Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH CASE STUDY

Disusun dalam rangka memenuhi tugas kelompok


Mata Kuliah Pengkajian Keperawatan
Fasilitator: Dr.Ninuk Dian K, S.Kep.,Ns.,MANP

Disusun oleh: Kelompok

Eka Mei Dianita (132014153009)


Stefania Efenhilda Tefa (132024153005)
Khalifatus Zuhtiyah Alfianti (132024153021)

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah “Case Study”.
Makalah ilmiah ini disusun khusus untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengkajian
Keperawatan tahun ajaran 2021/2022. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan
rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada fasilitator Ibu Dr. Ninuk Dian K,
S.Kep.,Ns., MANP.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal menggunakan jurnal dan
buku yang dijadikan sebagai tinjauan dan referensi. Kami sebagai penyusun
makalah berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi para
pembaca dan untuk kedepannya agar dapat mempebaiki makalah ini agar menjadi
lebih baik lagi

Kami sebagai penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca. Akan tetapi, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Segala kritik, koreksi, dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang. Terima kasih.

Surabaya, Maret 2021

Penulis
TELAAH KASUS JURNAL

1.1 Kasus Jurnal


Judul jurnal : “The Management of an Early COVID-19 Case with Severe Acute
Respiratory Distress Syndrome in a Community Hospital in Ontario,
Canada.”
Autor : Maham Khalid, BMSc, Han-Oh Chung, MD, MSc HS Ed, Dimitra
Fleming, BSc Phm, George Farjou, MDand Jennifer LY Tsang, MD,
PhD
Kasus :
Kasus pasien berusia 39 tahun di ICU komunitas di Ontario Selatan, Kanada,
dengan COVID-19 parah yang dipersulit oleh syok peredaran darah yang
membutuhkan dukungan vasopressor; ARDS berat yang membutuhkan ventilasi
pelindung paru, penggunaan zat penghambat neuromuskuler, pronasi, kortikosteroid
sistemik, dan manajemen cairan konservatif; dan cedera ginjal akut yang
membutuhkan hemodialisis intermiten. Manajemen pasien ini dipandu oleh Surviving
Sepsis Guidelines on COVID-19 yang diterbitkan baru-baru ini. Dia membutuhkan
dukungan vasopressor selama 2 hari untuk syok peredaran darah. Setelah 12 hari
ventilasi mekanis, pasien dibebaskan dari ventilator tetapi tetap menjalani
hemodialisis intermiten. Dia dipindahkan ke bangsal medis pada hari ke-14 masuk
rumah sakit / ICU.

1.2 Pembahasan
Pada kasus jurnal Seorang pria 39 tahun, pulang dari pusat rehabilitasi obat
rawat inap di Ontario Selatan setelah terpapar dengan pengasuh yang kemudian
dipastikan mengidap COVID-19. Pasien membutuhkan vasopressor selama 2 hari
untuk syok pendarahan. Setelah 12 hari ventilasi mekanis, pasien dibebaskan dari
ventilator tetapi tetap menjalani hemodialisa intermiten. Dipindahkan ke bangsal pada

1
hari ke 14 masuk ICU. Namun secara teori penyakit ARDS faktor yang
mempengaruhi mortalitas adalah usia pasien (rentang 18 sampai 95 tahun) namun
sebagian besar berusia kurang dari 60 tahun, adanya penyakit hepar kronik dan
disfungsi organ multiple. Sehingga terdapat kesesuaian fakta dan teori dimana pada
kasus, Tn.X dengan usia 39 terpapar/kontak dengan pasien covid 19, hal tersebut
menjadi salah satu faktor risiko terjadi penyakit ARDS.

Pasien yang mengalami covid-19 mengalami demam, menggigil, sakit kepala,


serta gejala sesak napas sehingga dibawa ke unit gawat darurat. Pada pemeriksaan
fisik, ditemukan hipoksemik dengan saturasi oksigen 70%. Pasien diberikan oksigen
tambahan masker Venturi pada 15 liter / menit dan terjadi peningkatan saturasi
oksigen hingga 90%. TTV pasien : Suhu 37,9 ° Celcius, tekanan darah 150/75
mmHg, RR : 36x/ menit (takipneu) dan denyut nadi 120x/menit (takikardia). Pada
pemeriksaan GCS pasien komposmentis (Score 15). Pada auskultasi ditemukan
suara jantung meredup dan terdengar seperti retakan yang tersebar lapang dada.
Dilihat secara teori Manifestasi ARDS bervariasi tergantung pada penyakit
predisposisi, derajat injuri paru, dan ada tidaknya disfungsi organ lain selain paru.
Gejala yang dikeluhkan sesak nafas, membutuhkan usaha lebih menarik nafas dan
hipoksemia. Infiltrat bilateral pada foto polos toraks menggambarkan edema
pulmonal. Adult respiratory distress syndrome terjadi dalam hitungan jam-hari
setelah onset kondisi predisposisi. Batasan waktu ARDS ini adalah satu minggu dari
munculnya onset baru atau memburuknya suatu gejala pernafasan. Secara teori pada
pasien covid-19 dengan ARDS mengalami sesak, dengan peningkatan frekuensi nafas
≥30 kali/menit, hipoksemia SpO2 ≤92 % dan PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg, bahkan
dengan pemberian oksigen. Sehingga ada kesesuaian antara fakta dan jurnal dimana
pasien mengalami sesak nafas sehingga saturasi oksigen dibawah normal yaitu 70%,
sehingga pasien diberikan tindakan pemasangan oksigen tambahan masker Venturi
pada 15 liter / menit. Setelah diberikan terapi oksigen saturasi pasien mengalami
peningkatan menjadi 90%. Pasien mengalami sesak nafas (takipneu) RR: 36x/menit

2
Penentuan insidensi ARDS merupakan tantangan karena keberagaman definisi
dan kesulitan mendiagnosis ARDS. Insidensi ARDS dilaporkan berkisar antara 75
per 100.000 penduduk sampai 1.5 per 100.000 penduduk [ CITATION Bak18 \l 14345 ].
Banyak faktor penyebab yang dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS
tidak disebut sebagai penyakit tetapi sebagai sindrom [ CITATION Fan131 \l 14345 ] .
Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi, mikroorganisme dan produknya
(terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap parenkim paru dan merupakan
faktor risiko terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis menyebabkan ARDS berkisar
antara 30-50%. Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai faktor
risiko ARDS (30%). Aspirasi cairan lambung dengan pH<2,5 akan menyebabkan
penderita mengalami chemical burn pada parenkim paru dan menimbulkan kerusakan
berta epitel alveolar. Selain itu factor risiko terjadinya ARDS disebabkan oleh luka
bakar, transfusion-related acute lung injury, alkoholisme kronik, dan riwayat pajanan
terhadap asap secara aktif maupun pasif pada kasus trauma [ CITATION Abi18 \l 14345 ].
1.1Tabel Faktor risiko klinik ARDS
Akibat Sistemik Akibat Paru Sendiri
Luka berat Aspirasi asam lambung
Pankreatitis TBC milliard
Shock Radang paru difus/luas
Tranfusi berulang Radang paru eosinofilik akut
Luka bakar Obstruksi saluran nafas atas
Obat-obatan/overdosis Asap rokok yang mengandung
kokain
Aspirin Terhisap gas beracun
[ CITATION Abi18 \l 14345 ]

Dalam kasus klien memiliki riwayat medis obesitas, hipertensi, depresi, penggunaan
narkoba (kokain dan opoid) dan diabetes.

Pada kasus jurnal, pasien dilakukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :


foto polos thoraks dengan hasil hasil bacaan infiltrat alveolar bilateral dengan
konsolidasi. Pemeriksaan darah: leukosit 5.600 juta / L, limfositnya rendah yaitu 900

3
juta / L, dengan rasio neutrofil: limfosit 7,54. Pemeriksaan kreatinin normal dengan
hasil 93 mikro-mol /L. Analisa gas darah arteri setelah intubasi terlihat pH 7,19, pCO
2 dari 84 mmHg, pO 2 dari 70 mmHg (PaO2: FiO 2 dengan rasio ≤ 200 pada pasien
yang berusia berusia 70 tahun dikategorikan sebagai penyakit parah). Dilakukan juga
pemeriksaan PCR untuk gen SARS-CoV2 dengan hasil positif dalam waktu 24 jam
setelah dilakukan.

Menurut Fatoni & Rakhmatullah (2021) pasien covid-19 dengan ARDS akan
mengalami hipoksemia SpO2 ≤ 92% dan PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg bahkan dengan
pemberian oksigen. Pada pencitraan dengan CT scan akan Nampak opasitas difus
pada paru. Namun yang khas pada covid-19, opasitas terdistribusi di perifer, dengan
gambaran ground glass opacity dan terdapat penebalan atau pembesaran vaskuler.
Pasien ARDS terdapat gambaran Infiltrat bilateral pada radiografi dada (Kriteria
ARDS berdasarkan AECC dalam Suzanne MS, 2009). Ada kesesuaian antara fakta
dan teori dimana hasil pemeriksaan darah paien (limfositnya rendah yaitu 900 juta/
L), hasil analisa gas darah pasien menunjukkan menunjukkan PaO 2:FiO2 dengan rasio
70 dan ada gambaran ilfiltrat bilateral alveolar pada foto polos paru. Hal ini terjadi
karena pada kasus ARDS terjadi kerusakan alveolus akibat reaksi inflamasi
intrapulmonal dan ekstrapulmonal. Mediator inflamasi yang aktif menyebabkan
reaksi inflamasi lebih lanjut yang menimbulkan penumpukan cairan kaya protein
dalam alveolus. Hal demikian akan mengganggu aktivitas surfaktan dan juga
stabilisasi alveolar, yang memicu terjadinya gangguan pertukaran gas, edema
ataupun hipoksemia.

Pada kasus pasien mengalami hipoksemia sehingga membutuhkan perawatan


lebih lanjut di ICU. Pasien diberikan kontinu NMBA (neuro muscular blocking
agent), cisatracurium, untuk membantu sinkronisasi ventilator pasien (manuver
PEEP 40 cmH 2O selama 40 detik). Seperti yang direkomendasikan oleh pedoman
COVID-19 SSC, pasien diberikan kortikosteroid sistemik untuk ARDS. Menurut
(Fatoni & Rakhmatullah, 2021) Manajemen jalan nafas pada pasien dengan ARDS

4
bisa dilaksanakan baik invasif ataupun non invasif. Non-invasif dapat digunakan
terapi oksigen konvensional (non rebreathing mask/ NRBM) dan non-invasive
positive-pressure ventilation (NIPPV). Untuk yang invasif, dilakukan intubasi
endotrakeal dengan bantuan ventilasi mekanik. Selain itu, menurut Bakhtiar dan Rena
(2018), ventilasi mekanik pada pasien ARDS sering disertai dengan dissinkroni
antara pasien ventilator yang dapat memperburuk oksigenasi dan ventilasi. Untuk
mengatasi hal ini umum diberikan sedasi dan bahkan agen pelumpuh otot
(neuromuscular blocking agents). Ada kesesuaian antara kasus dengan teori dimana
pada kasus, pasien mengalami hipoksemia dan butuh perawatan yang ketat di ruang
ICU. Pasien diintubasi dan memakai ventilator mekanik dan juga diberikan NMBA
secara kontinu dengan tujuan untuk mempertahankan oksigenasi dan ventilasi. Neto
dkk (dalam jurnal Bakhtiar dan Rena, 2018), mengungkapkan bahwa pada pasien
dengan risiko ARDS, ventilasi mekanik dengan volume tidal besar secara independen
dihubungkan dengan timbulnya ARDS, sedangkan volume tidal kecil dapat
mengurangi angka kejadian dan kematian akibat ARDS. Hal ini sesuai dengan kasus,
dimana pada kasus pasien manuver PEEP tinggi dan volume tidal rendah (4-8 mL /
kg perkiraan berat badan) dengan tujuan untuk menghindari pembukaan penutupan
siklik dari unit paru yang dapat menyebabkan atelektrauma dan mengurangi volume
tidal sehingga mengurangi volutrauma. Pemberian PEEP dengan cara memperbaiki
oksigenasi dapat mengurangi FiO2, sehingga menurunkan risiko toksisitas oksigen.

Pada kasus prosedur pronasi dilakukan setiap hari selama 16 jam selama
empat jam hari untuk hipoksemia berat. PaO 2: FiO 2 rasio meningkat dari 70 menjadi
> 200 saat ia ditempatkan dalam posisi tengkurap. Menurut Bakhtiar dan Rena (2018)
faktor yang paling penting mungkin adalah efek posisi telungkup terhadap dinding
dada dan komplians paru. Pada posisi tengadah (supine position) bagian paling
posterior dan inferior paru adalah bagian yang paling berat sakitnya pada kasus
ARDS. Saat pasien diposisikan telungkup, maka dinding toraks anterior akan
terfiksasi dan berkurang kompliansnya, sehingga meningkatkan proporsi ventilasi

5
pada bagian posterior paru. Hasilnya adalah ventilasi lebih homogen dan
memperbaiki ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.

Pada kasus, pasien juga mengalami ketidakstabilan hemodinamik sehingga


diberikan vasopressor (Norepinefrin 1-8 mcg/menit). Kondisi pasien dipersulit oleh
keadaan cedera ginjal akut sehingga membutuhkan hemodialisis intermiten.
Pemberian Candesartan dihentikan dengan beberapa pertimbangan. Pasien juga
menerima kortikosteroid sistemik untuk ARDS berat. Menurut Gunardi (2013),
vasopresin memiliki efek terhadap parameter hemodinamik seperti kemampuan
mempertahankan tekanan vena sentral, pulmonary artery occlusion pressure, mean
pulmonary artery pressure, denyut nadi, dan indeks cardiac. Oleh karena itu, pada
kasus ini pasien diberkan vasopressor dengan tujuan untuk menjaga kestabilan MAP.
Menurut jurnal bahwa SARS-CoV-2 mengikat sel target melalui angiotensin
converting enzyme 2 (ACE2) dan bahwa ekspresi ACE2 meningkat pada pasien
dengan diabetes yang menggunakan terapi ACE inhibitor dan ARB (angiotensin
receptor blocker). Pengobatan dengan agen-agen ini dapat meningkatkan risiko
pengembangan COVID-19 yang parah. Candesartan merupakan salah satu golongan
obat ARB. Selain alasan pasien awalnya mengalami hipotensi dan menderita cedera
ginjal, candesartan (yang merupakan golongan obat ARB) meningkatkan risiko
pengembangan COVID-19 yang parah, sehingga dalam kasus penggunaan obat ini
dihentikan. Menurut jurnal (Susilo., at all, 2020) pemberian terapi ARDS:
deksametason 20 mg/hari selama 5 hari dilanjutkan 10 mg/hari selama 5 hari. Namun
dalam menangani pasien dengan COVID 19, penggunaan kortikosteroid tidak
dianjurkan karena bersifat imunosupresif. Dalam kasus, pasien tetap diberikan
terapi kortikosteroid dengan berpatokan pada pengaturan ARDS dan juga bukti awal
dari China (analisis retrospektif) yang menunjukkan penurunan risiko kematian, dan
peningkatan oksigenasi dengan kortikosteroid.

6
DAFTAR PUSTAKA

7
Abidin , A., E.N, K., & Wibawanto, F. S. (2018). Acute Respiratory Distress
Syndrome.

Bakhtiar., Arief dan Rena Arusita Maranatha. (2018). Acute Respiratory Distress
Syndrome. Vol. 4 No. 2. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga

Bakhtiar, A., & Maranatha, R. A. (2018). Acute Respiratory Distress Syndrome.

Fanelli, V., Vlachou, A., Simonetti, U., Slutsky, A., & Zhang, H. (2013). Acute
Respiratory Distress Syndrome.

Fatoni,Arie Zainul & Rakhmatullah, Ramacandra. (2021). Acute Respiratory Distress


Syndrome (ARDS) pada pneumonia covid-19. 1 (2). 11-24.

Journal of Anaesthesia and Pain Fakultas Kedokteran: Universitas Islam Negeri


Malang.

Hardian Gunardi. (2013). Efektivitas Vasopresin dan Norepinefrin dalam


Memperbaiki Fungsi Ginjal pada Pasien Syok Sepsis yang Disertai Acute
Kidney Injury, Vol. 1, No. 3. Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Susilo, Adiyo., at all. (2020). Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini
Coronavirus Disease 2019: Review of Current Literatures. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia

Suzanne Cludy Smeltzer, & Brenda Glyon Bare. 2008. Keperawatan Medikal Bedah
2, Edisi 8. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai