Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA MASALAH PSIKOSOSIAL KETIDAKBERDAYAAN

Nama Kelompok :

1. Afnani Quinta R.P (19.0601.0010)

2. Nirmala Titah K. (19.0601.0024)

3. Daulay Khairin S. (19.0601.0031)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Masalah Psikososial
Ketidakberdayaan” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada mata kuliah
Keperawatan Jiwa. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang
“Masalah Psikososial Ketidakberdayaan” bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terimakasih kapda ibu dosen, selaku dosen mata kuliah Keperawatan Jiwa
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai
dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang
kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Magelang, 29 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kondisi kehidupan di era modern semakin kompleks. Proses modernisasi sampai saat ini masih
tampak dimonopoli oleh masyarakat perkotaan (urban community), terutama di kota-kota negara
yang sedang berkembang, seperti halnya di Indonesia. Modernisasi sebagai proses perubahan sosial
tidak dapat dihindari oleh masyarakat manapun, khususnya masyarakat perkotaan. Modernisasi
memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya, masyarakat memiliki teknologi modern
sehingga dapat mensejahterakan kehidupan manusia. Sementara dampak negatif dari modernisasi
antara lain, dikarenakan perubahan yang cepat, maka tidak setiap orang dapat mengikuti perubahan
sosial tersebut. Akibatnya meningkatkan beban psikologis, sosiologis, maupun beban ekonomi
(Soeroso, 2008). Stresor kehidupan semakin meningkat. Individu diharuskan untuk menghadapi
stresor tersebut dengan kemampuan koping yang dimiliki. Ketika terjadi ketidakadekuatan koping
yang adaptif, maka dapat mengarah pada perilaku yang menyimpang (Widianti, 2007). Keperawatan
merupakan ilmu yang memberikan fokus perhatian utama terhadap kondisi homeostasis individu
dalam kondisi seimbang. Stres merupakan salah satu reaksi atau respon psikologis manusia saat
dihadapkan pada hal-hal yang dirasa telah melampaui batas atau dianggap sulit untuk dihadapi.
Seseorang yang mengalami stres dapat berdampak positif atau negatif (Agolla & Ongori, 2009)
Koping individu tidak efektif didefinisikan sebagai kerusakan perilaku adaptif dan kemampuan
menyelesaikan masalah seseorang dalam menghadapi tuntutan peran dalam kehidupan (Townsend,
2010). Koping yang tidak efektif dapat mengarahkan kepada suatu kondisi ketidakberdayaan. Ketika
individu terus mencoba menggunakan berbagai sumber koping yang dimiliki dan dapat ia digunakan,
Tetapi tidak menghasilkan suatu hasil yang mengarah kepada tujuan penggunaan koping. Maka,
dapat berakibat pada kelelahan menggunakan sumber adaptasi, sehingga menempatkan individu
dalam kondisi ketidakberdayaan. Pada ketidakberdayaan, klien mungkin mengetahui solusi terhadap
masalahnya, tetapi percaya bahwa hal tersebut di luar kendalinya untuk mencapai solusi tersebut.
Jika ketidakberdayaan berlangsung lama, dapat mengarah ke keputusasaan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Batasan Karakteristik Klien Dengan Ketidakberdayaan ?


2. Bagaimana Proses Terjadinya Masalah?

1.3 Tujuan

1. Agar dapat mengetahui batasan karakteristik klien dengan ketidakberdayaan

2. Agar dapat mengetahui proses terjadinya masalah


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi ketidakberdayaan


Ketidakberdayaan merupakan persepsi individu bahwa segala tindakannya tidak akan
mendapatkan hasil atau suatu keadaan dimana individu kurang dapat mengendalikan
kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan. Ketidakberdayaan adalah persepsi
atau tanggapan klien bahwa perilaku atau tindakan yang sudah dilakukannya tidak
akan membawa hasil yang diharapkan atau tidak akan membawa perubahan hasil
seperti yang diharapkan, sehingga klien sulit mengendalikan situasi yang terjadi atau
mengendalikan situasi yang akan terjadi (NANDA, 2011). Menurut Wilkinson (2007)
ketidakberdayaan merupakan persepsi seseorang bahwa tindakannya tidak akan
mempengaruhi hasil secara bermakna, kurang penggendalian yang dirasakan terhadap
situasi terakhir atau yang baru saja terjadi. Sedangkan menurut Carpenito-Moyet
(2007) ketidakberdayaan merupakan keadaan ketika seseorang individu atau
kelompok merasa kurang kontrol terhadap kejadian atau situasi tertentu.

2.2 Penyebab ketidak berdayaan


Ketidakberdayaan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, ketidak adekuatan
koping sebelumnya (seperti : depresi), serta kurangnya kesempatan untuk membuat
keputusan (Carpenito, 2009). Faktor terkait ketidakberdayaan menurut Doenges,
Townsend, M, (2008) yaitu:
1) Kesehatan lingkungan: hilangnya privasi, milik pribadi dan kontrol terhadap
terapi.
2) Hubungan interpersonal: penyalahgunaan kekuasaan, hubungan yang kasar.
3) Penyakit yang berhubungan dengan rejimen: penyakit kronis atau yang
melemahkan kondisi.
4) Gaya hidup ketidakberdayaan: mengulangi kegagalan dan ketergantungan.

2.3 Batasan krakteristik klien dengan ketidak berdayaan


Menurut NANDA (2011) dan Wilkinson (2007) ketidakberdayaan yang dialami klien
dapat terdiri dari tiga tingkatan antara lain:
1) Rendah Klien mengungkapakan ketidakpastian tentang fluktuasi tingkat
energi dan bersikap pasif.
2) Sedang Klien mengalami ketergantungan pada orang lain yang dapat
mengakibatkan ititabilitas, ketidaksukaan, marah dan rasa bersalah. Klien
tidak melakukan praktik perawatan diri ketika ditantang. Klien tidak ikut
memantau kemajuan pengobatan. Klien menunjukkan ekspresi ketidakpuasan
terhadap ketidakmampuan melakukan aktivitas atau tugas sebelumnya. Klien
menujukkan ekspresi keraguan tentang performa peran.
3) Berat Klien menunjukkan sikap apatis, depresi terhadap perburukan fisik yang
terjadi dengan mengabaikan kepatuhan pasien terhadap program pengobatan
dan menyatakan tidak memiliki kendali (terhadap perawatan diri, situasi, dan
hasil). Pada klien NAPZA biasanya klien cenderung jatuh pada kondisi
ketidakberdayaan berat karena tidak memiliki kendali atas situasi yang
memepngaruhinya untuk menggunakan NAPZA atau ketidakmampuan
mempertahankan situasi bebas NAPZA.

2.4 Proses terjadinya masalah


Kebanyakan individu secara subyektif mengalami perasaan ketidakberdayaan dalam
berbagai tingkat dalam bermacam-macam situasi. Individu sering menunjukkan
respon apatis, marah atau depresi terhadap kehilangan kontrol (Carpenito-Moyet,
2007). Pada ketidakberdayaan, klien mungkin mengetahui solusi terhadap
masalahnya, tetapi percaya bahwa hal tersebut di luar kendalinya untuk mencapai
solusi tersebut. Jika ketidakberdayaan berlangsung lama, dapat mengarah ke
keputusasaan. Perawat harus hati-hati untuk mendiagnosis ketidakberdayaan yang
berasal dari perspektif pasien bukan dari asumsi. Perbedaan budaya dan individu
terlihat pada kebutuhan pribadi, untuk merasa mempunyai kendali terhadap situasi
(misalnya untuk diberitahukan bahwa orang tersebut mempunyai penyakit yang fatal
(Wilkinson, 2007).
1. Faktor predisposisi
a. Biologis
1) Tidak ada riwayat keturunan (salah satu atau kedua orang tua menderita
gangguan jiwa)
2) Gaya hidup (tidak merokok, alkhohol, obat dan zat adiktif) dan Pengalaman
penggunaan zat terlarang
3) Menderita penyakit kronis (riwayat melakukan general chek up, tanggal
terakhir periksa)
4) Ada riwayat menderita penjakit jantung, paru-paru, yang mengganggu
pelaksana aktivitas harian pasien
5) Adanya riwayat sakit panas lama saat perkembangan balita sampai
kejangkejang atau pernah mengalami riwayat trauma kepala yang
menimbulkan lesi pada lobus frontal, temporal dan limbic.
6) Riwayat menderita penyakit yang secara progresif menimbulkan
ketidakmampuan, misalnya: sklerosis multipel, kanker terminal atau AIDS

b. Psikologis
1) Pengalaman perubahan gaya hidup akibat lingkungan tempat tinggal
2) Ketidaknmampuan mengambil keputusan dan mempunyai kemampuan
komunikasi verbal yang kurang atau kurang dapat mengekspresikan perasaan
terkait dengan penyakitnya atau kondisi dirinya
3) Ketidakmampuan menjalankan peran akibat penyakit yang secara progresif
menimbulkan ketidakmampuan, misalnya: sklerosis multipel, kanker terminal
atau AIDS
4) Kurang puas dengan kehidupannya (tujuan hidup yang sudah dicapai)
5) Merasa frustasi dengan kondisi kesehatannya dan kehidupannya yang
sekarang
6) Pola asuh orang tua pada saat klien anak hingga remaja yang terlalu otoriter
atau terlalu melindungi/menyayangi
7) Motivasi: penerimaan umpan balik negatif yang konsisten selama tahap
perkembangan balita hingga remaja, kurang minat dalam mengembangkan
hobi dan aktivitas sehari-hari
8) Pengalaman aniaya fisik, baik sebagai pelaku, korban maupun sebagai saksi
9) Self kontrol: tidak mampu mengontrol perasaan dan emosi, mudah cemas,
rasa takut akan tidak diakui, gaya hidup tidak berdaya
10) Kepribadian: mudah marah, pasif dan cenderung tertutup.

c. Sosial budaya
1) Usia 30-meninggal berpotensi mengalami ketidakberdayaan
2) Jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan mempunyai kecenderungan yang
sama untuk mengalami ketidakberdayaan tergantung dari peran yang
dijalankan dalam kehidupannya
3) Pendidikan rendah
4) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses penuaan
(misalnya: pensiun, defisit memori, defisit motorik, status finansial atau orang
terdekat yang berlangsung lebih dari 6 bulan)
5) Adanya norma individu atau masyarakat yang menghargai kontrol (misalnya
kontrol lokus internal).
6) Dalam kehidupan sosial, cenderung ketergantungan dengan orang lain, tidak
mampu berpartisipasi dalam sosial kemasyarakatan secara aktif, enggan
bergaul dan kadang menghindar dari orang lain
7) Pengalaman sosial, kurang aktif dalam kegiatan di masyarakat
8) Kurang terlibat dalam kegiatan politik baik secara aktif maupun secara pasif.

2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat menstimulasi klien jatuh pada kondisi
ketidakberdyaan dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Kondisi
internal dimana pasien kurang dapat menerima perubahan fisik dan psikologis
yang terjadi. Kondisi eksternal biasanya keluarga dan masyarakat kurang
mendukung atau mengakui keberadaannya yang sekarang terkait dengan
perubahan fisik dan perannya. Sedangkan durasi stressor terjadi kurang lebih
6 bulan terakhir, dan waktu terjadinya dapat bersamaan, silih berganti atau
hampir bersamaan, dengan jumlah stressor lebih dari satu dan mempunyai
kualitas yang berat. Hal tersebut dapat menstimulasi ketidakberdayaan bahkan
memperberat kondisi ketidakberdayaan yang dialami oleh klien.
Faktor-faktor lain yang berhubungan dengan faktor presiptasi timbulnya
ketidakberdayaan adalah sebagai berikut:
a. Biologis
1) Menderita suatu penyakit dan harus dilakukan terapi tertentu, Program
pengobatan yang terkait dengan penyakitnya (misalnya jangka
panjang, sulit dan kompeks) (proses intoksifikasi dan rehabilitasi).
2) Kambuh dari penyakit kronis dalam 6 bulan terakhir
3) Dalam enam bulan terakhir mengalami infeksi otak yang menimbulkan
kejang atau trauma kepala yang menimbulkan lesi pada lobus frontal,
temporal dan limbic
4) Terdapat gangguan sistem endokrin
5) Penggunaan alkhohol, obat-obatan, kafein, dan tembakau
6) Mengalami gangguan tidur atau istirahat
7) Kurang mampu menyesuaikan diri terhadap budaya, ras, etnik dan
gender
8) Adanya perubahan gaya berjalan, koordinasi dan keseimbangan

b. Psikologis
1) Perubahan gaya hidup akibat menderita penyakit kronis
2) Tidak dapat menjalankan pekerjaan, hobi, kesenangan dan aktivitas
sosial yang berdampak pada keputusasaan.
3) Perasaan malu dan rendah diri karena ketidakmampuan melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari akibat tremor, nyeri, kehilangan
pekerjaan.
4) Konsep diri: gangguan pelaksanaan peran karena ketidakmampuan
melakukan tanggungjawab peran.
5) Kehilangan kemandirian atau perasaan ketergantungan dengan orang
lain.
c. Sosial budaya
1) Kehilangan pekerjaan dan penghasilan akibat kondisi kesehatan atau
kehidupannya yang sekarang.
2) Tinggal di pelayanan kesehatan dan pisah dengan keluarga (berada
dalam lingkungan perawatan kesehatan).
3) Hambatan interaksi interpersonal akibat penyakitnya maupun
penyebab yang lain
4) Kehilangan kemampuan melakukan aktivitas akibat proses penuaan
(misalnya: pensiun, defisit memori, defisit motorik, status finansial
atau orang terdekat yang berlangsung dalam 6 bulan terakhir)
5) Adanya perubahan dari status kuratif menjadi status paliatif.
6) Kurang dapat menjalankan kegiatan agama dan keyakinannya dan
ketidakmampuan berpartisipasi dalam kegiatan sosial di masyarakat.
3. Faktor penilaian terhadap stressor (Wilkinson, 2007)
a. Kognitif
1) Mengungkapkan ketidakpastian tentang fluktuasi tingkat energi.
2) Mengungkapkan ketidakpuasan dan frustrasi terhadap kemampuan untuk
melakukan tugas atau aktivitas sebelumnya.
3) Mengungkapkan keragu-raguan terhadap penampilan peran.
4) Mengungkapkan dengan kata-kata bahwa tidak mempunyai kendali atau
pengaruh terhadap situasi, perawatan diri atau hasil.
5) Mengungkapkan ketidakpuasan karena ketergantungan dengan orang lain.
6) Kurang dapat berkonsentrasi.
b. Afektif
1) Merasa tertekan atau depresi terhadap penurunan fisik yang terjadi dengan
mengabaikan kepatuhan klien terhadap program pengobatan
2) Marah
3) Iritabilitas, ketidaksukaan
4) Perasaan bersalah
5) Takut terhadap pengasingan oleh pemberian perawatan
6) Perasaan cemas atau ansietas
c. Fisiologis
1) Perubahan tekanan darah
2) Perubahan denyut jantung dan frekuensi pernapasan
3) Muka tegang
4) Dada berdebar-debar dan keluar keringat dingin
5) Gangguan tidur, terutama kalau disertai dengan ansietas
d. Perilaku
1) Ketergantungan terhadap orang lain yang dapat mengakibatkan iritabilitas
2) Tidak ada pertahanan pada praktik perawatan diri ketika ditantang
3) Tidak memantau kemajuan pengobatan
4) Tidak berpartisipasi dalam perawatan atau mengambil keputusan pada saat
diberikan kesempatan.
5) Kepasifan hingga apatis
6) Perilaku menyerang
7) Menarik diri
8) Perilaku mencari perhatian
9) Gelisah atau tidak bisa tenang
e. Social
1) Enggan untuk mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya
2) Ketidakmampuan untuk mencari informasi tentang perawatan
3) Tidak mampu bersosialisasi dengan orang lain

4. Faktor sumber koping


a. Personal ability
1) Keterampilan pemecahan masalah: kemampuan mencari sumber
informasi, kemampuan mengidentifikasi masalah yang berhubungan
ketidakberdayaan, kekuatan dan factor pendukung serta keberhasilan yang
pernah dicapai. Kemampuan mempertimbangkan alternative aktivitas yang
realistik. Kemampuan melaksanakan rencana kegiatan dan memantau
kemajuan dari kondisi pengobatannya
2) Kesehatan secara umum: mempunyai keterbatasan mobilitas yang dapat
dikendalikan oleh pasien.
3) Keterampilan sosial: kemampuan dalam berkomunikasi secara efektif
terutama dalam pencarian sumber informasi untuk mengatasi
ketidakberdayaannya
4) Pengetahuan : Kemampuan memahami perubahan fisik dan peran atau
kondisi kesehatan dan kehidupannya
5) Integritas ego: pasien mempunyai pedoman hidup yang realistis, mengerti
arah dan tujuan hidup yang diinginkan secara matang.
b. Sosial support
1) Kualitas hubungan antara pasien dengan keluarga dan anggota masyarakat
di sekitarnya
2) Kualitas dukungan social yang diberikan keluarga, anggota masyarakat
tentang keberadaan pasien saat ini
3) Komitmen masyarakat dan keluarga dalam menjalankan kegiatan atau
perkumpulan di masyarakat
4) Tinggal di lingkungan keluarga dan masyarakat yang mempunyai norma
tidak bertentangan dengan nilai budaya yang ada.
c. Material Asset
1) Pasien atau keluarga mempunyai penghasilan yang cukup dan stabil untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari
2) Pasien mempunyai fasilitas ansuransi kesehatan, jamkesmas, SKTM atau
askes
3) Mempunyai asset keluarga: tabungan, tanah, rumah untuk mengantisipasi
kebutuhan hidup
4) Terdapat pelayanan kesehatan, dan mampu mengakses pelayanan
kesehatan yang ada.
d. Positive belief
1) Keyakinan dan nilai: Pasien mempunyai keyakinan bahwa penyakitnya
akan dapat disembuhkan dan menyadari adanya perubahan fisik akibatnya
penyakitnya akan berdampak pada kehidupannya.
2) Motivasi: dengan perubahan gaya hidup yang terjadi klien dapat menjalani
hidup dengan semangat
3) Orientasi terhadap pencegahan: pasien berfikir bahwa lebih baik mencegah
daripada mengobati.
2.5 Faktor mekanisme koping
a. Konstruktif
1) Menilai pencapaian hidup yang realistis
2) Mempunyai penilaian yang yang nyaman dengan perubahan fisik dan
peran yang dialami akibat penyakitnya
3) Dapat menjalankan tugas perkembangannya sesuai dengan keterbatasan
yang terjadi akibat perubahan status kesehatannya
4) Kreatif: pasien secara kreaktif mencari informasi terkait perubahan status
kesehatannya sehingga dapat beradaptasi secara normal
5) Di tengah keterbatasan akibat perubahan status kesehatan dan peran dalam
kehidupan sehari-hari, pasien amsih tetap produktif menghasilkan sesuatu
6) Mampu mengembangkan minat dan hobi baru sesuai dengan perubahan
status kesehatan dan peran yang telah dialami
7) Peduli terhadap orang lain disekitarnya walaupun mengalami perubahan
kondisi kesehatan
b. Destruktif
1) Tidak kreatif/kurang memiliki keinginan dan minat melakukan aktivitas
harian (pasif)
2) Perasaan menolak kondisi perubahan fisik dan status kesehatan yang
dialami dan marah-marah dengan situasi tersebut
3) Tidak mampu mengekspresikan perasaan terkait dengan perubahan kondisi
kesehatannya dan menjadi merasa tertekan atau depresi
4) Kurang atau tidak mempunyai hubungan akrab dengan orang lain, kurang
minat dalam interaksi sosial sehingga mengalami menarik diri dan isolasi
social
5) Tidak mampu mencari informasi kesehatan dan kurang mampu
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang dapat berakhir pada
penyerangan terhadap orang lain
6) Ketergantungan terhadap orang lain (regresi)
7) Enggan mengungkapkan perasaan yang sebenarnya (represi/supresi).
2.6 Intervensi keperawatan diagnosa ketidakberdayaan
1. Tujuan Intervensi Keperawatan
a. Tujuan Umum: Klien Menunjukkan kepercayaan kesehatan dengan
criteria: merasa mampu melakukan, merasa dapat mengendalikan dan
merasakan ada sumber-sumber
b. Tujuan Khusus : Klien menunjukkan partisipasi: keputusan perawatan
kesehatan ditandai dengan:
1) Mengungkapkan dengan kata-kata tentang segala perasaan ketidakberdayaan.
2) Mengidentifikasi tindakan yang berada dalam kendalinya
3) Menghubungkan tidak adanya penghalang untuk bertindak
4) Mengungkapkan dengan kata-kata kemampuan untuk melakukan tindakan
yang diperlukan
5) Melaporkan dukungan yang adekuat dari oramg terdekat, termasuk teman dan
tetangga
6) Melaporkan waktu, keuangan pribadi dan ansuransi kesehatan yang memadai
7) Melaporkan ketersediaan alat, bahan, pelayanan dan transportasi
2.7 Rencana intervensi keperawatan
a. Bantu pasien untuk mengidentifikasi factor-faktor yang dapat berpengaruh pada
ketidakberdayaan (misalnya: pekerjaan, aktivitas hiburan, tanggung jawab peran,
hubungan antar pribadi).
- Rasional: mengidentifikasi situasi/hal-hal yang berpotensi dapat dikendalikan
dan dapat digunakan sebagai sumber kekuatan/power bagi klien.
b. Diskusikan dengan pasien pilihan yang realistis dalam perawatan, berikan
penjelasan untuk pilihan tersebut.
- Rasional: Memberikan kesempatan pada klien untuk berperan dalam proses
perawatan, termasuk untuk meningkatkan pemikiran positif klien, dan
meningkatkan tanggung jawab klien.
c. Libatkan pasien dalam pembuatan keputusan tentang rutinitas perawatan/rencana
terapi
- Rasional: Pelibatan klien dalam proses pembuatan keputusan, mampu meningkatkan
rasa percaya diri.
d. Jelaskan alasan setiap perubahan perencanaan perawatan kepada pasien (jelaskan
semua prosedur, peraturan dan pilihan untuk pasien, berikan waktu untuk
menjawab pertanyaan dan minta individu untuk menuliskan pertanyaan sehingga
tidak terlupakan)
- Rasional: Meningkatkan kemampuan berpikir positif terhadap proses perawatan
yang sedang dijalani oleh klien, pelibatan klien dalam setiap pengambilan
keputusan menjadi hal penting.
e. Bantu pasien mengidentifikasi situasi kehidupannya yang dapat dikendalikan
(perasaan cemas, gelisah, ketakutan).
- Rasional: Kondisi emosi pasien mengganggu kemampuannya untuk
memecahkan masalah. Bantuan diperlukan agar dapat menyadari secara akurat
keuntungan dan konsekuensi dari alternative yang ada.
f. Bantu klien mengidentifikasi situasi kehidupan yang tidak dapat ia kendalikan
(adiksi), Disukusikan dan ajarkan cara melakukan manipulasi menghadapi
kondisikondisi yang sulit dikendalikan, misalnya afirmasi.
Rasional: Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan yang berhubungan
dengan ketidakmampuan sebagai upaya mengatasi masalah yang tidak
terselesaikan dan menerima hal-hal yang tidak dapat diubah.
g. Bantu pasien mengidentifikasi faktor pendukung, kekuatankekuatan diri
(misalnya kekuat an baik itu berasal dari diri sendiri, keluarga, orang terdekat,
atau teman).
-Rasional: Pada pasien dengan ketidakberdayaan dibutuhkan faktor pendukung
yang mampu mensupport pasien, dari dalam sendiri dapat berupa penguatan nilai-
nilai spiritual, Jika dalam proses perawatan kekuatan lain tidak adekuat.
h. Sampaikan kepercayaan diri terhadap kemampuan pasien untuk menangani
keadaan dan sampaikan perubahan positif dan kemajuan yang dialami pasien
setiap hari.
-Rasional: Meningkatkan rasa percaya diri terhadap kemampuan atas upaya dan
usaha yang sudah dilakukan oleh klien.
i. Biarkan pasien mengemban tanggung jawab sebanyak mungkin atas praktik
perawatan dirinya. Dorong kemandirian pasien, tetapi bantu pasien jika tidak
dapat melakukannya.
-Rasional: memberikan pilihan kepada pasien akan meningkatkan perasaannya
dalam mengendalikan hidupnya.
2.8

2.2 Toilet Learning

2.2.1 Definisi Toilet Learning

Merupakan latihan pada anak untuk berkemih dan defekasi yang sesuai tugas
perkembangan anak toddler (Supartini,2004). Menurut Soetjiningsih (1999), perkembangan anak
toddler untuk menjalankan tugas toilet learning khususnya usia 18 sampai 24 bulan. Pada
tahapan anak usia 1 sampai 3 tahun atau usia toddler, kemampuan sfingter utera anak untuk
mengontrol buang air kecil (berkemih) dan kemampuan sfinter anak untuk mengontrol buang air
besar (defekasi) mulai berkembang.

2.2.2 Umur dan Tahapan Anak dalam Toilet Learning

1. Anak akan menyadari bahwa popok maupun pakaian basah atau kotor. Dapat terjadi sejak
umur 15 bulan

2. Anak tahu perbedaan antara buang air kecil atau besar, dan dapat mempelajari kata-kata untuk
meberitahu kita bila ini terjadi. Umur 18 bulan sampai 24 bulan atau lebih adalah masa-masa
pengenalan .

3. Anak dapat memberitahu terlebih dahulu bahwa dia perlu membuang air, dengan peringatan
yang cukup agar kita memiliki banyak waktu untuk mengantarnya. Rata-rata hal ini terjadi antara
usia 2,5 bulan sampai 3 tahun.
4. Anak dapat melakukan kontrol atas kandung kemihnya dan dapat menahan keinginan buang
air selama beberapa waktu. Ini terjadi saat anak berumur 3 tahun keatas

2.2.3 Tanda-tanda Anak Sudah Siap Untuk Toilet Learning

Banyak anak memberikan isyarat halus yang mengindikasikan anak siap secara
berangsur-angsur baik siap secara fisik, mental, dan emosional untuk menggunakan toilet
(Gilbert, 2003)

1. Anak lebih sering mengucapkan kata "aku bisa", yang menunjukan bahwa anak ingin lebih
mandiri

2.Anak sudah memiliki waktu buang air yang teratur, dan mungkin mukanya berubah merah dan
berkonsentrasi kerasa sebagai tanda akan segera buang air.

3. Anak cukup cekatan untuk menarik turukan celanannya sendiri.

4. Anak akan tertari saat ayahnya pergi ke toilet dan meniru gerak-geriknya.

5. Anak semakin berkembang secara fisik sehingga dapat berjalan dan duduk di toilet.

6. Anak mengerti kata-kata orang tua dan mampu mengikuti intrukis sederhana.

7. Anak mulai mengetahuis sensasi tanda bahwa dia perlu buang air dan menunjukkan
ketidaknyamannya dengan berperilaku resah atau merengek.

8. Anak mungkin resah dan bereaksi keras apabila popoknya sudah kotor.

2.2.4 Pengkajian Masalah Toilet Learning

Untuk mengurangi resiko kegagalan maka dilakukan suatu pengkajia sebelum melakukan
latihan toilet learning yang meliputi pengkajian secara fisik, psikologis,maupun intelektual.
(Hidayat, 2009)

1. Pengkajian Fisik

Yang perlu diperhatikan pada saat anak melakukan buang air kecil dan besar dapat meliputi
kemampuan motorik kasar seperti berjalan, duduk meoncat, dan kemampuan motorik halus
seperti mampu melepas celana sendiri. Selain itu yang perlu dikaji adalah pola anak dalam buang
air kecil dan besar yang sudah teratur, sudah tidak mengompol saat tidur, dan lainnya.

2. Pengkajian Psikologis

Dapat dilakukab dengan gambaran psikologis anak ketika anak akan melakukan buang air kecil
dan besar seperti anak tidak rewel saat hendka buang air kecil atau besar, anak tidak menangis
saat buang air kecil atau besar, ekspresi wajah yang menunjukkan kegembiraan dan ingin
melakukan secara mandiri, adanya keingintahuan tentang toilet learning pada orang dewasa atau
saudarannya adanya ekspresi untuk menyenangkan pada orang tuanya.

3. Pengkajian Intelektual

Kemampuan anak untuk mengerti tentang buang air kecil dan besar, kemampuan
mengkomunikasikan buang air kecil dan besar, anak menyadari timbulnya buang air kecil dan
besar, mempunyai kemampuan kognitif untuk meniru perilaku yang tepat dan etika dalam buang
air kecil dan besar pada tempatnya.

2.2.5 Definisi Peran

Peran merupakan suatu rangkaian perilaku yang diharapkan kepada seorang seduai posisi
sosial yang diberikan baik secara formal maupun informal (Supartini, 2004). Peran juga
didasarkan pada preskripsi dan harapan peran yang menggambarkan apa yang harus dilakukan
oleh individu dalam situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan individu ataupun orang lain
yang menyangkut peran-peran tersebut.

2.2.6 Peran Orang Tua dalam Toilet Learning

Menurut The American Academy of Pediatric (2004), langkah awal yang dapat dilakukan
oleh orang tua dalam toilet learning pada anak dengan meneydiakan pispot mini dan
menempatkannya dikamar atau lebih baik di kamar mandi. Dapat melakukan hal-hal sebagai
berikut :

1. Dalam minggu pertama, biarkan anak duduk pada pispot dengan pakaian lengkap sesuai yang
anak pakai pada saat itu, sementara orang tua dapat melakukan pendidikan pada anak dengan
memberitahu tentang toilet, kegunaan toilet, dan kapan digunakan.
2. Saat anak duduk, biarkan anak mencoba dengan melepas popoknya. Orang tua dapat
menunjukkan kepada anak bagaimana menempatkan kaki dengan benar dilantai. Buatlah latiha
pispot sebagai bagian dari kegiatan rutin anak dari satu kali seminggu secara bertahap hingga dua
kali seminggu sehingga anak akan terdorong untuk berlatih.

3. Setelah anak merasa nyaman dengan kegiatan rutin tersebut, ganti popok dan jatuhkan isi
popok yang kotor kedalam pot dibawah anak untuk memberitahu bahwa ini adalah kegunaan pot
yang sebenarnya.

4. Saat anak memahami kegunaan pot, kemungkinan besar anak akan lebih tertarik menggunakan
pot dengan benar. Untuk mendorong hal ini maka biarkan anak bermain didekat pot tanpa popok
dan ingatkan anak untuk menggunakan pot saat merasakan ingin buang air kecil.

5. Setelah anak berhasil menggunakan pot secara teratur, secara bertahap ganti popok ke celana
pada siang hari. Pada tahap ini laki-laki dengn cepat akan belajar bagaimana caranya berkemih
dengan meniru ayahnya.

2.2.7 Cara Orang Tua dalam Toilet Learning pada Anak

Banyak cara yang dapat dilakukan orang tua dalam melatih anak toilet learning,
diantarannya: (Hidayat,2009)

1. Teknik Lisan

Merupakan usaha untuk melatih anak dengan cara memberi instruksi pada anak dengan kata-kata
sebelum atau sesudah buang air kecil dan besar. Teknik lisan memiliki pengaruh yang besar
dalam memberi rangsangan anak untuk buang air kecil dan besar dimana dengan teknik lisan
persiapan psikologis anak akan semakin matang dan akhirnya anak akan mampu melaksanakan
buang air kecil dan buang air besar.

2. Teknik Modeling

Usaha untuk melatih anak dalam melakukan buang air kecil atau besar dengan meniru untuk
buang air kecil atau besar atau memberi contoh. Dampak yang kurang baik pada cara ini yaitu
apabila contoh yang diberikan salah maka anak akan mempunyai kebiasaan yang salah. Selain
cara tersebut terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan seperti melakukan observasi pada
waktu anak merasakan buang air kecil dan besar, tempatkan anak diatas pispot atau ajak ke
kamar mandi dan berikan anak dengan celana yang mudah dilepas dan dipakai secara mandiri.

2.2.7 Komunikasi Orang Tua dengan Anak Toddler

Perkembangan komunikasi anak toddler hampir sama dengan anak prasekolah, dimana
komunikasi dapat ditunjukan dengan perkembangan bahasa anak dengan kemampuan anak sudah
mampu memahami kurang lebih sepuluh kata, pada tahun ke dua sudah mampu 200-300 kata
dan masih terdengar kata-kata ulangan. (Hidayat,2009). Komunikasi pada usia tersebut sifatnya
sangat egosentris, rasa ingin tahunya sagat tinggi, inisiatifnya tinggi, kemampuan bahasa mulai
meningkat, mudah merasa kecewa dan merasa bersalah karena tuntutan tinggi, setiap komunikasi
harus pada dirinya, takut terhadap ketidaktahuan dan perlu diingat bahwa pada usia ini masih
belum fasih dalam berbicara. (Hidayat, 2009)

Pada usia ini cara berkomunikasi yang dapat dilakukan adalah dengan memberitahu apa yang
terjadi pada dirinya, memberi kesempatan pada mereka Untuk menyentuh alat pemeriksaan yang
akan digunakan, menggunakan nada suara bicara lambat, jika tidak dijawab harus diulang lebih
jelas dengan pengarahan yang sederhana, hindarkan sikap mendesak untuk dijawab seperti kata
"jawab dong", mengalihkan aktivitas saat komunikasi memberikan mainan saat komunikasi,
mengatur jarak interaksi dimana orang tua didalam berkomunikasi dengan anak sebaiknya
mengatur jarak, adanya kesadaran diri diamna orang tua harus menghindari konfrontasi
langsung, duduk yang terlalu dekat dan berhadapan. Secara non verbal orang tua sellau memberi
dorongan penerimaan dan persetunuan jika diperlukan,jangan dentuh anak tanpa disetujui anak.

2.2.8 Kesalahan Orang Tua dalam Mengajari Anak Toilet Learning

Peran orang tua dalam toilet learning pada anaknya merupakan hal yang penting dalam
mendorong tumbuh kembang anak, namun banyak oramg tua yang masih melakukan hal-hal
yang tidak seharusnya dilakukan saat mengajarkan atau mendampingi anak dalam toilet learning
diantarannya : (Gilbert,2003)

1. Kehilangan Kesabaran

Anak kecila dalah penyerapan emosi, anak akan mudah tertular informasi verbal maupun non
verbal. Saat orang tua marah atau jijik anak akan merasakan hal yang sama. Membersihkan
kotoran anak bukan kegiatan yang menyenangkan dan terus menerus mencuci baju kotor akan
melelahkan roang tua. Namun cobalah untuk menyampaikan pesan bahwa emmakai toilet dalah
hal yang alami

2. Menggunakan jadwal orang tua

Orang tua dapat menemukan banyak alasan untuk melakukan latihan toilet learning pada anak.
Hal ini bisa berhasil apabila anak sama siapnya dengan orang tua. Mengajari anak dengan
terburu-buru hanya akan membuat anak memasarkan frustasi dan kecewa, sehingga biarkan anak
menunjukkan tanda kapan anak akan memulai untuk latihan toilet.

3. Memaksa anak duduk ditoilet mini selama berjam-jam

Godaanya cukup besar untuk membiarkan anak duduk ditoilet selama mungkin, sampai akhirnya
buang air, bila anak selama itu ditoilet tentunya buang air tak terkontrol dapat dihindari. Tetapi
orang tua harus memikirkan kebosaann dan ketidaknyamanan anak saat duduk ditoilet mini
plastik yang dingin dalam waktu lama. Sebaiknya biarkana nak duduk selama yang ia mau atau
orang tua dapat membujuk anak untuk duduk lebih lama dengan membacakannya cerita atau
memberikannya buku bergambar disekitar toilet.

4. Mengingatkan terus

Orang tua dapat membantu mengingatkan anak kalau anak perlu ke toilet namun jangan
berlebihan. Menganjurkan anak untuk ke toilet dengan suara lembut itu sudah cukup yang akan
membuat anak lebih nyaman.

5. Bersikap inkonsisten

Anak perlu mendengarkan pesan yang sama berulang-ulang dan saat orang tua memperbolehkan
anak mengompol dicelana sekali-kali, akan membuat amak sulit mengerti kenapa hal tersebut
tidak boleh dilakukan dilain waktu.

6. Bersikap berlebihan

Memberikan pujian berlebihan pada anak akan membuat anak mencari perhatian berlebih
terhadap orang tua yang membuat orang tua harus berhenti beraktivitas dan meluangkan waktu
untuk anaknya. Memberikan dorongan dengan cara yang tenang dan terkontrol, dan beri ucapan
selamat bila anak berhasil buang air tanpa bantuan merupakan cara lebih baik.

7. Mengurangi konsumsi cairan

Awalnya anak akan banyak minum untuk membiasakan buang air kecil di toilet, namun cukup
cairan akan membantu untuk memudahkan buang air besar. Kekurangan cairan akan membuat
anak kesakitan saat buang air besar sehingga anak berfikir untuk menahannya yang akan menjadi
masalah nantinya.

8. Terlalu cepat memulai

Mengajarkan anak toilet learning terlalu cepat tidak baik bagi anak. Satu-satunya alasan baik
kenapa harus segera melatih anak menggunakan toilet adalah karena anak sudah siap baik fisik
dan mental
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Toddler merupakan aak usia 1-3 tahun yang dapat dilihat peningkatan ukuran tubuh
terjadi secara bertahap bukan secara linier yang menunjukkan karateristik percepatan atau
perlambatan dalam tumbuh kembang. Perkembangan psikoseksual pada fase kedua yaitu
fase anak (1-3 tahun). Toilet learning pada anak untuk berkemih dan defekasi yang sesuai
tugas perkembangan anak toddler.

3.2 Saran

Diharapkan orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak dapat menstimulasi
perkembangan psikososial anak pada usianya.
DAFTAR PUSTAKA

Soetjiningsih. (2010). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC

Soedjatmiko. (2008). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai