Nama Kelompok :
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Masalah Psikososial
Ketidakberdayaan” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata kuliah
Keperawatan Jiwa. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
“Masalah Psikososial Ketidakberdayaan” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terimakasih kapda ibu dosen, selaku dosen mata kuliah Keperawatan Jiwa
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang
kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Kondisi kehidupan di era modern semakin kompleks. Proses modernisasi sampai saat ini masih
tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan (urban community), terutama di kota-kota negara
yang sedang berkembang, seperti halnya di Indonesia. Modernisasi sebagai proses perubahan sosial
tidak dapat dihindari oleh masyarakat manapun, khususnya masyarakat perkotaan. Modernisasi
memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, masyarakat memiliki teknologi modern
sehingga dapat mensejahterakan kehidupan manusia. Sementara dampak negatif dari modernisasi
antara lain, dikarenakan perubahan yang cepat, maka tidak setiap orang dapat mengikuti perubahan
sosial tersebut. Akibatnya meningkatkan beban psikologis, sosiologis, maupun beban ekonomi
(Soeroso, 2008). Stresor kehidupan semakin meningkat. Individu diharuskan untuk menghadapi
stresor tersebut dengan kemampuan koping yang dimiliki. Ketika terjadi ketidakadekuatan koping
yang adaptif, maka dapat mengarah pada perilaku yang menyimpang (Widianti, 2007). Keperawatan
merupakan ilmu yang memberikan fokus perhatian utama terhadap kondisi homeostasis individu
dalam kondisi seimbang. Stres merupakan salah satu reaksi atau respon psikologis manusia saat
dihadapkan pada hal-hal yang dirasa telah melampaui batas atau dianggap sulit untuk dihadapi.
Seseorang yang mengalami stres dapat berdampak positif atau negatif (Agolla & Ongori, 2009)
Koping individu tidak efektif didefinisikan sebagai kerusakan perilaku adaptif dan kemampuan
menyelesaikan masalah seseorang dalam menghadapi tuntutan peran dalam kehidupan (Townsend,
2010). Koping yang tidak efektif dapat mengarahkan kepada suatu kondisi ketidakberdayaan. Ketika
individu terus mencoba menggunakan berbagai sumber koping yang dimiliki dan dapat ia digunakan,
Tetapi tidak menghasilkan suatu hasil yang mengarah kepada tujuan penggunaan koping. Maka,
dapat berakibat pada kelelahan menggunakan sumber adaptasi, sehingga menempatkan individu
dalam kondisi ketidakberdayaan. Pada ketidakberdayaan, klien mungkin mengetahui solusi terhadap
masalahnya, tetapi percaya bahwa hal tersebut di luar kendalinya untuk mencapai solusi tersebut.
Jika ketidakberdayaan berlangsung lama, dapat mengarah ke keputusasaan.
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
b. Psikologis
1) Pengalaman perubahan gaya hidup akibat lingkungan tempat tinggal
2) Ketidaknmampuan mengambil keputusan dan mempunyai kemampuan
komunikasi verbal yang kurang atau kurang dapat mengekspresikan perasaan
terkait dengan penyakitnya atau kondisi dirinya
3) Ketidakmampuan menjalankan peran akibat penyakit yang secara progresif
menimbulkan ketidakmampuan, misalnya: sklerosis multipel, kanker terminal
atau AIDS
4) Kurang puas dengan kehidupannya (tujuan hidup yang sudah dicapai)
5) Merasa frustasi dengan kondisi kesehatannya dan kehidupannya yang
sekarang
6) Pola asuh orang tua pada saat klien anak hingga remaja yang terlalu otoriter
atau terlalu melindungi/menyayangi
7) Motivasi: penerimaan umpan balik negatif yang konsisten selama tahap
perkembangan balita hingga remaja, kurang minat dalam mengembangkan
hobi dan aktivitas sehari-hari
8) Pengalaman aniaya fisik, baik sebagai pelaku, korban maupun sebagai saksi
9) Self kontrol: tidak mampu mengontrol perasaan dan emosi, mudah cemas,
rasa takut akan tidak diakui, gaya hidup tidak berdaya
10) Kepribadian: mudah marah, pasif dan cenderung tertutup.
c. Sosial budaya
1) Usia 30-meninggal berpotensi mengalami ketidakberdayaan
2) Jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan mempunyai kecenderungan yang
sama untuk mengalami ketidakberdayaan tergantung dari peran yang
dijalankan dalam kehidupannya
3) Pendidikan rendah
4) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses penuaan
(misalnya: pensiun, defisit memori, defisit motorik, status finansial atau orang
terdekat yang berlangsung lebih dari 6 bulan)
5) Adanya norma individu atau masyarakat yang menghargai kontrol (misalnya
kontrol lokus internal).
6) Dalam kehidupan sosial, cenderung ketergantungan dengan orang lain, tidak
mampu berpartisipasi dalam sosial kemasyarakatan secara aktif, enggan
bergaul dan kadang menghindar dari orang lain
7) Pengalaman sosial, kurang aktif dalam kegiatan di masyarakat
8) Kurang terlibat dalam kegiatan politik baik secara aktif maupun secara pasif.
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat menstimulasi klien jatuh pada kondisi
ketidakberdyaan dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Kondisi
internal dimana pasien kurang dapat menerima perubahan fisik dan psikologis
yang terjadi. Kondisi eksternal biasanya keluarga dan masyarakat kurang
mendukung atau mengakui keberadaannya yang sekarang terkait dengan
perubahan fisik dan perannya. Sedangkan durasi stressor terjadi kurang lebih
6 bulan terakhir, dan waktu terjadinya dapat bersamaan, silih berganti atau
hampir bersamaan, dengan jumlah stressor lebih dari satu dan mempunyai
kualitas yang berat. Hal tersebut dapat menstimulasi ketidakberdayaan bahkan
memperberat kondisi ketidakberdayaan yang dialami oleh klien.
Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan faktor presiptasi timbulnya
ketidakberdayaan adalah sebagai berikut:
a. Biologis
1) Menderita suatu penyakit dan harus dilakukan terapi tertentu, Program
pengobatan yang terkait dengan penyakitnya (misalnya jangka
panjang, sulit dan kompeks) (proses intoksifikasi dan rehabilitasi).
2) Kambuh dari penyakit kronis dalam 6 bulan terakhir
3) Dalam enam bulan terakhir mengalami infeksi otak yang menimbulkan
kejang atau trauma kepala yang menimbulkan lesi pada lobus frontal,
temporal dan limbic
4) Terdapat gangguan sistem endokrin
5) Penggunaan alkhohol, obat-obatan, kafein, dan tembakau
6) Mengalami gangguan tidur atau istirahat
7) Kurang mampu menyesuaikan diri terhadap budaya, ras, etnik dan
gender
8) Adanya perubahan gaya berjalan, koordinasi dan keseimbangan
b. Psikologis
1) Perubahan gaya hidup akibat menderita penyakit kronis
2) Tidak dapat menjalankan pekerjaan, hobi, kesenangan dan aktivitas
sosial yang berdampak pada keputusasaan.
3) Perasaan malu dan rendah diri karena ketidakmampuan melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari akibat tremor, nyeri, kehilangan
pekerjaan.
4) Konsep diri: gangguan pelaksanaan peran karena ketidakmampuan
melakukan tanggungjawab peran.
5) Kehilangan kemandirian atau perasaan ketergantungan dengan orang
lain.
c. Sosial budaya
1) Kehilangan pekerjaan dan penghasilan akibat kondisi kesehatan atau
kehidupannya yang sekarang.
2) Tinggal di pelayanan kesehatan dan pisah dengan keluarga (berada
dalam lingkungan perawatan kesehatan).
3) Hambatan interaksi interpersonal akibat penyakitnya maupun
penyebab yang lain
4) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses penuaan
(misalnya: pensiun, defisit memori, defisit motorik, status finansial
atau orang terdekat yang berlangsung dalam 6 bulan terakhir)
5) Adanya perubahan dari status kuratif menjadi status paliatif.
6) Kurang dapat menjalankan kegiatan agama dan keyakinannya dan
ketidakmampuan berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat.
3. Faktor penilaian terhadap stressor (Wilkinson, 2007)
a. Kognitif
1) Mengungkapkan ketidakpastian tentang fluktuasi tingkat energi.
2) Mengungkapkan ketidakpuasan dan frustrasi terhadap kemampuan untuk
melakukan tugas atau aktivitas sebelumnya.
3) Mengungkapkan keragu-raguan terhadap penampilan peran.
4) Mengungkapkan dengan kata-kata bahwa tidak mempunyai kendali atau
pengaruh terhadap situasi, perawatan diri atau hasil.
5) Mengungkapkan ketidakpuasan karena ketergantungan dengan orang lain.
6) Kurang dapat berkonsentrasi.
b. Afektif
1) Merasa tertekan atau depresi terhadap penurunan fisik yang terjadi dengan
mengabaikan kepatuhan klien terhadap program pengobatan
2) Marah
3) Iritabilitas, ketidaksukaan
4) Perasaan bersalah
5) Takut terhadap pengasingan oleh pemberian perawatan
6) Perasaan cemas atau ansietas
c. Fisiologis
1) Perubahan tekanan darah
2) Perubahan denyut jantung dan frekuensi pernapasan
3) Muka tegang
4) Dada berdebar-debar dan keluar keringat dingin
5) Gangguan tidur, terutama kalau disertai dengan ansietas
d. Perilaku
1) Ketergantungan terhadap orang lain yang dapat mengakibatkan iritabilitas
2) Tidak ada pertahanan pada praktik perawatan diri ketika ditantang
3) Tidak memantau kemajuan pengobatan
4) Tidak berpartisipasi dalam perawatan atau mengambil keputusan pada saat
diberikan kesempatan.
5) Kepasifan hingga apatis
6) Perilaku menyerang
7) Menarik diri
8) Perilaku mencari perhatian
9) Gelisah atau tidak bisa tenang
e. Social
1) Enggan untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya
2) Ketidakmampuan untuk mencari informasi tentang perawatan
3) Tidak mampu bersosialisasi dengan orang lain
Merupakan latihan pada anak untuk berkemih dan defekasi yang sesuai tugas
perkembangan anak toddler (Supartini,2004). Menurut Soetjiningsih (1999), perkembangan anak
toddler untuk menjalankan tugas toilet learning khususnya usia 18 sampai 24 bulan. Pada
tahapan anak usia 1 sampai 3 tahun atau usia toddler, kemampuan sfingter utera anak untuk
mengontrol buang air kecil (berkemih) dan kemampuan sfinter anak untuk mengontrol buang air
besar (defekasi) mulai berkembang.
1. Anak akan menyadari bahwa popok maupun pakaian basah atau kotor. Dapat terjadi sejak
umur 15 bulan
2. Anak tahu perbedaan antara buang air kecil atau besar, dan dapat mempelajari kata-kata untuk
meberitahu kita bila ini terjadi. Umur 18 bulan sampai 24 bulan atau lebih adalah masa-masa
pengenalan .
3. Anak dapat memberitahu terlebih dahulu bahwa dia perlu membuang air, dengan peringatan
yang cukup agar kita memiliki banyak waktu untuk mengantarnya. Rata-rata hal ini terjadi antara
usia 2,5 bulan sampai 3 tahun.
4. Anak dapat melakukan kontrol atas kandung kemihnya dan dapat menahan keinginan buang
air selama beberapa waktu. Ini terjadi saat anak berumur 3 tahun keatas
Banyak anak memberikan isyarat halus yang mengindikasikan anak siap secara
berangsur-angsur baik siap secara fisik, mental, dan emosional untuk menggunakan toilet
(Gilbert, 2003)
1. Anak lebih sering mengucapkan kata "aku bisa", yang menunjukan bahwa anak ingin lebih
mandiri
2.Anak sudah memiliki waktu buang air yang teratur, dan mungkin mukanya berubah merah dan
berkonsentrasi kerasa sebagai tanda akan segera buang air.
4. Anak akan tertari saat ayahnya pergi ke toilet dan meniru gerak-geriknya.
5. Anak semakin berkembang secara fisik sehingga dapat berjalan dan duduk di toilet.
6. Anak mengerti kata-kata orang tua dan mampu mengikuti intrukis sederhana.
7. Anak mulai mengetahuis sensasi tanda bahwa dia perlu buang air dan menunjukkan
ketidaknyamannya dengan berperilaku resah atau merengek.
8. Anak mungkin resah dan bereaksi keras apabila popoknya sudah kotor.
Untuk mengurangi resiko kegagalan maka dilakukan suatu pengkajia sebelum melakukan
latihan toilet learning yang meliputi pengkajian secara fisik, psikologis,maupun intelektual.
(Hidayat, 2009)
1. Pengkajian Fisik
Yang perlu diperhatikan pada saat anak melakukan buang air kecil dan besar dapat meliputi
kemampuan motorik kasar seperti berjalan, duduk meoncat, dan kemampuan motorik halus
seperti mampu melepas celana sendiri. Selain itu yang perlu dikaji adalah pola anak dalam buang
air kecil dan besar yang sudah teratur, sudah tidak mengompol saat tidur, dan lainnya.
2. Pengkajian Psikologis
Dapat dilakukab dengan gambaran psikologis anak ketika anak akan melakukan buang air kecil
dan besar seperti anak tidak rewel saat hendka buang air kecil atau besar, anak tidak menangis
saat buang air kecil atau besar, ekspresi wajah yang menunjukkan kegembiraan dan ingin
melakukan secara mandiri, adanya keingintahuan tentang toilet learning pada orang dewasa atau
saudarannya adanya ekspresi untuk menyenangkan pada orang tuanya.
3. Pengkajian Intelektual
Kemampuan anak untuk mengerti tentang buang air kecil dan besar, kemampuan
mengkomunikasikan buang air kecil dan besar, anak menyadari timbulnya buang air kecil dan
besar, mempunyai kemampuan kognitif untuk meniru perilaku yang tepat dan etika dalam buang
air kecil dan besar pada tempatnya.
Peran merupakan suatu rangkaian perilaku yang diharapkan kepada seorang seduai posisi
sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal (Supartini, 2004). Peran juga
didasarkan pada preskripsi dan harapan peran yang menggambarkan apa yang harus dilakukan
oleh individu dalam situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan individu ataupun orang lain
yang menyangkut peran-peran tersebut.
Menurut The American Academy of Pediatric (2004), langkah awal yang dapat dilakukan
oleh orang tua dalam toilet learning pada anak dengan meneydiakan pispot mini dan
menempatkannya dikamar atau lebih baik di kamar mandi. Dapat melakukan hal-hal sebagai
berikut :
1. Dalam minggu pertama, biarkan anak duduk pada pispot dengan pakaian lengkap sesuai yang
anak pakai pada saat itu, sementara orang tua dapat melakukan pendidikan pada anak dengan
memberitahu tentang toilet, kegunaan toilet, dan kapan digunakan.
2. Saat anak duduk, biarkan anak mencoba dengan melepas popoknya. Orang tua dapat
menunjukkan kepada anak bagaimana menempatkan kaki dengan benar dilantai. Buatlah latiha
pispot sebagai bagian dari kegiatan rutin anak dari satu kali seminggu secara bertahap hingga dua
kali seminggu sehingga anak akan terdorong untuk berlatih.
3. Setelah anak merasa nyaman dengan kegiatan rutin tersebut, ganti popok dan jatuhkan isi
popok yang kotor kedalam pot dibawah anak untuk memberitahu bahwa ini adalah kegunaan pot
yang sebenarnya.
4. Saat anak memahami kegunaan pot, kemungkinan besar anak akan lebih tertarik menggunakan
pot dengan benar. Untuk mendorong hal ini maka biarkan anak bermain didekat pot tanpa popok
dan ingatkan anak untuk menggunakan pot saat merasakan ingin buang air kecil.
5. Setelah anak berhasil menggunakan pot secara teratur, secara bertahap ganti popok ke celana
pada siang hari. Pada tahap ini laki-laki dengn cepat akan belajar bagaimana caranya berkemih
dengan meniru ayahnya.
Banyak cara yang dapat dilakukan orang tua dalam melatih anak toilet learning,
diantarannya: (Hidayat,2009)
1. Teknik Lisan
Merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara memberi instruksi pada anak dengan kata-kata
sebelum atau sesudah buang air kecil dan besar. Teknik lisan memiliki pengaruh yang besar
dalam memberi rangsangan anak untuk buang air kecil dan besar dimana dengan teknik lisan
persiapan psikologis anak akan semakin matang dan akhirnya anak akan mampu melaksanakan
buang air kecil dan buang air besar.
2. Teknik Modeling
Usaha untuk melatih anak dalam melakukan buang air kecil atau besar dengan meniru untuk
buang air kecil atau besar atau memberi contoh. Dampak yang kurang baik pada cara ini yaitu
apabila contoh yang diberikan salah maka anak akan mempunyai kebiasaan yang salah. Selain
cara tersebut terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan seperti melakukan observasi pada
waktu anak merasakan buang air kecil dan besar, tempatkan anak diatas pispot atau ajak ke
kamar mandi dan berikan anak dengan celana yang mudah dilepas dan dipakai secara mandiri.
Perkembangan komunikasi anak toddler hampir sama dengan anak prasekolah, dimana
komunikasi dapat ditunjukan dengan perkembangan bahasa anak dengan kemampuan anak sudah
mampu memahami kurang lebih sepuluh kata, pada tahun ke dua sudah mampu 200-300 kata
dan masih terdengar kata-kata ulangan. (Hidayat,2009). Komunikasi pada usia tersebut sifatnya
sangat egosentris, rasa ingin tahunya sagat tinggi, inisiatifnya tinggi, kemampuan bahasa mulai
meningkat, mudah merasa kecewa dan merasa bersalah karena tuntutan tinggi, setiap komunikasi
harus pada dirinya, takut terhadap ketidaktahuan dan perlu diingat bahwa pada usia ini masih
belum fasih dalam berbicara. (Hidayat, 2009)
Pada usia ini cara berkomunikasi yang dapat dilakukan adalah dengan memberitahu apa yang
terjadi pada dirinya, memberi kesempatan pada mereka Untuk menyentuh alat pemeriksaan yang
akan digunakan, menggunakan nada suara bicara lambat, jika tidak dijawab harus diulang lebih
jelas dengan pengarahan yang sederhana, hindarkan sikap mendesak untuk dijawab seperti kata
"jawab dong", mengalihkan aktivitas saat komunikasi memberikan mainan saat komunikasi,
mengatur jarak interaksi dimana orang tua didalam berkomunikasi dengan anak sebaiknya
mengatur jarak, adanya kesadaran diri diamna orang tua harus menghindari konfrontasi
langsung, duduk yang terlalu dekat dan berhadapan. Secara non verbal orang tua sellau memberi
dorongan penerimaan dan persetunuan jika diperlukan,jangan dentuh anak tanpa disetujui anak.
Peran orang tua dalam toilet learning pada anaknya merupakan hal yang penting dalam
mendorong tumbuh kembang anak, namun banyak oramg tua yang masih melakukan hal-hal
yang tidak seharusnya dilakukan saat mengajarkan atau mendampingi anak dalam toilet learning
diantarannya : (Gilbert,2003)
1. Kehilangan Kesabaran
Anak kecila dalah penyerapan emosi, anak akan mudah tertular informasi verbal maupun non
verbal. Saat orang tua marah atau jijik anak akan merasakan hal yang sama. Membersihkan
kotoran anak bukan kegiatan yang menyenangkan dan terus menerus mencuci baju kotor akan
melelahkan roang tua. Namun cobalah untuk menyampaikan pesan bahwa emmakai toilet dalah
hal yang alami
Orang tua dapat menemukan banyak alasan untuk melakukan latihan toilet learning pada anak.
Hal ini bisa berhasil apabila anak sama siapnya dengan orang tua. Mengajari anak dengan
terburu-buru hanya akan membuat anak memasarkan frustasi dan kecewa, sehingga biarkan anak
menunjukkan tanda kapan anak akan memulai untuk latihan toilet.
Godaanya cukup besar untuk membiarkan anak duduk ditoilet selama mungkin, sampai akhirnya
buang air, bila anak selama itu ditoilet tentunya buang air tak terkontrol dapat dihindari. Tetapi
orang tua harus memikirkan kebosaann dan ketidaknyamanan anak saat duduk ditoilet mini
plastik yang dingin dalam waktu lama. Sebaiknya biarkana nak duduk selama yang ia mau atau
orang tua dapat membujuk anak untuk duduk lebih lama dengan membacakannya cerita atau
memberikannya buku bergambar disekitar toilet.
4. Mengingatkan terus
Orang tua dapat membantu mengingatkan anak kalau anak perlu ke toilet namun jangan
berlebihan. Menganjurkan anak untuk ke toilet dengan suara lembut itu sudah cukup yang akan
membuat anak lebih nyaman.
5. Bersikap inkonsisten
Anak perlu mendengarkan pesan yang sama berulang-ulang dan saat orang tua memperbolehkan
anak mengompol dicelana sekali-kali, akan membuat amak sulit mengerti kenapa hal tersebut
tidak boleh dilakukan dilain waktu.
6. Bersikap berlebihan
Memberikan pujian berlebihan pada anak akan membuat anak mencari perhatian berlebih
terhadap orang tua yang membuat orang tua harus berhenti beraktivitas dan meluangkan waktu
untuk anaknya. Memberikan dorongan dengan cara yang tenang dan terkontrol, dan beri ucapan
selamat bila anak berhasil buang air tanpa bantuan merupakan cara lebih baik.
Awalnya anak akan banyak minum untuk membiasakan buang air kecil di toilet, namun cukup
cairan akan membantu untuk memudahkan buang air besar. Kekurangan cairan akan membuat
anak kesakitan saat buang air besar sehingga anak berfikir untuk menahannya yang akan menjadi
masalah nantinya.
Mengajarkan anak toilet learning terlalu cepat tidak baik bagi anak. Satu-satunya alasan baik
kenapa harus segera melatih anak menggunakan toilet adalah karena anak sudah siap baik fisik
dan mental
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Toddler merupakan aak usia 1-3 tahun yang dapat dilihat peningkatan ukuran tubuh
terjadi secara bertahap bukan secara linier yang menunjukkan karateristik percepatan atau
perlambatan dalam tumbuh kembang. Perkembangan psikoseksual pada fase kedua yaitu
fase anak (1-3 tahun). Toilet learning pada anak untuk berkemih dan defekasi yang sesuai
tugas perkembangan anak toddler.
3.2 Saran
Diharapkan orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak dapat menstimulasi
perkembangan psikososial anak pada usianya.
DAFTAR PUSTAKA