Karya Tulis Ilmiah oleh Moh. Khoirul Amin NIM 18.2088.P dengan judul
“PENERAPAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP RESIKO
PERILAKU KEKERASAN” telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan.
Pembimbing
Yuni Sandra Pratiwi, S.Kep.,Ns.,M.Kep
PRAKATA
Pekalongan, 2020
Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
TINJAUAN TEORI
Adaptif Maladaptif
2.1.3 Pengkajian
Data yang perlu dikaji menurut Keliat (2017) terdapat dua data yaitu data subyektif dan data
obyektif. Data subyektif meliputi : Pasien mengatakan ingin berkelahi, pasien menyalahkan
dan menuntut, pasien mengatakan dendam dan jengkel, pasien mengupat dengan kata-kata
kotor, pasien mengancam, pasien meremehkan. Data obyektif meliputi : Tangan mengepal,
pandangan tajam, wajah memerah, tegang, postur tubuh kaku, rahang mengatup, dan suara
keras.
Stuart (2013), masalah resiko perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh adanya faktor
predisposisi (faktor yang melatar belakangi) munculnya masalah dan faktor presipitasi (faktor
yang memicu adanya masalah).
a. Faktor biologis
1) Teori dorongan naluri (Instinctual drive theory)
Teori ini menyatakan bahwa resiko perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
2) Teori psikomatik (psykomatic theory)
Pengalaman marah dapat diakibatkan oleh respon pisikologi terhadap stimulus
eksternal maupun internal. Sehingga, sistem limbik memiliki peran sebagai pusat
untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.
b. Faktor pisikologis
1) Teori agresif frustasi (frustacion aggresion theory)
Teori ini menerjemahkan resiko perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil
akumulasi frustasi. Hal ini dapat terjadi apabila keinginan individu untuk
mencapai sesuatu gagal atau terhambat. Keadaan frustasi dapat mendorong
individu untuk berprilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang
melalui resiko perilaku kekerasan.
2) Teori perilaku (behaviour oral theory)
Kemarahan merupakan bagian dari proses belajar. Hal ini dapat dicapai
apabila tersedia fasilitas atau situasi yang mendukung. Reinforcement yang
diterima saat melakukan kekerasan sering menimbulkan kekerasan di dalam
maupun di luar rumah.
3) Teori eksistensi (Existential theory)
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah bertindak sesuai perilaku.
Apabila kebutuhan tersebut tidak dipenuhi melalui perilaku konstruktif, maka
individu akan memenuhi kebutuhannya melalui perilaku destruktif.
Faktor presipitasi adalah stimulus internal maupun eskternal yang mengacam individu
(Stuart,2013). Faktor presipitasi ini disebut sebagai faktor pencetus atau situasi yang dapat
menyebabkan ansietas. Menurut Carpenito-Moyet (2010); PPNI (2016) situasi tersebut antara
lain :
a. Kebutuhan dasar manusia tidak terpenuhi seperti makanan, udara, kenyamanan dan
keamanan.
b. Situasi yang berkaitan dengan kerentanan mengancam konsep diri individu seperti :
perubahan status dan kehormatan; kegagalan atau kesuksesan; dilema etik, kehilangan
pengakuan dari orang lain, konflik dengan nilai-nilai yang diyakini.
c. Situasi yang berkaitan dengan kehilangan dengan orang yang dicintai akibat dari
kematian, perceraian, perpisahan akibat mobilisasi baik bersifat menetap maupun
sementara, konflik budaya.
d. Situasi yang berkaitan dengan ancaman integrias fisik seperti kondisi menjelang ajal,
prosedur invasif, penyakit, kekerasan fisik, kecacatan, diagnosis penyakit yang tidak
jelas , rencana tindakan operasi.
e. Situasi yang berhubungan dengan ada perubahan lingkungan sekitar akibat penjara,
pensiun, hospitalisasi, pencemaran lingkungan yang berbahaya, pengungsian, bencana
alam, dan penugasan militer.
f. Situasi yang berkaitan dengan perubahan status sosial ekonomi seperti :
pengangguran, promosi jabatan, memperoleh pekerjaan baru, dan mutasi kerja.
g. Situasi yang terkait dengan harapan-harapan yang tidak realistik.
h. Kurang pengetahuan
i. Disfungsi sistem keluarga
j. Penyalah gunaan zat
Perubahan tahap perkembangan
k. Perkembangan bayi/anak-anak: perpisahan dengan orang tua, perubahan lingkungan,
atau orang yang tidak dikenal di sekitarnya, perubahan psikologis pengasuh,
perubahan dengan teman-teman bermain.
l. Perkembangan remaja: perubahan konsep diri, perubahan dengan peer, kematian
(spesifik).
m. Perkembangan usia dewasa : berhubungan dengan pernikahan, kehamilan, peran
sebagai orang tua, perubahan karir, penuaan, keguguran, komplikasi kehamilan,
persalinan
n. Perkembangan usia lanjut : masalah keuangan, penurunan fungsi sensoris, pensiun.
Tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan
pasien dan didukung dengan data observasi.
a. Data subyektif
1). Ungkapan berupa ancaman
2). Ungkapan kata-kata kasar
3). Ungkapan ingin memukul/melukai
b. Data obyektif
1). Wajah memerah dan tegang
2). Pandangan tajam
3).mengatupkan rahang dengan kuat
4).mengepalkan tangan
5). Bicara kasar
6). Suara tinggi,menjerit atau berteriak
7). Mondar mandir
8). Melempar atau memukul benda/orang lain
2.1.3.5 Mekanisme koping
2.1.3.6 Perilaku
Klien dengan gangguan resiko perilaku kekerasan memiliki beberapa perilaku yang
perlu diperhatikan. Perilaku klien dengan gangguan resiko perilaku kekerasan dapat
membahayakan bagi dirinya sendiri, orang lain, mapun lingkungan sekitar. Adapun perilaku
yang harus dikenal dari klien gangguan resiko perilaku kekerasan, antara lain:
Pohon masalah resiko perilaku kekerasan menurut Dalami, dkk (2010) adalah sebagai
berikut:
2.1.5 Perencanaan
Tindakan keperawatan untuk mencapai kemandirian pasien dengan resiko perilaku kekerasan
tidak hanya ditujukan pada pasien saja tetapi juga keluarga atau care giver. Tindakan
keperawatan juga dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Menurut Stuart (2013),
beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengontrol resiko perilaku kekerasan meliputi:
distraksi, jika dikarenakan bagian dari dampak gejala psikosis harus dengan pengobatan,
latihan asertif, latihan asertif.
Tindakan keperawatan pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan dapat dilakukan secara
individu maupun kelompok. Tindakan keperawatan yang diberikan pada pasien secara
individu sebagai berikut:
2.2.1 Pengertian
Relaksasi merupakan perasaan bebas secara fisik maupun mental dari ketergantungan atau
stress yang membuat individu memiliki rasa kontrol terhadap dirinya. Relaksasi nafas dalam
adalah pernafasan pada abdomen dengan frekuensi lambat serta perlahan, berirama, dan
nyaman dengan cara memejamkan mata saat menarik nafas. Efek dari terapi ini ialah distraksi
atau pengalihan perhatian (Setyoadi dkk, 2011). Teknik relaksasi nafas dalam merupakan
suatu teknik yang digunakan untuk menurunkan tingkat stress dan nyeri kronis. Teknik
relaksasi nafas dalam memungkin pasien mengendalikan respons tubuhnya terhadap
ketegangan dan kecemasan. Teknik relaksasi nafas dalam dilakukan dapat menurunkan
konsumsi oksigen, metabolisme, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, tegangan otot dan
tekanan darah (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2011: 314)
Indikasi: Klien resiko perilaku kekerasan dengan tanda dan gejala gelisah, jalan
mondar- mandir, suka membentak, bicara menguasai, kesal dengan seseorang, suka
merampas barang milik orang lain dan nada suara tinggi.
Kontraindikasi : klien dengan masalah harga diri rendah,isolasi sosial dan resiko perilaku
kekerasan.
2.2.3 Prosedur
METODOLOGI
3.4.2 Relaksasi nafas dalam, suatu tindakan yang diajarkan oleh perawat kepada pasien
tentang cara mengatur pernafasan. Cara melakukan relaksasi nafas dalam yaitu pejamkan
mata, usahakan untuk berkonsentrasi. Tarik nafas melalui hidung secara perlahan dan
mendalam kemudian hitung dalam hati “satu, dua, tiga”. Hembuskan melalui mulut dan
membentuk huruf “O” lalu buka mata secara perlahan, ulangi sebanyak tiga kali.
Pengolahan data yang ditulis yaitu dengan menggunakan prinsip keperawatan berupa
pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi. Data studi kasus ini diambil dari
observasi langsung, wawancara, selanjutnya diolah dan dikaji terkait kasus tersebut,
kemudian penyusunan intervensi dan dilakukan relaksasi nafas dalam pada pasien resiko
perilaku kekerasan.
Penyajian data yang disajikan yaitu menjelaskan serta menggambarkan hasil dari reisiko
perilaku kekerasan di yayasan RSPBM, data yang dikumpulkan berupa subyektif dan
obyektif pasien, keluarga, pemerikasaan fisik maupun dari hasil data penunjang.
Nursalam (2017) menyatakan etika dalam pengumpulan data terdiri dari 3 bagian yaitu:
a. Prinsip Manfaat
Dalam melakukan penelitian subjek harus dihindarkan dari yang tidak menguntungkan serta
informasinya tidak disalahgunakan dalam hal apapun yang dapat merugikan subjek.
3) Resiko
Peneliti harus mempertimbangkan segala resiko dan keuntungan yang dapat berakibat ke
subjek ketika melakukan tindakan.
Subjek harus diperlakukan secara manusiawi, subjek bebas untuk memutuskan untuk
bersedia untuk dijadikan responden atau tidak tanpa adanya sanksi apapun.
Peneliti harus menjelaskan secara terperinci dan tanggung jawab jika terjadi sesuatu pada
subjek.
3) Informed consen
Peneliti harus memberikan informasi mengenai tujuan dilakukan penelitian dan subjek berhak
untuk memutuskan akan berpartisipasi atau menolak dijadikan responden. Didalam informed
consen harus mencantumkan bahwa data yang diperoleh semata-mata hanya akan
dipergunakan untuk pengembangan ilmu.
c. Prinsip keadilan
Subjek yang tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian harus diperlakukan adil sebelum,
selama, dan sesudah keikutsertaanya dalam penelitian tanpa adanya deskriminasi atau
membeda-bedakan.
Subjek memiliki hak untuk menjaga kerahasiaan dari data yang diberikan dengan tidak
mencantumkan nama terang (anonymty) dan rahasia (confidentiality)
DAFTAR PUSTAKA
Kusumawati F dan Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika Kelliat, B.A. (2012). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC
Sumirta, D. (2013). Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Pengendalian Marah Klien Dengan
Perilaku Kekerasan. http://poltekkesdenpasar.ac.id/files/JURNAL%20GEMA
%20KEPERAWATAN/JUNI%202014/Nengah%20Sumirta,%20dkk.pdf