama, maka orang
akan memperebutkan dengan sengit.

2.3 Proses Konflik

Seperti dikatakan diatas bahwa konflik adalah proses yang dinamis. Maksudnya, di dalam
konflik terdapat urutan waktu dan serangkaian peristiwa. Salah satu cara untuk memahami
konflik sebagai suatu proses, adalah dengan memakai model yang diajukan oleh Pondy (dalam
Nimran, 1997) yaitu conflict episode (episode konflik). Di dalam model tersebut ditunjukkan
adanya serangkaian tahap sebagai berikut:

1) Latent conflict

Yaitu tahap munculnya faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik didalam
organisasi. Bentuk-bentuk dasar dari situasi ini adalah persaingan untuk memperebutkan sumber
daya yang terbatas, konfik peran, persaingan perebutan posisi dalam organisasi, dan perbedaan
tujuan diantara anggota organisasi.

2) Perceived conflict

Yaitu tahap dimana salah satu pihak memandang bahwa pihak lain seperti akan
menghambat atau mengancam pencapaian tujuannya. Keadaan ini bisa timbul dari salah
pengertian atau kurang pengertian, dan tidak selalu berasal dari latent conflict. Sebab beberapa
latent conflict ada yang tidak sampai dipersepsikan menjadi konflik.

3) Felt conflict
Yaitu tahap dimana konflik tidak hanya sekedar dipandang atau dianggap ada, tetapi
sudah benar-benar dirasakan dan dikenali keberadaannya.

4) Manifest conflict

Yaitu tahap dimana perilaku tertentu sudah mulai ditunjukan sebagai pertanda adanya
konflik, misalnya sabotase, agresi terbuka, konfrotasi, rendahnya kinerja, dan sebagainya.

5) Conflict resolution

Adalah tahap dimana konflik yang ada diselesaikan atau ditekan dengan berbagai macam
cara dan pendekatan, mulai dari menghindari terjadinya sampai pada menghadapi konflik itu
dalam usaha mencari jalan keluar sehingga pihak-pihak yang terlihat mencapai tujuannya.

6) Conflict aftermath

Tahap ini mewakili kondisi yang dihasilkan oleh proses sebelumnya (penyelesaian
konflik). Jika konflik benar-benar telah terselesaikan, maka hal itu akan meningkatkan hubungan
di antara para anggota organisasi, dan jika penyelesaiannya tidak tepat, hal tersebut akan dapat
jadi pemicu bagi timbulnya konflik baru.

Sedangkan proses konflik menurut Robbins (dalam Nawawi, 2010), adalah sebagai
berikut:

a) Fase pertama oposisi potensi atau ketidaksesuaian

Ada tiga faktor yang dapat dianggap sebagai sebab atau sumber konflik, yaitu
komunikasi, struktur, dan variable pribadi.

b) Fase kedua pengenalan dan personality

Pada fase ini yang penting adalah isu-isu konflik cenderung mulai ditetapkan. Disisi lain
merupakan saat proses dan isi konflik mulai ditetapkan oleh pihak-pihak yang terlibat. Hal
penting lainnya emosi memegang peran penting dalam menentukan konflik misalnya isu negatif
tentang pengurangan kepercayaan isu negatif dari perilaku pihak lain.

c) Fase ketiga Intensi


Keputusan untuk bertindak dengan cara yang telah ditetapkan dalam episode konflik
yang sedang dihadapi. Beberapa usaha untuk mengidentifikasi beberapa itensi untuk konflik
adalah kompetensi, kolaborasi, menghindari, akomodasi dan kompromi.

d) Fase keempat Perilaku

Fase perilaku ini termasuk pernyataan-pernyataan, tindakantindakan dan reaksi yang


ditimbulkan oleh pihak yang sedang konflik.

Perilaku ini biasa merupakan usaha nyata untuk mengimplementasi intensi-intensi dari
setiap pihak.

e) Fase kelima Hasil

Hasil konflik yang terjadi antara yang terlibat bisa fungsional. Konflik tersebut dapat
meningkatkan kinerja kelompok. Namun konflik juga bersifat disfungsional yang sebaliknya
justru menghalangi dan menurunnya kinerja kelompok.

2.4 Pengaruh Konflik Kerja Terhadap Kinerja Karyawan

Konflik kerja karyawan dapat berpengaruh pada kinerja karyawan, kinerja karyawan
merupakan hal yang penting dalam pengembangan perusahaan. Menurut Sutrisno (2010:172) :
“Kinerja karyawan adalah hasil kerja karyawan dilihat pada aspek kualitas, kuantitas, waktu
kerja, dan kerja sama untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan oleh organisasi.”

Kinerja karyawan sangat berdampak pada keuntungan perusahaan. Karyawan yang


kinerjanya baik selalu akan dipertahankan. Menurut Mangkunegara (2009:67) mengemukakan
bahwa: ”Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang
pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya”. perusahaan selalu menginginkan keuntungan, penghematan, dan efisiensi untuk
mempertahankan perusahaanya, tetapi dalam pencapaian tersebut perusahaan harus bisa
mengoptimalkan kinerja karyawan.

Menurut Gaol (2014:589) mendefinisikan bahwa : “Kinerja merupakan suatu istilah


secara umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu
organisasi pada suatu periode dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa
lalu atau yang diproyeksikan dengan dasar efisiensi, pertanggungjawaban atau akuntabilitas
manajemen dan sebagainya.”

Kinerja karyawan yang baik selalu memberikan kontribusi yang positif. Pada umumnya
kinerja karyawan dapat dinilai dari peningkatan rating atau laporan keuangan dari perusahaan.
Jika perusahaan mengalami profit terus menerus, maka kinerja karyawan dinilai memberikan
kontribusi positif.

2.5 Metode Penyelesaian Konflik Kerja

Konflik apabila dapat dikelola dengan baik dapat menjadi kekuatan untuk mendatangkan
perubahan dan kemajuan dalam organisasi. Menurut Rivai (2011), terdapat beberapa metode
yang dapat digunakan untuk mengelola dan menyelesaikan konflik, yaitu:

a. Metode stimulasi konflik

Metode ini digunakan untuk menimbulkan rangsangan anggota, karena anggota pasif
yang disebabkan oleh situasi dimana konflik terlalu rendah. Metode ini digunakan untuk
merangsang konflik yang produktif. Metode stimulasi konflik ini meliputi:

1) Pemasukan atau penempatan orang luar kedalam kelompok.

2) Penyusunan kembali organisasi.

3) Penawaran bonus, pembayaran insentif, dan penghargaan untuk mendorong


persaingan.

4) Pemilihan manajer-manajer yang tepat.

5) Perlakuan yang beda dengan kebiasaan.

b. Metode pengurangan konflik

Metode ini mengurangi antagonisme (permusuhan) yang ditimbulkan oleh konflik.


Metode ini mengelola tingkat konflik melalui pendinginan suasana, tetapi tidak menangani
masalah-masalah yang semula menimbulkan konflik. Metode ini ada dua. Pertama, mengganti
tujuan yang menimbulkan persaingan dengan tujuan yang lebih bisa diterima kedua kelompok.
Metode kedua, mempersatukan kedua kelompok yang bertentangan untuk menghadapi ancaman
atau musuh yang sama.

c. Metode Penyelesain Konflik

Terdapat tiga metode penyelesaian konflik yang sering digunakan, yaitu dominasi atau
penekanan, kompromi, dan pemecahan masalah integratif.

1. Dominasi atau penekanan

Dominasi atau penekanan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

Kekerasan (forcing) yang bersifat penekanan atau otokratik.

Penenangan (smoting), merupakan cara yang lebih diplomatis.

Penghindaran (avoidance), dimana manajer menghindar untuk mengambil posisi yang


tegas.

Aturan mayoritas (majority rule), mencoba untuk menyelesaikan konflik antar kelompok
dengan melakukan pemungutan suara (voting) melalui prosedur yang adil.

2. Kompromi

Manajer mencoba menyelesaikan konflik melalui jalan tengah yang dapat diterima oleh
pihak yang bertikai. Bentuk-bentuk kompromi meliputi:

Pemisahan (separation), dimana pihak-pihak yang bertikai dipisahkan sampai mereka


mencapai persetujuan.

Perwasitan (arbitrasi), dimana pihak ketiga (biasanya manajer) diminta memberi


pendapat.

Kembali ke peraturan-peraturan yang berlaku, dimana kemacetan dikembalikan pada


ketentuan-ketentuan tertulis yang berlaku dan menyetujui bahwa peraturan-peraturan yang
memutuskan penyesuaian konflik.

Penyuapan (bribing), salah satu pihak menerima kompensasi dalam pertukaran untuk
tercapainya penyelesaian konflik.
Pemecahan masalah integratif (secara menyeluruh). Konflik antar kelompok diubah
menjadi situasi pemecahan masalah bersama melalui teknik-teknik pemecahan masalah.
Disamping penekanan konflik atau pencarian kompromi, kedua belah pihak secara terbuka
mencoba menemukan penyelesaian yang dapat diterima semua pihak.

3. Integratif

Ada tiga metode penyelesaian integratif, yaitu:

Konsensus. Kedua pihak bertemu bersama untuk mencari penyelesaian terbaik masalah
mereka dan bukan mencari kemenangan satu pihak.

Konfrontasi. Kedua belah pihak menyatakan pendapatnya secara langsung satu sama lain,
dan dengan kepemimpinan yang terampil serta kesediaan untuk menerima penyelesaian, suatu
penyelesaian konflik yang rasional sering dapat ditemukan.

Penggunaan tujuan-tujuan lebih tinggi. Seorang manajer tidak mampu mengatasi sendiri
konflik yang timbul, maka manajer bisa menggunakan tenaga eksternal sebagai penengah atau
mediator. Hal ini karena manajemen tidak selamanya dapat menggunakan kekuasaan untuk
memaksakan atau mengatasi konflik yang ada.
BAB III

KESIMPULAN

Konflik kerja karyawan dapat berpengaruh pada kinerja karyawan, hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat memicu konflik. Selain itu konflik kerja juga dapat
diselesaikan dalam beberapa cara. Meskipun tidak dapat dihindari secara total, konflik kerja
dapat dikurangi dengan mengurangi faktor faktor yang dapat menyebabkan konflik kerja
tersebut, hal ini demi menciptakan suasana kerja yang kondusif sehingga kinerja baik pegawai
dapat dijaga. Kinerja karyawan yang baik selalu memberikan kontribusi yang positif. Pada
umumnya kinerja karyawan dapat dinilai dari peningkatan rating atau laporan keuangan dari
perusahaan. Jika perusahaan mengalami profit terus menerus, maka kinerja karyawan dinilai
memberikan kontribusi positif.
DAFTAR PUSTAKA

Anwari, M.R.,dkk. 2016. Pengaruh Konflik Kerja dan Stres Kerja Terhadap Kinerja
Karyawan (Studi pada Karyawan PT Telkomsel Branch Malang). Jurnal Administrasi Bisnis
(JAB)|Vol. 41

Julvia, Cristine. 2016. Pengaruh Stres Kerja dan Konflik Kerja Terhadap Kinerja
Karyawan. Jurnal Ilmiah Manajemen Bisnis, VOL. 16.

Mega Sari. 2008. Hubungan Konflik Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Bank
Perkreditan Rakyat Syariah Al Falah. Tugas Akhir.

Nimran, Umar. 1997. Perilaku Organisasi. Surabaya : Citra Media.

Sudiro, Ahmad. 2018. Perilaku Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara.

Sule, Ernie T, dan Saefullah, Kurniawan. 2005. Pengantar Manajemen. Jakarta :


Kencana.

Anda mungkin juga menyukai