Anda di halaman 1dari 22

TEKNIK PEMETAAN BATIMETRI DI PERAIRAN SORONG

PROVINSI PAPUA BARAT

LAPORAN PENELITIAN

JOVIENTO

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARQ FAKULTAS ILMU


SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI
HAJI TANJUNGPINANG 2018
TEKNIK PEMETAAN BATIMETRI DI PERAIRAN SORONG
PROVINSI PAPUA BARAT
PENELITIAN

JOVIENTO
Nim. 190563201076

ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL


DAN POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG 2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................ i


DAFTAR TABEL ................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................
iii
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Tujuan ......................................................................................................... 2
1.3. Manfaat ....................................................................................................... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3


2.1. Batimetri ..................................................................................................... 3
2.2. Echosounder ............................................................................................... 3
2.3. Mean Sea Level ......................................................................................... 6
2.4. Pasang Surut .............................................................................................. 7
2.5. Garis Pantai ................................................................................................. 7

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 9 3.1.


Waktu dan Tempat ...................................................................................... 9
3.2. Metode ........................................................................................................ 10
3.2.1 Alat dan Bahan ........................................................................................... 10
3.3 Diagram Alur .............................................................................................. 11
3.4 Pengolahan Pemetaan Batimetri ................................................................. 12
3.4.1 Perolehan Data ............................................................................................ 12
3.4.2 Pembentukan DEM ..................................................................................... 12
3.4.3 Pembentukan Garis Pantai dan Kontur ....................................................... 13
3.5 Prosedur Kerja ............................................................................................ 13

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 15


4.1. Hasil ............................................................................................................ 15
4.2. Pembahasan ................................................................................................ 18

BAB V. PENUTUP .............................................................................................. 20


5.1. Kesimpulan ................................................................................................. 20
5.2. Saran ........................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 21


DAFTAR TABEL

1. Alat dan Bahan ................................................................................................ 9


DAFTAR GAMBAR

2. Diagram Alur ................................................................................................... 11 3.


BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemanfaatan perairan laut secara optimal memerlukan informasi mengenai
lingkungan perairan tersebut, salah satunya yaitu informasi topografi dasar perairan
yang diperoleh dari data kedalaman atau batimetri (Hamid et al. 2014).
Data dan peta batimetri merupakan data penting serta dibutuhkan untuk
pengelolaan lautan dan pengembangan wilayah pesisir secara terpadu. Informasi
batimetri sangat penting bagi aktivitas kelautan, pengembangan pesisir dan penelitian
kelautan. Batimetri mempelajari pengukuran kedalaman lautan, laut atau tubuh
perairan lainnya dan peta batimetri merupakan peta yang menggambarkan perairan
beserta kedalamannya (Setiyono 1996).
Kedalaman suatu perairan laut merupakan hal yang dinamis, terutama pada
wilayah pesisir. Pada awalnya batimetri diukur dengan menggunakan tali tambang
yang telah diberi pemberat, kemudian berkembang dengan ditemukannya
echosounder yang bekerja dengan menggunakan metode akustik. Seiring dengan
perkembangan teknologi, pengukuran batimetri saat ini dapat dilakukan dengan
penginderaan jauh (satelit). Penggunaan penginderaan jarak jauh satelit dianggap
lebih efisien dan efektif karena mampu merevisi dan mengkompilasi peta batimetri
yang telah ada.
Informasi mengenai batimetri sangat penting untuk dasar penelitian, seperti pada
dinamika pantai, sebagai operasi kelautan seperti kabel komunikasi bawah laut, atau
untuk menyediakan peta navigasi yang akurat untuk keselamatan pelayaran. Salah
satu pengukuran penting yang diperlukan untuk menentukan batimetri secara akurat
adalah rerata muka air laut atau MSL (mean sea level) yang digunakan sebagai
referensi 0 meter dan digunakan juga untuk topografi. Pemeruman dalam
Poerbandonom dan Djunarsjah (2005) dilakukan dengan membuat profil pengukuran
kedalaman. Lajur perum dapat berbentuk garis-garis lurus, lingkaran-lingkaran
konsentrik, atau lainnya sesuai metode yang digunakan untuk penentuan posisi
titiktitik fiks perumnya dan harus memperhatikan kecenderungan bentuk dan
topografi pantai sekitar perairan yang akan disurvey. Pasang surut (pasut) dikaitkan
dengan proses naik turunnya paras laut (sea level) secara berkala yang ditimbulkan
oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa, terutama matahari dan bulan,
terhadap massa air di bumi (Ongkosongo et al. 1989).

1.2 Tujuan
Tujuan dari magang ini adalah untuk membuat peta kontur batimetri sebagai
informasi geospasial dasar kelautan sesuai dengan teknologi pemetaan terkini.

1.3 Manfaat
Manfaat yang didapat dari magang ini yaitu dapat mengetahui langkah pembuatan
peta kontur batimetri dari data hasil survei serta informasi pendukung lainnya yang
tersedia dan terbaru.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batimetri
Menurut Setiyono (1996) informasi batimetri merupakan salah satu parameter
penting yang memainkan peran utama dalam kegiatan perencanaan struktur dekat
pantai seperti pekerjaan engineering, manajemen pelabuhan, penentuan jalur pipa,
operasi pengerukan, pengeboran minyak, penentuan jalur pelayaran, pendeteksian
topografi suatu perairan, dan lain sebagainya.
Batimetri merupakan proses penggambaran dasar perairan sejak pengukuran,
pengolahan hingga visualisasinya (Poerbandono et al, 2005).
Batimetri merupakan ukuran tinggi rendahnya dasar laut, sehingga peta batimetri
memberikan informasi kondisi topografi dasar perairan. Peta batimetri dapat
memberikan manfaat terhadap beberapa bidang yang berkaitan dengan dasar laut,
seperti navigasi pada alur pelayaran, kelayakan lokasi budidaya dan lokasi wisata
bahari, karena batimetri termasuk salah satu faktor lingkungan yang menjadi syarat
untuk tujuan tersebut (Arief et al. 2013).

2.2 Echosounder
Echosounder merupakan salah satu teknik pendeteksian bawah air. Dalam
aplikasinya, Echosounder menggunakan instrument yang dapat menghasilkan beam
(pancaran gelombang suara) yang disebut dengan transduser. Echosounder adalah alat
untuk mengukur kedalaman air dengan mengirimkan tekanan gelombang dari
permukaan ke dasar air dan dicatat waktunya sampai echo kembali dari dasar air
(Parkinson 1996).
Echosounder dilengkapi dengan proyektor untuk menghasilkan gelombang akustik
yang akan di masukan ke dalam air laut. Sonar bathymetric memerlukan proyektor
yang dapat menghasilkan berulang-ulang kali pulsa akustik yang dapat dikontrol.
Kegunaan dasar Echosounder adalah untuk mengukur kedalaman suatu perairan
dengan mengirimkan gelombang dari permukaan ke dasar dan dicatat waktunya
hingga Echo kembali dari dasar (Burdic 1991).

Bagian-bagian
Echosounder a. Time
Base
Time base berfungsi sebagai penanda pulsa listrik untuk mengaktifkan pemancaran
pulsa yang akan dipancarkan oleh transmitter melalui transducer. Suatu perintah dari
time base akan memberikan saat kapan pembentuk pulsa bekerja pada unit
transmitter dan receiver. b. Transmiter
Transmitter berfungsi menghasilkan pulsa yang akan dipancarkan. Suatucperintah
dari kotak pemicu pulsa pada recorder akan memberitahukan kapan pembentuk pulsa
bekerja. Pulsa dibangkitkan oleh oscillator kemudian diperkuat oleh power amplifier,
sebelum pulsa tersebut disalurkan ke transducer . c. Transducer
Fungsi utama dari transducer adalah mengubah energi listrik menjadi energi suara
ketika suara akan dipancarkan ke medium dan mengubah energi suara menjadi energi
listrik ketika echo diterima dari suatu target. Selain itu fungsi lain dari transducer
adalah memusatkan energi suara yang akan dipantulkan sebagai beam. Pulsa
ditransmisikan secara bersamaan oleh keempat kuadran tetapi sinyal diterima oleh
masing-masing kuadran dan diproses secara terpisah. Keempat kuadran diberi label.
Sudut θ pada satu bidang dibedakan oleh perbedaan fase (a – b) dan (c – d), jumlah
sinyal (a + c) dibandingkan dengan jumlah sinyal (b + d). Sudut φ di dalam bidang
tegak lurus terhadap yang pertama adalah sama dibedakan oleh perbedaan fase antara
(a + b) dan (c + d). Kedua sudut tersebut mendefinisikan arah target yang spesifik
(MacLennan dan Simmonds, 2005). Kesulitan yang dihadapi untuk mengeliminir
faktor beam pattern dapat diatasi dengan menggunakan split beam method. Metode
ini menggunakan receiving transducer yang dibagi menjadi 4 kuadran. Pemancaran
gelombang suara dilakukan dengan full beam yang merupakan penggabungan dari
keempat kuadran dalam pemancaran secara simultan. Selanjutnya, sinyal yang
memancar kembali dari target diterima oleh masing-masing kuadran secara terpisah,
output dari masing-masing kuadran kemudian digabungkan lagi untuk membentuk
suatu full beam dengan 2 set split beam. Target tunggal diisolasi dengan
menggunakan output dari full beam sedangkan posisi sudut target dihitung dari kedua
set split beam. Transducer dengan sistem akustik split beam ini pada prinsipnya
terdiri dari empat kuadran yaitu Fore, Aft, Port dan Starboard transducer. Transducer
split beam memiliki beam yang sangat tajam (100) dan mempunyai kemampuan
menentukan posisi target dalam bentuk beam suara dengan baik yaitu dengan
mengukur beda fase dari sinyal echo yang diterima oleh kedua belah transducer . d.
Reciever
Receiver berfungsi menerima pulsa dari objek dan display atau recorder sebagai
pencatat hasil echo. Sinyal listrik lemah yang dihasilkan oleh transducer setelah echo
diterima harus diperkuat beberapa ribu kali sebelum disalurkan ke recorder. Selama
penerimaan berlangsung keempat bagian transducer menerima echo dari target,
dimana target yang terdeteksi oleh transducer terletak dari pusat beam suara dan echo
dari target akan dikembalikan dan diterima oleh keempat bagian transducer pada
waktu yang bersamaan Split beam echosounder modern memiliki fungsi Time Varied
Gain (TVG) di dalam sistem perolehan data akustik. TVG berfungsi secara otomatis
untuk mengeliminir pengaruh attenuasi yang disebabkan oleh geometrical sphreading
dan absorpsi suara ketika merambat di dalam air. e. Recorder
Recorder berfungsi untuk merekam atau menampilkan sinyal echo dan juga berperan
sebagai pengatur kerja transmitter dan mengukur waktu antara pemancaran pulsa
suara dan penerimaan echo atau recorder memberikan sinyal kepada transmitter untuk
menghasilkan pulsa dan pada saat yang sama recorder juga mengirimkan sinyal ke
receiver untuk menurunkan sensitifitasnya (FAO 1983).

2.3 Mean Sea Level (MSL)


Mean Sea Level atau yang biasa disingkat MSL adalah muka laut rata-rata pada
suatu periode pengamatan pasang surut (pasut) panjang selama 18,6 tahun atau tinggi
muka air rata-rata tanpa pengaruh pasut. MSL disebut juga permukaan laut stasioner
karena MSL dianggap sebagai permukaan laut yang bebas dari semua variasi yang
bergantung pada laut. MSL dijadikan sebagai dasar dalam penentuan datum vertikal
atau bidang referensi yang berupa bidang geoid. Cara menentukan nilai MSL yaitu
dengan melihat data pengamatan pasut selama 18,6 tahun. House of Parliament
menyatakan bahwa pada tahun 2030 MSL global diproyeksikan akan meningkat
sebesar 18 cm dari tahun 2010 dan pada tahun 2070 akan meningkat sebesar 44 cm.
Hal ini terjadi karena sejak abad ke-19 terjadi kenaikan muka air laut global sebesar
20 cm. House of Parliament juga memperkirakan 40% penyebab kenaikan muka air
laut disebabkan oleh adanya global warming dan 60% berasal dari melelehnya gletser
dan ice sheet (Fatimah 2010).
Mean sea level ( MSL ) (sering disingkat menjadi permukaan laut ) adalah tingkat
rata - rata permukaan satu atau lebih dari lautan Bumi dari ketinggian seperti
ketinggian dapat diukur. MSL adalah jenis datum vertikal - sistem referensi geodetik
standar - yang digunakan, misalnya, sebagai datum bagan dalam kartografi dan
navigasi laut , atau, dalam penerbangan, sebagai permukaan laut standar di mana
tekanan atmosfer diukur untuk mengkalibrasi ketinggian dan, akibatnya, tingkat
penerbangan pesawat. Standar permukaan laut umum dan relatif jelas adalah titik
tengah antara rata - rata rendah dan pasang tinggi rata-rata di lokasi tertentu (LOP
1980).
Permukaan laut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor dan diketahui sangat bervariasi
pada skala waktu geologis . Pengukuran yang teliti terhadap variasi dalam MSL dapat
memberikan wawasan tentang perubahan iklim yang sedang berlangsung, dan
kenaikan permukaan laut telah banyak dikutip sebagai bukti pemanasan global yang
sedang berlangsung (Salomon et al. 2007).

2.4 Pasang Surut


Pasang surut adalah gerakan naik turunnya permukaan laut secara berirama yang
disebabkan oleh gaya tarik bulan dan matahari. Matahari mempunyai massa 27 juta
kali lebih besar dari massa bulan, tetapi jaraknya pun sangat jauh dari bumi (rata-rata
149,6 juta km). sedangkan buln, sebagai satelit kecil, jaraknya sangat dekat ke bumi
(rata-rata 381.160 km). Dalam mekanika alam semesta, jarak lebih menentukan
daripada massa, sehingga bulan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap
terjadinya pasang surut. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan
matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di laut.
Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu
rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari (Nontji 2005).
Menurut Pariwono (1989), fenomena pasang surut diartikan sebagai naik turunnya
muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama
matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Sedangkan menurut Dronkers (1964)
pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air
laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik
menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan.
Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh atau
ukurannya lebih kecil.

2.5 Garis Pantai


Garis pantai merupakan batas pertemuan antara daratan dengan bagian laut saat
terjadi air laut pasang tertinggi. Garis ini bisa berubah karena beberapa hal seperti
abrasi dan sedimentasi yang terjadi di pantai, pengikisan ini akan menyebabkan
berkurangnya areal daratan, sehingga menyebabkan berubahnya garis pantai. Secara
sederhana proses perubahan garis pantai disebabkan oleh angin dan air yang bergerak
dari suatu tempat ke tempat lain, mengikis tanah dan kemudian mengendapkannya di
suatu tempat secara kontinu. Proses pergerakan gelombang dating pada pantai secara
esensial berupa osilasi. Angin yang menuju ke pantai secara bersamaan dengan gerak
gelombang yang menuju pantai berpasir secara tidak langsung mengakibatkan
pergesekan antara gelombang dan dasar laut, sehingga terjadi gelombang pecah dan
membentuk turbulensi yang kemudian membawa material disekitar pantai termasuk
yang mengakibatkan pengikisan pada daerah sekitar pantai (erosi). Pada dasarnya
proses perubahan pantai meliputi proses erosi dan akresi. Erosi pada sekitar pantai
dapat terjadi apabila angkutan sedimen yang keluar ataupun yang pindah
meninggalkan suatu daerah lebih besar dibandingkan dengan angkutan sedimen yang
masuk, apabila terjadi sebaliknya maka yang terjadi adalah sedimentasi (Triatmodjo
1991).

BAB III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 15 Desember sampai dengan 31 Desember
2020. Kegiatan Penelitiam dilaksanakan di kantor Badan Informasi Geospasial yang
beralamat di Jalan Raya Bogor Km.46, Cibinong, Bogor. Dalam hal ini penelitian di
Pusat Pemetaan Kelautan dan Lingkungan Pantai.

3.2 Metode
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode pemetaan
digital. Pemetaan digital memiliki dua format data yaitu data raster dan data vector.
Proses pembuatan peta kontur menggunakan software untuk mengolah data survei
digital. Data yang digunakan adalah titik kedalaman hasil survei multibeam, SBES,
pasang surut dan Demnas.

3.2.1 Peralatan Penelitian


No Alat dan Bahan Fungsi
1 PC (Personal Computer) Tempat Mengolah data batimetri
2 Software Arcgis 10.2 Untuk pengolahan data
3 Software Global Mapper 15 Untuk pengolahan data
4 Alat tulis Untuk menulis keterangan
5 Data Batimetri Untuk data pengolahan DEM dan kontur
3.3 Pengolahan Pemetaan Batimetri
3.3.1 Perolehan Data
Data digital yang diperoleh dari Pusat Pemetaan Kelautan dan Lingkungan Pantai
Badan Informasi Geospasial yaitu data kedalaman baik SBES dan MBES dari hasil
survey PPKLP tahun 2018. Data hasil survey di kota Sorong Papua Barat tersebutn
telah di koreksi terhadap pasut dan datum menggunakan MSL.
Dan data DEMNAS atau data darat dari hasil pengoahan yang diperoleh dari
proses download pada http://tides.big.go.id/demnas. Data dalam bentuk tiff dilakukan
koreksi terhadap MSL untuk dimerge terhadap data perum.
3.3.2 Pembentukan DTM
Dalam tahap ini dilakukan pengolahan data utama hipsografi laut dari hasil survey
hidrografi atau sumber yang ditentukan untuk membentuk Digital Terrain Model
(DTM) atau disebut juga Digital Elevation Model (DEM). Sumber yang ditentukan
berupa:
• Data batimetri (titik kedalaman keseluruhan hasil survei).
• Data garis pantai (titik waypoint/abcd dan garis tracking survei).

Keseluruhan data titik (point) harus diintegrasikan dan diperiksa ulang untuk
memastikan memiliki nilai kedalaman/ketinggian kemudian dilakukan perubahan
geometri data point menjadi 3D point (point ZM). Perubahan input data point menjadi
fitur point ZM sebagai input data dalam perkiraaan bentuk permukaan (surface
approximation). Kunci utama dalam memahami bentuk medan (terrain) dasar laut
adalah resolusi horisontal dan akurasi vertikal hasil dari sonar system relatif lebih
rendah dari terrestrial surveys. Seringkali terdapat gap sepanjang garis pantai diantara
data batimetri data dataset elevasi terrestrial. Gap ini disebut juga
“tidal/shoreline region” harus diperhatikan, dimana data garis pantai yang ditentukan
berperan besar, agar dalam prosesnya tidak menghasilkan No Data gaps.

Metode yang ditentukan dalam pembentukan DTM/DEM permukaan dasar laut


adalah
Metode regular (Grid) berupa:
• Kriging
• Inverse Distance Weighted
• Natural Neighbor

3.3.3 Pembentukan Garis Pantai, dan Kontur


Secara umum dalam tahap ini dilakukan pengolahan data hasil pembentukan DTM.
Proses yang dilakukan adalah untuk pembentukan data hipsografi laut berupa:
1. Garis pantai, yang terdiri dari:
• Garis pantai pasang tertinggi.
• Garis pantai surut terendah.
• Garis pantai air laut rata–rata.
2. Kontur kedalaman Ketentuan interval dan nilai kontur index untuk garis kontur
kedalaman laut berdasarkan ketentuan/klasifikasi untuk Peta Batimetri Skala
1:10.000 yang dapat dilihat dalam tabel
3.4 Diagram Alir

Mulai

Data SBES, MBES, Data DEMNAS


Garis Pantai

Proses format shp Proses TIFF ke shp

Pengolahan

Peta Kontur

Selesai

Gambar 1. Diagram alir


3.5 Prosedur Kerja Data Perum
Pada pengolahan data batimetri yang telah di koreksi pasut dilakukan tahap-tahap
berikut untuk menyakikan peta sesuai penyajian peta LPI yaitu:
 Data lapangan yaitu data garis pantai, data perum dengan singlebeam
echosounder dan multibeam echosounder format txt di ubah menjadi format
shp
 Lalu data di kerjakan dengan one by one dengan cara memisahkan data sbes,
mbes dan garis pantai lalu selected features lalu export data dan di merge
 Di software arcmap, pilih catalog dan buat file bentuk gdbdengan klik kanan
klik new kemudian klik file geodatabase lalu klik feature class.
 Setelah itu klik load untuk load data SBES, data nMBES dan data garis pantai
 Klik 3D analyst tools kemudian raster interpolation dan pilih natural neighbor
sesuai KAK sorong dan klik Ok
 Setelah selesai interpolation, lakukan tahapan topo to raster, raster surface dan
kontur
 Dalam mengerjakan contour dilakukan tahap contour list sesuai penyajian
kontur kedalaman LPI dengan interval 2 m
 Setelah hasil contour selesai, dilakukan proses smoothing
Hasil smoothing dilakukan editing dengan menghapus poin untuk membuat hasil
kontur lebih bagus tanpa mengurangi hal yang penting dalam data.

BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
Hasil data digital dengan lokasi Sorong provinsi Papua Barat yang telah di
koreksi dengan data pasang surut diolah dengan menggunakan software Arcgis 10.2.
Dilakukan proses pembentukan DEM atau Digital Elevation Model. Data digital di
lakukan merge dengan data darat yaitu DEMNAS yang diperoleh dari website
tides.big.co.id/demnas. Data DEMNAS dlam bentuk TIFF di export dalam bentuk
shp.
Setelah data pemeruman di merge dengan data DEM darat dilakukan proses
interpolasi dengan metode regular grid yaitu natural neighbor lalu data kedalaman dan
garis pantai di olah dengan software Arcgis 10.2 sehingga di dapatkan peta interpolasi
natural neighbor perairan Sorong provinsi Papua Barat. Setelah proses interpolasi,
data hasil pemeruman dan data darat di lakukan proses topo to raster.
Kemudian dilakukan proses kontur dan dalam mengikuti aturan penyajian peta
LPI dengan skala peta yaitu 1:24.000 countur list dengan interval 2 m. Hasil kontur
dapat di lihat pada gambar 2. Data titik garis pantai digabungkan dalam data olahan
batimetri untuk dijadikan titik acuan koordinat garis pantai di lokasi penelitian.

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Teknik pemetaan dengan metode pemetaan digital dalam proses pengolahan
pembuatan peta kontur batimetri menggunakan data perum dan data darat
menggunakan software global mapper dan Arcgis. Data digital harus diperhatikan
vegetasi kedalaman antara laut dengan darat tidak terjadi timpang tindih data
kedalaman yang sangat tidak signifikan. Data perum dan data darat telah disurutkan
terhadap MSL. Data darat dan laut di merge sebelum proses kontur dan data darat di
positif sedangkan nilai data perum di negatif agar data darat maupun data perum
memiliki perbedaan saat di lakukan proses pengolahan peta kontur.

5.2 Saran
1. Dibutuhkan teknik dasar dalam pengolahan data agar lebih mudah mempelajari
proses koreksi pasut.
2. Mempelajari MSL dalam pengolahan data darat yang diperoleh dalam data
DEMNAS

DAFTAR PUSTAKA
Arifianti, Y. 2011. Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere. Bulletin
Vulkanologi dan Bencana Geologi., 6(1): 53 – 62.

Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S. P,. dan Sitepu M. J. 1996. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, PT. Pradnya Paramita, Jakarta

DISHIDROS-TNI AL. 2005. Peta No.1, Simbol Dan Singkatan Peta Laut. Jakarta. 89
hlm.

IHO (International Hydrographic Organization). 2005. Manual on Hydrography.


International Hydrographic Bureau, Monaco.

Ongkosongo, Otto S.R dan Suyarso. 1989. Pasang-Surut. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta, 257 hlm.

Poerbandono dan Djunarsjah, E. 2005. Survei Hidrografi. PT. Refika Aditama,


Bandung, 163 hlm.

Pipkin, B.W., D.S Gorsline., R. E. Casey and D.E. Hammond. 1987. Laboratory
Exercises in Oceanography. 2nd Edition. W.H. Freeman and Company, New
York.

Setiyono, Heryoso. 1996. Kamus Oseanografi. Gadjah Mada University Press,


Jogjakarta, 210 hlm.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Alfabeta, Bandung.

Tania Dina, 2009. Sebaran Endapan Plaser Timah Daerah Laut Cupat Dan Sekitarnya,
Perairan Bangka Utara, Kabupaten Bangka Barat, Propinsi Kepulauan Bangka
Belitung. Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 2 (2) Juli 2009.

Triatmodjo, B. 2009. Perencanaan Pelabuhan. Beta Offset. Yogyakarta. 488 hlm.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif. Alfabeta, Bandung.

Triatmodjo, B. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset. Yogyakarta. 397 hlm.

___________. 2010. Perencanaan Pelabuhan. Beta Offset. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai