Anda di halaman 1dari 11

Disusun oleh :

Erfa Ramanda 19010000086


Fransisco Caesar Rio 1900000087
Nandar Irawan 19010000089
Alodia veronita 19010000071

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MERDEKA MALANG

2020

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah Subhaanahu wa ta’ala,


karena berkat limpahan Rahmat dan Ridho-nya, sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini. Salawat dan salam dihaturkan kepada junjungan Nabi besar
Muhammad SAW atas perjuangan beliau, penulis dapat menikmati pencerahan
iman dan islam dalam mengarungi samudera kehidupan ini. Dalam makalah ini
penulis akan membahas mengenai “Pengertian Hakim, Mahkum fih, dan Mahkum
Alaih” dalam rangka memenuhi tugas Hukum Islam .
Tak lupa, penulis ucapkan terimakasih kepada bapak PROF. KH. DR.
Kasuwi Saiban , M.AG. selaku pembimbing dalam pembelajaran mata kuliah
Hukum Islam , juga kepada semua teman-teman yang telah memberikan dukungan
kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah
ini.
Oleh karena itu, penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran serta
kritik yang dapat membangun penulis. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Malang , 23 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................... 1
DAFTAR ISI .................................................................................................. 2
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah ...................................................................... 3
B.     Rumusan Masalah ................................................................................ 3
C.     Tujuan Penulisan................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A.    Hakim .................................................................................................. 4
B.     Mahkum fih ......................................................................................... 6
C.    Mahkum alaih ...................................................................................... 8
D.     Korelasi antara Hakim Mahkum fih dan Mahkum alaih ...................... 9
BAB III PENUTUP
A.  Kesimpulan........................................................................................... 10

B.   Saran..................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Atas dasar bahwa hukum syara’ itu ialah kehendak Allah tentang tingkah laku
manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver) ialah
Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut
Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi
hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu membimbing
dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung
dalam sebagian ayat-ayatnya.
Harus kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selalu
berhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i
selalu melekat pada diri seorang muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis
selama muslim itu masih eksis. Oleh karena itu, muslim perlu mempelajari dan
memahami masalah-masalah tentang hukum syar’i.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hakim, , mahkum fih, dan mahkum alaih?
2.      Apa hubungan atau korelasi antara hakim, mahkum fih dan mahkum alaih?

C. Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan hakim, mahkum fih, dan mahkm
alaih.
2.      Untuk mengetahui hubungan atau korelasi antara hakim, mahkum fih dan
mahkum alaih
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hakim
Di antara masalah yang sangat penting yang harus dijelaskan dalam kajian
syari'at Islam, ialah mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum, yakni
siapakah Sang Pembuat Hukum (Al-Hakim) itu. Sebab pengetahuan terhadap Al
Hakim akan membawa pengetahuan terhadap hukum dan hal-hal yang berkaitan
dengannya. Yang dimaksud dengan hakim di sini bukanlah pemegang kekuasaan
(pemerintahan), tetapi Al Hakim di sini ialah siapa yang berhak mengeluarkan
hukum atas perbuatan manusia (Al Af'aal) dan atas benda-benda (Al-Asy-yaa').
Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian[1][1][1] :
‫ِّر َها‬ ِ ِ
ُ ‫صد‬ َ ‫َواض ُع ااْل َ ْح َكام َو ُمثَبَُّت َها َو ُمْنثُئ َها َو َم‬
“Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum”.
ِ ِ
ُ ‫الَّذ ْي يُ ْد ِر ُك ااْل َ ْح َك ِام َويَظْ َه ُر َها َويُ َعِّر ُف َها َويَكْش‬
‫ف َعْن َها‬
Artinya: “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan
hukum”.
Pengertian hukum menurut ulama ushul fiqh ialah Firman Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim
ialah Allah.  Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim
ialah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari
Allah, karena hukum menurut mereka ialah khitab (pernyataan) al syari’( Allah)
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik itu tuntutan, pilihan ataupun
hukum wadli (sebab, syarat, dan mani’).[1][2][2] Al Qur’an telah mengisyaratkan
hal ini dengan firman Allah:

Artinya: Katakanlah (Muhammad), Aku (berada) diatas keterangan yang nyata (al-


Qur’an ) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku
(untuk menurunkan adzab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya.
Menetapkan (hukum itu)  hanyalah hak  Allah. Dia menerangkan kebenaran dan
Dia pemberi keputusan yang terbaik. (QS.Al-An’am: 57)
Dari sini jelas pula, bahwa yang memiliki wewenang menetapkan dan
membuat hukum ialah Allah SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-
hukum Allah ialah para Rasul-Nya. Beliau-beliau inilah yang menyampaikan
hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.[1][3][3] Mereka ialah para rasul
Allah serta para ulama’ sebagai pewaris beliau.
Ketika rasul sudah diutus dan seruannya telah sampai kepada manusia, maka
disini tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang menjadi al-hakim terhadap
perbuatan mereka ialah Allah SWT. Yang menjadi perselisihan ialah tentang
siapakah yang menjadi al-hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasul diutus.
Dengan kata lain sebelum rasul diutus, bagaimana kriteria baik buruknya suatu
perbuatan.[1][4][4]
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa sebelum diutus, akal manusia itulah
yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik buruknya suatu
perbuatan, baik berdasar pada hakikat atau sifat perbuatan itu. Dasar mazhab ini,
bahwa baik dari perbuatan itu bila mengandung keuntungan, perbuatan jelek
karena mengandung madharat.[1][5][5]
Golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa sebelum diutusnya rasul dan
seruannya sampai kepada seseorang atau komunitas, seluruh perbuatan mukallaf
tidak diberi hukum. Artinya pada perbuatan itu tidak berlaku sanksi atau pahala.
Berbuat baik tidak ada pahala dan berbuat jahat tidak ada sanksi padanya. Baik
menurut golongan ini ialah perbuatan yang mukallaf diperintahkan untuk
melaksanakannya oleh syari’ dan perbuatan buruk ialah yang dilarang
melakukannya oleh syari’. Dengan lain ungkapan penentuan baik buruk sebuah
perbuatan itu oleh syari’ (Allah SWT), bukan akal manusia.
Kekuasaan kehakiman yang diberikan Allah SWT kepada Rasulullah SAW
juga dapat kita lihat dengan jelas dalam al-Qur’an pada surah An-Nisa ayat 105:

Artinya: sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
diwahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi (orang yang tidak bersalah)
karena membela orang-orang berkhianat.
 Dari arti ayat di atas jelas diutusnya Rasul oleh Allah Swt di samping sebagai
Kepala Negara, juga sebagai pengendali kekuasaan kehakiman (Hakim) yang
memutus perkara yang timbul dalam masyarakat. Nabi Muhammad Saw sebagai
Hakim sedangkan pewaris para Nabi ialah ulama, maka ulama itu ialah
kepercayaan para Rasul, oleh karena itu Hakim dalam kapasitasnya sebagai
pengendali keadilan dan kebenaran ialah ahli waris para Rasul. Sedangkan ahli
waris dan kepercayaan para Rasul itu ialah ulama, dengan demikian tidak dapat
disangkal lagi bahwa Hakim itu ialah ulama.
B.       Mahkum Fih
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan  ‫في‬ ‫المحكم‬
‫ه‬ ialah objek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum
syar'i, yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan,
memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah,
rukshah, sah, serta batal.[1][6][6]

Misalnya firman Allah:


‫ ابَالْعُ ُق ْو ِج‬ ‫يآاَُّي َها الَّ ِذيْ َن َام ُن ْو‬
Artinya : "hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janji."
Dalam firman Allah tersebut yang dimaksud dengan mahkum fih ialah
menyempurnakan janji sebab bertalian dengan ijab, maka hukumnya ialah wajib :
Syarat Sahnya tuntunan dengan perbuatan disyaratkan dengan adanya 3 syarat
:
1.      Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukallaf, sehingga dia dapat
mengerjakan tuntutan itu sesuai yang diperintahkan. Misalnya,  firman Allah
َّ ‫اَقِ ْي ُم ْوا‬
SWT :  َ‫الصلوة‬
Artinya : "Dirikanlah shalat"
Dalam nash Al-Qur'an belum dijelaskan rukun-rukun shalat,            syarat-
syaratnya, dan cara-cara menunaikannya. Sebab nash Al-Qur'an itu sifatnya masih
global. Maka Rasulullah menjelaskan nash Al-Qur'an tersebut:
ِ
َ ُ‫صلُّ ْوا َك َم َارأ َْيتُ ُم ْونى ا‬
‫صلِّى‬ َ
Artinya : "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sedang
menunauikan shalat".
Jadi tidak sah menggunakan khitob yang global sebab hal tersebut tidak
diketahui maksudnya. Kecuali setelah ada penjelasan mengenai hal itu.[1][7][7]
2.      Tuntutan itu keluar dari orang yang punya kuasa menuntut atau dari orang yang
wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukalla. Misalnya : hakim itu mengeluarkan
undang-undan atas dasar keputusan majelis kabinet dan dengan persetujuan
parlemen supaya orang-orang mukallaf mengetahui bahwa undang-undang itu
keluar dari orang yang punya kekuasaan membuat hukum sehingga mereka akan
berupaya melaksanakannya.
3.      Perbuatan yang dituntut ialah perbuatan yang mungkin (bisa dilakukan).
Dari syarat ini bercabanglah 2 (dua) hal :
a.         Menurut syara' tidak sah membebani hal yang mustahil (yang tidak mungkin
bisa dilakukan). Misalnya : mengumpulkan dua hal yang berlawanan. Contoh :
tidur dan bangun di waktu yang sama.
Pendapat ulama ushuliyah: "Satu orang dalam satu waktu dengan satu hal tidak
bisa diperintah dan tidak bisa dilarang".[1][8][8]
b.      Menurut syara' tidak sah membebani mukallaf agar selain dia mengerjakan
perbuatan atau mencegahnya.

Contoh :
‫الَتَ ُموتُ َّن اِالَّ َواَْنتُ ْم ُم ْسلِ ُم ْو َن‬
Artinya: "Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama
Islam" (Q.S. Al-Baqarah : 132).
Lahirnya ialah membebani mereka sekarang agar mereka itu ketika mati
dalam keadaan Islam.[1][9][9]
Dalam setiap perbuatan yang dibebankan manusia pastilah ada kesulitan,
karena beban (taklif) itu ialah menetapkan suatu yang mengandung kesulitan.

Hanya saja kesulitan (masyaqat) itu ada 2 (dua) macam :


1.      Kesulitan yang sudah menjadi kebiasaan manusia untuk menanggungnya dan
kesulitan itu masih ada batas-batas kemampuan mereka.
Contoh: manusia mencari rizki dengan bercocok tanam, berdagang.
2.      Kesulitan yang keluar dari pada kebiasaan manusia. Dan tidak mungkin mereka
menanggunya.
Contoh : Bernadzar puasa seumur hidup.
Rasulullah SAW bersabda kepada seseoang yang nadzar hendak berpuasa sambil
berdiri menghadap matahari.[1][10][10]
‫س‬ َّ ‫ك َوالَ َت ُق ْم فِى‬
ِ ‫الش ْم‬ َ ‫ص ْو َم‬ ِ
َ ‫اَت َّم‬
Artinya: "Sempurnakanlah puasamu, dan jangan berdiri menghadap
matahari."
C.    Mahkum alaih
Para ulama usul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum
alaih (  ‫اَل َْم ْح ُك ْم َعلَْي ِه‬  ) ialah seseorang yang dikenai khitab allah ta’ala, yang
disebutkan dengan mukallaf (‫ف‬ ُ َّ‫اَل ُْم َكل‬  ).
Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul
fiqih,istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih (dalam subjek). Orang mukallaf
ialah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan
dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Apabila ia mengerjakan
perintah Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.
[1][11][11] 
Mengenai sahnya memberi beban kepada mukallaf, dalam syara disyaratkan
dua syarat:
Pertama: Mukallaf dapat memahami dalil taklif, seperti jika dia mampu
memahami nash-nash undang-undang yang dibebankan dari al-Quran dan as-
Sunnah dengan langsung atau dengan perantara. Karena orang yang tidak mampu
memahami taklif, dia tidak dapat mengikuti yang dibebankan kepadanya, dan
tujuannya tidak mengarah kesana. Sedangkan kemampuan memahami dalil itu
hanya nyata dalam akal, dan dengan adanya nash-nash yang dibebankan kepada
orang-orang yang punya akal itu dapat diterima pemahamanya oleh akal mereka.
Karena akal itu ialah alat untuk memahami dan menjangkau.[1][12][12]
Adapun orang-orang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat memahami
dalil-dalil tuntutan syara dari al-Quran dan as-Sunnah,maka jalan keluarnya untuk
menagtasinya ditempuh melalui beberapa jalan, yaitu:
a.         Menerjemahkan Al-Qur’an dan As Sunnah ke dalam beberapa bahasa, atau ke
dalam bahasa mereka.
b.         Menyeru orang yang tidak mengetahui bahasa arab untuk mempelajari bahasa
arab agar dapat kita sampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah.
c.         Wajib kita mengadakan segolongan dari umat kita untuk mempelajari bahasa
asing dengan sempurna, guna menyampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah kepada
orang asing itu.[1][13][13] 
Dalil kewajiban itu berdasarkan :
‫ب‬ِ ِ‫اه ُد ِم ْن ُك ُم الغَائ‬
ِ ‫الش‬
َّ ‫اَن َي ْبلُ َغ‬   
Artinya: “Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir
diantara kamu.[1][14][14]
Kedua: Mukallaf ialah orang yang ahli sesuatu yang dibebankan kepadanya.
Pengertian ahli menurut bahasa ialah kelayakan atau layak, (seperti bila) dikatakan:
“fullan ialah ahli (    ‫فالت أهل النظرعلى الوقف‬    ) (layak) memelihara wakaf”, artinya
ialah ‫صالح له‬ = “layak baginya”
Sedangkan menurut ulama usul: ahli (layak) itu terbagi kepada dua bagian
yaitu: ahli wajib dan ahli melaksanakan
a.         Ahli Wajib (Ahliyyatul Wujub)
 ‫ب‬ِ ‫اَ ْهلِيَّةُ ال ُو ُج ْو‬ialah kepantasan seseorang mempunyai hak dan kewajiban.
1)      Yang dimaksud dengan hak ialah sesuatu yang harus diterimanya dari orang
lain.
2)      Kewajiban ialah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain. [1][15][15]
Jadi, ahliyyatul wujub itu ialah kelayakan seseorang untuk ada padanya
dalam  keputusan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi
kewajiban kepada orang lain.
b.         Ahli Melaksanakan (Ahliyyatul Ada’)
 ‫اَ ْهلِيَّةُ ْاالَدَا ِء‬    ialah kepantasan seorang mukallaf yang ucapan dan perbuatannya
diperhitungkan oleh syara’[1][16][16]. Sekira apabila keluar dari padanya akad
(contract) tasharruf (pengelolaan ), maka menurut syara akad  atau tasharruf itu
bisa diperhitungkan adanya, dan terjadi tertib hukum atasnya. Apabila mukallaf
mendirikan shalat, atau puasa atau mengerjakan kewajiban apa saja, maka semua
itu menurut syara’ bisa diperhitungkan, dan bisa menggugurkan kewajiban
mukallaf. Dan apabila mukallaf membuat pidana atas orang lain dalm soal jiwa,
harta, kehormatan, maka dia dihukum sesuai dengan pidananya itu dengan bentuk
fisik dan harta.

D.     Korelasi antara hakim, mahkum fih dan mahkum alaih


1.         Korelasi antara hakim dengan mahkum fih
Hubungan antara hakim dengan mahkum fih ialah bahwa hakim ialah sang
pembuat hukum sedangkan mahkum fih ialah objek yang terkena suatu tuntutan
hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya mahkum fih maka hakim
tidak akan nyata, dan apabila mahkum fih secara substansi perbuatan dan sandaran
berkaitan dengan hukum syar’i maka yang menghukumi ialah hakim.[2][17][18]
2.         Korelasi antara hakim dengan mahkum alaih
Hubungan antara hakim dengan mahkum alaih ialah bahwa hakim ialah sang
pembuat hukum sedangkan mahkum alaih ialah subjek yang terkena suatu tuntutan
hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya hakim maka mahkum alaih
tidak akan nyata, dan apabila orang mahkum alaih melakukan suatu pelanggaran
baik berkaitan dengan Allah (hakim) langsung atau berkaitan dengan sesama
mahkum alaih maka yang menghukumi ialah hakim.[3][18][19]
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Al-Hakim yang muthlaq hanyalah Allah SWT. Namun, dengan adanya
manusia maka untuk menegakkan hukum-Nya, Allah mengutus Rasul untuk
menyampaikan risalah tersebut. Kemudian setelah Nabi tiada, tugas itu menjadi
tugas para mujtahid, ulama’, serta umat muslim itu sendiri untuk menegakkan
hukum Allah SWT.
Mahkum fih ialah objek hukum yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan
dengan hukum syar'i, yang bersifat tuntutan mengerjakan, meninggalkan suatu
pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan,
azimah, rukhsah, serta halangan.
Mahkum alaih ialah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan
dengan hukum syara’.

B.     Saran
Alhamdulillah makalah yang penulis buat telah selesai. Penulis sangat
bersyukur kepada Allah SWT. Yang telah memberikan penulis kesabaran dan
kesehatan dalam mengerjakan makalah ini. Dan kami ucapkan terimakasih kepada
dosen pembimbing dan rekan-rekan yang telah membantu dalam pembuatan
makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, dikarenakan keterbatasan
pengetahuan yang penulis miliki. Walaupun demikian semoga maklah ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. Kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada,


Jakarta, Cet ke.6, 1996
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, PT.Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 
2000
Drs. Chaerul Umam, dkk.,Ushul Fiqih I, CV. Pusaka Setia, Bandung, 2000
Kamal muchtar, Dkk, Usul Fiqh, PT. Dana Bhakti Wakaf : Yogyakarta
Karim Syafi'i, Fiqih Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2001
Muin Umar,dkk., Ushul Fiqh 1, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, Departemen Agama RI, 1985
Drs. Syamsul Bahri, M. Ag., dkk.,. Metodologi Hukum Islam, Teras, Yogyakarta, 2008
Drs. Totok Jumantoro, M.A,dkk.,Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah, T.t, 2005
http://permatacanberra.wordpress.com/category/fiqh/
Drs. H. Yasin, M.Ag, Kaidah kaidah Ushul Fiqh, Idea Press, Yogyakarta,2010

Anda mungkin juga menyukai