Anda di halaman 1dari 25

MODUL 1 Kelainan Non – Neoplastik Saluran Pernafasan Atas

SKENARIO 1 : Suara Serak Andi

Andi, laki-laki, usia 30 tahun bekerja sebagai pengamen datang ke Poliklinik THT
dengan keluhan suara serak sejak 3 bulan yang lalu. Keluhan disertai dengan adanya batuk dan
pilek. Andi juga mengeluh tenggorokannya sakit dan terasa kering sejak 2 bulan yang lalu. Andi
menyangkal adanya riwayat pengobatan intensif selama 6 bulan. Andi memiliki kebiasaan
merokok dari sejak kelas 1 SMP 1 – 2 bungkus/hari. Saat ini Andi datang dengan keadaan sudah
tidak demam, tetapi suara serak dan tenggorokan sakit masih dirasakan. Riwayat asma disangkal,
Tidak ada anggota keluarga Andi yang memiliki riwayat penyakit yang sama. Dari hasil
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum: Baik, Kesadaran: Compos Mentis, tanda vital
tekanan darah: 110/70 mmHg, Frekuensi nadi: 82x/menit, Pernafasan: 22x/menit, Suhu: Afebris,
Pemeriksaan status lokalis didapatkan cavum oris mukosa lembab lidah normal, gigi geligi
normal, uvula tenang, ditengah pilar simetris +/+ halitosis (-), tonsil mukosa besar kripta detritus
perlengketan hiperemis (-/-) T1 T1, tidak melebar -/- -/, Faring mukosa granula post nasal drip
hiperemis (-) (-), Laring: Epiglotis kartilago arytenoid, plika vestibularis, plika vokalis, plika
aryepiglotika, Rima glotistrakea Bentuk normal, hiperemis, edema (+), putih, massa (-),
hiperemis (+) Massa (-), tidak ada deviasi trakea(-), Dokter akan menganjurkan pemeriksaan
penunjang berupa foto leher AP. Bagaimana Anda menjelaskan kondisi Andi?

Jump 1 : Terminologi
1. Cavumoris : rongga mulut
2. pilarsimetris : kedua arcus pembentuk pilar disisi kanan kiri simetris tidak ada
kelainan.
3. halitosis : bau mulut
4. kripta detritus : kumpulan leukosit bakteri yang mati dan epitel yang terlepas yang
terperangkap di lekukan kripta (amanndel)

Jump 2 : Rumusan Masalah


1. Apa saja yang termasuk kelainan non neoplastik saluran pernafasan atas?
2. Apa yang dapat menyebabkan suara serak?
3. Apa saja yang dapat menyebabkan batuk pada Andi?
4. Apa yang dapat menyebabkan pilek pada Andi?
5. Apa yang bisa menyebabkan tenggorokan terasa kering?
6. Apa yang dapat menyebabkan tenggorokan Andi terasa sakit?
7. Apa yang menyebabkan demam pada Andi sebelumnya?
8. Apakah terdapat hubungan pekerjaan Andi sebagai pengamen dengan keluhan yang ia
rasakan?
9. Apakah terdapat hubungan antara kebiasaan merokoknya sejak kelas 1 SMP dengan
keadaan yang dirasakannya?
10. Apa interpretasi dari ttv, td : 110/70 hr : 82 rr: 22x suhu afebris?
11. Apa interpretasi dari pemeriksaan status lokalis?
12. Apa saja pemeriksaan penunjang pada kasus Andi?

Jump 3 : Hipotesa

1. Laryngitis, tonsilitis, faringitis, difteri, polipnasi, rinitisalergi, sinusitis paranasalis,


hipertropi adenoid.
2. Faktor-faktor yang memberikontribusi untuk terjadinya suara serak selain dari gap glottis
juga ketidak seimbangan antara tegangan dan massa plika vokalis serta ketidak
seimbangan antara glottis dan aliran udara ekspirasi. Penebalan plika vokalis dapat
menyebabkan disfungsi plika vokalis, suara serak dan perubahan nada. Beberapa
penyebab disfonia adalah peradangan laring, nodul pada plika vokalis, hipotiroid, trauma
termasuk di dalamnya pembedahan dan paralisis plika vokalis.
3. Dikarenakan pasien merokok, sehingga terpapar dengan asap yang menimbulkan respon
inflamasi berupa batuk. Dan juga dari pekerjaan pasien sebagai pengamen bisa jadi
pasien sering terpapar dengan asap rokok.
4. Infeksi saluran napas atas, laringitis juga dapat disebabkan virus para influenza, dan
dikarenakan adanya infeksi virus maka akan memicu responimun yang berupa batuk
pilek. Pilek akan mengeluarkan benda asing (bakteri, virus, partikel debu) yang berusaha
masuk kesal napas.
5. Karena dehidrasi, alergi, radang tenggerokan, flu, dan GERD.
6. Karena terjadi inflamasi di laringnya.
7. Karena terjadi inflmasi akut pada laring Andi.
8. Faktor resiko laringitis: penggunaan suara secara berlebih atau bernyanyi berlebihan juga
dapat menyebabkan laringitis kronis serta seiring bertambahnya usia, pita suara juga
dapat kehilangan kemampuan untuk bergetar, dan membuat lebih rentan terhadap
laringitis kronik.
9. Pada seseorang yang telah terdiagnosis menderita laringitis kronik apabila secara kontinu
merokok akan mengakibatkan iritasi mukosa saluran nafas atas dan merangsang kelenjar
mukus untuk memproduksi mukus secara berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas.
10. Interpretasi pemeriksaan tanda vital normal
11. Terjadi inflamasi pada laring ditandai dengan pembengkakan, hiperemis dan rasa sakit
tenggerokan.
12. Laringos kopi, foto rontgem soft tissue leher AP, foto thoraks AP, dan pemeriksaan
laboratorium darah lengkap.

Jump 4 : Skema
Jump 5 : Learning Objective

Kelainan Non Neoplastiksal napas


1. Infeksi (etiologi, manifestasiklinis, patofisiodanTatalaksana)
a. Difteri
b. Sinusitis paranasalis
c. Tonsilitis, faringitis, laringitis
d. Absesperitonsil

2. Corpus aleinum

3. Alergi

Jump 7 : Sharing Information

Kelainan Non Neoplastiksal napas


1. INFEKSI (ETIOLOGI, MANIFESTASIKLINIS, PATOFISIO DAN TATALAKSANA)
A. Difteri
a. Definisi
Difteri merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri basil gram positif
Corynebacterium diphteriae. Strain nontoksigenik juga dapat menyebabkan penyakit,
tetapi tidak seberat akibat strain toksigenik. Difteri menjadi salah satu penyakit infeksi
yang paling ditakuti karena dapat menjadi epidemik dengan case fatality rate (CFR)
tinggi, terutama pada anak-anak. Sejak tahun 2011 – 2015, Indonesia telah menjadi
negara dengan insidens difteri tertinggi kedua di dunia, yaitu sebanyak 3203 kasus.

b. Epidemiologi
Penyakit difteri terdapat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara tropis dengan
penduduk padat dan cakupan imunisasi rendah. Penularan melalui kontak dengan karier
atau individu terinfeksi. Bakteri ditularkan melalui kontak droplet seperti batuk, bersin,
ataupun kontak langsung saat berbicara. Manusia merupakan karier asimptomatik dan
berperan sebagai reservoir C. diphteriae. Transmisi melalui kontak dengan lesi kulit
individu terinfeksi jarang terjadi. Difteri umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Menurut WHO, Asia Tenggara merupakan wilayah dengan insidens tertinggi di dunia
khususnya pada tahun 2005.6 Indonesia menempati urutan kasus difteri terbanyak kedua
setelah India, yaitu 3203 kasus. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016,
jumlah kasus difteri sebanyak 415 kasus dengan kasus meninggal 24 kasus, sehingga
CFR difteri mencapai 5,8%. Kasus terbanyak di Jawa Timur (209 kasus) dan Jawa Barat
(133 kasus). Dari seluruh kasus difteri, sebanyak 51% pasien tidak mendapat vaksinasi
sebelumnya. Pada tahun 2016, 59% kasus difteri terjadi pada kelompok umur 5-9 tahun
dan 1-4 tahun
.
c. Etiologi
Corynebacterium diphteriae merupakan bakteri basil gram positif anaerob. Produksi
toksin terjadi hanya jika bakteri terinfeksi (mengalami lisogenisasi) oleh virus spesifik
(bakteriofage) yang membawa informasi genetik untuk toksin (gen tox). Hanya strain
toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit berat. Masa inkubasi bakteri ini biasanya 2-
5 hari (1-10hari). C. diphteriae dapat diklasifikasikan menjadi beberapa biotipe, yaitu
intermedius, gravis, mitis, dan belfanti. Semua biotipe ini telah ditemukan dalam bentuk
toksigenik.

d. Patogenesis
Difteri diawali oleh masuknya C. diphtheriae ke dalam hidung atau mulut dan
terlokalisasi pada permukaan mukosa saluran pernapasan atas (mata dan genitalia juga
dapat menjadi tempat lokalisasi bakteri). Setelah periode inkubasi 2-4 hari, strain difteri
yang terinfeksi (mengalami lisogenisasi) dapat menghasilkan toksin. Toksin awalnya
diserap ke dalam membran sel target melalui ikatan reseptor pada permukaan sel dan
mengalami endositosis. Toksin ini terdiri atas 2 komponen, yaitu subunit A dan subunit
B. Subunit B berperan dalam pengikatan reseptor sedangkan subunit A merupakan
komponen toksin yang enzimatik aktif. Setelah mengalami endositosis, subunit A akan
menghambat sintesis protein sel. Selain itu, dengan adanya kalsium dan magnesium,
toksin difteri dapat menyebabkan fragmentasi DNA melalui mekanisme nuclease-like
activity. Akibatnya, terjadi sitolisis.

e. Klinis
Infeksi difteri dapat melibatkan berbagai lokasi membran mukosa. Untuk kepentingan
klinis, difteri dapat diklasifikasikan menurut lokasi anatomis penyakit, yaitu :
1) Difteri Hidung
Awitan difteri hidung sulit dibedakan dari common cold, biasanya ditandai oleh
sekret hidung mukopurulen (mukus dan pus) yang dapat disertai bercak darah.
Pseudomembran putih biasanya terbentuk di septum nasi. Penyakit ini biasanya
ringan karena absorpsi sistemik toksin di lokasi ini buruk dan dapat diterminasi
dengan cepat oleh terapi antitoksin difteri dan antibiotik.
2) Difteri Tonsil dan Faring
Lokasi paling sering infeksi difteri adalah faring dan tonsil. Infeksi di lokasi ini
biasanya berhubungan dengan absorpsi sistemik sejumlah besar toksin. Gejala awal
berupa malaise, nyeri tenggorokan, anoreksia, dan demam low-grade (<101°F).
Dalam 2-3 hari, terbentuk membran putih-kebiruan dan meluas dengan ukuran
bervariasi. Pseudomembran berwarna hijau-keabuan atau hitam jika telah terjadi
perdarahan. Mukosa sekitar pseudomembran tampak eritema. Pseudomembran yang
luas dapat berakibat obstruksi saluran napas. Pasien dengan penyakit berat dapat
mengalami edema di area submandibular dan leher bagian anterior sepanjang area
limfadenopati, sehingga menunjukkan gambaran ”bullneck ”. Jika toksin yang
diserap tubuh cukup banyak, pasien sangat lemah, pucat, takikardi, stupor, koma, dan
bahkan meninggal dalam 6-10 hari.
3) Difteri Laring
Dapat terjadi akibat penyebaran dari faring atau infeksi langsung. Gejala meliputi
demam, suara serak, dan batuk rejan. Pseudomembran dapat menyebabkan obstruksi
saluran napas, koma, dan kematian.
4) Difteri Kulit
Infeksi kulit cukup banyak terjadi di daerah tropis dan mungkin berhubungan dengan
tingginya imunitas alami di populasi. Infeksi kulit dapat bermanifestasi sebagai ruam
berskuama atau ulkus dengan tepi tegas disertai membran. Pada umumnya,
organisme yang diisolasi dari kasus di Amerika Serikat merupakan strain non-
toksigenik. Derajat lesi kulit yang disebabkan strain toksigenik lebih ringan
dibandingkan di lokasi lain di tubuh.
5) Difteri Tempat Lain
C. diphtheriae dapat menyebabkan infeksi mukokutaneus di tempat lain, seperti
telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulen dan ulseratif) dan traktus
genitalis (vulvovaginitis purulen dan ulseratif). Tanda klinis terdapat ulserasi;
membran dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteria dari penyebab
bakteri lain atau virus. Difteria mata dengan lesi konjungtiva berupa kemerahan,
edema, dan membran pada konjungtiva palpebra. Di telinga berupa otitis eksterna
dengan sekret purulen dan berbau.

f. Tatalaksana
Tatalaksana difteri bertujuan untuk menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphteriae
menggunakan antibiotik. Setelah diagnosis klinis, harus diambil spesimen untuk kultur
dan pasien diisolasi ketat. Pasien yang dicurigai difteri harus diberi antitoksin dan
antibiotik dengan dosis adekuat. Tatalaksana suportif pernapasan dan jalan napas harus
diberikan jika dibutuhkan.
1) Serum Antitoksin Difteri (ADS)
Pemberian antitoksin sebaiknya didasarkan pada lokasi dan ukuran membran, derajat
toksisitas, dan durasi penyakit (Tabel). Tatalaksana segera penting untuk membatasi
kerusakan jaringan. Dosis antitoksin adekuat harus diberikan secara intravena
sesegera mungkin untuk menetralisir toksin bebas. Uji sensitivitas serum kuda
(antitoksin difteri) harus dilakukan sebelum pemberian; secara intradermal 0,02-0,1
mL serum antitoksin diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:100. Hasil positif bila dalam
10-30 menit terjadi pembengkakan. Apabila tidak terjadi reaksi, serum antitoksin
dapat diberikan sekaligus secara intravena.8 Pemberian ADS intravena dalam larutan
garam fisiologis atau 100 mL glukosa 5% dalam 1-2 jam. Kemungkinan efek samping
obat/reaksi diamati selama pemberian antitoksin dan 2 jam berikutnya. Juga perlu
dipantau terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness). Bila ada riwayat
alergi, harus diputuskan apakah serum hewan tetap akan diberikan. Apabila harus
tetap diberikan, dapat digunakan cara desensitisasi; sediakan epinefrin 1:1000 siap
pakai di dalam semprit untuk antisipasi reaksi anafilaksis.8

2) Antibiotik
Penisilin G prokain diberikan secara IM sekali sehari (300.000 Unit/hari untuk berat
badan 10 kg dan 600.000 Unit/hari untuk berat badan >10 kg) selama 14 hari atau
eritromisin oral atau injeksi (40 mg/kg/hari dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV,
maksimum 2 gram/ hari) selama 14 hari. Penyakit ini biasanya tidak menular 48 jam
setelah pemberian antibiotik. Eliminasi kuman dibuktikan dengan dua kali kultur
dengan hasil negatif 24 jam setelah terapi antibiotik selesai dan keadaan
memungkinkan.

3) Tatalaksana Suportif
Pasien harus tirah baring total dan makanan disesuaikan keadaan pasien. Evaluasi
terutama status respiratorik sedikitnya setiap 3 jam oleh perawat dan 2 kali/hari oleh
dokter. Pasien harus ditempatkan dekat perawat, agar obstruksi jalan napas dapat
dideteksi sesegera mungkin. Intubasi atau trakeostomi dilakukan jika terjadi tanda
obstruksi jalan napas disertai gelisah. Alternatif lain adalah intubasi orotrakeal, tetapi
bisa menyebabkan terlepasnya membran, sehingga gagal mengurangi obstruksi.
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) serial sebaiknya 2 atau 3 kali seminggu
selama 4-6 minggu untuk deteksi miokarditis sedini mungkin. Pada penyakit berat,
dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kg/hari selama 2 minggu untuk mencegah
miokarditis. Status hidrasi harus dijaga dan berikan diet lunak atau cair tinggi kalori.
Sekret harus dibersihkan dengan cara pengisapan untuk mencegah aspirasi.
Pemeriksaan kualitas suara dan refleks batuk harus dilakukan berkala untuk
mengetahui progresivitas penyakit. Difteri laring mungkin membutuhkan trakeostomi
untuk mengatasi obstruksi.

B. Sinusitis paranasalis
a. Definisi Sinusitis
Sinusitis merupakan salah satu penyakit hidung yang sering terjadi di masyarakat,
bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di seluruh
dunia. Sinusitis itu sendiri merupakan inflamasi pada mukosa sinus paranasal.
Penyebarannya dapat diawali dengan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh
infeksi bakteri. Sinusitis dikatakan multisinusitis bila mengenai beberapa sinus, dan
pansinusitis jika mengenai hampir semua sinus.
Sinusitis paling sering terjadi pada sinus maksilaris, disebabkan karena merupakan sinus
paranasalis yang paling besar. Sinus maksila terletak dekat akar gigi rahang atas, maka
infeksi gigi mudah menyebar ke sinus yang disebut sinusitis dentogen. Sinusitis cukup
berbahaya karena dapat terjadi beberapa komplikasi (Soepardi,dkk, 2007).

b. Gejala Klinis
Sinusitis memiliki beberapa gejala dimana biasanya penderita yang mengalami sinusitis
akut akan mengeluh hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus
purulen yang seringkali turun ke tenggorokan, selain itu pula dapat disertai dengan
gejala sistemik seperti demam dan lesu. Jika penderita terkena sinusitis maksilaris maka
akan merasakan nyeri pada daerah pipi, pada sinusitis etmoidalis nyeri dirasakan
dibelakang kedua bola mata, jika pada sinusitis frontalis penderita biasanya mengeluh
nyeri pada dahi dan penderita yang menderita sinusitis sphenoidalis nyeri yang dirasakan
pada bagian vertex, dan sering kali pada rahang serta telinga.

c. Etiologi
Menurut Dhingra (2000), etiologi dari infeksi sinusitis meliputi :
1) Infeksi hidung
Mukosa sinus merupakan lanjutan mukosa hidung dan infeksi yang berasal dari
hidung dapat menyebar secara langsung atau melalui jalur submucosallymphatics.
Penyebab sinusitis akut secara umum adalah rinitis virus yang diikuti invasi bakteri.
2) Berenang dan menyelam
Air yang terinfeksi bisa masuk ke bagian sinus melalui ostia. Berenang atau
menyelam di kolam renang yang mengandung air tinggi klorin dikatakan berpengaruh
terhadap peradangan pada sinus hidung.
3) Trauma
Patah tulang atau luka yang hingga menembus sinus frontal, sinus maksilaris dan
sinus ethmoid memungkinkan terjadinya infeksi langsung pada sinus mukosa.
Barotrauma juga dapat diikuti infeksi sinusitis.
4) Infeksi gigi
Hal ini berlaku pada sinus maksilaris. Infeksi sinus seringkali berasal dari infeksi
geraham atas.
5) Lingkungan
Angka kejadian sinusitis meningkat di daerah yang memiliki suhu rendah dan
lembab. Beberapa faktor seperti polusi udara, debu, asap, dan kepadatan penduduk
juga berpengaruh.
Kesehatan umum yang buruk Sinusitis sangat meningkat berhubungan dengan
kebiasaan kesehatan masyarakat yang buruk. Beberapa penyakit diantaranya:
exanthematous fever (measles, chickenpox, whooping cough), defisiensi nutrisi, dan
penyakit sistemik ( diabetes, defisiensi sistem imun).
6) Bakteriologi
Kebanyakan kasus sinusitis akut diawali dengan infeksi virus yang kemudian
dilanjutkan oleh invasi bakteri. Beberapa bakteri yang dikatakan berperan dalam
infeksi sinusitis supuratif akut diantaranya: Strept. pneumoniae, H. influenzae,
Moraxella catarrhalis, Strept. pyogenes, Staph. Aureus, dan Kleb. pneumoniae.
Organisme anaerobik dan infeksi campuran sering ditemukan pada sinusitis dentogen.

d. Patofisiologi
Menurut (Thaariq, 2012), untuk memahami penyakit sinus, harus mempunyai sejumlah
pengetahuan konsep patofiologi dasar. Patofisologi dari sinusitis terkait 3 faktor sebagai
berikut :
1) Adanya obstruksi jalur drainase sinus
Obstruksi jalur drainase sinus dapat mencegah drainase mukus normal. Ostium bisa
tertutup oleh pembengkakan mukosa, ataupun penyebab lokal lainnya. Ketika sudah
muncul obstruksi komplit dari ostium, akan ada peningkatan transien dalam tekanan
intrasinus diikuti oleh pembentukan tekanan negatif intrasinus.
2) Fungsi silia yang rusak
Fungi silia yang buruk bisa disebabkan berkurangnya sel epitel silia, aliran udara
yang tinggi, virus, bakteri atau siliatoksin dari lingkungan, mediator inflamasi,
berdempetannya 2 permukaan mukosa, luka, dan sindrom Kartagener. Sindrom
Kartagener terkait dengan silia immobile, menyebabkan retensi dari sekresi sehingga
menjadi faktor predisposisi infeksi sinus.
3) Kualitas dan kuantitas mukus yang berubah
Komposisi mukus berubah dapat menyebabkan mukus memproduksi viskositas lebih,
transport ke ostium akan lebih pelan, dan lapisan gel menjadi lebih tebal. Perubahan
mukus ini akan mengganggu aktivitas silia pada sinusitis akut, yang diperparah
dengan penutupan ostium.

e. Terapi
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial,
dimana antibiotik berfungsi untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa
serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin
seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-
laktamase, maka dapat diberikan amoksisilinklavulanat atau jenis sefalosporin generasi
ke-2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah
hilang. Pemberian antibiotik pada penderita sinusitis kronik harus disesuaikan.
Pemberian antihistamin pada penderita tidak rutin diberikan, karena antihistamin
memiliki sifat antikolinergik yang dapat menyebabkan sekret menjadi lebih kental.
Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan
yang dapat bermanfaat dan jika penderita menderita alergi berat maka imunoterapi harus
dipertimbangkan (Soepardi, dkk, 2007).

C. Tonsilitis, Laringitis, Faringitis


a. Tonsilitis
1) Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsil faucial), tonsil
lingual (tonsil pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring atau
Gerlach’s tonsil) (Soepardi, 2007). Sedangkan menurut Reeves (2001) tonsilitis
merupakan inflamasi atau pembengkakan akut pada tonsil atau amandel.
2) Etiologi
Penyebab tonsilitis adalah infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus,
Streptococcus viridans, dan Streptococcus pyogenes, dapat juga disebabkan oleh
infeksi virus (Soepardi, 2007).

3) Patofisiologi
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, amandel berperan
sebagai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme berbahaya, sel-sel darah
putih ini akan menyebabkan infeksi ringan pada amandel. Hal ini akan memicu tubuh
untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang, akan tetapi kadang-
kadang amandel sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Infeksi bakteri dari virus
inilah yang menyebabkan tonsilitis. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel
terkikis maka jaringan limfoid superficial mengadakan reaksi. Terdapat
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli morfonuklear. Proses ini secara
klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kuning yang disebut detritus.
Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas, suatu
tonsilitis akut dengan detritus disebut tonsilitis falikularis, bila bercak detritus
berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsilitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan
gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa
sakit tenggorokannya sehingga nafsu makan berkurang. Radang pada tonsil dapat
menyebabkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening
melemah di dalam daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan,
seluruh tubuh sakit, sakit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang
berlebih membuat pasien mengeluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa
mengental. Hal-hal yang tidak menyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72
jam.
4) Manifestasi klinik
Tanda dan gejala tonsilitis seperti demam mendadak, nyeri tenggorokan, ngorok, dan
kesulitan menelan (Smeltzer, 2001). Sedangkan menurut Mansjoer (2000) adalah
suhu tubuh naik sampai 40◦C, rasa gatal atau kering di tenggorokan, lesu, nyeri sendi,
odinofagia (nyeri menelan), anoreksia, dan otalgia (nyeri telinga). Bila laring terkena
suara akan menjadi serak. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemisis, tonsil
membengkak, hiperemisis.

5) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien tonsilitis secara umum :
a) Jika penyebab bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut) selama 10 hari,
jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk suntikan.
b) Pengangkatan tonsil (Tonsilektomi) dilakukan jika:
1. Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
2. Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.
3. Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 3 tahun.
4. Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.

Penatalaksanaan pasien tonsilitis menurut Mansjoer (2000) adalah :


1) Penatalaksanaan tonsilitis akut :
a. Antibiotik golongan penicilin atau sulfanamid selama 5 hari dan obat kumur
atau obat isap dengan desinfektan, bila alergi dengan diberikan eritromisin atau
klidomisin.
b. Antibiotik yang adekuat untuk mencegah infeksi sekunder, kortikosteroid untuk
mengurangi edema pada laring dan obat simptomatik.
c. Pasien diisolasi karena menular, tirah baring, untuk menghindari komplikasi
kantung selama 2 sampai 3 minggu atau sampai hasil usapan tenggorok 3 kali
negatif.
d. Pemberian antipiretik

2) Penatalaksanaan tonsilitis akut :


Penatalaksanaan tonsillitis kronik
a. Terapi lokal untuk hygiene mulut dengan obat kumur atau hisap.
b. Terapi radikal dengan tonsilektomi bila terapi medikamentosa atau terapi
konservatif tidak berhasil.

b. Laringitis
1) Definisi
Laringitis adalah inflamasi laring (ensiklopedia keperawatan). Laringitis adalah
peradangan yang terjadi pada pita suara karena terlalu banyak digunakan, karena
iritasi atau karena adanya infeksi. Pita suara adalah suatu susunan yang terdiri dari
tulang rawan, otot dan membran mukosa yang membentuk pintu masuk dari batang
tenggorok (trachea). Di dalam kotak suara terdapat pita suara – dua buah membran
mukosa yang terlipat dua membungkus otot dan tulang rawan.
Biasanya pita suara akan membuka dan menutup dengan lancar, membentuk suara
melalui pergerakan dan getaran yang terbentuk. Tapi bila terjadi laringitis, pita suara
akan meradang atau terjadi iritasi pada pita suara. Pita suara tersebut akan
membengkak, menyebabkan terjadinya perubahan suara yang diproduksi oleh udara
yang lewat melalui celah diantara keduanya. Akibatnya, suara akan terdengar serak.
Pada beberapa kasus laringitis, suara akan menjadi sangat lemah sehingga tidak
terdengar.
2) Etiologi
Inflamasi laring sering terjadi sebagai akibat terlalu banyak menggunakan suara,
pemajanan terhadap debu, bahan kimiawi, asap, dan polutan lainnya, atau sebagai
bagian dari infeksi saluran nafas atas. Kemungkinan juga disebabkan oleh infeksi
yang terisolasi yang hanya mengenai pita suara.
Sebagian besar kasus laringitis sementara dipicu oleh infeksi virus atau regangan
vokal dan tidak serius. Tapi suara serak kadang-kadang merupakan tanda yang lebih
serius dari kondisi medis yang mendasari. Sebagian besar kasus laringitis berakhir
kurang dari beberapa minggu dan disebabkan cuaca dingin.
Penyebab yang paling sering adalah infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas
(misalnya common cold). Laringitis juga bisa menyertai bronkitis, pneumonia,
influenza, pertusis, campak dan difteri. (Hermani B,Kartosudiro S & Abdurrahman
B, 2003,190 – 200)
3) Patofisiologi
Hampir semua penyebab inflamasi ini adalah virus. Invasi bakteri mungkin sekunder.
Laringitis biasanya disertai rinitis atau nasofaringitis. Awitan infeksi mungkin
berkaitan dengan pemajanan terhadap perubahan suhu mendadak, defisiensi diet,
malnutrisi, dan tidak ada immunitas. Laringitis umum terjadi pada musim dingin dan
mudah ditularkan. Ini terjadi seiring dengan menurunnya daya tahan tubuh dari host
serta prevalensi virus yang meningkat. Laringitis ini biasanya didahului oleh faringitis
dan infeksi saluran nafas bagian atas lainnya. Hal ini akan mengakibatkan iritasi
mukosa saluran nafas atas dan merangsang kelenjar mucus untuk memproduksi
mucus secara berlebihan sehingga menyumbat saluran nafas. Kondisi tersebut akan
merangsang terjadinya batuk hebat yang bisa menyebabkan iritasi pada laring. Dan
memacu terjadinya inflamasi pada laring tersebut. Inflamasi ini akan menyebabkan
nyeri akibat pengeluaran mediator kimia darah yang jika berlebihan akan merangsang
peningkatan suhu tubuh. (Elizabeth J. Corwin 2000, 432)
4) Manifestasi Klinis
a) Gejala lokal seperti suara parau dimana digambarkan pasien sebagai suara yang
kasar atau suara yang susah keluar atau suara dengan nada lebih rendah dari suara
yang biasa / normal dimana tOerjadi gangguan getaran serta ketegangan dalam
pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan sehingga menimbulkan suara menjadi
parau bahkan sampai tidak bersuara sama sekali (afoni).
b) Sesak nafas dan stridor
c) Nyeri tenggorokan seperti nyeri ketika menalan atau berbicara.
d) Gejala radang umum seperti demam, malaise
e) Batuk kering yang lama kelamaan disertai dengan dahak kental
f) Gejala commmon cold seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit
menelan, sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk dan demam
dengan temperatur yang tidak mengalami peningkatan dari 38 derajat celsius.
g) Gejala influenza seperti bersin-bersin, nyeri tenggorok hingga sulit menelan,
sumbatan hidung (nasal congestion), nyeri kepala, batuk, peningkatan suhu yang
sangat berarti yakni lebih dari 38 derajat celsius, dan adanya rasa lemah, lemas
yang disertai dengan nyeri diseluruh tubuh .
h) Pada pemeriksaan fisik akan tampak mukosa laring yang hiperemis, membengkak
terutama dibagian atas dan bawah pita suara dan juga didapatkan tanda radang
akut dihidung atau sinus paranasal atau paru
i) Obstruksi jalan nafas apabila ada udem laring diikuti udem subglotis yang terjadi
dalam beberapa jam dan biasanya sering terjadi pada anak berupa anak menjadi
gelisah, air hunger, sesak semakin bertambah berat, pemeriksaan fisik akan
ditemukan retraksi suprasternal dan epigastrium yang dapat menyebabkan
keadaan darurat medik yang dapat mengancam jiwa anak
5) Penatalaksanaan Medis
a) Laringitis Akut
Terapi pada laringitis akut berupa mengistirahatkan pita suara, antibiotik,
menambah kelembaban, dan menekan batuk. Obat-obatan dengan efek samping
yang menyebabkan kekeringan harus dihindari. Penyayi dan para profesional yang
mengandalkan suara perlu dinasehati agar membiarkan proses radang mereda
sebelum melanjutkan karier mereka. Usaha bernyayi selama proses radang
berlangsung dapat mengakibatkan perdarahan pada laring dan perkembangan
nodul korda vokalis selanjutnya. Terapi pada laringitis kronis terdiri dari
menghilangkan penyebab, koreksi gangguan yang dapat diatasi, dan latihan
kembali kebiasaan menggunakan vocal dengan terapi bicara. Antibiotik dan terapi
singkat steroid dapat mengurangi proses radang untuk sementara waktu, namun
tidak bermanfaat untuk rehabilitasi jangka panjang. Eliminasi obat-obat dengan
efek samping juga dapat membantu. Pada pasien dengan gastroenteriris refluks
dapat diberikan reseptor H2 antagonis, pompa proton inhibitor. Juga diberikan
hidrasi, meningkatkan kelembaban, menghindari polutan. Terapi pembedahan
bila terdapat sekuester dan trakeostomi bila terjadi sumbatan laring.
Hindari iritasi pada laring dan faring. Untuk terapi mendikamentosa diberikan
antibiotic penisilin anak 3 x 0 kg BB dan dewasa 3 x 500 mg. bila alergi dapat
diganti eritromisin atau basitrasin. Dan diberikan kortikosteroid untuk mengatasi
edema. Dipasang pipa endotrakea atau trakeostomi bila terdapat sumbatan laring.
b) Laringitis Kronik
Diminta untuk tidak banyak bicara dan mengonati peradangan di hitung, faring,
serta bronkus yang mungkin menjadi penyebab. Diberikan antibiotik bila terdapat
tanda infeksi dan ekspektoran. Untuk jangka pendek dapat diberikan steroid.
Laringitis kronis yang berlangsung lebih dari beberapa minggu dan tidak
berhubungan dengan penyakit sistemik, sebagian besar berhubungan dengan
pemajanan rekuren dari iritan. Asap rokok merupakan iritan inhalasi yang paling
sering memicu laringitis kronis tetapi laringitis juga dapat terjadi akibat
menghisap kanabis atau inhalasi asap lainnya. Pada kasus ini, pasien sebaiknya
dijauhkan dari faktor pemicunya seperti dengan menghentikan kebiasaan merokok

c. Faringitis
1) Definisi
Istilah faringitis akut digunakan untuk menunjukkan semua infeksi akut pada faring,
termasuk tonsilitis (tonsilofaringitis) yang berlangsung hingga 14 hari. Faringitis
merupakan peradangan akut membran mukosa faring dan struktur lain di sekitarnya.
Karena letaknya yang sangat dekat dengan hidung dan tonsil, jarang terjadi hanya
infeksi lokal faring atau tonsil. Oleh karena itu, pengertian faringitis secara luas
mencakup tonsilitis, nasofaringitis, dan tonsilofaringitis. Infeksi pada daerah faring
dan sekitarnya ditandai dengan keluhan nyeri tenggorok. Faringitis Streptokokus beta
hemolitikus grup A (SBHGA) adalah infeksi akut orofaring dan/atau nasofaring oleh
SBHGA.
2) Etiologi
Berbagai bakteri dan virus dapat menjadi etiologi faringitis, baik faringitis sebagai
manifestasi tunggal maupun sebagai bagian dari penyakit lain. Virus merupakan
etiologi terbanyak faringitis akut, terutama pada anak berusia ≤3 tahun (prasekolah).
Virus penyebab penyakit respiratori seperti Adenovirus, Rhinovirus, dan virus
Parainfluenza dapat menjadi penyebab faringitis. Virus Epstein Barr (Epstein Barr
virus, EBV) dapat menyebabkan faringitis, tetapi disertai dengan gejala infeksi
mononukleosis seperti splenomegali dan limfadenopati generalisata. Infeksi sistemik
seperti infeksi virus campak, Cytomegalovirus (CMV), virus Rubella, dan berbagai
virus lainnya juga dapat menunjukkan gejala faringitis akut.
Streptokokus beta hemolitikus grup A adalah bakteri penyebab terbanyak
faringitis/tonsilofaringitis akut. Bakteri tersebut mencakup 15−30% (di luar kejadian
epidemik) dari penyebab faringitis akut pada anak, sedangkan pada dewasa hanya
sekitar 5−10% kasus. Streptokokus Grup A biasanya bukan merupakan penyebab
yang umum pada anak usia prasekolah, tetapi pernah dilaporkan terjadi outbreak di
tempat penitipan anak (day care).
Mikroorganisme seperti Klamidia dan Mikoplasma dilaporkan dapat menyebabkan
infeksi, tetapi sangat jarang terjadi. Di negara Inggris dan Skandinavia pernah
dilaporkan infeksi Arcobacterium haemolyticum. Beberapa bakteri dapat melakukan
proliferasi ketika sedang terjadi infeksi virus (copathogen bacterial) dan dapat
ditemukan pada kultur, tetapi biasanya bukan merupakan penyebab dari
faringitis/tonsilofaringitis akut. Beberapa bakteri tersebut adalah Staphylococcus
aureus, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Bacteroides fragilis,
Bacteroides oralis, Bacteroides melaninogenicus, spesies Fusobacterium, dan spesies
Peptostreptococcus

3) Manifestasi Klinis
Gejala faringitis yang khas akibat bakteri Streptokokus berupa nyeri tenggorokan
dengan awitan mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanya
dikeluhkan oleh anak berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, dan
muntah. Selain itu juga didapatkan demam yang dapat mencapai suhu 40°C, beberapa
jam kemudian terdapat nyeri tenggorok. Gejala seperti rinorea, suara serak, batuk,
konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan penderita
rinitis juga dapat ditemukan pada anamnesis.
Pada pemeriksaan fisis, tidak semua pasien tonsilofaringitis akut Streptokokus
menunjukkan tanda infeksi Streptokokus, yaitu eritema pada tonsil dan faring yang
disertai dengan pembesaran tonsil.
Faringitis streptokokus sangat mungkin jika dijumpai gejala dan tanda berikut:
- awitan akut, disertai mual dan muntah
- faring hiperemis
- demam
- nyeri tenggorokan
- tonsil bengkak dengan eksudasi
- kelenjar getah bening leher anterior bengkak dan nyeri
- uvula bengkak dan merah
- ekskoriasi hidung disertai lesi impetigo sekunder
- ruam skarlatina
- petekie palatum mole.

Akan tetapi, penemuan tersebut bukan merupakan tanda pasti faringitis Streptokokus,
karena dapat juga ditemukan pada penyebab tonsilofaringitis yang lain.
Sedangkan bila dijumpai gejala dan tanda berikut ini, maka kemungkinan besar bukan
faringitis streptokokus:
- usia di bawah 3 tahun
- awitan bertahap
- kelainan melibatkan beberapa mukosa
- konjuntivitis, diare, batuk, pilek, suara serak
- mengi, ronki di paru
- eksantem ulseratif.
Tanda khas faringitis difteri adalah membran asimetris, mudah berdarah, dan
berwarna kelabu pada faring. Membran tersebut dapat meluas dari batas anterior
tonsil hingga ke palatum mole dan/atau ke uvula.
Pada faringitis akibat virus, dapat juga ditemukan ulkus di palatum mole dan dinding
faring serta eksudat di palatum dan tonsil, tetapi sulit dibedakan dengan eksudat pada
faringitis Streptokokus. Gejala yang timbul dapat menghilang dalam 24 jam,
berlangsung 4-10 hari (self limiting disease), jarang menimbulkan komplikasi, dan
memiliki prognosis yang baik

4) Tatalaksana
Usaha untuk membedakan faringitis bakteri dan virus bertujuan agar pemberian
antibiotik sesuai indikasi. Faringitis Streptokokus grup A merupakan satu-satunya
faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotik
(selain difteri yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae).
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus, karena tidak akan
mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat
cukup dan pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi suportif yang dapat
diberikan. Selain itu, pemberian gargles (obat kumur) dan lozenges (obat hisap), pada
anak yang cukup besar dapat meringankan keluhan nyeri tenggorok. Apabila terdapat
nyeri yang berlebih atau demam, dapat diberikan parasetamol atau ibuprofen.
Pemberian aspirin tidak dianjurkan, terutama pada infeksi Influenza, karena insidens
sindrom Reye kerap terjadi

D. Absesperitonsil
a. Definisi
Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatu infeksi akut yang diikuti dengan
terkumpulnya pus pada jaringan ikat longgar antara m.konstriktor faring dengan tonsil
pada fosa tonsil.1 Infeksi ini menembus kapsul tonsil (biasanya pada kutub atas). Abses
peritonsil merupakan infeksi pada tenggorok yang seringkali merupakan komplikasi dari
tonsilitis akut.2 Abses peritonsil merupakan infeksi pada kasus kepala leher yang sering
terjadi pada orang dewasa. Timbulnya abses peritonsil dimulai dari infeksi superfisial
dan berkembang secara progresif menjadi tonsilar selulitis. Komplikasi abses peritonsil
yang mungkin terjadi antara lain perluasan infeksi ke parafaring, mediastinitis, dehidrasi,
pneumonia, hingga infeksi ke intrakranial berupa thrombosis sinus kavernosus,
meningitis, abses otak dan obstruksi jalan nafas2. Penyakit-penyakit infeksi pada
tenggorok telah diketahui sejak abad ke dua Masehi oleh Aretaues of Cappadocia. Pada
abad ke 2 dan 3 sebelum Masehi, ia menerangkan tentang dua tipe penyakit pada tonsil
yaitu pembengkakan tonsil tanpa ulserasi dan pembengkakan tonsil dengan obstruksi
jalan nafas. Beberapa kepustakaan menjelaskan bahwa abses peritonsil yang kita kenal
sekarang ini pertama kali dikemukakan pada awal tahun 1700-an.

b. Epidemiologi
Abses peritonsil kira-kira 30% dari abses leher dalam, sekalipun sudah di era antibiotika,
abses peritonsil masih sering ditemukan dengan jumlah yang menurun menjadi 18% di
United Kingdom dalam sepuluh tahun terahir ini. Tonsilitis banyak ditemukan pada
anak-anak. Abses peritonsil biasanya ditemukan pada orang dewasa dan dewasa muda,
sekalipun dapat terjadi pada anak-anak.
Abses peritonsil umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut , dikatakan bahwa
abses peritonsil merupakan salah satu komplikasi umum dari tonsilitis akut, pada
penelitian di seluruh dunia dilaporkan insidens abses peritonsil ditemukan 10 – 37 per
100.000 orang. di Amerika dilaporkan 30 kasus per 100 orang per tahun, 45.000 kasus
baru per tahun. Data yang akurat secara internasional belum dilaporkan. Biasanya
unilateral, bilateral jarang ditemukan. Yang Lin melaporkan sebuah kasus bilateral abses
peritonsil. Usia bervariasi paling tinggi pada usia 15-35 tahun, tidak ada perberdaan
antara laki-laki dan perempuan. Marom, et al melakukan studi pada 427 pasien dengan
abses peritonsil, dikatakan bahwa karakteristik abses peritonsil berubah, dikatakan
penyakit ini lebih lama dan lebih buruk, dan faktor merokok mungkin merupakan faktor
predisposisi.
Abses peritonsil adalah kumpulan pus di dalam ruangan antara tonsil dan otot m.
konstriktor superior. Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling
sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka
yang menurun sistem immunnya, tetapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas
yang signifikan pada anak-anak. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau
percobaan penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi untuk
berkembangnya abses peritonsil.

c. Etiologi
Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah Streptococcus
pyogene (Group A beta- hemolitic streptococcus) sedangkan organisme anaerob yang
berperan adalah fusobacterium. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerob dan anaerob. Kuman aerob: Grup A beta-
hemolitik streptococci (GABHS) Group B, C, G streptococcus, Hemophilus influenza
(type b and nontypeable) Staphylococcus aureus, Haemophilus parainfluenzae,
Neisseria species. Mycobacteria sp Kuman Anaerob: Fusobacterium
Peptostreptococcuse, Streptococcus sp. Bacteroides. Virus : Eipsten-Barr Adenovirus
Influenza A dan B, Herpes simplex, Parainfluenza

d. Patofisologi
Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut, walaupun
dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Infeksi memasuki kapsul tonsil sehingga
terjadi peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan nanah. Daerah superior dan
lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi
ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum
mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun
jarang. Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga
permukaan yang hiperemis. Bila proses tersebut berlanjut, terjadi supurasi sehingga
daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil
akan mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi
kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Kelenjar Weber
adalah kelenjar mucus yang terletak di atas kapsul tonsil, kelenjar ini mengeluarkan air
liur ke permukaan kripta tonsil. Kelenjar ini bisa tertinggal pada saat tonsilektomi,
sehingga dapat menjadi sumber infeksi setelah tonsilektomi. Dilaporkan bahwa penyakit
gigi dapat memegang peranan dalam etiologi abses peritonisl. Fried dan Forest
menemukan 27% adanya riwayat infeksi gigi. Abses peritonsil mengalami peningkatan
pada penyakit periodontal dibandingkan tonsilitis rekuren.

e. Gejala Klinik
Nyeri tenggorok yang sangat (Odinofagi) dapat merupakan gejala menonjol, dan pasien
mungkin mendapatkan kesulitan untuk makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat
mengatasi sekresi ludah sehingga terjadi hipersalivasi dan ludah seringkali menetes
keluar. Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi),
sampai nyeri alih ke telinga (otalgi). Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai
otot-otot pterigoid. Pemeriksaan fisik kadang-kadang sukar dilakukan, karena adanya
trismus. Gejala yang klasik adalah trismus, suara bergumam, disebut hot potato voice,
dan uvula terdorong ke arah yang sehat. Demam hanya ditemukan sebanyak 25% kasus
yang dilakukan oleh Sowerby, dan kawan kawan.9 Palatum mole tampak membengkak
dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi
kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah
tengah, depan, dan bawah. Palpasi (jika mungkin) dapat membedakan abses dari
selulitis.
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus segera dilakukan dan adekuat,untuk mencegah obstruksi
pernafasan dan mencegah meluasnya abses ke ruang parapfaring dan mediastinum dan
basis kranii.1 Setelah dibuat diagnosa abses peritonsil,segera dilakukan aspirasi
kemudian insisi abses dan drainase. Masih ada kontroversi antara insisi drainase dengan
aspirasi jarum saja, atau dilanjutkan dengan insisi dan drainase, Gold standard adalah
insisi dan drainase abses.1 Pus yang diambil dilakukan pemeriksaan kultur dan resistensi
test Penanganan meliputi, menghilangkan nyeri, dan antibiotik yang efektif mengatasi
Staphylococcus aureus dan bakteri anaerob. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika
dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat
Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada
aspirasi jarum. Penisilin merupakan “drug of chioce” pada abses peritonsil dan efektif
pada 98% kasus jika yang dikombinasikan dengan metronidazole.9 Metronidazole
merupakan antimikroba yang sangat baik untuk infeksi anaerob.

2. CORPUS ALEINUM
a. Pengertian
Corpus alineum atau benda asing adalah benda yang berasal dari luar atau dalam tubuh
yang dalam keadaan normal tidak ada pada tubuh. Benda asing dalam suatu organ dapat
terbagi atas benda asing eksogen (dari luar tubuh) dan benda asing endogen (dari dalam
tubuh). Benda asing eksogen terdiri dari benda padat, cair atau gas. Benda asing eksogen
padat terbagi terdiri dari zat organik seperti kacang-kacangan (yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan), tulang (yang berasal dari kerangka bintang) dan zat organik seperti paku,
jarum, peniti, batu dan lain-lain. Benda asing eksogen cair dibagi dalam benda cair yang
bersifat iritatif seperti zat kimia, dan benda cair non iritatif yaitu cairan dengan pH 7,4.
Benda asing eksogen dapat berupa sekret kental, darah, bekuan darah, nanah, krusta.
Benda asing pada hidung merupakan masalah kesehatan keluarga yang sering terjadi
pada anak-anak. Pada anak-anak cenderung mengeksplorasi tubuhnya, terutama daerah
yang berlubang, termasuk telinga, hidung, dan mulut. Benda-benda asing yang sering
ditemukan pada anak-anak antaranya kacang hijau, manik-manik, dan lain-lain. Pada
orang dewasa yang relatif sering ditemukan adalah kapas cotton bud, atau serangga kecil
seperti kecoa, semut atau nyamuk. Diagnosis pada pasien sering terlambat karena
penyebab biasanya tidak terlihat, dan gejalnya tidak spesifik, dan sering terjadi
kesalahan diagnosis awalnya. Sebagian besar benda asing pada hidung dapat dikeluarkan
oleh dokter terlatih dengan komplikasi yang minimal. Pengeluaran benda asing lazim
dilakukan dengan forceps, irigasi dengan air, dan kateter hisap. Pengeluaran benda asing
harus dilakukan sedini mungkin untuk menghindari komplikasi yang dapat ditimbulkan
misalnya perdarahan pada hidung dan lain-lain. Usaha mengeluarkan benda asing
seringkali malah mendorongnya lebih ke dalam sehingga harus dilakukan secara tepat
dan hati-hati. Bila kurang hati-hati atau bila pasien tidak kooperatif, berisiko trauma
yang dapat merusak stuktur organ yang lain.

b. Epidemiologi
Kasus benda asing di hidung paling sering terjadi pada anak, terutama 1-4 tahun, anak
cenderung mengeksplorasi tubuhnya, terutama daerah yang berlubang termasuk hidung.
Mereka dapat memasukkan benda asing sebagai upaya mengeluarkan sekret atau benda
asing yang sebelumnya ada di dalam hidung, atau untuk mengurangi gatal atau perih
akibat iritasi yang sebelumnya sudah terjadi. Benda asing yang paling sering ditemukan
adalah sisa makanan, permen, manik-manik dan kertas. Faktor yang mempermudah
terjadinya aspirasi benda asing dalam hidung antara lain faktor personal (umur, jenis
kelamin, pekerjaan, kondisi sosial dan temat tinggal) kegagalan mekanisme proteksi
normal (keadaan tidur, penurunan kesadaran, alkoholisme, dan epilepsy) ukuran, bentuk,
serta sifat benda asing, serta faktor kecerobohan. Benda asing dapat menyebabkan
morbiditas bahkan mortalitas bila masuk ke saluran nafas bawah.

c. Etiologi
Berdasarkan jenis bendanya, etiologi corpus alienum di hidung dapat di bagi menjadi:
1) Benda asing hidup (benda organik)
a) Larva lalat
Beberapa kasus miasis hidung yang pernah ditemukan di hidung manusia dan
hewan di Indonesia disebabkan oleh larva lalat dari spesies Chryssonya bezziana
adalah serangga yang termasuk dalam famili Calliphoridea, ordo dipteral subordo
Cyclorrapha kelas Insecta. Lalat dewasa berukuran sedang berwarna biru atau
biru kehijauan dan berukuran 8-10 mm, bergaris gelap pada thoraks dan pada
abdomen melintang. Lalat dewasa meletakkan telurnya pada jaringan hidup
misalnya pada luka, lubang lubang pada tubuh seperti hidung, mata, telinga, dan
traktus urogenital.
b) Lintah
c) Lintah (Hirudinaria javanica) merupakan spesies dari kelas hirudinae. Hirudinae
adalah kelas dari anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk filum
annelida. Anggota jenis cacing ini tidak mempunyai rambut, parapodia, dan seta.
Tempat hidup hewan ini ada yang berada di air tawar, air laut, dan di darat. Lintah
merupakan hewan penghisap darah. Pada saat menghisap darah, lintah
mengeluarkan zat penghilang rasa sakit dan mengeluarkan zat anti pembekuan
darah sehingga darah pada pasin tidak akan membeku. Setelah selesai menghisap
darah, lintah akan menjatuhkan diri.

2) Benda asing tak hidup (benda anorganik)


Benda asing tak hidup yang tersering adalah manik-manik, baterai logam, dan kancing
baju. Kasus baterai logam di hidung merupakan salah satu kegawatan yang harus
segera dikeluarkan karena kandungan zat kimianya yang dapat bereaksi terhadap
mukosa hidung

d. Patofisiologi
Daerah hidung merupakan daerah yang mudah diakses karena lokasinya yang berada di
wajah. Memasukkan badan asing ke dalam cavum nasi sering kali terjadi pada pasien
anak yang kurang dari 5 tahun disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain rasa
penasaran untuk mengekspolarsi orifisium atau lubang. Hal ini disebabkan pula oleh
mudahnya akses terhadap benda asing tersebut, kurang perhatian saat pengasuhan anak.
Hal–hal lain yang menjadi penyebab antara lain kebosanan, untuk membuat lelucon,
retardasi mental, gangguan jiwa, dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas
(GPPH). Benda asing hidung dapat ditemukan di setiap bagian rongga hidung, sebagian
besar ditemukan di dasar hidung, tepat di bawah konka inferior atau di bagian atas fossa
nasal anterior hingga ke bagian depan konka media. Benda-benda kecil yang masuk ke
bagian anterior rongga hidung dapat dengan mudah dikeluarkan dari hidung

e. Manifestasi Klinis
Gejala sumbatan benda asing tergantung pada lokasi benda asing, derajat sumbatan (total
atau sebagian), sifat, bentuk, dan ukuran benda asing. Gejala yang timbul bervariasi, dari
tanpa gejala sampai kematian sebelum diberi pertolongan akibat sumbatan total. Benda
asing di hidung pada anak sering luput dari perhatian otang tua karena tidak ada gejala
dan bertahan untuk waktu yang lama. Dapat timbul rinolith di sekitar benda asing.
Gejala yang paling sering adalah hidung tersumbat, rinore unilateral, dengan cairan
kental dan berbau. Kadang-kadang terdapat rasa nyeri, demam, epistaksis, bersin, dan
disertai bekuan darah. Akan tetapi, adanya benda asing dalam hidung terkadang tidak
menimbulkan nyeri, terbukti dengan adanya kasus benda asing yang telah berada dalam
hidung selama bertahun-tahun tanpa adanya gejala apapun. Namun, walaupun jarang
ditemukan, nyeri dan sakit kepala pada sisi yang terlibat disertai dengan epistaksis
intermitten dan bersin pernah ditemukan dalam beberapa kasus. Pada pasien dengan
benda asing hidung yang hidup, gejala-gejala yang muncul biasanya terdapat pada
hidung bilateral. Hidung tersumbat, sakit kepala, dan bersin dengan kotoran seropurulen
biasanya merupakan gejala yang tampak. Peningkatan suhu tubuh dan adanya bau tidak
sedap yang berasal dari rongga hidung dapat pula muncul. Leukositosis dapat terjadi
akibat adanya infeksi sekunder. Rhinolith biasanya tidak bergejala dan kemudian
menyebabkan obstruksi apabila membesar

f. Penatalaksanaan
Untuk dapat menanggulangi kasus aspirasi benda asing dengan cepat dan tepat perlu
diketahui dengan sebaik-baiknya gejala tersangkutnya benda asing tersebut. Adapun
pemilihan teknik untuk mengeluarkan benda asing sebaiknya didasarkan pada lokasi
yang tepat, bentuk, dan komposisi benda asing. Pengeluaran benda asing hidung jarang
bersifat emergensi dan dapat menunggu saran dari spesialis terkait. Bahaya utama
pengeluaran benda asing pada hidung adalah aspirasi, terutama pada anak-anak yang
tidak kooperatif dan menangis, pasien gelisah yang kemungkinan dapat menghirup
benda asing ke dalam jalan napas dan melukai jaringan sekitar, sehingga menimbulkan
keadaan emergensi.
Beberapa persiapan pengeluaran benda asing pada hidung antara lain :
1) Posisi ideal saat pengeluaran benda asing pada hidung adalah meminta pasien untuk
duduk, pada pasien pediatrik maka akan di pangku, kemudian akan menahan tangan
dan lengan pasien, dan seseorang lainnya akan membantu menahan kepala pasien
dalam posisi ekstensi 30o.
2) Visualisasi yang adekuat penting untuk membantu pengeluaran benda asing pada
hidung. Lampu kepala dan kaca pembesar dapat membantu pemeriksa untuk
memeroleh sumber pencahayaan yang baik dan tidak perlu di pegang, sehingga
kedua tangan pemeriksa dapat digunakan untuk melakukan tindakan.
3) Anestesi lokal sebelum tindakan dapat memfasilitasi ekstraksi yang efisien dan
biasanya dalam bentuk spray. Lignokain (Lidokain) 4% merupakan pilihan yang
biasa digunakan, walaupun kokain biasa digunakan dan bersifat vasokonstriktor.
Namun, penggunaan kokain pada anak-anak dapat menimbulkan toksik, sehingga
biasanya digantikan dengan adrenalin (epinefrin) 1:200.000. Akan tetapi,
penggunaan anestesi local tidak terlalu bermanfaat pada pasien pediatric, sehingga
anestesi umum lebih sering digunakan pada kasus anak-anak

3. ALERGI
a. Definisi
The World Allergy Organization (WAO) pada Oktober 2003 telah menyampaikan revisi
nomenklatur penyakit alergi untuk digunakan secara global. Alergi adalah reaksi
hipersentivitas yang diperantarai oleh mekanisme imunologi. Pada keadaan normal
mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B
dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini akan
menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
Hipersensitivitas sendiri berarti gejala atau tanda yang secara objektif dapat ditimbulkan
kembali dengan diawali oleh pajanan terhadap suatu stimulus tertentu pada dosis yang
ditoleransi oleh individu yang normal. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas
dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I, II, III dan IV. Reaksi hipersensitivitas tipe I yang
disebut juga reaksi anafilaktik atau reaksi alergi

b. Etiologi Alergi
Reaksi alergi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya
dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen. Antibiotik dapat menimbulkan
reaksi alergi anafilaksis misalnya penisilin dan derivatnya, basitrasin, neomisin,
tetrasiklin, streptomisin, sulfonamid dan lain-lain. Obat-obatan lain yang dapat
menyebabkan alergi yaitu anestesi lokal seperti prokain atau lidokain serta ekstrak
alergen seperti rumput-rumputan atau jamur, Anti Tetanus Serum (ATS), Anti Diphtheria
Serum (ADS), dan anti bisa ular juga dapat menyebabkan reaksi alergi. Beberapa bahan
yang sering dipergunakan untuk prosedur diagnosis dan dapat menimbulkan alergi
misalnya zat radioopak, bromsulfalein, benzilpenisiloilpolilisin.
Selain itu, makanan, enzim, hormon, bisa ular, semut, udara (kotoran tungau dari debu
rumah), sengatan lebah serta produk darah seperti gamaglobulin dan kriopresipitat juga
dapat merangsang mediator alergi sehingga timbul manifestasi alergi.
Alergi makanan biasanya terjadi pada satu tahun pertama kehidupan dikarenakan
maturitas mukosa usus belum cukup matang, sehingga makanan lain selain ASI (Air Susu
Ibu), contohnya susu sapi, jika diberikan pada bayi 0-12 bulan akan menimbulkan
manifestasi penyakit alergi. Hal ini disebabkan makanan yang masuk masih dianggap
asing oleh mukosa usus di saluran pencernaan yang belum matur sehingga makanan tidak
terdegradasi sempurna oleh enzim pencernaan kemudian menimbulkan hipersensitivitas.

c. Patofisiologi Alergi
Reaksi alergi terjadi akibat peran mediator-mediator alergi. Yang termasuk sel mediator
adalah sel mast, basofil, dan trombosit. Sel mast dan basofil mengandung mediator kimia
yang poten untuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Mediator tersebut adalah histamin,
newly synthesized mediator, ECF-A, PAF, dan heparin.
Mekanisme alergi terjadi akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,
yang berikatan dengan mediator alergi yaitu sel mast.2,3,11 Reaksi alergi dimulai dengan
cross-linking dua atau lebih IgE yang terikat pada sel mast atau basofil dengan alergen.
Rangsang ini meneruskan sinyal untuk mengaktifkan sistem nukleotida siklik yang
meninggikan rasio cGMP terhadap cAMP dan masuknya ion Ca++ ke dalam sel.
Peristiwa ini akan menyebabkan pelepasan mediator lain.
Mediator histamin dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan
bronkokonstriksi. Pada sistem vaskular menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan
pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi otot
polos. Selanjutnya histamin meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler.
Perubahan vaskular ini menyebabkan respon wheal-flare (triple respons dari Lewis) dan
bila terjadi sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria dan angioderma. Pada traktus
gastrointestinalis histamin meninggikan sekresi mukosa lambung dan bila penglepasan
histamin terjadi sistemik maka aktivitas otot polos usus dapat meningkat menyebabkan
diare dan hipermotilitas.

d. Manifestasi klinis Alergi


Manifestasi klinis alergi pada bayi dapat dibagi menurut organ target yang terkena.
Dermatitis atopi adalah penyakit kulit yang paling sering dijumpai pada bayi, ditandai
dengan reaksi inflamasi pada kulit. Secara klinis berbentuk dermatitis akut eksudatif
dengan predileksi daerah muka terutama pipi dan daerah ekstensor ekstremitas. Lesi yang
paling menonjol pada tipe ini adalah vesikel dan papula, serta garukan yang
menyebabkan krusta dan terkadang infeksi sekunder. Gatal merupakan gejala yang
mencolok sehingga bayi gelisah dan rewel dengan tidur yang terganggu.
Pada mukosa respirasi dapat terjadi rhinitis alergi yang ditandai dengan nasal pruritis,
rinorea, hidung tersumbat dan asma yang ditandai dengan bronkospasme, inflamasi jalan
nafas kronis. Pada mukosa gastrointestinal bermanifestasi sebagai alergi makanan dengan
gejala nyeri perut kolik, muntah, diare. Jika reaksi alergi terjadi sistemik dapat terjadi
syok anafilaksis. Penyakit alergi pada mata juga dapat dijumpai pada bayi namun dengan
presentase kecil. Secara klinis ditandai dengan mata berair, hiperemia konjungtiva, gatal
mata, bayi menunjukkan gerakan menggosok mata. Gejala muncul setidaknya 2 minggu
dan tidak ada hubungannya dengan infeksi.

e. Penatalaksanaan
Terapi untuk penyakit alergi dapat diberikan secara farmakologi dan immunotherapy.
Untuk terapi farmakologi dengan obat anti inflamasi non steroid, anti histamin, steroid,
teofilin atau epinefrin. Sedangkan immunotherapy atau yang juga dikenal dengan
suntikan alergi, pasien diberikan suntikan berulang dari alergen untuk mengurangi IgE
pada sel mast dan menghasilkan IgG.

Anda mungkin juga menyukai