Anda di halaman 1dari 23

PENERAPAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM

TERHADAP RESIKO PERILAKU KEKERASAN

Moh. Khoirul Amin


18.2088.P

PROGAM STUDI DIPLOMA TIGA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN
PEKALONGAN
2021
PROPOSAL
KARYA TULIS ILMIAH

PENERAPAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP


RESIKO PERILAKU KEKERASAN

Karya Tulis Ilmiah Ini Disusun Sebagai Salah Satu Persayaratan


Menyelesaikan Progam Studi Diploma Tiga Keperawatan
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Pekajangan Pekalongan

Moh. Khoirul Amin


NIM : 18.2088.P

PROGAM STUDI DIPLOMA TIGA KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PEKAJANGAN
PEKALONGAN
2021
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Moh. Khoirul Amin
NIM : 18.2088.P
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis
ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan bukan merupakan
pengambilan alihan tulisan atau pikiran orang lain (plagiasi), falsifikasi, dan
fabrikasi yang saya aku sebagai hasil tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila
dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil
plagiasi, falsifikasi atau fibrikasi maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.

Pekalongan, 20 April 2021


Yang membuat Pernyataan,

Moh. Khoirul Amin


LEMBAR PERSETUJUAN

Karya Tulis Ilmiah oleh Moh. Khoirul Amin NIM 18.2088.P dengan judul
“PENERAPAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP RESIKO
PERILAKU KEKERASAN” telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan.

Pekalongan, 20 April 2021

Pembimbing
Yuni Sandra Pratiwi, S.Kep.,Ns.,M.Kep
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Penerapan Teknik Relaksasi Nafas
Dalam Terhadap Resiko Perilaku Kekerasan”. Terselesainya penulisan Karya
Tulis Ilmiah tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat :
1. Dr. Nur Izzah, S. Kep., M.Kes., selaku Rektor Universitas
Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan
2. Siti Rofiqoh, M. Kep.,Ns.,Sp.Kep.An., selaku Ka. Prodi DIII
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan
3. Yuni Sandra Pratiwi, S.Kep. Ns, M.Kep selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini
hingga selesai.
4. Nurul Aktifah, S.Kep., Ns., M.Si., Med selaku dosen penguji yang telah
bersedia hadir menjadi dewan penguji.
5. Kedua Orang Tua yang telah memberikan do’a dukungan baik secara
moril dan materil kepada penulis
6. Teman-teman rohima, sultan, niam, arsy, nur ardika dan teman teman
kelompok KTI Jiwa terima kasih karena sudah membantu penulisan dalam
mencari referensi.
7. Teman – teman seperjuangan angkatan 2020.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Karya Tulis Ilmiah ini jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penulis selalu bersedia dengan terbuka menerima
berbagai saran dan kritik khususnya untuk Karya Tulis Ilmiah ini

Pekalongan, 2020

Penulis
DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kesehatan jiwa menurut UU No. 18 Tahun 2014 tentang kesehatan jiwa
adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik,
mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan
sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu
memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kesehatan jiwa adalah kondisi
seorang individu yang sejahtera. Artinya individu tersebut mampu mencapai
kebahagian, ketenangan, kepuasan, aktualisasi diri, dan mampu opitimis atau
berfikir positif di segala situasi baik terhadap diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan (Stuart, 2013)
Hampir semua permasalahan kesehatan fisik menjadi faktor resiko dari
masalah kesehatan jiwa seseorang. Seseorang dengan resiko masalah
kesehatan jiwa artinya memiliki kerentanan terhadap masalah kesehatan jiwa
(fisik, sosial, mental, dan spiritual) dan menunjukan tanda dan gejala masalah
kesehatan jiwa seperti rasa khawatir, kesedihan, sulit tidur, gangguan
pencernaan, merasa tidak ada yang bisa dilakukan, merasa tidak mampu atau
gagal, menurunya produktifitas, merasa mudah lelah dan sebagainya. Di
dalam kesehatan jiwa orang yang mengalami gangguan dalam pikiran,
perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala
dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan
penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia
yang disebut dengan gangguan jiwa. Menurut WHO, kesehatan jiwa bukan
hanya suatu keadaan tidak mengalami gangguan jiwa, melainkan mengandung
berbagai karakteristik yang merupakan perawatan langsung, komunikasi, dan
manajemen yang bersifat positif, menggambarkan keselarasan dan
keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadian setiap
individu.
Data yang didapatkan dari WHO (2017) menunjukan jumlah orang yang
mengalami gangguan jiwa sekitar 7 per seribu dari populasi orang dewasa,
terutama pada usia 15-35 tahun. Data Riskedas tahun 2018 menunjukan
bahwa 7 dari 1000 Rumah Tangga terdapat anggota keluarga dengan
Skizofrenia/psikosis. Lebih dari 19 juta penduduk usia diatas 15 terkena
gangguan mental emosional,lebih dari 12 juta orang berusia diatas 15 tahun
diperkirakan telah mengalami depresi.
Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku
akibat adanya distrorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam
bertingkah laku. Gangguan jiwa dapat menyerang setiap orang tanpa
mengenal usia, ras, agama, maupun status sosial-ekonomi. Gangguan jiwa
juga harus segera ditangani agar manusia dapat memperoleh pengobatan
secara cepat dan tepat, sehingga dapat diperoleh kesehatan jiwa yang
baik,salah satunya dengan mengatasi resiko perilaku kekerasan penderita
gangguan jiwa.
Resiko perilaku kekerasan adalah perilaku yang menyertai marah dan
merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih
terkontrol. Agresifitas merupakan bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk
menyakiti seseorang baik secara fisik maupun mental. Seseorang dengan
agresifitas akan dengan mudah melakukan hal-hal yang tidak baik seperti
mengancam, atau mengintimidasi orang lain, seperti memulai perkelahian
fisik, menggunakan senjata yang dapat menyebabkan luka fisik, memaksa
seseorang untuk melakukan aktifitas seksual (Sturmey, Allen, & Anderson,
2017).
Apabila tidak ditangani dengan tepat maka individu tersebut dapat
mencederai diri sendiri, orang lain, ataupun lingkungan. Hal ini dapat terjadi
diakibatkan karena ketidakmampuan seseorang dalam mengendalikan amarah
secara konstruktif (Prabowo, 2014). Tindakan yang dilakukan untuk
mengurangi resiko perilaku kekerasan yaitu terapi mengontrol resiko perilaku
kekerasan secara fisik seperti relaksasi dan memukul bantal (Keliat, Akemat,
Hekena, & Nurhaeni, 2011). Teknik relaksasi memiliki berbagai tujuan,
kemampuan relaksasi bertujuan membantu mengurangi keletihan dan
keraguan yang ada, dengan kemampuan itu memberi keleluasaan untuk
memutuskan penanganan situasi yang membuat stress, sehingga mampu
mengurangi kecemasan dan marah, (Candra,Harini, & Sumirta, 2017)
Hasil penelitian yang dilakukan Sutinah (2019) menunjukan pemberian
teknik relaksasi nafas dalam secara signifikan bermanfaat dalam menurunkan
kemampuan mengontrol resiko perilaku kekerasan yang sering ditandai
dengan perilaku gelisah, mondar-mandir, mata melotot, tangan mengepal, dan
berteriak. Klien setelah diberikan tindakan teknik relaksasi nafas dalam, yang
dilakukan setiap hari kognitif klien akan mengingat karena sudah menjadi
kebiasaan sehari-hari. Hasil pemberian teknik relaksasi nafas dalam dapat
meningkatkan lebih tinggi kemampuan mengontrol marah.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengambil karya
tulis ilmiah dengan judul penerapan teknik relaksasi nafas dalam terhadap
kemampuan mengontrol resiko perilaku kekerasan di yayasan RSPBM kota
pekalongan.

1.2 Rumusan Masalah


Apakah pemberian relaksasi nafas dalam dapat mengontrol resiko perilaku
kekerasan pada pasien resiko perilaku kekerasan ?

1.3 Tujuan Penulisan


Menggambarkan penerapan relaksasi nafas dalam dan meningkatkan
kemampuan mengontrol resiko perilaku kekerasan.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi Pasien
Manfaat bagi pasien adalah dapat mengontrol resiko perilaku kekerasan
dengan menerapkan relaksasi nafas dalam

1.4.2 Perkembangan Ilmu pengetahuan dan Teknologi Keperawatan


Manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan
adalah menambah pengetahuan tentang metode relaksasi nafas dalam yang
dapat digunakan perawat dalam menangani pasien dengan gangguan
resiko perilaku kekerasan.

1.4.3 Penulis Berikutnya


Manfaat bagi penulis selanjutnya adalah sebagai bahan referensi terkait
dengan penerapan relaksasi nafas dalam pada pasien resiko perilaku
kekerasan

1.4.4 Bagi Tenaga Keperawatan


Manfaat bagi tenaga keperawatan adalah dapat memberikan gambaran
terkait dengan penerapan relaksasi nafas dalam pada pasien resiko perilaku
kekerasa
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Asuhan Keperawatan Resiko Perilaku Kekerasan

2.1.1 Pengertian Resiko Perilaku Kekerasan

Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku seseorang yang menunjukan bahwa


dia dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Baik secara fisik,
emosional, seksual dan verbal. Resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri merupakan
perilaku yang rentan dimana seorang individu bisa menujukan atau mendemonstrasikan
tindakan yang membahayakan dirinya sendiri baik secara fisik, emosional maupun
seksual (NANDA,2016).
Herman dan Kamitsuru (2014), resiko perilaku kekerasan (RPK) adalah resiko
perilaku yang ditunjukan oleh seseorang yang dapat membahayakan diri sendiri atau
orang lain secara fisik, emosional, dan seksual. Masalah RPK ini merupakan salah satu
diagnosis atau masalah keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan gangguan
jiwa berat.

2.1.2 Rentan Respon

Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Violence

a. Asertif: mengemukakan pendapat/ekpresi tidak senang/tidak setuju tanpa menyakiti lawan


bicara. Hal ini menimbulkan ketegangan.
b. Frustasi : respon akibat gagal mencapai tujuan, kepuasan atau rasa aman. Individu
tidak dapat menunda sementara atau menemukan alternatif lain.
c. Pasif : perilaku yang ditandai dengan perasaan tidak mampu untuk mengungkapkan
perasaanya sebagai usaha mempertahankan hak-haknya. Merasa kurang mampu, HDR ,
pendiam, malu, sulit diajak bicara.
d. Agresif : suatu perilaku yang menyertai marah merupakan dorongan mental untuk
bertindak dan masih terkontrol.
e. Violence : rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri
sehingga dapat merusak diri dan lingkungan.

2.1.3 Pengkajian

Data yang perlu dikaji menurut Keliat (2017) terdapat dua data yaitu data subyektif dan data
obyektif. Data subyektif meliputi : Pasien mengatakan ingin berkelahi, pasien menyalahkan
dan menuntut, pasien mengatakan dendam dan jengkel, pasien mengupat dengan kata-kata
kotor, pasien mengancam, pasien meremehkan. Data obyektif meliputi : Tangan mengepal,
pandangan tajam, wajah memerah, tegang, postur tubuh kaku, rahang mengatup, dan suara
keras.

2.1.3.1 Faktor predisposisi

Stuart (2013), masalah resiko perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh adanya faktor
predisposisi (faktor yang melatar belakangi) munculnya masalah dan faktor presipitasi (faktor
yang memicu adanya masalah).

Didalam faktor predisposisi, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya


masalah resiko perilaku kekerasan, seperti faktor biologis, pisikologis, dan sosiokultural.

a. Faktor biologis
1) Teori dorongan naluri (Instinctual drive theory)
Teori ini menyatakan bahwa resiko perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
2) Teori psikomatik (psykomatic theory)
Pengalaman marah dapat diakibatkan oleh respon pisikologi terhadap stimulus
eksternal maupun internal. Sehingga, sistem limbik memiliki peran sebagai pusat
untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.
b. Faktor pisikologis
1) Teori agresif frustasi (frustacion aggresion theory)
Teori ini menerjemahkan resiko perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil
akumulasi frustasi. Hal ini dapat terjadi apabila keinginan individu untuk
mencapai sesuatu gagal atau terhambat. Keadaan frustasi dapat mendorong
individu untuk berprilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang
melalui resiko perilaku kekerasan.
2) Teori perilaku (behaviour oral theory)
Kemarahan merupakan bagian dari proses belajar. Hal ini dapat dicapai
apabila tersedia fasilitas atau situasi yang mendukung. Reinforcement yang
diterima saat melakukan kekerasan sering menimbulkan kekerasan di dalam
maupun di luar rumah.
3) Teori eksistensi (Existential theory)
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah bertindak sesuai perilaku.
Apabila kebutuhan tersebut tidak dipenuhi melalui perilaku konstruktif, maka
individu akan memenuhi kebutuhannya melalui perilaku destruktif.

2.1.3.2 Faktor presipitasi

Faktor presipitasi adalah stimulus internal maupun eskternal yang mengacam individu
(Stuart,2013). Faktor presipitasi ini disebut sebagai faktor pencetus atau situasi yang dapat
menyebabkan ansietas. Menurut Carpenito-Moyet (2010); PPNI (2016) situasi tersebut antara
lain :

a. Kebutuhan dasar manusia tidak terpenuhi seperti makanan, udara, kenyamanan dan
keamanan.
b. Situasi yang berkaitan dengan kerentanan mengancam konsep diri individu seperti :
perubahan status dan kehormatan; kegagalan atau kesuksesan; dilema etik, kehilangan
pengakuan dari orang lain, konflik dengan nilai-nilai yang diyakini.
c. Situasi yang berkaitan dengan kehilangan dengan orang yang dicintai akibat dari
kematian, perceraian, perpisahan akibat mobilisasi baik bersifat menetap maupun
sementara, konflik budaya.
d. Situasi yang berkaitan dengan ancaman integrias fisik seperti kondisi menjelang ajal,
prosedur invasif, penyakit, kekerasan fisik, kecacatan, diagnosis penyakit yang tidak
jelas , rencana tindakan operasi.
e. Situasi yang berhubungan dengan ada perubahan lingkungan sekitar akibat penjara,
pensiun, hospitalisasi, pencemaran lingkungan yang berbahaya, pengungsian, bencana
alam, dan penugasan militer.
f. Situasi yang berkaitan dengan perubahan status sosial ekonomi seperti :
pengangguran, promosi jabatan, memperoleh pekerjaan baru, dan mutasi kerja.
g. Situasi yang terkait dengan harapan-harapan yang tidak realistik.
h. Kurang pengetahuan
i. Disfungsi sistem keluarga
j. Penyalah gunaan zat
Perubahan tahap perkembangan
k. Perkembangan bayi/anak-anak: perpisahan dengan orang tua, perubahan lingkungan,
atau orang yang tidak dikenal di sekitarnya, perubahan psikologis pengasuh,
perubahan dengan teman-teman bermain.
l. Perkembangan remaja: perubahan konsep diri, perubahan dengan peer, kematian
(spesifik).
m. Perkembangan usia dewasa : berhubungan dengan pernikahan, kehamilan, peran
sebagai orang tua, perubahan karir, penuaan, keguguran, komplikasi kehamilan,
persalinan
n. Perkembangan usia lanjut : masalah keuangan, penurunan fungsi sensoris, pensiun.

2.1.3.3 Faktor resiko

NANDA (2016) Menyatakan faktor-faktor resiko dari resiko perilaku kekerasan


terhadap diri sendiri (risk of self directedbviolence) dan resiko perilaku kekerasan terhadap
orang lain (risk for other-directed violence).

a. resiko perilaku kekerasan terhadap diri sendiri (risk fo-directed violence)


1) 45 tahun
2) Usia 15-19 tahun
3) Isyarat tingkah laku (menulis cacatan cinta yang sedih, menyatakan pesan
bernada kemarahan kepada orang tertentu yang telah menolak individu
tersebut,dll)
4) Konflik mengenai orientasi seksual
5) Konflik dalam hubungan interpersonal
6) Penganggguran atau kehilangan pekerjaan (masalah pekerjaan)
7) Terlibat dalam tindakan seksual autoerotik
8) Sumber daya personal yang tidak memadai
9) Status perkawinan (sendiri, menjanda, bercerai)
10) Isu kesehatan mental (depresi, psikosis, gangguan kepribadian,
penyalahgunaan zat)
11) Pekerjaan (profesional, eksekutif, administrator, atau pemilik bisnis, dll)
12) Pola kesulitan dalam keluarga (riwayat bunuh diri, sesuatu yang bersifat
kekerasan atau konfliktuat)
13) Isu kesehatan fisik
14) Gangguan psikologis
15) Isolasi sosial
16) Ide bunuh diri
17) Rencana bunuh diri
b. Resiko perilaku kekerasan terhadap orang lain (risk for other-directed violence)
1) Akses atau ketersediaan senjata
2) Alterasi (gangguan) fungsi kognitif
3) Perlakuan kejam terhadap binatang
4) Riwayat kekerasan masa kecil, baik secara fisik, psikologis, maupun seksual
5) Riwayat penyalahgunaan zat
6) Riwayat menyaksikan kekerasan dalam keluarga
7) Impulsif
8) Pelanggaran atau kejahatan kendaraan bermotor (seperti, pelanggaran lalu lintas,
penggunaan kendaraan bermotor untuk melampiaskan amarah)
9) Bahasa tubuh negatif (seperti, kekakuan, mengepalkan tinju/pukulan,
hiperaktivitas, dll)
10) Gangguan neurologis (trauma kepala, ganggguan serangan, kejang, dll)
11) Intoksikasi patologis
12) Riwayat melakukan kekerasan tidak langsung (kencing dilantai, menyobek objek
di dinding, melempar barang, memecahkan kaca, membanting pintu, dll)
13) Pola perilaku kekerasan terhadap orang lain (menendang, memukul, menggigit,
mencakar, upaya perkosaan, memperkosa, pelecehan seksual, mengencingi orang,
dll)
14) Pola ancaman kekerasan (ancaman secara verbal terhadap objek atau orang lain,
menyumpah serapah, gestur atau catatan mengancam, ancaman seksual,dll)
15) Pola resiko perilaku kekerasan antisosial (mencuri, meminjam dengan memaksa,
penolakan terhadap medikasi, dll)
16) Komplikasi perinatal
17) Komplikasi prenatal
18) Menyalakan api
19) Gangguan psikosis
20) Perilaku bunuh diri

2.1.3.4 Tanda dan gejala

Tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan
pasien dan didukung dengan data observasi.

a. Data subyektif
1). Ungkapan berupa ancaman
2). Ungkapan kata-kata kasar
3). Ungkapan ingin memukul/melukai
b. Data obyektif
1). Wajah memerah dan tegang
2). Pandangan tajam
3).mengatupkan rahang dengan kuat
4).mengepalkan tangan
5). Bicara kasar
6). Suara tinggi,menjerit atau berteriak
7). Mondar mandir
8). Melempar atau memukul benda/orang lain
2.1.3.5 Mekanisme koping

Perawat perlu mempelajari mekanisme koping untuk membantu klien


mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam mengekspresikan marahnya.
Secara umum, mekanisme koping yang sering digunakan, antara lain mekanisme pertahaan
ego, seperti displacement, sublimasi, proyeksi, depresi, denial dan reaksi formasi.

2.1.3.6 Perilaku

Klien dengan gangguan resiko perilaku kekerasan memiliki beberapa perilaku yang
perlu diperhatikan. Perilaku klien dengan gangguan resiko perilaku kekerasan dapat
membahayakan bagi dirinya sendiri, orang lain, mapun lingkungan sekitar. Adapun perilaku
yang harus dikenal dari klien gangguan resiko perilaku kekerasan, antara lain:

a. Menyerang atau menghindari


Pada keadaan ini respons fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf otonom
bereaksi terhadap sekresi ephineprin yang menyebabkan tekanan darah
meningkat. Takikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi HCL
meningkat , peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine dan saliva meningkat,
konstipasi, kewaspadaan meningkat, disertai ketegangan otot seperti : rahang
terkatup, tangan mengepal, tubuh menjadi kaku dan disertai refleks cepat.
b. Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan kemarahanya.
Yaitu ; perilaku pasif, agresif, dan asertif . perilaku asertif merupakan cara terbaik
individu untuk mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain secara
fisik maupun psikologi. Dengan perilaku tersebut, individu juga dapat
mengembangkan diri.
c. Memberontak
perilaku yang muncul biasanya disertai kekerasan akibat konflik perilaku untuk
menarik perhatian orang lain.
d. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri,orang lain,
maupun lingkungan.
2.1.4 Diagnosa keperawatan

Pohon masalah resiko perilaku kekerasan menurut Dalami, dkk (2010) adalah sebagai
berikut:

Effect Resiko perilaku kekerasan

Core problem Gangguankonsep


Gangguan konsepdiri
diri::Harga
Hargadiri
dirirendah
renda

Causa Mekanisme koping tidak efektif

2.1.5 Perencanaan

Tindakan keperawatan untuk mencapai kemandirian pasien dengan resiko perilaku kekerasan
tidak hanya ditujukan pada pasien saja tetapi juga keluarga atau care giver. Tindakan
keperawatan juga dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Menurut Stuart (2013),
beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengontrol resiko perilaku kekerasan meliputi:
distraksi, jika dikarenakan bagian dari dampak gejala psikosis harus dengan pengobatan,
latihan asertif, latihan asertif.

Tindakan keperawatan pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan dapat dilakukan secara
individu maupun kelompok. Tindakan keperawatan yang diberikan pada pasien secara
individu sebagai berikut:

1. Strategi pelaksanaan (SP) 1: tindakan keperawatan pada pasien resiko perilaku


kekerasan yaitu:
a. Bantu pasien untuk mengenal masalahnya (penyebab, tanda dan gejala, dampak,
dan upaya yang dilakukan pasien untuk mengatasinya).
b. Jelaskan cara yang dapat dilakukan pasien untuk mengontrol resiko perilaku
kekerasan (distraksi fisik: latihan nafas dalam, pukul bantal atau kasur, kepatuhan
pengobatan, latihan asertif, melakukan kegiatan).
c. Ajarkan kepada pasien cara distraksi fisik: latihan tarik nafas dalam/pukul
bantal/pukul kasur. Prinsip tindakan yang dipilih tidak membahayakan pasien.
d. Bantu pasien menyusun jadwal kegiatan latihan tersebut.
2. Strategi pelaksanaan (SP) 2: tindakan keperawatan pada pasien resiko perilaku
kekerasan yaitu:
a. Evaluasi jadwal latihan SP 1 dan berikan pujian pada pasien.
b. Latih pasien minum obat dengan prinsip 8 benar obat (nama pasien, nama obat,
dosis obat, waktu minum obat, cara meminum obat, benar manfaat atau respon,
benar dokumentasi, benar informasi obat).
c. Bantu pasien menyusun jadwal kegiatan latihan distraksi fisik dan kepatuhan
minum obat.
3. Strategi pelaksanaan (SP) 3: tindakan keperawatan pada pasien resiko perilaku
kekerasan yaitu:
a. Evaluasi hasil kegiatan harian pasien sesuai SP 1 dan SP 2 serta berikan pujian
pada pasien.
b. Latih pasien cara berbicara dengan asertif.
c. Bantu pasien menyusun jadwal kegiatan latihan berbicara asertif.
4. Strategi pelaksanaan (SP) 4: tindakan keperawatan pada pasien resiko perilaku
kekerasan yaitu:
a. Evaluasi hasil kegiatan harian pasien sesuai SP 1, SP 2, dan SP 3 serta berikan
pujian pada pasien.
b. Latih pasien untuk melakukan 2 aktivitas harian untuk mengontrol resiko perilaku
kekerasan.
c. Bantu pasien menyusun jadwal kegiatan 2 aktivitas harian.
d. Berikan pujian.

2.2 Terapi Relaksasi Nafas Dalam

2.2.1 Pengertian

Relaksasi merupakan perasaan bebas secara fisik maupun mental dari ketergantungan atau
stress yang membuat individu memiliki rasa kontrol terhadap dirinya. Relaksasi nafas dalam
adalah pernafasan pada abdomen dengan frekuensi lambat serta perlahan, berirama, dan
nyaman dengan cara memejamkan mata saat menarik nafas. Efek dari terapi ini ialah distraksi
atau pengalihan perhatian (Setyoadi dkk, 2011). Teknik relaksasi nafas dalam merupakan
suatu teknik yang digunakan untuk menurunkan tingkat stress dan nyeri kronis. Teknik
relaksasi nafas dalam memungkin pasien mengendalikan respons tubuhnya terhadap
ketegangan dan kecemasan. Teknik relaksasi nafas dalam dilakukan dapat menurunkan
konsumsi oksigen, metabolisme, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, tegangan otot dan
tekanan darah (Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2011: 314)

2.2.2 Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi: Klien resiko perilaku kekerasan dengan tanda dan gejala gelisah, jalan
mondar- mandir, suka membentak, bicara menguasai, kesal dengan seseorang, suka
merampas barang milik orang lain dan nada suara tinggi.

Kontraindikasi : klien dengan masalah harga diri rendah,isolasi sosial dan resiko perilaku
kekerasan.

2.2.3 Prosedur

a) Tahap pra interaksi


Ciptakan lingkungan dan suasana yang nyaman.
b) Tahap orientasi
1) Salam terapeutik
2) Memperkenalkan diri
3) Jelaskan tujuan prosedur
4) Kontrak waktu
5) Meminta persetujuan klien
c) Tahap kerja
1. Posisi duduk dapat bersandar dikursi, duduk bersila, maupun ditempat
tidur (posisi rileks).
2. Pejamkan mata (boleh dilakukan tanpa memejamkan mata).
3. Tarik nafas lewat hidung ditahan 3-5 detik kemudian hembuskan lewat
mulut kuat dan pelan.
4. Ulangi 3-5 kali atau sampai dengan pasien/ klien merasalebih tenang.
d) Tahap terminasi
1. Evaluasi hasil
2. Dokumentasikan
BAB 3

METODOLOGI

3.1 Rancangan Studi Kasus


Rancangan penulisan dalam karya tulis ilmiah ini adalah studi kasus, studi kasus merupakan
sebuah rancangan penelitian yang mencakup pengkajian satu unit penelitian secara intensif
misalnya satu pasien, keluarga, kelompok, komunitas, dan institusi (Nursalam,2016). Tujuan
dari studi kasus adalah untuk mendapatkan data pengkajian yang terperinci dengan responden
yang sedikit. Rancangan studi kasus karya tulis ilmiah ini Penerapan Teknik Relaksasi Nafas
Dalam pada Pasien Resiko Perilaku Kekerasan.

3.2 Subyek Studi Kasus


Karya tulis ilmiah ini menggunakan dua pasien resiko perilaku kekerasan dengan kriteria
inklusi : klien dengan resiko perilaku kekerasan yang bersedia menjadi responden. Sedangkan
kriteria eksklusi yaitu pasien yang tidak bersedia menjadikan responden.

3.3 Fokus Studi Kasus


Fokus studi yang diterapkan adalah penerapan intervensi teknik relaksasi nafas dalam pada
pasien resiko perilaku kekerasan.

3.4 Definisi Operasional Fokus Studi


3.4.1 Resiko perilaku kekerasan, suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri, maupun orang lain, disertai
dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol

3.4.2 Relaksasi nafas dalam, suatu tindakan yang diajarkan oleh perawat kepada pasien
tentang cara mengatur pernafasan. Cara melakukan relaksasi nafas dalam yaitu pejamkan
mata, usahakan untuk berkonsentrasi. Tarik nafas melalui hidung secara perlahan dan
mendalam kemudian hitung dalam hati “satu, dua, tiga”. Hembuskan melalui mulut dan
membentuk huruf “O” lalu buka mata secara perlahan, ulangi sebanyak tiga kali.

3.5 Prosedur Pengumpulan Data dan Instrumen


Prosedur pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan observasi. Wawancara
dilakukan dengan perawat yayasan RSPBM, pasien gangguan resiko perilaku kekerasan, dan
keluarga pasien. Kemudian observasi dilakukan untuk memperoleh hasil pengkajian secara
langsung dengan pasien gangguan resiko perilaku kekerasan tentang tanda dan gejala yang
dialami pasien resiko perilaku kekerasan. Alat yang digunakan yaitu lembar pengkajian, alat
tulis, SOP relaksasi nafas dalam dan lembar evaluasi kegiatan.

3.7 Lokasi Dan Waktu Pengambilan Kasus


Studi kasus dilakukan di yayasan RSPBM kota pekalongan, waktu yang digunakan dalam
studi kasus selama 1 (satu) minggu.

3.8 Pengolahan Dan Penyajian Data


3.8.1 Pengolahan Data

Pengolahan data yang ditulis yaitu dengan menggunakan prinsip keperawatan berupa
pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi. Data studi kasus ini diambil dari
observasi langsung, wawancara, selanjutnya diolah dan dikaji terkait kasus tersebut,
kemudian penyusunan intervensi dan dilakukan relaksasi nafas dalam pada pasien resiko
perilaku kekerasan.

3.8.2 Penyajian Data

Penyajian data yang disajikan yaitu menjelaskan serta menggambarkan hasil dari reisiko
perilaku kekerasan di yayasan RSPBM, data yang dikumpulkan berupa subyektif dan
obyektif pasien, keluarga, pemerikasaan fisik maupun dari hasil data penunjang.

3.9 Etika Studi Kasus

Nursalam (2017) menyatakan etika dalam pengumpulan data terdiri dari 3 bagian yaitu:

a. Prinsip Manfaat

1) Bebas dari penderitaan

Dalam melakukan penelitian tidak membahayakan atau menimbulkan penderitaan pada


subjek yang diteliti terutama jika melakukan tindakan khusus.

2) Bebas dari eksploitasi

Dalam melakukan penelitian subjek harus dihindarkan dari yang tidak menguntungkan serta
informasinya tidak disalahgunakan dalam hal apapun yang dapat merugikan subjek.
3) Resiko

Peneliti harus mempertimbangkan segala resiko dan keuntungan yang dapat berakibat ke
subjek ketika melakukan tindakan.

b. Prinsip menghargai hak asasi manusia

1) Hak asasi untuk ikut/tidak ikut menjadi responden

Subjek harus diperlakukan secara manusiawi, subjek bebas untuk memutuskan untuk
bersedia untuk dijadikan responden atau tidak tanpa adanya sanksi apapun.

2) Hak untuk mendapatkan jaminan dan perlakuan yang diberikan

Peneliti harus menjelaskan secara terperinci dan tanggung jawab jika terjadi sesuatu pada
subjek.

3) Informed consen

Peneliti harus memberikan informasi mengenai tujuan dilakukan penelitian dan subjek berhak
untuk memutuskan akan berpartisipasi atau menolak dijadikan responden. Didalam informed
consen harus mencantumkan bahwa data yang diperoleh semata-mata hanya akan
dipergunakan untuk pengembangan ilmu.

c. Prinsip keadilan

1) Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil

Subjek yang tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian harus diperlakukan adil sebelum,
selama, dan sesudah keikutsertaanya dalam penelitian tanpa adanya deskriminasi atau
membeda-bedakan.

2) Hak dijaga kerahasiaanya

Subjek memiliki hak untuk menjaga kerahasiaan dari data yang diberikan dengan tidak
mencantumkan nama terang (anonymty) dan rahasia (confidentiality)
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B. A. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Course).


Jakarta: EGC

Kusumawati F dan Hartono, Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika Kelliat, B.A. (2012). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC

Nurhasan, D. Pengaruh Terapi Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Tingkat Perilaku


Kekerasan. http://pustaka.unpad.ac.id/archives/1245644

Nursalam. (2016). Metode Penelitian Ilmu Keperawatan : Pendekatan Praktis. Jakarta :


Salemba Medika

Riskesdas, R. K. D. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI.

Struart.G.W. (2013). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Sumirta, D. (2013). Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Pengendalian Marah Klien Dengan
Perilaku Kekerasan. http://poltekkesdenpasar.ac.id/files/JURNAL%20GEMA
%20KEPERAWATAN/JUNI%202014/Nengah%20Sumirta,%20dkk.pdf

Anda mungkin juga menyukai