Anda di halaman 1dari 7

PEMERIKSAAN FISIK DAN DIAGNOSTIK PADA PASIEN PENURUNAN

KESADARAN

RESUME

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II

Dosen Pengampu

Dede Nur Aziz Muslim S.Kep., Ners., M.Kep

Oleh

Mutia Maudina

191FK01078

2C

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
2021
A. Pemeriksaan Fisik Pada Pasien Penurunan Kesadaran
Pemeriksaan dimulai dari inspeksi langsung terhadap pasien dalam keadaan
istirahat. Pemeriksaan umum meliputi pemeriksaan kesan umum, kesadaran, tipe
badan, kelainan kongenital, tanda-tanda vital, kepala, leher, toraks, abdomen,
ekstremitas, sendi, otot, kolumna vertebralis, dan gerakan leher/ tubuh. Pemeriksaan
kesan umum menilai kondisi pasien secara subjektif. Range penilaian antara lain baik,
sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat. Beberapa indikator yang dapat digunakan
antara lain cara kemampuan berbicara atau berinteraksi dengan lingkungan, mobilisasi
pasien (aktif/ pasif ), gejala, dan atau tanda penyakit yang diderita oleh pasien.
Setelah pemeriksaan umum dilakukan pemeriksaan kesadaran, dinilai secara
kualitatif dan kuantitatif (vide supra).
Tingkat kesadaran secara kualitatif dapat dibagi menjadi kompos mentis,
apatis, somnolen, stupor, dan koma. Pemeriksa memberi stimulus yang adekuat
dimulai dengan stimulus auditorik. Pemeriksa memanggil nama pasien dengan suara
keras, diasumsikan pasien tuli dan meminta pasien untuk membuka mata. Jika dengan
stimulus auditori tidak ada respons, diberikan stimulus taktil. Jika stimulus taktil tidak
menimbulkan respons, diberikan stimulus nyeri namun tidak membuat trauma.
Manuver yang direkomendasikan antara lain penekanan pada supraorbital ridge kulit,
di bawah kuku, sternum, dan ramus mandibularis.
Pemeriksaan menilai tipe badan pasien, apakah tipe astenis/atletis/piknis, juga
apakah ada kelainan kongenital. Dilanjutkan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital
yang meliputi pengukuran tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan, dan skala nyeri.
Peningkatan tekanan darah bisa menunjukkan adanya peningkatan tekanan
intrakranial atau stroke.
Pemeriksaan kepala, leher, toraks, abdomen, ekstremitas, sendi, otot, kolumna
vertebralis dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi untuk
mengetahui adanya tanda trauma atau kondisi lain. Pada pemeriksaan kepala dapat
ditemukan tanda adanya fraktur, hematoma, dan laserasi. Pemeriksaan toraks meliputi
pemeriksaan paru dan jantung. Pola pernapasan perlu diperhatikan dengan seksama
karena dapat memberikan petunjuk mengenai fungsi batang otak.
Berikut adalah pola pernapasan abnormal :
A. Pernapasan Cheyne-Stokes
Pernapasan Cheyne-Stokes merupakan variasi berulang antara periode
hiperventilasi dengan apnea. Pola pernapasan ini merupakan pola yang
tidak spesifi k, dapat terlihat pada gangguan kedua hemisfer serebri atau
pada gangguan sistemik seperti pada Congestive Heart Failure (CHF) dan
hipoksia. Jika pasien tidak bisa bernapas volunter selama fase apnea atau
memperlambat pernapasan selama fase takipnea, penyebabnya lebih sering
disebabkan oleh gangguan serebral.
B. Central Hyperventilation
Centeral Hyperventilation merupakan pernapasan yang dalam, cepat,
dan teratur. Pola pernapasan ini merujuk pada lesi batang otak, di antara
midbrain dan pons. Pola pernapasan ini sering menyebabkan hipokapnea
dan alkalosis.
C. Pernapasan Apneustik
Pernapasan Apneustik merupakan per napasan dengan jeda tidak
bernapas 2–3 detik di akhir inspirasi dan kadang terdapat di akhir
ekspirasi. Pola pernapasan ini menunjukkan lesi di tengah sampai kaudal
bagian pons, paling sering disebabkan oleh oklusi arteri basilaris.
D. Pernapasan Ataksik
Pernapasan Ataksik merupakan pola pernapasan yang tidak teratur dan
tidak terprediksi, terdapat pernapasan dalam dan dangkal, sering didahului
periode apnea; merupakan tanda bahaya karena menunjukkan lesi di
medula spinalis dan/atau merupa kan manifestasi akhir herniasi.
Berikut ini merupakan pemeriksaan fisik pada pasien dengan penurunan
kesadaran antara lain :
1. Pemeriksaan Neurologis
Setelah pemeriksaan umum, dilanjutkan dengan pemeriksaan neurologi.
Pemeriksaan neurologi pada pasien koma memerlukan observasi lebih teliti dan
pemberian stimulus yang adekuat. Pemeriksaan membuka selimut ataupun pakaian
yang menutupi ekstremitas atas dan bawah untuk observasi. Dilakukan inspeksi
apakah ada gerakan spontan seperti gerakan ritmik yang mungkin menandakan
adanya kejang.
2. Pemeriksaan Saraf Kranial
Pemeriksaan saraf kranial bermakna untuk menilai refl eks. Pemeriksaan
fungsi batang otak meliputi pemeriksaan pupil (ukuran, simetris, dan reaktivitasnya),
refl eks kornea, pemeriksaan doll’s eyes movement/refl eks okulosefalik jika tidak ada
kecurigaan terhadap trauma servikal, refl eks vestibulookular/ pemeriksaan kalorik,
gag refl ex, serta refl eks muntah dan batuk.
Observasi kedua mata untuk melihat adanya gerakan spontan atau
diskonjugasi bola mata. Pemeriksaan refl eks cahaya langsung dilakukan satu per satu
pada kedua mata. Perbedaan respons terhadap refl eks cahaya langsung dan/atau
diameter pupil menandakan disfungsi pupil. Disfungsi pupil lebih sering disebabkan
oleh gangguan struktural seperti perdarahan dan infark. Dilatasi pupil unilateral
menunjuk kan adanya penekanan nervus III akibat herniasi lokal ipsilateral atau
adanya lesi massa. Pupil kecil dan tidak reaktif menunjukkan adanya gangguan batang
otak. Dilatasi pupil dan tidak reaktif terjadi pada anoksia berat atau kerusakan
midbrain atau kompresi fokal nervus okulomotorius. Pinpoint pupils menandakan
kerusakan pons yang biasa nya disebabkan oleh perdarahan/infark.
Pada funduskopi, dapat ditemukan papilledema menandakan peningkatan
tekanan intrakranial, dan/atau perdarahan retina. Gerakan bola mata diperiksa
menggunakan dua maneuver, yaitu OculoCephalic Refl ex (OCR) atau Doll’s Eyes
Manuever dan OculoVestibular Refl ex (OVR) atau Cold Caloric Test.
3. Pemeriksaan OCR
Pemeriksaan OCR dilakukan jika sudah dipastikan tidak ada trauma servikal.
Pada pemeriksaan ini kepala pasien diputar secara horizontal, cepat dan berhenti
sesaat pada posisi terjauh. Yang diobservasi adalah gerakan bola mata selama 1 menit.
Pada fungsi batang otak yang masih normal bola mata akan bergerak berlawanan
dengan arah gerakan.
Roving eye movement menandakan adanya gangguan metabolik atau toxic
encephalopathy atau adanya lesi bilateral di atas batang otak. Gerakan bola mata
“ping-pong” merupakan variasi roving eye movement, berupa gerakan mata
horizontal repetitif/bolak-balik dengan pause selama beberapa detik di posisi lateral.
Gerakan bola mata ini dapat menunjukkan lesi struktural vermis serebelar. Upward or
downward beating eye movement merupakan gerakan nistagmus vertikal, sering
menandakan disfungsi batang otak bagian bawah. Retraction nystagmus menandakan
adanya lesi tegmentum. Ocular bobbing adalah gerakan menyentak bola mata yang
cepat dan kuat ke arah bawah dengan gerakan lambat saat bola mata kembali ke posisi
tengah; merupakan tanda khas lesi ponto-medullary junction.
Berikutnya adalah pemeriksaan OVR. Pastikan patensi external auditory canal.
Bersihkan lubang telinga dari serumen atau debris. Pastikan membran timpani masih
dalam keadaan intak. Kepala pasien diangkat 300 . Air dingin dialirkan ke dalam
salah satu external auditory canal selama 60 detik. Kemudian observasi pergerakan
bola mata.
Pada batang otak normal, bola mata akan berdeviasi berlawanan dengan
telinga yang dialiri air dingin, kadang disertai nistagmus dengan komponen cepat ke
arah berlawanan dari telinga yang dialiri air dingin. Jika lesi terletak di batang otak
bagian bawah maka tidak ada pergerakan bola mata pada segala macam stimulus
seperti pada kasus kematian batang otak.
4. Pemeriksaan Refleks
Setelah pemeriksaan terhadap mata, selanjutnya dilakukan pemeriksaan
refleks. Pemeriksaan refleks meliputi pemeriksaan refleks kornea, refleks batuk,
refleks fisiologis, dan refleks patologis. Pada pemeriksaan refleks kornea, pemeriksa
menggoreskan ujung kapas secara lembut atau meniupkan udara ke kornea. Refl eks
dinyatakan positif jika mata berkedip saat dilakukan pemeriksaan.
Pemeriksaan refleks muntah dan batuk dilakukan menggunakan kateter isap
yang dimasukkan ke dalam trakea. Refleks di nyata kan positif jika pasien muntah dan
batuk. Selanjutnya diperiksa dua refleks lagi, yaitu refleks fisiologis dan refleks
patologis anggota gerak. Pemeriksaan refleks fi siologis meliputi tendon biseps,
triseps, patella, dan Achilles. Adanya hiperrefleks menandakan adanya lesi upper
motor neuron (UMN). Kemudian pemeriksaan refleks patologis meliputi Babinski,
Chaddock, Oppenheim, Gordon, Schaeff er, dan Hoff mann-Tromner. Adanya refleks
patologis menandakan lesi UMN.
B. Pemeriksaan Dignostik Pada Pasien Penurunan Kesadaran
Pemeriksaan diagnostik dilakukan jika penyebab koma masih belum bisa
ditegakkan. Pemeriksaan diagnostik yang bisa dilakukan antara lain pemeriksaan
darah lengkap, pemeriksaan gula darah sewaktu, analisis gas darah, CT Scan tanpa
kontras, CT angiography, Magnetic Resonance Imaging (MRI), pungsi lumbal, dan
EEG. Berikut ini merupakan Pemeriksaan Diagnostik pada pasien yang mengalami
penurunan kesadara antara lain :
1. CT Scan
CT Scan tanpa kontras biasa dipergunakan untuk identifi kasi awal penyebab
koma dan pada keadaan darurat. Lesi hipodens fokal menandakan adanya
kemungkinan infark serebral, perdarahan intrakranial, massa intrakranial, edema
otak, dan hidrosefalus akut. Jika dicurigai ada infeksi sistem saraf pusat,
khususnya meningitis bakterial akut, antibiotik dan deksametason diberikan
sebelum CT Scan kepala dan pungsi lumbal.
CT Scan kepala dengan atau tanpa kontras juga dilakukan untuk evaluasi
adanya massa intrakranial sebelum pungsi lumbal. Pungsi lumbal dilakukan jika
curiga infeksi sistem saraf pusat, infl amasi, dan komplikasi limfoma atau kanker
lainnya. Pungsi lumbal harus dilakukan jika klinis dicurigai adanya perdarahan
subaraknoid, tetapi tidak terlihat pada CT Scan otak.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) memberikan visualisasi jaringan lunak
lebih baik seperti batang otak dan struktur serebelum. Jika pasien dicurigai
menderita stroke iskemik atau penyebab koma masih belum diketahui dengan
pemeriksaan lain, dapat dilakukan MRI otak.
3. Electroencephalogram (EEG)
Electroencephalogram (EEG) memberikan gambaran fungsi umum korteks.
EEG bermanfaat untuk mendiagnosis nonconvulsive status epilepticus dengan
riwayat kejang atau pasien kejang saat pemeriksaan fisik, dan untuk pemantauan
gangguan kesadaran yang disebabkan non-convulsive status epilepticus. Jika ada
kelainan metabolik akan terlihat perlambatan gelombang. EEG tidak diperlukan
untuk penentuan kematian batang otak.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view
https://jurnal.fk.umi.ac.id/index.php/umimedicaljournal/article

Anda mungkin juga menyukai