Anda di halaman 1dari 6

Tatalaksana

Penatalaksanaan schizophrenia bertujuan untuk meredakan dan mengontrol gejala karena


belum terdapat obat yang dapat menyembuhkan penyakit ini. Untuk itu, penatalaksanaan harus
dilakukan seumur hidup, mencakup pemberian medikamentosa dan terapi psikososial. Dalam
beberapa kasus, pasien mungkin dirawatinap, misalnya bila kondisi membahayakan diri sendiri
atau orang lain.

MEDIKOMENTOSA

FARMAKOTERAPI

Obat-obat yang dapat digunakan untuk pasien schizophrenia adalah berasal dari golongan
antipsikotik. Golongan obat ini dianggap dapat mengendalikan gejala dengan mempengaruhi
neurotransmiter dopamin di otak. Tujuan pengobatan dengan antipsikotik adalah untuk secara
efektif mengontrol tanda dan gejala schizophrenia dengan dosis serendah mungkin (Preda et al,
2018).

Golongan Antipsikotik Generasi Pertama

Antipsikotik generasi pertama ini memiliki efek samping neurologis yang sering terjadi
berupa tardive dyskinesia yang mungkin reversibel ataupun ireversibel. Antipsikotik generasi
pertama meliputi:

● Fluphenazine : 2,5-10 mg/hari dikonsumsi 2-3 kali sehari dengan dosis maksimum 40
mg/hari
● Haloperidol : 0,5-2 mg dikonsumsi 2-3 kali sehari dengan dosis maksimum 30 mg/hari
● Perphenazine : 4-8 mg dikonsumsi 3 kali sehari dengan dosis maksimum 64 mg/hari

Antipsikotik golongan ini memiliki harga yang lebih murah jika dibandingkan dengan
antipsikotik generasi kedua tetapi dengan risiko efek samping yang lebih besar. Hal ini dapat
menjadi pertimbangan jika diperlukan pengobatan jangka panjang (Preda et al, 2018).

Golongan Antipsikotik Generasi Kedua


Obat generasi kedua ini lebih baru dan umumnya lebih disukai karena risiko efek samping
yang lebih kecil dibandingkan dengan generasi pertama. Antipsikotik generasi kedua meliputi:

● Risperidone : 1 mg dikonsumsi 2 kali sehari dengan dosis maksimum 16 mg/hari


● Paliperidone : 6 mg dikonsumsi 1 kali sehari dengan dosis maksimum 12 mg/hari
● Olanzapine : 5-10 mg dikonsumsi 1 kali sehari dengan dosis maksimum 20 mg/hari
● Clozapine : 12,5 mg dikonsumsi 1-2 kali sehari dengan dosis maksimum 900 mg/hari
(Preda et al, 2018).

Terdapat risiko idiopatik untuk mengalami agranulositosis pada penggunaan clozapine


sehingga tes hematologi rutin harus dilakukan untuk memonitor risiko efek samping ini.

Antikolinergik

Golongan antikolinergik seperti benztropin, trihexyphenidyl, dan diphenhydramine, sering


digunakan bersama dengan agen antipsikotik untuk mencegah terjadinya gerakan distonik atau
untuk mengobati gejala ekstrapiramidal (parkinsonism, distonia, akatisia). Golongan
antikolinergik meliputi:

● Benztropin : untuk mengatasi distonia akut adalah 1-2 mg dikonsumsi 2 kali sehari
selama 7-28 hari untuk mencegah gejala timbul kembali
● Trihexyphenidyl : untuk mengatasi gejala akibat penggunaan obat antipsikotik adalah 5-
15 mg dikonsumsi 3-4 kali sehari
● Diphenhydramine : untuk mengatasi parkinsonism yang merupakan salah satu gejala
ekstrapiramidal adalah 25 mg dikonsumsi 3 kali sehari (Preda et al, 2018).

Psikososial Terapi

Selain penggunaan obat-obatan, intervensi psikologis dan sosial (psikososial) juga penting
dengan tujuan sebagai berikut:

1. Mencegah hospitalisasi
2. Mengurangi atau memastikan gejala pasien stabil
3. Kemandirian: bekerja atau sekolah, setidaknya setengah hari, serta mampu mengurus
keuangan dan pengobatannya sendiri
Kebanyakan individu dengan gangguan ini memerlukan beberapa bentuk dukungan untuk
dapat melakukan kegiatan sehari-harinya. Anjurkan pasien untuk bergabung dengan komunitas
penderita schizophrenia yang dapat membantu pasien untuk dapat memiliki fungsi sosial yang
baik, bekerja, serta membantu dalam situasi krisis (Preda et al, 2018).

Psikoterapi

Psikoterapi dapat membantu pasien untuk menormalkan pola pikirnya, belajar untuk
mengatasi stress, mengidentifikasi tanda-tanda schizophrenia serta meminimalisir gejala jika
terjadi kekambuhan. Psikoterapi yang diberikan dapat berupa psikoterapi individu, kelompok,
atau cognitive behavioral therapy (CBT). Psikoterapi juga bermanfaat untuk memastikan pasien
tetap patuh terhadap pengobatannya (Patel et al, 2014).

Pelatihan Keterampilan Sosial

Pelatihan ini berfokus pada peningkatan komunikasi dan interaksi sosial serta
meningkatkan kemampuan untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan sehari-hari.

Terapi Keluarga

Terapi ini memberikan dukungan dan pendidikan bagi keluarga untuk dapat menangani
anggota keluarganya dengan schizophrenia. Terapi yang diberikan bervariasi, meliputi
psikoedukasi, reduksi stres, emotional processing, cognitive reappraisal, dan cara penyelesaian
masalah.

Berdasarkan studi, terapi keluarga memiliki dampak positif terhadap pemulihan pasien,
serta peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan yang diberikan (Caqueo et al, 2015).

Rehabilitasi Pekerjaan

Rehabilitasi ini berfokus untuk membantu orang dengan gangguan schizophrenia untuk
dapat mempersiapkan, mencari serta mempertahankan pekerjaannya. Rehabilitasi jenis ini belum
tersedia di Indonesia.

Terapi Elektrokonvulsif
Bagi pasien dewasa dengan schizophrenia yang tidak mengalami perbaikan dengan obat-
obatan, terapi elektrokonvulsif (ECT) dapat dipertimbangkan. Terapi ini juga dapat
dipertimbangkan pada pasien yang mengalami gangguan depresi (Preda et al, 2018).

Pencegahan

Pencegahan sekunder pada pasien schizophrenia perlu dilakukan karena penatalaksanaan


tidak bersifat kuratif, hanya mengurangi gejala serta meningkatkan fungsi kognitif dan sosial
dalam kehidupan sehari-hari. Pencegahan ini dapat diberikan kepada pasien dan keluarganya
karena keluarga merupakan faktor utama kesembuhan pada schizophrenia. Pencegahan meliputi
pelibatan anggota keluarga dalam penanganan schizophrenia, reduksi stress, aktivitas sosial dan
fisik, serta penilaian risiko bunuh diri (Frankenburg, 2018).

Pelibatan Anggota Keluarga dalam Penanganan Schizophrenia

Menurut sebuah studi meta analisis, intervensi anggota keluarga dapat meningkatkan
emosi yang erat dalam keluarga dan mengurangi kejadian relaps dan angka rawat inap terhadap
pasien. Hal ini harus dimulai dengan pengenalan seluruh aspek penyakit terhadap keluarga
pasien dan bagaimana cara menghadapi pasien schizophrenia (Frankenburg, 2018).

Reduksi Stres

Pasien schizophrenia perlu diberikan edukasi untuk menghindari stres dan mengelola
stres yang tidak dapat dihindari. Ajarkan pasien terapi relaksasi dan metode manajemen stres
karena stres dapat memicu relaps penyakit (Frankenburg, 2018).

Jika berada pada lingkungan yang memperlakukan dengan buruk akibat stigma negatif
terhadap gangguan jiwa, pasien juga harus dibekali dengan nomor kontak layanan kesehatan,
dokter, atau nomor darurat yang bisa dihubungi untuk meminta pertolongan (Frankenburg,
2018).

Aktivitas Sosial dan Fisik

Aktivitas sosial dan fisik dapat membantu pasien untuk mengurangi stres,
mempertahankan harga dirinya, tidak merasa sendirian dan tetap sibuk. Walau demikian, pasien
harus mendapat pelatihan keterampilan sosial dan dinilai mampu untuk bersosialisasi dengan
orang lain terlebih dahulu sebelum pasien boleh melakukan aktivitas sosial yang melibatkan
banyak orang (Nemade et al, 2018).

Pengenalan Risiko Bunuh Diri

Bunuh diri merupakan salah satu komplikasi schizophrenia. Edukasi pasien untuk segera
menemui dokter jika memiliki ide atau dorongan untuk bunuh diri (Frankenburg, 2018).

Pasien yang memiliki ide bunuh diri saat pengobatan harus dilakukan penanganan yang
tepat untuk mencegah terjadinya bunuh diri, dimulai dengan penilaian/stratifikasi risiko bunuh
diri pada pasien (Frankenburg, 2018).

Prognosis

Sampai sekarang belum ada obat yang bersifat kuratif untuk schizophrenia. Pengobatan
yang efektif hanya dapat mengurangi gejala, mengurangi kemungkinan episode psikosis yang
terjadi, mempersingkat durasi episode psikotik, dan secara umum, membuat mayoritas orang
dapat hidup secara lebih produktif. Dengan pengobatan yang tepat dan konseling suportif,
seseorang dengan skizofrenia dapat memiliki fungsi hidup yang relatif baik di masyarakat
(Frankenburg, 2018).

Kunci prognosis pasien schizophrenia adalah kepatuhan pasien. Pasien dengan penyakit
jiwa umumnya memiliki tingkat kepatuhan yang rendah, baik karena denial, efek samping
pengobatan, maupun karena delusi grandiosa/paranoid yang dialami pasien. Studi menunjukkan
tingkat kepatuhan berkisar antara 26-63%.

Pasien yang mendapat pengobatan optimal umumnya akan dapat pulih total atau mampu
berfungsi secara normal. Studi menunjukkan dalam sepuluh tahun setelah diagnosis awal, sekitar
lima puluh persen orang yang didiagnosis menderita skizofrenia tercatat mampu hidup secara
mandiri dengan kualitas hidup yang baik. Dua puluh lima persen membutuhkan bantuan orang
lain, dan lima belas persen tidak dapat hidup normal sama sekali serta membutuhkan perawatan
di rumah sakit. Sepuluh persen dari populasi yang mengalami gangguan ini tidak dapat
mengatasi gejala mereka sehingga menggunakan bunuh diri sebagai jalan keluar (Nemade,
2018).

Daftar Pustaka

 Preda A, Bota RG. 2018. Schizophrenia. BMJ. 2018.


 Caqueo-Urízar A, Rus-Calafell M, Urzúa A, et al. The role of family therapy in the
management of schizophrenia: challenges and solutions. Neuropsychiatr Dis Treat.
2015;11:145-151.
 Frankenburg FR. Schizophrenia. Medscape. March 2018.
 Nemade R, Dombeck M. Prognosis and recovery factors of schizophrenia. 2018.

Anda mungkin juga menyukai