BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
MANUSIA, AGAMA, DAN ISLAM
A. Pengertian Manusia dalam Alqur’an
Quraish Shihab mengutip dari Alexis Carrel dalam “Man the Unknown”, bahwa banyak
kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia, karena keterbatasan-keterbatasan
manusia sendiri.
Istilah kunci yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada pengertian manusia
menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan ann-nas.
Kata basyar disebut dalam Al-Qur’an 27 kali. Kata basyar menunjuk pada pengertian
manusia sebagai makhluk biologis (QS Ali ‘Imran [3]:47) tegasnya memberi pengertian kepada
sifat biologis manusia, seperti makan, minum, hubungan seksual dan lain-lain.
Kata al-insan dituturkan sampai 65 kali dalamAl-Qur’an yang dapat dikelompokkan
dalam tiga kategori. Pertama al-insan dihubungkan dengan khalifah sebagai penanggung
amanah (QS Al-Ahzab [3]:72), kedua al-insan dihubungankan dengan predisposisi negatif dalam
diri manusia misalnya sifat keluh kesah, kikir (QS Al-Ma’arij [70]:19-21) dan ketiga al-
insan dihubungkan dengan proses penciptaannya yang terdiri dari unsur materi dan nonmateri
(QS Al-Hijr [15]:28-29). Semua konteks al-insan ini menunjuk pada sifat-sifat manusia
psikologis dan spiritual.
Kata an-nas yang disebut sebanyak 240 dalam Al-Qur’an mengacu kepada manusia
sebagai makhluk sosial dengan karateristik tertentu misalnya mereka mengaku beriman padahal
sebenarnya tidak (QS Al-Baqarah [2]:8)[1]
Dari uraian ketiga makna untuk manusia tersebut, dapatdisimpulkan bahwa manusia
adalah mahkluk biologis,psikologis dan sosial. Ketiganya harus dikembangkan dan diperhatikan
hak maupun kewajibannya secara seimbang dan selalu berada dalam hukum-hukum yang
berlaku (sunnatullah).[2]
C. Agama
Kata agama dalam bahasa Indonesia berarti sama dengan “din” dalam bahasa Arab dan
Semit, atau dalam bahasa Inggris “religion”. Dari arti bahasa (etimologi) agama berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun temurun. Sedangkan
kata “din” menyandang arti antara lain menguasai, memudahkan, patuh, utang, balasan atau
kebiasaan.
Secara istilah (terminologi) agama, seperti ditulisoleh Anshari bahwa walaupun
agama, din, religion, masing-masing mempunyai arti etimologi sendiri-sendiri, mempunyai
riwayat dan sejarahnya sendiri-sendiri, namun dalam pengertian teknis terminologis ketiga istilah
tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu:
a. Agama, din, religion adalah satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya
Yang Maha Mutlak diluar diri manusia.
b. Agama juga adalah sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya Maha
Mutlak tersebut.
c. Di samping merupakan satu sistema credo dan satu sistema ritus, agama juga adalah satu sistem
norma (tata kaidah atau tata aturan) yang mengatur hubungan manusia sesama manusia dan
hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata
peribadatan termaktub diatas.
Menurut Durkheim, agama adalah sistem kepercayaan dan praktik yang dipersatukan yang
berkaitan dengan hal-hal yang kudus. Bagi Spencer, agama adalah kepercayaan terhadap sesuatu
yang Maha Mutlak. Sementara Dewey, menyatakan bahwa agama adalah pencarian manusia
terhadap cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam
jiwanya; agama adalah pengenalan manusia terhadap kekuatan gaib yang hebat.
Informasi mengenai potensi beragama dimiliki manusia itu dapat dijumpai pada ayat al-
Qur'an (surat al-A'raf ayat 172):
وَإِذْ أَﺧَﺬَ رَﺑﱡﻚَ ﻣِﻦْ ﺑَﻨِﻲ آدَمَ ﻣِﻦْ ظُﮭُﻮرِھِﻢْ ذُرﱢﯾﱠﺘَﮭُﻢْ وَأَﺷْﮭَﺪَھُﻢْ ﻋَﻠَﻰ أَﻧْﻔُﺴِﮭِﻢْ أَﻟَﺴْﺖُ ﺑِﺮَﺑﱢﻜُﻢْ ﻗَﺎﻟُﻮا ﺑَﻠَﻰ ﺷَﮭِﺪْﻧَﺎ أَنْ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮا ﯾَﻮْمَ اﻟْﻘِﯿَﺎﻣَﺔِ إِﻧﱠﺎ ﻛُﻨﱠﺎ
َﻋَﻦْ ھَﺬَا ﻏَﺎﻓِﻠِﯿﻦ
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari
kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan)".[3]
Syarat-Syarat Agama
D. Fitrah
Fitrah dalam arti tabiat alami manusia. Manusia lahir dengan membawa tabi’at (perwatakan)
yang berbeda- beda. Watak tersebut dapat berupa jiwa pada anak atau hati sanubari yang dapat
mengantarkan untuk sampai pada ma’rifatullah. Sebelum usia baligh, anak belum bisa
membedakan antara iman dan kafir, karena wujud fitrah terdapat dalam qalb yang dapat
mengantarkan pada pengenalan nilai kebenaran tanpa terhalang apa pun.
Fitrah dalam arti Insting (Gharizah) dan wahyu dari Allah (Al Munazalah)
Ibnu Taimiyah membagi fitrah dalam dua macam:
a. Fitrah Al Munazalah
Fitrah luar yang masuk dalam diri manusia. Fitrah ini dalam bentuk petunjuk al qur’an dan
sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi Fitrah Al Gharizahah.
b. Fitrah Al Gharizah
Fitrah inheren dalam diri manusia yang memberi daya akal yang berguna untuk mengembangkan
potensi dasar manusia.
Fitrah berarti kesucian, terdapat dalam sebuah hadis yang berbunyi, "Setiap orang
dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Orang tuanyalah yang kemudian menjadikan dia seorang
Yahudi, Nasrani, maupun Majusi" (H.R. Bukhari Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Imam Malik,
Imam Hambali).
Fitrah berarti agama yang benar, yakni agama Allah dikaitkan dengan kata fitrah dalam
surat Ar-Rum ayat 30. ”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui (Q.S. Ar Rum:30)
Fitrah manusia dan nilai-nilai luhur yang bersumber darinya, mendapat perhatian agama-
agama ilahi khususnya agama Islam. Pada realitanya fitrah dan agama, keduanya bersumber dari
satu mata air iaitu dari Allah swt dan yang menunjukkan kepada manusia jalan kebahagiaan yang
sebenarnya. Agama Islam sebagai agama terakhir menyodorkan program yang lengkap untuk
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Ajaran ini telah ditetapkan oleh Tuhan dan mencakup
semua manusia. Allah tidak memiliki kepentingan apapun dengan kebahagiaan dan
kesejahteraan manusia.
Allah Swt. berfirman: Lâ tabdîla li khalqillâh (tidak ada perubahan atas fitrah Allah).
Menurut Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakha’i, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, adh-
Dhahak, dan Ibnu Zaid, li khalqillâh maksudnya adalah li dînillâh. Kata fithrah sepadan dengan
kata al-khilqah. Jika fitrah dalam ayat ini ditafsirkan sebagai Islam atau dîn Allâh, maka
kata khalq Allâh pun demikian, bisa dimaknai dîn Allâh.
Allah Swt. memberitakan, tidak ada perubahan bagi agama yang diciptakan-Nya untuk
manusia. Jika Allah Swt. tidak mengubah agamanya, selayaknya manusia pun tidak mengubah
agama-Nya atau menggantikannya dengan agama lain. Oleh karena itu, menurut sebagian
mufassir, sekalipun berbentuk khabar nafî (berita yang menafikan), kalimat ini memberikan
makna thalab nahî (tuntutan untuk meninggalkan). Dengan demikian, frasa tersebut dapat
diartikan: Janganlah kamu mengubah ciptaan Allah dan agamanya dengan
kemusyrikan;janganlah mengubah fitrahmu yang asli dengan mengikuti setan dan
penyesatannya; dan kembalilah pada agama fitrah, yakni agama Islam.
Memeluk Islam sesungguhnya merupakan fitrah manusia. Secara tersirat, ayat ini
menegaskan akan realitas tersebut. Para mufassir menafsirkan kata fithrah Allâh dengan
kecenderungan pada akidah tauhid dan Islam, bahkan Islam itu sendiri. Selain ayat ini,
kesesuaian Islam dengan fitrah manusia juga dapat terlihat pada beberapa fakta berikut:
o Pertama: adanya gharîzah at-tadayyun (naluri beragama) pada diri setiap manusia sehingga ia
bisa merasakan dirinya lemah dan ringkih. Ia membutuhkan Zat Yang Maha Agung, yang berhak
untuk disembah dan dimintai pertolongan. Karenanya, manusia membutuhkan agama yang
menuntun dirinya melakukan penyembahan (‘ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar.
o Kedua: dengan akal yang diberikan Allah Swt. pada diri setiap manusia, ia mampu
memastikan adanya Tuhan, Pencipta alam semesta. Sebab, keberadaan alam semesta yang
lemah, terbatas, serba kurang, dan saling membutuhkan pasti merupakan makhluk. Hal itu
memastikan adanya al-Khâliq yang menciptakannya. Dengan demikian, kebutuhan manusia pada
agama, selain didorong oleh gharîzah at-tadayyun, juga oleh kesimpulan akal.
Lebih jauh, akal manusia juga mampu memilah dan memilih akidah dan agama yang benar.
Akidah batil akan dengan mudah diketahui dan dibantah oleh akal manusia. Sebaliknya,
argumentasi akidah yang haq pasti tak terbantahkan sehingga memuaskan akal manusia. Oleh
karena itu, secara fitri manusia membutuhkan akidah dan agama yang haq, agama yang
menenteramkan perasaan sekaligus memuaskan akal. Islamlah satu-satunya yang haq. Islam
dapat memenuhi dahaga naluri beragama manusia dengan benar sehingga menenteramkannya.
Islam juga memuaskan akalnya dengan argumentasi-argumentasinya yang kokoh dan tak
terbantahkan. Dengan demikian, Islam benar-benar sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia.
Karena begitu sesuainya, az-Zamakhsyari dan an-Nasafi menyatakan, “Seandainya seseorang
meninggalkan Islam, mereka tidak akan bisa memilih selain Islam sebagai agamanya.”
Kesesuaian fitrah manusia dengan Islam juga dijelaskan dalam dalil-dalil naqli. Allah Swt.
berfirman:
[]ﺧَﺬَأَوَإِذْ رَﺑﱡﻚَ ﻣِﻦْ ﺑَﻨِﻲْ آدَمَ ﻣِﻦْ ظُﮭُﻮْرِھِﻢْ وَأَﺷْﮭَﺪَھُﻢْ ﻋَﻠَﻰ أَﻧْﻔُﺴِﮭِﻢْ أَﻟَﺴْﺖُ ﺑِﺮَﺑﱢﻜُﻢْ ﻗَﺎﻟُﻮْا ﺑَﻠَﻰ ﺷَﮭِﺪْﻧَﺎ
Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi.” (QS al-A‘raf [7]: 172)[5]
Allah Swt. juga berfirman di dalam hadis qudsi:
«»دِﯾﻨِﮭِﻢْ ﻋَﻦْ ﻓَﺎﺟْﺘَﺎﻟَﺘْﮭُﻢْ اﻟﺸﱠﯿَﺎطِﯿﻦُ أَﺗَﺘْﮭُﻢْ وَإِﻧﱠﮭُﻢْ ﻛُﻠﱠﮭُﻢْ ﺣُﻨَﻔَﺎءَ ﻋِﺒَﺎدِي ﺧَﻠَﻘْﺖُ وَإِﻧﱢﻲ
Sesungguhnya aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif
(lurus) semuanya dan sesungguhnya mereka didatangi setan, lalu setan itu
membelokkan mereka dari agama mereka. (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
« ِ» ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﻣَﻮْﻟُﻮدٍ إِﻻﱠ ﯾُﻮﻟَﺪُ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻔِﻄْﺮَةِ ﻓَﺄَﺑَﻮَاهُ ﯾُﮭَﻮﱢدَاﻧِﮫِ وَﯾُﻨَﺼﱢﺮَاﻧِﮫِ أَوْ ﯾُﻤَﺠﱢﺴَﺎﻧِﮫ
Tidak ada seorang anak kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua
orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari).
Kedua hadis di atas menjelaskan tentang kondisi awal setiap manusia. Dalam hadis pertama
disebutkan, setiap manusia diciptakan dalam keadaan hanîf, yakni lurus dan tidak condong pada
kesesatan. Adapun dalam hadis kedua dinyatakan, setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah,
namun fitrah yang dimaksudkan di sini adalah pengakuan terhadap Allah Swt.
Hadis pertama di atas menjelaskan, penyimpangan manusia dari fitrahnya disebabkan oleh
bujuk rayu setan. Hadis kedua menjelaskan, pendidikan yang salah dari orangtua merekalah yang
menjadi faktor penyebab keluarnya manusia dari fitrahnya.
Makna Islam
Secara etimologis, kata “islam” berasal dari tiga akar kata, yaitu:
- Aslama artinya berserah diri atau tunduk patuh, yakni berserah diri atau tunduk patuh
pada aturan-aturan hidup yang ditetapkan oleh Allah Swt.
- Salam artinya damai atau kedamaian, yakni menciptakan rasa damai dalam hidup
(kedamaian jiwa atau ruh).
- Salamah artinya keselamatan, yakni menempuh jalan yang selamat dengan mengamalkan
aturan-aturan hidup yang ditetapkan oleh Allah Swt.
Adapun secara terminologis, Islam adalah agama yang diturunkan dari Allah Swt kepada umat
manusia melalui penutup para Nabi (Nabi Muhammad saw).
E. MISI ISLAM
Terdapat sejumlah argumentasi yang dapat digunakan untuk menyatakan misi ajaran Islam
sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam, yaitu:
Pertama, dapat dilihat dari pengertian atau makna asli dari islam itu sendiri yaitu masuk dalam
perdamaian, dan orang muslim adalah orang yang damai dengan Allah dan damai dengan
manusia. Berdamai dengan Allah artinya berserah diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya, dan
damai dengan manusia bukan saja berarti menyingkiri berbuat jahat dan sewenang-wenang
kepada sesamanya.
Kedua, misi ajaran islam sebagai pembawa rahmat dapat dilihat dari peran yang dimainkan islam
dalam menangani berbagai problematika agama, social, ekonomi , politik, hukum, pendidikan
kebudayaan, dan sebagainya.
Dalam keadaan umat manusia yang kacau balau Nabi Muhammad datang membawa ajaran islam
yang didalamnya bukan hanya mengandung ajaran akidah atau hubungan manusia dengan
Tuhannya saja, melainkan juga hubungan dengan sesama manusia dan alam semesta.
Dari sejak kelahirannya Islam sudah memiliki komitmen dan respon yang tinggi untuk ikut serta
dalam memecahkan berabagai masalah tersebut diatas. Hal-hal yang demikian itu dapat
dikemukakan sebgai berikut:
Dalam bidang sosial, Islam memperkenalkan ajaran yang bersifat egaliter atau kesetaraan dan
kesederajatan antara manusia dengan manusia lain. Satu dan lannya sama makhluk Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, dengan segala kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Orang yang
memilki kelebihan dalam bidang tertentu misalnya ia memiliki kekurangan dalam bidang
tertentu lainnya. Orang yang memiliki kekurangan dalam bidang tertentu, tetepi memiliki
kelebihan dalam bidang lainnya. Kelebihan yang dimiliki yang satu digunakan untuk menutupi
kekurangan yang satunya lagi. Demikian seterusnya.Kelebihan yang dimiliki oleh seseorang
bukan untuk memeras yang lain. Orang berkulit putih tidaklah lebih mulia dari yang berkulit
hitam, dan orang yang berkulit hitam tidaklah lebih rendah dari yang berkulit putih. Yang paling
mulia disisi Allah adalah yang paling bertakwa, sebagaimana dalam surat Al-Hujurat, 49:13.
Demikian pula dalam sebuah hadis Nabi menyatakan:
“Tidak ada kelebihan bagi orang arab atas orang yag bukan arab, dan orang yang berkulit puti
atas orang yang berkulit hitam, kecuali siapa diantara mereka yang peling bertakwa.” (HR.
Muslim)
Misi Islam sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam dapat dilihat dari ajaran dalam bidang
ekonomi yang bersendikan asas keseimbangan dan pemerataan. Selain itu misi dalam bidang
ekonomi ini dapat dilihat pula dari perintah berdagang dengan cara yang jujur. Sebaimana
disebutkan dalan surat Al-Isra, 17:35. Lebih lanjut ajaran Islam sangat melarang keras
melakukan praktik riba, atau membungakan uang yang menguntungkan secara berlipat ganda,
tanpa memperhitungkan kemampuan orang yang meminjamnya. Praktik riba inj sangat dilarang
dalam islam sebagaimana yang dinyatakan dalam surat Ali Imran ,3:130.
Dalam bidang poitik terlihat dari perintah Al-qur’an agar seorang pemerintah bersikap adil,
bijaksana terhadap rakyat yang dipimpinnya, memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat
yang dipimpinnya,mendahulukan kepentingan rakyat daripada kepentingannya sendiri,
melindungi dan mengayomi rakyat, membrikan keamanan dan ketentraman kepada masyarakat.
sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nisa, 4:58.
Dalam bidang hukum yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam surat An-Nisa, 4:58. Ayat
tersebut memerintahkan seorang hakim agar berlaku adil dan bijaksana dalam memutuskan
perkara dengan tidak memandang adanya perbedaan pada orang yang sedang berperkara.
Dalam bidang pendidikan dapat dilihat dari ajaran islam yang memberikan kepada manusia hak-
haknya dalam bidang pendidikan. Berdasarkan uraian diatas terlihat dengan jelas bahwa misi
utama ajaran islam adalah membawa rahmat bagi seluruh umat manusia dengan cara menata
aspek kehidupan social, ekonomi, politik, hukum, pendidikan dan sebagainya.
Ketiga, misi islam dapat pula dilihat dari misi ajaran yang dibawa dan dipraktikan oleh Nabi
Shallallahu alahi Wa sallam. Hal ini disebutkan dengan tegas dalam surat Al-Anbiya ayat ke 10,
dan juga terlihat dalam praktik kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang
dikenal dengan seorang yang sayang dengan umatnya dan kepada manusia umumnya.
Keempat, misi Islam dapat dilihat pula pada kedudukannya sebagai sumber nilai dan pandangan
hidup manusia. Dalam hal ini Islam telah memainkan empat peran sebagi berikut. Pertama
sebagai faktor kreatif, yaitu ajaran agama yang mendorng manusia melakukan kerja produktif
dan kreatif. Kedua, faktor motifatif, yaitu bahwa ajaran agama dapat melandasi cita-cita dan
amal perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya. Ketiga, faktor sublimatif, yakni
ajaran agama yang dapat meningkatkan dan mengkuduskan fenomena kegiatan manusia tidak
hanya hal keagamaan saja, tetapi juga yang bersifat keduniaan. Keempat, faktor integrative, yaitu
ajaran agama dapat mempersatukan sikap dan pandangan manusia serta aktifitasnya baik secara
indifidual maupun kolektif dalam menghadapi berbagai tantangan.
Kelima, misi ajaran islam dapat dilihat pula dari peran yang dimainkannya dalam sejarah.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa islam diabad klasik(Abad 7 sd 13 Masehi) atau lebih
kurang 7 abad telah tampil sebagai pengawal sejarah umat manusia menuju kehidupan yang
tertib, aman, damai, sejahtera, maju dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan
peradaban. Peran kesejarahan umat islam tersebut masih dapat dlilihat dinegara-negara dimana
Islam pernah melakukan perannya itu, seperti diirak, Bukhara, Turkistan, Turki, Spanyol, India,
Mesir, dan lain sebagainya.
Pengaruh ilmu pengetahuan, peradaban dan kejayaan islam lainnya terhadap eropa merupakan
bukti bahwa islam secara faktualtelah berperan secara signifikan bagi kemanusiaan secara
universal. Keadaan sekarang ini mungkin sudah terbalik. Eropa lebih maju dari Islam dalam ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan.
Keenam, misi ajaran Islam lebih lanjut dapat dilihat pula dari praktek hubungan Islam dengan
penganut agama lain, sebagaimana yang dilakukan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam
diMadinah. Fakta sejarah membuktikan bahwa yang pertama dilakukan Nabi diMadinah adalah
menjali hubungan yang harmonis dengan seluruh komponen masyarakat yang ada diMadinah
melalui apa yang dalam sejarah dikenal sebagai Mitsaq al-Madinah atau Piagam Madinah. Dari
penelitian terhadap Piagam Madinah ditemukan sejumlah prinsip tentang hak asasi manusiadan
politik pemerintahan. Teks piagam tersebut menyatakan bahwa atas dasar ajaran Al-qur’an,
kemanusiaan dan ikatan social , disamping orang-orang muslim mukmin sebagai satu umat atas
dasar agama dan keyakinan, kaum yahudi dan sekutunya juga merupakan umat bersama orang-
orang Mukmin.
BAB III
KESIMPULAN
Memeluk Islam sesungguhnya merupakan fitrah manusia. Secara tersirat, ayat ini
menegaskan akan realitas tersebut. Para mufassir menafsirkan kata fithrah Allâh dengan
kecenderungan pada akidah tauhid dan Islam, bahkan Islam itu sendiri. Selain ayat ini,
kesesuaian Islam dengan fitrah manusia juga dapat terlihat pada beberapa fakta berikut:
o Pertama: adanya gharîzah at-tadayyun (naluri beragama) pada diri setiap manusia sehingga ia
bisa merasakan dirinya lemah dan ringkih. Ia membutuhkan Zat Yang Maha Agung, yang berhak
untuk disembah dan dimintai pertolongan. Karenanya, manusia membutuhkan agama yang
menuntun dirinya melakukan penyembahan (‘ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar.
o Kedua: dengan akal yang diberikan Allah Swt. pada diri setiap manusia, ia mampu
memastikan adanya Tuhan, Pencipta alam semesta. Sebab, keberadaan alam semesta yang
lemah, terbatas, serba kurang, dan saling membutuhkan pasti merupakan makhluk. Hal itu
memastikan adanya al-Khâliq yang menciptakannya. Dengan demikian, kebutuhan manusia pada
agama, selain didorong oleh gharîzah at-tadayyun, juga oleh kesimpulan akal.
Lebih jauh, akal manusia juga mampu memilah dan memilih akidah dan agama yang benar.
Akidah batil akan dengan mudah diketahui dan dibantah oleh akal manusia. Sebaliknya,
argumentasi akidah yang haq pasti tak terbantahkan sehingga memuaskan akal manusia. Oleh
karena itu, secara fitri manusia membutuhkan akidah dan agama yang haq, agama yang
menenteramkan perasaan sekaligus memuaskan akal. Islamlah satu-satunya yang haq. Islam
dapat memenuhi dahaga naluri beragama manusia dengan benar sehingga menenteramkannya.
Islam juga memuaskan akalnya dengan argumentasi-argumentasinya yang kokoh dan tak
terbantahkan. Dengan demikian, Islam benar-benar sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia.
Karena begitu sesuainya, az-Zamakhsyari dan an-Nasafi menyatakan, “Seandainya seseorang
meninggalkan Islam, mereka tidak akan bisa memilih selain Islam sebagai agamanya.”
Kesesuaian fitrah manusia dengan Islam juga dijelaskan dalam dalil-dalil naqli. Allah Swt.
berfirman:
[ﻣِﻦْ ﺑَﻨِﻲْ آدَمَ ﻣِﻦْ ظُﮭُﻮْرِھِﻢْ وَأَﺷْﮭَﺪَھُﻢْ ﻋَﻠَﻰ أَﻧْﻔُﺴِﮭِﻢْ أَﻟَﺴْﺖُ ﺑِﺮَﺑﱢﻜُﻢْ ﻗَﺎﻟُﻮْا ﺑَﻠَﻰ ﺷَﮭِﺪْﻧَﺎ
َ]ﺧَﺬَأَوَإِذْ رَﺑﱡﻚ
Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman),
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi.” (QS al-A‘raf [7]: 172)
Allah Swt. juga berfirman di dalam hadis qudsi:
«»دِﯾﻨِﮭِﻢْ ﻋَﻦْ ﻓَﺎﺟْﺘَﺎﻟَﺘْﮭُﻢْ اﻟﺸﱠﯿَﺎطِﯿﻦُ أَﺗَﺘْﮭُﻢْ وَإِﻧﱠﮭُﻢْ ﻛُﻠﱠﮭُﻢْ ﺣُﻨَﻔَﺎءَ ﻋِﺒَﺎدِي ﺧَﻠَﻘْﺖُ وَإِﻧﱢﻲ
Sesungguhnya aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif
(lurus) semuanya dan sesungguhnya mereka didatangi setan, lalu setan itu
membelokkan mereka dari agama mereka. (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga bersabda:
« ِ» ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﻣَﻮْﻟُﻮدٍ إِﻻﱠ ﯾُﻮﻟَﺪُ ﻋَﻠَﻰ اﻟْﻔِﻄْﺮَةِ ﻓَﺄَﺑَﻮَاهُ ﯾُﮭَﻮﱢدَاﻧِﮫِ وَﯾُﻨَﺼﱢﺮَاﻧِﮫِ أَوْ ﯾُﻤَﺠﱢﺴَﺎﻧِﮫ
Tidak ada seorang anak kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua
orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR al-Bukhari).
SARAN
Kita adalah sebaik-baiknya makhluk ciptaan Allah. Kita mempunyai bentuk yang sempurna,
mempunyai fikiran dan akal. Seharusnya kita sebagai manusia yang berakal baik, kita menjaga
dan melestarikan sumber daya yang kita miliki. Selain itu tak lupa kita tetap belajar dan
menuntut ilmu demi kemajuan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA