Anda di halaman 1dari 7

Manajemen Perpajakan

RMK #15

Ainun Namira Putri - A014202009

BAB XIII
KONSEP DASAR PERPAJAKAN INTERNATIONAL

13.1 Perpajakan Internasional

Istilah "perpajakan internasional" mungkin dianggap sebagai istilah yang tidak cocok
menurut Arnold, definisi perpajakan internasional mengacu kepada aspek
internasional dari hukum pajak penghasilan dari suatu negara tertentu. Secara
umum, hukum pajak tidak bersifat internasional. Setiap negara berdaulat' berhak
menciptakan hukum pajak di masing-masing di negaranya. Hukum perpajakan
internasional kemudian muncul dari praktek kebiasaan yang berlaku secara
internasional atau berdasarkan peran serta aktif dari organisasi internasional seperti
Organization for Economic Co-operation and Development ("OECD") dan United
Nation ("UN").

Untuk menghindari dampak pengenaan perpajakan berganda yang terjadi di kedua


negara, maka diperlukan suatu peraugkat perjanjian yang bertujuan untuk membagi
hak pemajakan atas suatu jenis penghasilan yang diterima oleh suatu individu atau
badan tersebut. Alasan kedua negara (negara sumber dan negara domisili) tersebut
mengenakan pajak adalah:

1. Negara sumber berhak untuk memajaki penghasilan yang bersumber dari


negaranya; dan

2. Negara domisili berhak untuk memajaki penghasilan karena pihak yang


memperoleh penghasilan tersebut adalah subjek pajak dalam negeri di negaranya;

Saat ini, persetujuan penghindaran perpajakan berganda ("P3B") atau sering disebut
tax treaties yang ada berjumlah melebihi dari 2000 P3B. Dengan adanya P3B ini,
maka suatu negara mitra P3B dibatasi dalam mengenakan pajak secara signifikan.
Akan tetapi, P3B secara umum tidak mengenakan pajak. Namun, dibanyak negara,
P3B tersebut secara eksklusif meringankan beban pajak yang ditanggung oleh
subjek pajak dalam negeri. Meskipun, P3B merupakan perjanjian yang mengikat
antara kedua negara yang berdaulat, tetapi secara umum tidak mempunyai
pengaruh kepada wajib pajak kecuali P3B secara spesifik dimasukan ke dalam
sistem perpajakan suatu negara berdasarkan ketentuan domestik.

Ruang lingkup perpajakan internasional sangat luas. Hal ini menekankan pada
semua masalah pajak yang muncul berdasarkan hukum pajak penghasilan suatu
negara meliputi beberapa faktor yang berkaitan dengan kegiatan luar negeri. Faktor-
faktor tersebut diantaranya adalah:

1. Aspek pajak penghasilan dari kegiatan barang dan jasa antar negara;

2. Kegiatan manufaktur antar negara yang dilakukan oleh perusahaan


multinasional;

3. Investasi yang dilakukan antar negara oleh individu atau dana investasi;

4. Perpajakan oleh individu yang bekerja atau melakukan kegiatan bisnis di luar
negara dimana mereka selalu bertempat tinggal.

13.2 Juridical Double Taxation vs.Economical Double Taxation


Perpajakan berganda secara yuridis seringkali muncul karena sebagian besar
negara, menambahkan pengenaan pajaknya atas harta domestik dan transaksi
ekonomi, mengenakan pajak atas transaksi yang dilakukan dan modal yang terletak
di negara lain sejauh bahwa memberikan keuntungan kepada wajib pajak dalam
negeri. Definisi dari perpajakan berganda secara yuridis menurut Commentary Pasal
1 OECD Model adalah sebagai berikut:
"International )uridical double taxation can be generally defined as the imposition of
comparable taxes in two (or more) States on the same taxpayer in respect of the
same sub)ect matter and for identical periods."
Terjemahannya adalah:
"Perpajakan berganda internasional secara umum dapat didefinisikan sebagai
pengenaan pajak yang berbeda di dua (atau lebih negara) pada wajib pajak pajak
yang sama berkaitan dengan jenis penghasilan atau modal yang sama dalam
periode yang sama."
Berdasarkan uraian dalam Commentary O E C D Model di atas, maka elemen yang
masuk dalam perpajakan berganda secara yuridis^ adalah sebagai berikut:
a. Dikenakan pajak sebanding;
b. Lebih dari satu negara;
c. Pada wajib pajak yang sama;
d. Terkait dengan penghasilan dan modal yang sama;
e. Pada periode yang sama;

13.3 Anti Tax Avoidance


Dalam transaksi internasional banyak menciptakan peluang untuk melakukan
penghindaran pajak.Tetapi dalam konteks ini, istilah penghindaran pajak harus
dibedakan dengan istilah tax evasion atau penyelewengan pajak dan tax planning
atau perencanaan pajak. Menurut Arnold, tax avoidance" atau penghindaran pajak
berarti transaksi atau pengaturan yang dilakukan oleh wajib pajak untuk
meminimalisir jumlah pajak terutang secara sab". Selain itu, tax avoidance
mempunyai arti sebagai pemanfaatan secara legal dari rezim pajak untuk
memperoleh keuntungan, dengan mengurangi jumlah pajak yang terutang dengan
cara tersebut berdasarkan ketentuan domestiknya". Berdasarkan Laporan
Penghindaran Dan Penyelewangan Pajak Internasional (Report on International Tax
Avoidance and Evasion) yang dirilis oleh O E C D pada tahun
1987 menyebutkan dalam kaitan i n i " :
T a x avoidance... is ofconcern to governments because such practices are contrary
to fiscal equity, have serious
budgetary effects and distort international competition and capital fiows'.
Terjemahannya adalah:
'Penghindaran pajak... menjadi perhatian pemerintah karena praktik-praktik tersebut
bertentangan dengan ekuitas fiskal, memiliki efek anggaran serins dan mendistorsi
persaingan internasional dan arus modal.'

Berdasarkan laporan yang dirilis OECD tersebut tidak secara tegas mendefinisikan
pengertian dari tax avoidance. Namun, dalam laporan tersebut pemerintah
memberikan batasan kriteria penentuan suatu kegiatan termasuk sebagai tax
avoidance.

1. Hampir selalu ada unsur tidak sah (artificial) untuk itu atau, untuk
menempatkan ini dengan cara lain, berbagai pengaturan dalam skema yang
tidak memiliki bisnis atau tujuan ekonomi sebagai tujuan utama mereka;
2. Kerahasiaan juga mungkin bentuk penghindaran modern; dan
3. Penghindaran pajak sering mengambil keuntungan dari celah dalam hukum
atau menerapkan ketentuan hukum, untuk tujuan yang tidak dimaksudkan
mereka.

Dalam sudut pandang pemerintah, tax avoidance cenderung tidak dapat diterima karena merupakan
suatu bentuk pengurangan pajak. Berbeda halnya dengan tax planning yang merupakan penghindaran
pajak yang dapat diterima meskipun oleh pemerintah. Namun dalam perkembangannya, perencanaan
pajak yang dilakukan oleh wajib pajak cenderung agresif, sehingga memberikan dampak risiko yang
signifikan terhadap penerimaan pajak dari suatu negara. Oleh karena itu, OECD pada tahun 2013 telah
menerbitkan Laporan Base Erosion Profit Shifting ("BEPS") dan Rencana Aksi BEPS yang bertujuan
untuk mengatasi risiko perencanaan pajak secara agresif yang dilakukan secara berkoordinasi antar
negara-negara. Tindakan yang dilakukan oleh hanya oleh suatu negara tidak menjadi efektif untuk
mengatasi risiko perencanaan pajak secara agresif ini.

Sedangkan, tax evasion sendiri merupakan istilah umum yang berusaha untuk tidak membayar pajak
secara ilegal. Berbeda dengan tax evasion, tax planning dan tax avoidance terdiri dari tindakan oleh
wajib pajak untuk mengurangi beban pajak yang bukan merupakan tindak pidana.

Berdasarkan uraian di atas, maka berikut ini adalah ringkasan yang dapat membedakan antara tax
avoidance, tax planning dan tax evasion.

Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau aggressive tax


planning, umumnya suatu negara menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran
pajak yang diatur dalam peraturan perundang- undangan perpajakan sebagai berikut
ini:

1. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran


pajak yang bersifat khusus untuk mencegah suatu skema transaksi
penghindaran pajak tertentu seperti skema penghindaran pajak dalam bentuk
(i) transfer pricing, (ii) thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv)
controlled foreign corporation ( C E C ) ;
2. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti penghindaran
pajak yang bersifat umum untuk mencegah transaksi yang semata-mata
dilakukan oleh subjek pajak untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi
yang tidak mempunyai substansi bisnis."

13.4 Pengertian dan Tujuan Penghindaran Pajak Berganda'*


Istilah "Penghindaran Perpajakan Berganda" telah dijelaskan pada butir I dan I I d i
atas. Adapun tujuan penghindraan pajak berganda sebagaimana disimpulkan oleh
Baker adalah sebagai berikut:

1. Mengeliminasi perpajakan berganda untuk mencegah sesuatu yang tidak


mempunyai harapan (keputusasaan) dari perdagangan dan investasi
internasional dan arus pergerakan orang;

2. Menyediakan kepastian karena kepada rezim pajak yang dihadapi oleh para
investor dan pengusaha -juga menghindari keputusasaan perdagangan dan
investasi internasional;

3. Menyediakan kerjasama antara otoritas pajak untuk memerangi


penghindaran pajak dan penggelapan pajak;

4. Menyediakan pertukaran informasi dengan pandangan untuk memerangi


penghindaran dan penggelapan pajak dan juga tujuan untuk melaksanakan
P3B dan hukum domestik dari negara yang bersangkutan;

5. Mengeliminasi bentuk diskriminasi pajak tertentu;

6. Membagi penerimaan pajak antara kedua negara;

7. (secara jarang) menyediakan bantuan kerjasama dalam menagih penerimaan


pajak;

8. "Membentuk hubungan fiskal" antara otoritas yang berwenang dari kedua


negara.

Oleh karena itu, berdasarkan pendapat yang disimpulkan oleh Baker di atas, maka
tujuan peghindaran pajak tidak hanya mencegah terjadinya penghindaran pajak
berganda dan penyelewengan pajak. Dengan demikian, penghindaran pajak
berganda ini juga bertujuan untuk mengadakan kerjasama, koordinasi dan
sinkronisasi atas implikasi perpajakan secara internasional dari kegiatan bisnis yang
dilakukan oleh wajib pajak.

13.5 Transfer Pricing

Transfer Pricing, dalam perspektif perpajakan, adalah suatu kebijakan harga dalam
transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Proses kebijakan tersebut menentukan pula besaran penghasilan dari setiap entitas
yang terlibat. Menurut Arnold dan Mclntyre, harga transfer adalah setiap harga yang
ditetapkan oleh Wajib Pajak pada saat menjual, membeli, atau membagi sumber
daya dengan afiliasinya. Perusahaan-perusahaan multinasional menggunakan harga
transfer untuk melakukan penjualan dan pengalihan aset serta jasa dalam grup
perusahaan."

Dalam konteks rezim transfer pricing internasional, dianut norma arm's length
principle atau arm's length standard. Berdasarkan norma ini, suatu transaksi antara
pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dianggap wajar apabila masing-
masing pihak yang bertransaksi berperilaku selayaknya pihak-pihak yang
independen. Atau dari sisi praktis, perilaku pihak yang terlibat dalam transaksi
tersebut diperbandingkan dengan perilaku pihak-pihak independen dalam transaksi -
transaksi sejenis, serta dalam kondisi yang serupa.^"

Di Indonesia sendiri, isu transfer pricing telah berkembang dalam beberapa tahun
terakhir. Untuk menghadapi transaksi perusahaan multinasional yang berkaitan
dengan transfer pricing, otoritas pajak Indonesia telah menerbitkan beberapa
peraturan baik dalam ketentuan perpajakan internasional dan domestik. Adapun
ketentuan-ketentuan terkait dengan transfer pricing adalah sebagai berikut:

1. Pasal 9 P3B Indonesia dengan Negara Mitra P3B;

2. Pasal 18 ayat (2), dan (4) U U PPh No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan;

3. PER-32/PJ/2011 jo PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran


dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak
yang Mempunyai Hubungan Istimewa;

4. PER-22/2013 dan SE-50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan


terhadap Wajib Pajak yang Mempunyai Hubungan Istimewa;

5. PER-69/PJ/2010 tentang Kesepakatan Harga Transfer {Advance Pricing


Agreement);

6. PER-48/PJ/2010 tengtang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan


Bersama (Mutual Agreement Procedure) berdasarkan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda;
Atas transaksi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, apabila tidak
memenuhi prinsip harga dalam transaksi yang wajar {"Arm's Length Principle"), maka
otoritas pajak diberikan kewenangan untuk menentukan kembali harga transfer yang
wajar atas transaksi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional tersebut.

Anda mungkin juga menyukai