Anda di halaman 1dari 41

HUKUM ISLAM

A. HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT


Hukum Islam dan Hukum Adat adalah bagian dari sistem hukum nasional disamping
adapula sistem-sistem hukum lainnya yang turut memberi arti dan peran. Namun sebagai
suatu sistem dan sistem hukum, Hukum Islam dan Hukum Adat menunjukan pemisahan
sehingga berdiri sendiri dan mandiri, dan kelanjutan perkembangan kedua sistem hukum
tersebut menunjukan sistem hukum mana yang dapat eksis dan mana yang dapat semakin
tertinggal, bahkan berkurang peranannya.
Hukum Islam dan Hukum Adat merupakan bagian dari sistem hukum yang berlaku di
Indonesia selain hukum perundang-undangan. Konsep Hukum Islam berbeda dari konsep
hukum perundang-undangan, karena ajaran Islam meyakini hukum-hukumnya sebagai aturan
yang bersumber dari wahyu Illahi dan hukum adat merupakan hukum yang sudah diyakini
dan menjadi kepercayaan masyarakat Indonesia sebelum hukum islam masuk dengan
berbagai aliran kepercayaan yang dianut. Dengan demikian, hukum adat merupakan konsep
hukum karya manusia yang memiliki ciri khas yang berbeda dari hukum Islam.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia masyarakat Indonesia sudah dipengaruhi oleh
kebudayaan Hindu dan Buddha. Pengaruh itu paling tampak pada masyarakat jawa. Pada
awal kedatanganya, Islam sudah berhadapan dengan aneka peradaban yang bersumber dari
budaya asli masyarakat Indonesia, yaitu penyerapan pengaruh hindu dan Buddha. Keadaan
tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan Islam pada masa-masa berikutnya.
Pemberlakuan hukum Islam di Indonesia terbagi menjadi dua tahap, yaitu masa Hindia
Belanda dan Masa Republik Indonesia. Pada masa Hindia Belanda menempatkan hukum
Islam pada dua keadaan dalam dua periode, yakni periode penerimaan hukum Islam secara
penuh (Receptie In Complexu), dan periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat
(Receptie). Sedangkan pada masa Republik Indonesia juga menempatkan hukum Islam pada
dua keadaan dalam dua periode, yakni periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber
persuasive (Persuasive-Source) dan period penerimaan hukum Islam sebagai sumber otoritif
(Authoritative-Source).
Teori-teori pemberlakuan hukum islam di indonesia adalah sebagai berikut ;
a. Teori Receptio in Complexu (Periode penerimaan hukum Islam secara penuh)
Dalam teori ini dinyatakan bahwa, “Bagi rakyat pribumi berlaku hukum
agamanya“ , sehingga bagi orang Islam diberlakukan hukum Islam secara penuh”.
Teori ini dibuat oleh Lodewijk Willen Christiaan Van Den Breg (1845-1927).
Periode pernerimaan hukum Islam secara penuh (Receptio in complexu) adalah
periode dimana hukum Islam diberlakukan sepenuhnya oleh orang-orang Islam sebagai
pegangan dalam kehidupan beragama. Sebelum Belanda datang ke Indonesia, kehidupan
beragama. Sebelum Belanda datang ke Indonesia, hukum Islam dalam pengaruhnya telah
banyak mendirikan lembaga-lembaga peradilan agama dengan berbagai nama yang ada.
Lembaga-lembaga peradilan agama ini didirikan ditengah-tengah kerajaan atau
kesultanan dalam rangka membantu dalam penyelesaian maalah-masalah yang ada
hubungannya dengan hukum Islam, dimana waktu itu hukum perkawinan dan hukum
kewarisan Islam telah menjadi hukum yang hidup dan berlaku di Indonesia. Oleh sebab
itu tidaklah heran kalau Badan Peradilan Agama telah secara tetap dan mantap dapat
menyelesaikan perkara-perkara perkawinan dan kewarisan orang-orang Islam.
Bangsa Belanda mulai menguasai sebagian wilayah nusantara di Indonesia, akan
tetapi hukum Islam (Hukum Perkawinan dan Hukum Kewarisan) tetap berjalan dan
diakui oleh Bangsa Belanda, bahkan oleh Belanda dibuatlah berbagai kumpulan hukum
sebagai pedoman bagi para pejabat dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum rakyat
pribumi. Sehingga tidaklah heran kalau mereka tetap mengakui dan melaksanakan hukum
perkawinan dan hukum kewarisan Islam melalui peraturan "Resulitie Der Indersche
Regeering", tanggal 25 Mei 1970, yang merupakan kumpulan aturan hukum perkawinan
dan hukum kewarisan Islam oleh pengadilan Belanda, yang terkenal sebagai Compedium
Freijher.
Dengan demikian terlihatlah posisi hukum Islam pada saat itu sangat kuat dan
berlangsung kira-kira mulai tahun 1602 sampai 1800. Pada abad ke-19 terjadi gerakan
dikalangan banyak orang Belanda yang berusaha menghilangkan pengaruh hukum Islam,
dengan jalan antara lain adanya krestenisasi. Karena jika berhasil menarik banyak
penduduk pribumi untuk masuk agama Kristen, akan sangat menguntungkan kedudukan
pemerintah Hindia Belanda. Dengan asumsi bahwa yang telah menganut agama Kristen
akan menjadi warganegara yang loyal dan patuh kepada pemerintah Kolonial Belanda.
Adapun setelah pemerintah Hindia Belanda benar-benar menguasai wilayah nusantara,
hukum Islam mulai mengalami pergeseran. Secara berangsur-angsur posisi hukum Islam
mulai lemah.
b. Teori Receptie (Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat
Teori ini menyatakan bahwa, “yang berlaku di bumi nusantara adalah hukum adat,
sehingga hukum Islam bisa berlaku jika sudah diterima oleh hukum adat”. Teori ini
dimunculkan oleh Christian Snouck Hurgranje (1857-1936) yakni penasehat pemerintah
Hindia Belanda dalam Urusan Islam dan bukan dan Bumi Putera..
Periode penerimaan hukum Islam oleh hukum adat. yang dikenal dengan teori
Receptie, adalah periode dimana hukum Islam baru diberlakukan apabila dikehendaki
atau diterima oleh hukum adat. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini menentang teori
yang telah berlaku sebelumnya, yaitu teori Receptie In Complexu.
Menurut Snouck hukum Islam dapat diterapkan jika telah menjadi bagian dari
hukum adat. Bagi Snouck sikap pemerintah Hindia Belanda sebelumnya menerima teori
Receptie In Compexu bersumber dari ketidaktahuannya terhadap situasi masyarakat
pribumi, khususnya masyarakat muslim. la berpendapat bahwa sikap terhadaap umat
Islam selama ini merugikan pemerintah Jajaran sendiri, disamping itu snock berharap
situasi agar orang-orang pribumi rakyat pada umumnya rakyat jajahan jangan sampai
kuat memegang agama Islam, sebab pada umumnya orang yang kuat memegang agama
Islam (Hukum Islam) tidak mudah mempengaruhi orang peradapan barat.
Sebagai penasehat pemerintah Hindia Belanda, Snouck memberikan nasehat yang
terkenal denan sebutan "Islam Policy". Beliau merumuskan nasehatnya pada pemerintah
Belanda dalam mengurus umat Islam di Indonesia dengan usaha menarik rakyat pribumi
agar lebih mendekat kepada kebudayaan Eropa dan pemerintah Hindia Belanda. Nasehat
ini berintikan bahwa masalah yang menyangkut ibadah umat Islam harus diberikan
kebebasan sepenuhnya, dengan harapan dalam lapangan kemasyarakatan pemerintah
Hindia Belanda harus menghormati adanya adar istiadat dan kebiasaan rakyat yang
berlaku, dengan cara mengalakkan agar mendekati pemerintah Hindia Belanda.
Sedangkan dalam lapangan ketatanegaraan, pemerintah Hindia Belanda tidak boleh
memberikan kesempatan, dan harus mencegah hal-hal yang bisa membantu adanya
gerakan Pan Islamisme.
c. Teori Receptie Exit
Teori Receptie Exit dikemukakan oleh Prof.Hazairin untuk membantah teori
Receptie yang dikemukan oleh snouck hugronje.
Teori receptie yang dikemukakan oleh Snouck Hugronje dibantah oleh Prof
Hazairin dan Prof Sayuti Thalib. Prof.Hazaitin menyebutkan bahwa teori receptie milik
snouck hugronje merupakan seuah teori yang akan menghancurkan islam secara perlahan
sehingga Prof hazairin mengemukakan Teori Receptie exit yang mempunyai makna
bahwa teori receptie harus “exit” (keluar) dari system hukum indonesia karea
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Al-Qur’an dan Hadist.
d. Teori Receptio A Contario
Teori Receptio A Contrario dikemukakan oleh Prof.Sayuti Thalib untuk
memperkuat teori receptie exit yang dikemukakan oleh Prof.Hazairin. teori ini juga
menentang teori dari snouck hugronje. Teori ini berbunyi, “Hukum adat dapat
diberlakukan bagi umat Islam jika tidak bertentangan dengan hukum Islam”.
Teori Receptio A contrario adalah kebalikan dari teori Receptie. Teori ini oleh
Hazairin dan Sayuti Thalib sebagai pematah teori receptie. Dikatakan sebagai pematah,
karena teori ini menyatakan pendapat yang sama sekali berlawanan arah dengan toeri
receptie Christian Snouck Hurgronje.
Pada teori ini justru hukum adat-lah yang berada di bawah hukum Islam dan harus
sejiwa dengan hukum Islam, sehingga hukum adat baru dapat berlaku jika telah
dilegalisasi oleh hukum Islam. Sayuti Thalib menyatakan bahwa dalam hukum
perkawinan dan kewarisan bagi umat Islam berlaku hukum Islam. Hal ini sesuai dengan
keyakinan, cita-cita hukum, dan cita-cita moralnya, yakni teori ini mengemukakan bahwa
hukum adat bisa berlaku bagi orang Islam Manakala tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Teori ini digunakan hingga saat ini.
B. KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL
Sistem hukum secara umum dapat diartikan sebagai kumpulan yang terdiri atas
berbagai elemen,yakni norma,asas,konsep,teori-teori yang saling terkait satu sama lain dan
pula saling mempengaruhi dalam suatu “konstruksi” hukum. Sistem hukum eropa kontinental
berbeda dengan hukum antara konsep Anglo-saxon dan bahkan perbedaan yang demikian
dapat dilihat pula perbedaan konsep dalam hukum adat maupun dalam konsep hukum Islam.
Sistem hukum Indonesia,sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya yang bersifat
majemuk. Sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan dari beberapa macam sistem
hukum yaitu sistem hukum adat,sistem hukum islam,dan sistem hukum barat. Ketiga sistem
hukum itu berlaku di Indonesia pada waktu yang berlainan. Sistem Hukum adat sudah ada
sejak dahulu sebelum Indonesia merdeka dan sebelum penjajah masuk kedlam wilayah
Indonesia. Sistem Hukum Islam telah ada di kepulauan sejak orang Islam datang dan
bermukim di Nusantara ini. Sistem Hukum Barat ada sejak penjajah masuk ke wilayah
nusantara dan menggunakan system hukum barat sebagai hukum yang berlaku di nusantara.
Ketiga sistem hukum itu diakui oleh peraturan perundang-undangan dan tumbuh
dalam masyarakat serta dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktik peradilan.
Sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam hukum
nasional merupakan perjuangan eksistensi. Teori eksistensi merumuskan keadaan hukum
nasional Indonesia, masa lalu, masa kini, dan masa datang, menegaskan bahwa hukum Islam
itu ada dalam hukum nasional Indonesia, baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Hukum
islam ada dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum.
Teori eksistensi, dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang
menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia, yaitu: (1) Ada,
dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia; (2) Ada, dalam arti
kemandiriannya yang diakui, adanya kekuatan dan wibawanya, dan diberi status sebagai
hukum nasional; (3) Ada, dalam arti hukum nasional dan norma hukum Islam yang berfungsi
sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional di Indonesia; (4) Ada, dalam arti sebagai
bahan utama dan unsur utama.
Dengan meramu ketiga komponen sistem hukum nasional ( hukum adat-hukum
islam-hukum barat), hukum indonesia dibangun menuju unifikasi hukum nasional
dengan menggunakan 3 dimensi :
1. Dimensi pembaharuan
Yaitu dimensi untuk memelihara tatanan hukum yang ada, walaupun sudah tidak
lagi sesuai dengan keadaan. Hal ini perlu ada untuk mencegah kekosongan
hukum, dan merupakan konsekuensi logis dari pasal I Aturan Peralihan Undang-
Undang Dasar 1945 (segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini)
2. Dimensi pemeliharaan
Yaitu dimensi peningkatan dan penyempurnaan. Kebijaksanaan yang dianut
adalah dengan meningkatkan dan menyempurnakan perundang-undangan yang
ada sehingga sesuai dengan kebutuhan baru di bidang-bidang yang bersangkutan
(melengkapi apa yang belum ada, dan menyempurnakan yang sudah ada).
Contoh UU Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama yang disempurnakan
dengan UU nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU nomor 7 tahun 1989,
dan disempurnakan lagi dengan UU Nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan
kedua UU Nomor 7 tahun 1989.
3. Dimensi penciptaan
yaitu dimensi dinamika dan kreativitas. Dalam dimensi ini diciptakan suatu
perangkat peraturan perundang-undangan yang baru yang belum ada sebelumnya.
Contoh undang-undang tentang zakat dan haji.
C. KOMPILASI HUKUM ISLAM
Dengan dikeluarkanya UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman semakin mempertegas keberadaan peradilan agama. Pasalnya dalam pasal 10
undang-undang tersebut disebutkan; ada empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu
peradilan umum, perdilan agama, peradialan militer, dan peradilan tata usaha negara.
Klausula pada undang-undang tesebut secara tegas memposisikan peradilan agama sejajar
dengan peradilan lain yang sebelumnya hanya dibawah Kementrin Agama. Oleh karena itu,
secara tidak langsung kekuatan peradilan agama sama dengan pengadilan-pengadilan lainnya
yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
Pada tahun 1977 Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang semakin
memperkuat bagi kedudukan Pengadilan Agama, yaitu dengan diberikannya hak bagi
Pengadilan Agama untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.40 Peraturan tersebut
semakin memperkokoh keberadaan Peradilan Agama. Namun pencapaian yang diperoleh
Peradilan Agama tidak sejalan dengan sumber rujukan hukum yang digunakan. Sebagai
sebuah institusi peradilan agama seharusnya dalam memutuskan perkara juga mempunyai
sumber hukum materiil yang tentunya juga harus bersumber pada hukum Syara’. Sebelum
adanya Kompilasi Hukum Islam, Pengadilan Agama disemua tingkatan Peradilan
menggunakan UU No. 1 tahun 1974 yang cenderung liberal dan sekuler untuk dijadikan
sebagai sumber hukum materiil. Selain itu dalam memutuskan perkara para Hakim
dilingkungn Peradilan Agama juga disarankan oleh pemerintah untuk mengggunakan kitab-
kitab mu’tabarsebagai pedoman rujukan hukum.
Sesuai dengan Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958
yang merupakan tindak lanjut dari peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 tentang
pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah diluar Jawa dan Madura. Dalam huruf
B Surat Edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang
memeriksa dan memutus perkara maka para Hakim Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah
dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman kitab-kitab yaitu :
1. Al Bajuri
2. Fathul Muin dengan Syarahnya.
3. Syarqawi alat Tahrir
4. Qulyubi/Muhalli
5. Fathul Wahab dengan Syarahnya
6. Tuhfah
7. Targhibul Musytaq
8. Qawaninusy Syar’iyah Lissayyid Usman bin Yahya
9. Qawaninusy Syar’iyah Lissayyid Shodaqah Dahlan
10. Syamsuri Lil Fara’idl
11. Al Fiqh ‘alal Muadzahibil Arba’ah
12. Mughnil Muhtaj.
Meskipun secara materi kitab-kitab tersebut terkenal keabsahannya, namun hal tersebut
tidak memecahkan masalah yang ada. Justru menambah kesemrawutan rujukan hukum bagi
Peradilan Agama sehingga dasar meemcahkan masalah dalam Pengadilan agama adalah
kitab-kitab fiqih dan dalam pemecahan tersebut terdapat Tarik ulur pendapat yang berbeda
dengan menggunakan kitab-kitab fiqih tersebut.
Kondisi sosial semacam itu yang membuat para tim perumus Kompilasi Hukum Islam
merasa perlu untuk membuat sebuah aturan baku untuk memecah kebuntuan kondisi tersebut.
Selaian alasan itu, pemerintah juga memberikan alasan tersendiri mengapa Kompilasi
Hukum Islam penting untuk dirumuskan.
Timbulnya beraneka ragam pendapat di kalangan umat Islam Indonesia tentang
permasalahan hukum, khususnya terkait dengan Perkawinan, Kewarisan, perwakafan.
banyaknya kitab fiqih yang menjelaskan tentang hukum islam terkait perkawinan, kewarisan,
perwakafan pandangan yang berbeda meskipun dalam satu madzhab yaitu Syafi’i.
Untuk membuat unifikasi aturan dalam hukum islam yang akan digunakan sebagi
pedoman di Pengadilan Agama maka dikeluarkan Instruksi Presiden RI Nomor : 1 tahun
1991, tanggal 10 Juni 1991 (kepada Menteri Agama) tentang TENTANG
PENYEBARLUASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM menyebutkan latar belakang
disusunnya KHI, yakni ;
1. Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang
Dasar 1945 adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin
kelangsungan hidup beragamaberdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang
sekaligus merupakan perwujudan kesadaranhukum masyarakat dan bangsa
Indonesia.
2. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan
PokokKekuasaan Kehakiman, jo Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung,Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan
lingkungan peradilan lainnyasebagai peradilan negara.
3. Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah
Hukum Islam yangpada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan,
hukum Kewarisan dan hukumPerwakafan.Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan
Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum Materiil yang dijadikan
pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas adalah bersumberpada 13
kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i.
4. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
PeraturanPemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maka
kebutuhan hukummasyarakat semakin berkembang sehingga kitab-kitab tersebut
dirasakan perlu pula untukdiperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari
madzhab yang lain, memperluas penafsiranterhadap ketentuan di dalamnya
membandingkannya dengan Yurisprudensi Peradilan Agama,fatwa para ulama
maupun perbandingan di negara-negara lain.
5. Hukum Materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumen
Yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi
Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam
menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Dasar hukum yang kedua adalah Keputusan Menteri Agama RI Nomor : 154 tahun
1991; tanggal 22 Juli 1991, TENTANG Pelaksanaan Instruksi Presiden RI Nomor : 1 tahun
1991. Dengan adanya kedua dasar hukum ini maka kompilasi hukum islam mempunyai
kekuatan untuk dijalankan secara maksimal.
Dalam proses pembentukan KHI, terdapat beberapa jalur pembentukannya yakni ;
1. Pengkajian kitab fiqih dengan bantuan tenaga akademisi
2. Pendapat para ulama’ fiqih
3. Pengkajian yurisprudensi yang terkumpul dalam Pengadilan agama
4. Studi banding tentang pelaksanaan dan penegakan hukum islam di Negara-negara
islam.
SISTEMATIKA KOMPILASI HUKUM ISLAM ;
I. BUKU I
BAB I : Pasal 1 : Ketentuan umum
BAB II : Pasal 2-10 : Dasar-dasar perkawinan
BAB III : Pasal 11-13 : Peminangan
BAB IV : Pasal 14-29 : Rukun dan syarat perkawinan
BAB V : Pasal 30-38 : Mahar
BAB VI : Pasal 39-44 : Larangan kawin
BAB VII : Pasal 45-52 : Perjanjian kawin
BAB VIII : Pasal 53-54 : kawin hamil
BAB IX : Pasal 55-59 : beristri lebih dari Satu
BAB X : Pasal 60-69 : Pencegahan perkawinan
BAB XI : Pasal 70-76 : Batalnya perkawinan
BAB XII : Pasal 77-84 : Hak dan kewajiban suami istri
BAB XIII : Pasal 85-97 : Harta kekayaan dalam perkawinan
BAB XIV : Pasal 98-106 : Pemeliharaan anak
BAB XV : Pasal 107-112 : Perwalian
BAB XVI : Pasal 113-148 : Putusnya perkawinan
BAB XVII : Pasal 149-162 : Akiat putusnya perkawinan
BAB XVIII : Pasal 163-169 : Rujuk
BAB XIX : Pasal 170 : Masa berkabung
II. BUKU II
BAB I : Pasal 171 : Ketentuan Umum
BAB II : Pasal 172-175 : Ahli Waris
BAB III : Pasal 176-191 : besarnya bagian
BAB IV : Pasal 192-193 : Aul dan Radd
BAB V : Pasal 194-209 : Wasiat
BAB VI : Pasal 210-214 : Hibah
III. BUKU III
BAB I : Pasal 215 : Ketentuan Umum
BAB II : Pasal 216-222 : Fungsi, unsur dan syarat-syarat wakaf
BAB III : Pasal 223-224 : Tata cara perwakafan dan pendaftaran benda
wakaf
BAB IV :Pasal 225-227: Perubahan,penyeleseian&pengawasan benda
wakaf
BAB V : Pasal 228 : Ketentuan Peralihan
D. UU NO.7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA
Pengadilan Agama dibentuk untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin
persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan
keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan
pengayoman kepada masyarakat.
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam
Undang-undang No.7 tahun 1989.
Fungsi Pengadilan agama :
1. Fungsi mengadili
Yaitu menerima,memeriksa dan mengadili serta menyeleseiakn setiap perkara yang
diajukan oleh orang-orang yang beragama islam.

2. Fungsi pengawasan
Yaitu mengawasi pelaksanaan penyelenggaraan peradilan agar dapat terlaksana dengan
seksama dan sewajarnya.
3. Fungsi mengatur
Yaitu mengatur pelaksanaan tugas struktural, fungsional dan pegawai Pengaadilan
Agama agar terlaksana tugas pokok dengan sebaik-baikny, efektif dan efisien serta
produktif.
4. Fungsi memberi nasehat
Yaitu memberi nasehat, keterangan, pertimbangan tentang hukum islam kepada
pemerintah daerah apabila diminta.
5. Fungsi administrasi
Yaitu melaksanakan penyelenggaraan administratif baik administrasi peradilan,
administrasi umum, administrasi keungan, kepegawaian dan perlengkapan sarana dan
prasarana peradilan.
Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan dilakukan oleh Menteri
Agama. Pembinaan teknis atau pembinaan organisasi tidak boleh mengurangi kebebasan
Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
Susunan dalam Pengadilan agama yaitu Pengadilan Agama dan pengadilan Tinggi
agama. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama. Pengadilan Tinggi
Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Pengadilan Agama dibentuk dengan
Keputusan Presiden. Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-undang.
Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera,
Sekretaris, dan Juru Sita. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim
Anggota, Panitera, dan Sekretaris. Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas
kekuasaan kehakiman dan Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta
pelaksanaan tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1989. Pembinaan
dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri dilakukan oleh Menteri
Agama.
Syarat menjadi Hakim Pengadilan Agama :
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi
massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
"Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI", atau organisasi terlarang yang lain;
f. pegawai negeri;
g. sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
h. berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
i. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Syarat menjadi hakim Pengadilan Tinggi Agama :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam syarat Pengangkatan hakim Pengadilan
Agama huruf a, b, c, d, e, f, g, dan i;
b. berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua atau Wakil Ketua
Pengadilan Agama atau 15 (lima belas) tahun sebagai Hakim Pengadilan Agama.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara atas usul
Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Ketua dan Wakil Ketua
Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang :
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
Bidang perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang
mengenai perkawinan yang berlaku. Bidang kewarisan adalah penentuan siapa-siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing
ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
E. UU NO.3 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO.7 TAHUN 1989
Perkembangan hukum ketatanegaraan Indonesia yang diawali oleh adanya
amandemen Undang-undang Dasar 1945, menuntut adanya perubahan pada berbagai
peraturan perundang-undangan. Perubahan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, merupakan salah
satu undang-undang yang mengatur lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung telah dirubah dan ditambah melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perubahan
dan penambahan beberapa pasal dalam Undang-Undang ini mengindikasikan bahwa
kewenangan Peradilan Agama menjadi kuat dan lebih luas dengan lahirnya peradilan khusus
di Nangroe Aceh Darussalam, kewenangan menyelesaikan sengketa bisnis Syari’ah,
kewenangan menyelesaikan sengketa hak milik antara orang Islam, serta dihapuskannya hak
opsi dalam penyelesaian perkara waris, namun masih terdapat adanya tarik ulur dalam
kewenangan mengadili sengketa bisnis syariah.
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud
dalam.Undang-Undang nomor 3 tahun 2006.
Jenis Perkara yang Menjadi Kewenangan Peradilan Agama memeriksa dan memutus,
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang perkawinan, warisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, ekonomi
syariah.
Rincian jenis perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah:
1. Perkawinan (UU. No.1 Tahun 1974) :
a. Izin beristeri lebih dari satu orang (poligami)
b. Izin melangsungkan perkawinan (izin perkawinan): bagi yang belum berumur 21
tahun, dalam hal orang tua atau wali terdapat perbedaan pendapat;
c. Dispensasi perkawinan: jika calon mempelai belum cukup umur, laki-laki belum
mencapai umur 19 tahun dan perempuan belum mencapai umur 16 tahun;
d. Pencegahan perkawinan: dilakukan oleh keluarga dalam garis lurus ke atas, ke
samping;
e. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
f. Pembatalan perkawinan;
g. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri;
h. Perceraian karena talak;
i. Gugatan perceraian;
j. Penyelesaian harta bersama;
k. Penguasaan anak;
l. Pembebanan kepada ibu untuk memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
jika bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
m. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri
atau penentuan kewajiban bagi bekas isteri;
n. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
o. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
p. Pencabutan tentang kekuasaan wali
q. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan wali
dicabut;
r. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun
yang ditinggal oleh kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh
kedua orang tuanya;
s. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan
kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
t. Penetapan asal usul seorang anak;
u. Putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan
campuran;
v. Peryataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

2. Waris
Yang dimaksud dengan “waris” dalam undang-undang ini adalah pengaturan dan
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang
penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
3. Wasiat
Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan suatu
benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/ badan hukum, yang berlaku setelah
yang memberi wasiat tersebut meninggal dunia.

5. Hibah
Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan
tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk
dimiliki.
6. Wakaf
Yang dimaksud dengan “wakaf’ adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang
(wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya
guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
7. Zakat
Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang
muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan
syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
8. Infaq
Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu
kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman,
mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain
berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Swt.

9. Sedekah
adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah
tertentu dengan mengharap ridho Allah Swt.
10. Ekonomi Syari’ah
Yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha
yang laksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:
- bank syariah;
- lembaga keuangan mikro syariah.
- asuransi syariah;
- reksa dana syariah;
- obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;
- sekuritas syariah;
- pembiayaan syariah;
- pegadaian syariah;
- dana pensiun lembaga keuangan syariah;
- bisnis syariah.
Dalam perkara ekonomi syariah belum ada pedoman bagi hakim dalam
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Untuk memperlancar proses pemeriksaan dan
penyelesaian sengketa ekonomi syariah, dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 2008 tentang Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah. Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa:
1. Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah,
mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah.
2. Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah, tidak mengurangi tanggung jawab hakim untuk menggali dan
menemukan hukum untuk menjamin putusan yang adil dan benar.

F. UU NO.50 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UU NO.7 TAHUN


1989
Dibentuknya UU Nomor 50 tahun 2009 menimbang kondisi-kondisi sebagai berikut :
a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya
lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam
masyarakat.
b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 terdapat beberapa perubahan yang
didasarkan pada kondisi dan kebutuhan peradilan di indonesia khususnya Peradilan agama.
Perubahan tersebut terkait hal-hal pokok.
Diantara perubahannya yaitu ;
1. Di lingkungan peradilan agama dapat dibentuk pengadilan khusus yang diatur dengan
undang-undang.
2. Peradilan Syari’ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan pengadilan
khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
3. Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara, yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu
dan dalam jangka waktu tertentu.
4. Ketentuan mengenai syarat, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian serta tunjangan
hakim ad hoc diatur dalam peraturan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009.
5. Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung.
6. Selain pengawasan internal oleh MA, untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan eksternal atas perilaku hakim
dilakukan oleh Komisi Yudisial.
7. Dalam melakukan pengawasan hakim secara internal dan eksternal, Komisi Yudisial
melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung. Dalam hal terdapat perbedaan antara
hasil pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan hasil pengawasan
eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, pemeriksaan dilakukan bersama oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Syarat menjadi Hakim Pengadilan Agama :
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
e. sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam;
f. lulus pendidikan hakim;
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
i. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh)
tahun;
j. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Syarat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Agama :
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
e. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
g. berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun;
h. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai ketua, wakil ketua, pengadilan
agama, atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim pengadilan agama;
i. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung;
j. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
k. untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan tinggi agama harus berpengalaman
paling singkat 5 (lima) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama atau 3 (tiga)
tahun bagi hakim pengadilan tinggi agama yang pernah menjabat ketua pengadilan
agama.
G. UU NO.13 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN IBADAH HAJI DAN
UMROH
Dibuatnya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan ibadah
dan umroh dengan pertimbangan ;
a. Menjamin kemerdekaan warga negaranya untuk beribadah menurut agamanya masing-
masing.
b. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap orang
Islam yang mampu menunaikannya;
c. Upaya penyempurnaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji perlu terus
dilakukan agar pelaksanaan ibadah haji berjalan aman, tertib, dan lancar dengan
menjunjung tinggi semangat keadilan, transparansi, dan akuntabilitas publik;
Penyelenggaraan Ibadah Haji dilaksanakan berdasarkan ;
A. Asas keadilan
adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji berpegang pada kebenaran, tidak berat
sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang dalam Penyelenggaraan Ibadah
Haji.
b. Asas Profesionalitas
adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji harus dilaksanakan dengan
mempertimbangkan keahlian para penyelenggaranya.
c. Asas akuntabilitas dengan prinsip nirlaba.
adalah bahwa Penyelenggaraan Ibadah Haji dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum dengan prinsip tidak untuk mencari
keuntungan.
Terdapat beberapa pengertian pokok yang terkait dengan penyelenggaraan
ibadah haji&umroh ;
a. Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup
bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya.
b. Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan Ibadah
Haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan Jemaah Haji.
c. Komisi Pengawas Haji Indonesia, yang selanjutnya disebut KPHI, adalah lembaga
mandiri yang dibentuk untuk melakukan pengawasan terhadap Penyelenggaraan Ibadah
Haji.
d. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, yang selanjutnya disebut BPIH, adalah sejumlah
dana yang harus dibayar oleh Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji.
e. Pembinaan Ibadah Haji adalah serangkaian kegiatan yang meliputi penyuluhan dan
pembimbingan bagi Jemaah Haji.
f. Pelayanan Kesehatan adalah pemeriksaan, perawatan, dan pemeliharaan kesehatan
Jemaah Haji.
g. Paspor Haji adalah dokumen perjalanan resmi yang diberikan kepada Jemaah Haji untuk
menunaikan Ibadah Haji.
h. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang
pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanannya bersifat khusus.
Penyelenggaraan Ibadah Haji bertujuan untuk memberikan pembinaan, pelayanan,
dan perlindungan yang sebaikbaiknya bagi Jemaah Haji sehingga Jemaah Haji dapat
menunaikan ibadahnya sesuai dengan ketentuan ajaran agama Islam.
Setiap Warga Negara yang akan menunaikan Ibadah Haji berkewajiban sebagai
berikut:
1. mendaftarkan diri kepada Panitia Penyelenggara Ibadah Haji kantor Departemen Agama
kabupaten/kota setempat;
2. membayar BPIH yang disetorkan melalui bank penerima setoran;
3. memenuhi dan mematuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku dalam
Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Jemaah Haji berhak memperoleh pembinaan, pelayanan, dan perlindungan dalam


menjalankan Ibadah Haji, yang meliputi :
1. pembimbingan manasik haji dan/atau materi lainnya, baik di tanah air, di perjalanan,
maupun di Arab Saudi;
2. pelayanan Akomodasi, konsumsi, Transportasi, dan Pelayanan Kesehatan yang memadai,
baik di tanah air, selama di perjalanan, maupun di Arab Saudi;
3. perlindungan sebagai Warga Negara Indonesia;
4. penggunaan Paspor Haji dan dokumen lainnya yang diperlukan untuk pelaksanaan Ibadah
Haji;
5. pemberian kenyamanan Transportasi dan pemondokan selama di tanah air, di Arab Saudi,
dan saat kepulangan ke tanah air.
Dalam Undang-Undang Penyelenggaraan ibadah haji dan umroh terdapat Komisi
Pengawas haji Indonesia yang mempunyai fungsi ;
a. memantau dan menganalisis kebijakan operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji
Indonesia;
b. menganalisis hasil pengawasan dari berbagai lembaga pengawas dan masyarakat;
c. menerima masukan dan saran masyarakat mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji;
d. merumuskan pertimbangan dan saran penyempurnaan kebijakan operasional
Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Dalam penyelenggaraan ibadah hajidan umroh terdapat ketentuan tentang biaya
penyelenggaraan iadah haji dan umroh yaitu ;
a. Besaran BPIH ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat persetujuan
DPR.
b. BPIH disetorkan ke rekening Menteri melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional
yang ditunjuk oleh Menteri.
c. Jemaah Haji menerima pengembalian BPIH dalam hal: a. meninggal dunia sebelum
berangkat menunaikan Ibadah Haji; atau b. batal keberangkatannya karena alasan
kesehatan atau alasan lain yang sah.

Ibadah haji khusus juga diatur dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah


haji dan umroh, diantara aturan tersebut adalah ;
1. Ibadah haji khusus adalah penyelenggaraan ibadah haji yang menggunakan fasilitas Plus
sehingga lebih dikenal dengan istilah “haji plus” oleh masyarakat muslim Indonesia.
2. Dalam rangka Penyelenggaraan Ibadah Haji bagi masyarakat yang membutuhkan
pelayanan khusus, dapat diselenggarakan Ibadah Haji Khusus yang pengelolaan dan
pembiayaannya bersifat khusus.
3. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dilaksanakan oleh Penyelenggara Ibadah Haji
Khusus yang telah mendapat izin dari Menteri dengan syarat :
a. terdaftar sebagai penyelenggara perjalanan umrah;
b. memiliki kemampuan teknis dan finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Haji
Khusus;
c. memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas Ibadah Haji.
d. menerima pendaftaran dan melayani Jemaah Haji hanya yang menggunakan Paspor
Haji;
e. memberikan bimbingan Ibadah Haji;
f. memberikan layanan Akomodasi, konsumsi, Transportasi, dan Pelayanan Kesehatan
secara khusus;
g. memberangkatkan, memulangkan, dan melayani Jemaah Haji sesuai dengan
perjanjian yang disepakati antara penyelenggara dan Jemaah Haji.
H. UU NO.41 TAHUN 2004 TENTANG WAQAF
Dirumuskannya Undang-Undang Perwakafan dengan pertimbangan ;
a. wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam
masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai
peraturan perundangundangan;
b. lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi
perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum;
Dalam Udang-Undang Perwakafan terdapat beberapa ketentuan ;
1. wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum menurut syariah.
2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
3. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau
tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
4. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
5. Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau
manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang
diwakafkan oleh Wakif.
6. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan
perwakafan di Indonesia.
Wakaf yang sah adalah wakaf yang dilaksanakan menurut syari’ah dan wakaf yang
sudah diikrarkan dalam ikrar wakaf tidak dapat lagi dibatalkan. Wakaf bertujuan
memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya yaitu mewujudkan potensi dan
manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum. Wakaf yang dilaksanakan harus memenuhi unsur wakaf yaitu ;
1. Wakif ( dapat berupa perorangan, badan hukum atau organisasi) ;
Syarat wakif ;
a. dewasa;
b. berakal sehat;
c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;
d. pemilik sah harta benda wakaf.
2. Nazhir (dapat berupa perorangan, badan hukum atau organisasi) ;
Syarat Nazhir ;
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani;
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Tugas Nazhir ;
a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
fungsi, dan peruntukannya;
c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia;
e. Nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%.
3. Harta Benda Wakaf;
a. Benda tidak bergerak meliputi:
1. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
2. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah;
3. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
4. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
5. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi,
meliputi:
1. uang;
2. logam mulia;
3. surat berharga;
4. kendaraan;
5. hak atas kekayaan intelektual;
6. hak sewa;
7. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
4. Ikrar Wakaf;
a. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW
dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi;
b. Ikrar Wakaf dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam
akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
c. Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak
dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena atasan yang dibenarkan
oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang
diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.
syarat saksi :
- dewasa;
- beragama Islam;
- berakal sehat;
- tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;
d. Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf;
e. Akta ikrar wakaf memuat:
- nama dan identitas Wakif;
- nama dan identitas Nazhir;
- data dan keterangan harta benda wakaf;
- peruntukan harta benda wakaf;
- jangka waktu wakaf.
5. Peruntukan Harta benda wakaf;
a. Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya
dapat diperuntukkan untuk :
1. sarana dan kegiatan ibadah;
2. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
3. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
4. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat;
5. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariah dan peraturan perundang-undangan.
b. Penetapan peruntukan harta benda wakaf dilakukan oleh Wakif pada
pelaksanaan ikrar wakaf.
c. Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, Nazhir
dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai
dengan tujuan dan fungsi wakaf.
6. jangka waktu wakaf;
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang :
a. dijadikan jaminan;
b. disita;
c. dihibahkan;
d. dijual;
e. diwariskan;
f. ditukar;
g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
I. UU NO.23 TAHUN 2011 TENTANG ZAKAT
Dibentuknya Undang-Undang tetang Pengelolaan Zakat dengan pertimbangan :
1. menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan
syariat Islam;
2. zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat;
3. dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara
melembaga sesuai dengan syariat Islam;
Beberapa aturan pokok dalam UU Pengelolaan zakat yaitu :
1. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian
dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
2. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
3. Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk
kemaslahatan umum.
4. Sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di
luar zakat untuk kemaslahatan umum.
5. Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat.
6. Mustahik adalah orang yang berhak menerima zakat.
7. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) adalah lembaga yang melakukan pengelolaan
zakat secara nasional.
8. Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki
tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
9. Unit Pengumpul Zakat (UPZ) adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS
untuk membantu pengumpulan zakat.
Asas pengelolaan zakat adalah :
1. Asas syariat Islam
Adalah pengelolaan berdasarkan hukum islam
2. Asas Amanah
adalah pengelola zakat harus dapat dipercaya.
3. Asas kemanfaatan
adalah pengelolaan zakat dilakukan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi mustahik.
4. Asas keadilan
adalah pengelolaan zakat dalam pendistribusiannya dilakukan secara adil.
5. Asas kepastian hukum
adalah dalam pengelolaan zakat terdapat jaminan kepastian hukum bagi mustahik dan
muzaki.
6. Asas terintegrasi
adalah pengelolaan zakat dilaksanakan secara hierarkis dalam upaya meningkatkan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
7. Asas akuntabilitas.
adalah pengelolaan zakat dapat dipertanggungjawabkan dan diakses oleh masyarakat.

Pengelolaan zakat bertujuan:

1. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat;


2. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan
penanggulangan kemiskinan.

Zakat meliputi ;

1. zakat mal, meliputi ;


a. emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b. uang dan surat berharga lainnya;
c. perniagaan;
d. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
e. peternakan dan perikanan;
f. pertambangan;
g. perindustrian; h. pendapatan dan jasa; dan i. rikaz.
2. zakat fitrah.
adalah zakat yang diwajibkan atas setiap jiwa lelaki dan perempuan muslim yang
dilakukan pada bulan Ramadhan pada Idul Fitri atau menjelang idul fitri.
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam. Pendistribusian
zakat dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan,
keadilan, dan kewilayahan.
Masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS
dan LAZ. Pembinaan dilakukan dalam rangka:
a. meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat melalui BAZNAS dan
LAZ;
b. memberikan saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS dan LAZ.
c. Pengawasan dilakukan dalam bentuk:
- akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan oleh
BAZNAS dan LAZ;
- penyampaian informasi apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan zakat
yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.
J. UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.
Perkawinan sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami tetapi Pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Jika seorang suami akan beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan hanya memberikan
izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Syarat-syarat pengajuan permohonan :
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-
isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
d. Persetujuan tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,
atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurangkurangnya 2 (dua) tahun,
atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.
Syarat-syarat perkawinan yaitu :
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. mencapai umur 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan atau harus mendapat izin kedua
orang tua jika belum berusia 19 tahun.
3. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
4. dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Larangan Perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan ;
1. Perkawinan berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3. Berhubungan semenda, yaitu mertua,anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
5. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam
hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.
Perkawinan dapat dibatalkan,apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
Hak dan kewajiban suami istri ;
1. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
2. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
4. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
5. Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
6. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
7. Isteri wajib mengatur urusan rumahtangga sebaik-baiknya.

Ketentuan tentang harta dalam perkawinan :


1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
3. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.
4. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Putusnya perkawinan karena :
1. Kematian;
2. Perceraian
3. Putusan Pengadilan.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
sematamata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu;
c. Jika bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
d. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan
dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Kewajiban antara orang tua dan anak :
1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.
2. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
3. Anak yang belum mencapai umur 19 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya
4. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
Pengadilan.
K. PUTUSAN MK NO.46/PUU-VIII/2010 TENTANG STATUS ANAK LUAR NIKAH
Putusan MK tersebut lahir karena adanya permohonan yudisial review yang diajukan
oleh Hj. Aisyah Mokhtar dan anaknya yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan bin
Moerdiono terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dimana Moerdiono sebagai seorang suami yang telah
beristri menikah kembali dengan istrinya yang kedua bemama Hj. Aisyah Mokhtar secara
syari'at Islam tanpa dicatatkan dalam register Akta Nikah, oleh karena itu ia tidak memiliki
Buku Kutipan Akta Nikah, dan dari pernikahan tersebut lahir seorang anak laki-laki yang
bernama Muhammad Iqbal Ramadhan Bin Moerdiono.
Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara antara Hj. Aisyah Mochtar alias
Mahchica Mochtar binti H. Mochtar Ibrahim dengan Moerdiono yang berkas perkaranya
diajukan ke Mahkamah Konstitusi tertanggal 14 Juni 2010 dan terdaftar dengan berkas
permohonan No. 211/PAN.MK/2010 dan diregistrasi pada hari rabu tanggal 23 Juni 2010
dengan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang telah diperbaiki dan diterima di kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi pada tanggal 9 Agustus 2010.
Dalam gugatannya ke Mahkamah Konstitusi pemohon telah mengajukan gugatan
untuk menguji Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, (lembaran Negara Republik Indonesia, 1974 No. 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019, selanjutnya disebut UU 1/1974)
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut
UUD 1945).
Sebelum melakukan sidang terhadap gugatan pemohon tersebut terlebih dahulu
Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan : a. Kewenangan Mahkamah untuk mengadili
permohonan a quo b. Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan
permohonan a quo.
Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan para
pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas normal Pasal 2 ayat 2 dan pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan terhadap Undang Undang Dasar
1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi, sehingga oleh karenanya
Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo : kewenangan Mahkamah
Konstitusi didasarkan pada Pasal 51 ayat (1) Undang Undang Mahkamah Konstitusi beserta
penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang Undang terhadap
UndangUndang Dasar 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan / atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh Undang Undang Dasar 1945 dirugikan oleh
berlakunya suatu Undang Undang yaitu :
a. Perorangan warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai
kepentingan sama)
b. Kesatuan masyarakat hokum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang
c. Badan hukum public atau privat, atau
d. Lembaga Negara

Dengan demikian, para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD


1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu :

a. Kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)


UU MK
b. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstituonal yang diberikan oleh UUD 1945
yang diakibatkan oleh berlakunya Undang Undang yang dimohonkan pengujian

Pasal 51 ayat (1) Undang Undang Mahkamah Konstitusi No. 8 Tahun 2011 yang
menjelaskan mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dipertegas lagi oleh
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 tertangal 20 September 2007 yang
menguraikan lima syarat kerugian hak dan /atau kewenangan konstitusional dari setiap warga
Negara termasuk kelompok yang mempunyai kepentingan sama yaitu:

a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh


UUD 1945.
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
c. Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan actual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi.
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya mengenai gugatan Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 43 ayat (1) Undang Undang No. 1 Tahun 1974 memandang adanya hubungan sebab
akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang Undang yang
dimohonkan pengujian yaitu Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
sehingga para pemohon memenuhi syarat kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya mengenai
pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan dipandang
tidak tepat dan tidak adil manakala hukum hanya menetapkan bahwa anak yang lahir dari
suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan
dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum
membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya
kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang bapak dan
bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai
bapaknya.

Berdasarkan perkembangan teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan


bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu. Akibat hukum dari peristiwa
hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahulu dengan hubungan seksual antara seorang
perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang didalamnya terdapat hak
dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak ibu dan bapak.
Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak
semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan ada
pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinanya, anak yang
dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum.

Keputusan Mahkamah Konstitusi didasarkan pada pertimbangan bahwa secara alamiah


anak lahir karena pertemuan antara ovum dan sperma, baik melalui hubungan seksual
maupun karena perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh
karena itu menurut Mahkamah Konstitusi adalah tidak tepat dan tidak adil manakala anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan dengan ibunya saja. Adalah
tidak tepat dan tidak adil pula untuk membebaskan laki-laki yang menjadi ayah biologis dari
tanggungjawabnya sebagai bapak dan bersamaan dengan itu pula menghilangkan hak anak
terhadap bapaknya tersebut. Hubungan anak dengan laki-laki sebagai bapak tidak semata-
mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi juga dapat didasarkan pada adanya
hubungan darah antara keduanya. Dengan demikian terlepas dari prosedur administrasi
perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak ada
perlindungan demikian, maka yang akan dirugikan adalah anak tersebut, padahal anak
tersebut tidak berdosa dan kelahirannya di luar kehendaknya.

Permohonan yang berkaitan dengan Pasal 2 ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974 yang
menyatakann bahwa perkawinan dicatat menurut peraturan perundngan yang berlaku, tidak
dikabulkan. Pertimbangan yang diberikan Mahkamah Konstitusi, bahwa pencatatan
perkawinan tidak berkaitan dengan sah tidaknya perkawinan, karena faktor yang menentukan
sah tidaknya perkawinan adalah syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing
calon mempelai. Pencatatan perkawinan merupakan kewajiban administratif.

Pasca Putusan MK Nomor 46 Tahun 2010 tentang anak di luar kawin

Setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 27


Pebruari 2012 mengenai pengakuan anak/status anak diluar perkawinan mendapat pengakuan
hukum perdatanya kepada bapak biologisnya, dan dalam diktumnya me-review ketentuan
pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menjadi: “Anak yang
dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagi ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.
Oleh karena itu, Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengalami
perubahan yang sangat signifikan, khususnya pasal 43 ayat (1) tersebut di atas, karena
Undang-undang tersebut belum diamandemen, sehingga adanya putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut meresahkan masyarakat. Bahkan MUI ikut campur dalam menanggapi
masalah tersebut. Hal ini disebabkan bahwa ketentuan sebelumnya menyatakan bahwa pasal
43 ayat (1) menyatakan; “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Padahal putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah suatu putusan final yang
berkaitan dengan uji materiil Undang-undang Perkawinan, khususnya pasal 43 ayat (1)
tersebut. Oleh karena itu, putusan MK ini berlaku sebagai undang-undang, sehingga
substansinya berlaku general, tidak individual dan tidak kasuistik, hal ini sesuai dengan
ketentuan pasal 56 ayat (3) jo. pasal 57 ayat (1) UUMK. Karena itulah putusan MK tersebut
menjadi norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia tentang hubungan
hukum antara anak dengan kedua orang tuanya beserta segala konsekuensinya, baik anak itu
adalah anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan maupun di luar ikatan perkawinan
yang sah. Dengan kata lain, anak tersebut lahir dari seorang perempuan yang dihamili
seorang laki-laki dalam ikatan perkawinan yang tidak memiliki kepastian dan tidak memiliki
kekuatan hukum, karena peristiwa perkawinannya tidak sesuai dengan hukum perundang-
undangan yang berlaku (perkawinan sirri atau perkawinan di bawah tangan).
Dengan demikian, maka putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah memiliki
kekuatan hukum yang mengikat terhadap seluruh masyarakat Indonesia sejak diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 27 Pebruari 2012 sesuai Pasal 47 UUMK
dan dengan terbitnya putusan MK tersebut, maka ketentuan pasal 43 ayat (1) dan Pasal 100
KHI tidak memiliki lagi kekuatan hukum yang mengikat.
Mengenai istilah “anak sah”, maka menurut pasal 42 UUP jo. Pasal 99 KHI
menyatakan bahwa “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah”. Kemudian pasal 43 UUP jo. Pasal 100 KHI menyatakan bahwa “anak
yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya”. Ini berarti bahwa anak sah menurut UUP (diakui Negara) bukan menurut
Agama, karena perkawinan kedua orang tuanya telah tercatat dalam UUP, sebagaimana
pernyataan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan bahawa “Tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”, baik akte nikah yang dibuat
oleh KUA maupun KCS. Oleh karena itulah, Muhammad Iqbal Romadhon anak hasil
perkawinan antara Machica Mokhtar dengan Moerdiono adalah anak sah juga, tetapi menurut
agama, karena perkawinannya sudah sesuai dengan syarat dan rukun agamanya (nikah siri).
Hai ini sudah sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UUP, hanya saja karena terkendala persyaratan
baik alternatif maupun kumulatif, sehingga perkawinannya tidak tercatat dalam akte nikah
yang dibuat oleh KUA.
Dalam pasal 43 ayat (1) UUP, dan juga UUD 1945 pasal 28B ayat (1 & 2), pasal 28D
ayat (1), serta Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU Perkawinan, pendapat beberapa ahli
hukum menyatakan bahwa pencatatan perkawinan bukanlah faktor yang menentukan sah-
nya perkawinan, dan pencatatan perkawinan adalah kewajiban administratif berdasarkan
perundang-undangan. Dengan demikian, jika ada perkawinan yang belum tercatat dalam
KUA maupun KCS, masih ada kemungkinan untuk dicatatkan.
Pengadilan Agama dapat menerima permohonan pengesahan anak dengan mengacu:
1. UUD 1945 pasal 28 ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”;
2. Perkawinan yang sah itu adalah perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun
perkawinan sesuai hukum Islam, baik tercatat maupun tidak, jika tidak, maka dapat
melakukan Isbat Nikah di Pengadilan Agama;
3. Dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan/atau alat bukti lain
menurut hukum. Persyaratan ini bersifat kumulatif yang tidak bisa dipisahkan, tegas
Rasyid.
Dari uraian di atas mempermasalahkan anak yang sah, tentunya ada istilah “anak tidak
sah”. Jika dicermati, ternyata anak tidak sah ada 2 jenis, yaitu;
1. Anak yang sah secara materiil, tetapi tidak sah secara formil.
2. Anak yang tidak sah secara materiil, juga tidak sah secara formil.
Yang dimaksud Anak yang sah secara materiil, tetapi tidak sah secara formil adalah
anak yang lahir dari perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan agama &
kepercayaannya masing-masing, tetapi tidak tercatat di KUA maupun KCS. Sedangkan
Anak yang tidak sah secara materiil, juga tidak sah secara formil adalah anak yang
dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dengan perempuan tanpa ada ikatan perkawinan
(kumpul kebo atau samen leven).
Berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUUVIII/2010 tanggal 17
Pebruari 2012, dalam diktumnya me-review ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menjadi; “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagi ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau
bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”.
Sebagaimana yang masih menjadi perdebatan di masyarakat, termasuk juga MUI
mempermasalahkan atas putusan MK tersebut. Antara MUI dan MK saling serang
argumentasi, MUI menyatakan bahwa Putuskan Nasib Anak di Luar Nikah, MK dinilai
Arogan, karena tidak melibatkan MUI dalam memutuskan hukum agama, kemudian Ketua
MK menilai MUI tidak paham terhadap putusan tersebut.
MUI menilai MK menghalalkan perzinaan, karena dalam keputusan tersebut tidak
secara spesifik menyebut hak anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan, meskipun
belum dicatatkan pada KUA atau KCS, seperti nikah siri, tetapi keputusan tersebut untuk
semua anak yang lahir di luar nikah dapat dihubungkan secara perdata dengan ayahnya dan
keluarga ayahnya. Karena MUI masih menyamakan antara hubungan perdata dengan nasab.
Putusan MK Nomor 46 Tahun 2010 Menurut Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang kriteria anak sah (anak yang
dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah), seperti yang dicantumkan dalam Pasal 99
Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi: “bahwa anak yang sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah
b. Hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut
Anak yang lahir di luar kawin, seperti yang tercantum dalam Pasal 100 Kompilasi
Hukum Islam yaitu “anak yang baru lahir di luar perkawinanhanya mempunyai hubungan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Disamping itu dijelaskan juga tentang kedudukan
anak dari perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang dihamilinya sebelum
pernikahan. Hal ini tercantum dalam Pasal 53 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam yang
berbunyi : “dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan setelah anak yang dikandung lahir”.
Firman Allah SWT yaitu yang mengatur tentang nasab yang terdapat dalam Alquran
antara lain adalah :
a. Firman Allah yang menjelaskan tentang pentingnya kejelasan nasab dan asal usul
kekerabatan yaitu QS. Al-Ahzab : 4 – 5 yang berbunyi “Dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-
anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih
adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka
(panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama maula-maulamu.
b. QS. An-Nisa 23 : “…(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu).
c. Hadits Rasullullah SAW, antara lain :
Hadits yang menerangkan anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya, antara lain :
a. Nabi Saw bersabda tentang anak hasil zina : “Bagi keluarganya ibunya…”
(HR. Abu Dawud).
b. Hadits yang menerangkan tidak adanya hubungan kewarisan antara anak hasil
zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, antara lain : “Amr bin
Syu’aib RA dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka
anaknya adalah hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan. (HR Al-
Turmudzi)
Nasab dalam doctrinal Islam merupakan sesuatu yang sangat penting, hal ini dapat
dilihat dalam sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak yang
bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang dinasabkan kepada Nabi,
mendapatkan teguran dari Allah SWT. Dalam al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi, “Dan dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu (sendiri), Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang
lebih adil pada sisi Allah’.

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak kandung.
Dan kemudian dijelaskan bahwa anak angkat tetap dinasabhkan kepada ayah kandungnya,
bukan kepada ayah angkatnya. Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya
terjadi disebabkan karena kehamilan karena adanya hubungan seksual yang dilakukan
dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah maupun
melalui perzinaan. Amir Syarifuddin menyebutkan dengan “kalau nasab kepada ibunya
alamih, maka (nasab) anak kepada ayah adalah hubungan hukum ; yaitu terjadinya peristiwa
hukum sebelumnya, dalam hal ini adalah perkawinan.

Adapun dasar hukum ditetapkannya nasab dari seorang anak kepada bapaknya, bisa
terjadi melalui pernikahan yang sah. Para ulama fiqih sepakat bahwa para wanita yang
bersuami dengan akad yang sah apabila melahirkan maka anaknya itu dinasabhkan kepada
suaminya itu. Mereka berdasarkan pendapat tersebut antara lain pada hadist : “anak-anak
yang dilahirkan adalah untuk laki-laki yang punya isteri (yang melahirkan anak itu) dan bagi
pezina adalah rajam”. Anak yang dilahirkan itu dinasabkan kepada suami ibu yang
melahirkan dengan syarat antara lain :

Menurut kalangan hanafiyah anak itu dilahirkan enam bulan setelah perkawinan. Dan
jumhur ulama menambahkan dengan syarat suami isteri itu tlah melakukan senggama. Jika
kelahiran itu kurang dari enam bulan, maka anak itu dapat dinasabkan kepada suami si
wanita. Batasan enam bulan ini didasarkan pada kesepakatan para ulama, bahwa masa
minimal kehamilan adalah enam bulan. Batasan enam bulan ini didasarkan pada kesepakatan
para ulama, bahwa masa minimal kehamilan adalah enam bulan.

Anda mungkin juga menyukai