Anda di halaman 1dari 17

REFLEKSI KASUS Januari 2018

“TERAPI CAIRAN INTRAOPERATIF PADA SECTIO


CAESSARIA ATAS INDIKASI CPD + ANEMIA SEDANG”

Disusun Oleh:

LATIFA FADILLAH

N 111 16 054

Pembimbing Klinik:

dr. Faridnan, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TADULAKO

PALU

2018
BAB I
PENDAHULUAN

Pemahaman tentang keseimbangan cairan dan elektrolit sangat penting dalam


menangani penderita yang akan, sedang atau selesai menjalani pembedahan. Dalam
keadaan normal, keseimbangan cairan dan elektrolit dipertahankan dengan menjaga
keseimbangan antara jumlah asupan cairan dan jumlah cairan yang hilang melalui
ginjal, saluran cerna maupun cara lain (insensible loss).
Pembedahan memicu gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit puasa
sebelum pembedahan, terjadi kehilangan banyak cairan melalui saluran cerna
(muntah, dilatasi lambung atau usus, diare), perdarahan, atau berpindahnya cairan ke
rongga ketiga (peritonitis, ileus obstruksi). Masalah keseimbangan cairan dan
elektrolit pada saat pembedahan bertambah rumit jika terdapat komorbid, misalnya
penyakit ginjal, jantung, dan masalah paru-paru.
Tujuan umum pemberian cairan dan elektrolit adalah mengganti atau
mempertahankan volume cairan intravaskular, interstisiel dan intraseluler;
mempertahankan keseimbangan air, elektrolit, dan komponen darah; atau
mempertahankan kadar protein darah. Sedangkan tujuan khususnya adalah
mempertahankan beban pra-jantung (beban hulu, preload) serta curah jantung
(cardiac output). Dengan demikian, oksigenasi dan perfusi jaringan dapat menjamin
kseimbangan metabolisme sel.
Tujuan utama terapi cairan perioperatif adalah untuk mengganti defisit pra
bedah, selama pembedahan dan pasca bedah dimana saluran pencernaan belum
berfungsi secara optimal disamping untuk pemenuhan kebutuhan normal harian.
Terapi dinilai berhasil apabila pada penderita tidak ditemukan tanda-tanda
hipovolemik dan hipoperfusi atau tanda-tanda kelebihan cairan berupa edema paru
dan gagal nafas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tubuh manusia terdiri dari zat padat dan zat cair. Pada manusia dewasa
distribusi zat padat adalah 40% dari berat badan dan 60% lagi adalah terdiri dari zat
cair. Air merupakan bagian terbesar pada tubuh manusia, presentasenya dapat
berubah tergantung pada umur, jenis kelamin dan derajat obesitas seseorang. Pada
bayi usia < 1tahun, cairan tubuh sekitar 80-85% dari berat badan, dan pada bayi >1
tahun, adalah sekitar 70-75% berat badan. Seiring dengan pertumbuhan, presentase
jumlah cairan terhadap berat badan beransur-ansur turun, iaitu pada lelaki dewasa 50-
60% berat badan dan pada wanita dewasa 50% berat badan.
Zat cair (60%) terdiri dari cairan intrasel 40% berat badan, cairan ekstrasel 20%
berat badan, dan cairan transelular 1-3% berat badan. Cairan ekstrasel dibagi lagi
menjadi cairan intravascular dan cairan interstisial. Pada bayi cairan jumlah ekstrasel 
lebih besar dari intrasel. Perbandingan ini akan berubah sesuai dengan perkembangan
tubuh, sehingga pada dewasa cairan intrasel 2 kali cairan ekstrasel.
1. Cairan Intrasel
Merupakan cairan yang terkandung didalam sel.
2.  Cairan Ekstrasel
Merupakan cairan yang berada diluar sel. Jumlah relative cairan ekstraseluler
berkurang seiring usia. Ia dibagi menjadi:
- Cairan Intravaskular
Cairan yang terkandung dalam pembuluh darah. Rata-rata volume darah orang
dewasa sekitar 5-6 liter dimana 3 liternya merupakan plasma dan sisanya terdiri dari
eritrosit, leukosit dan trombosit.
- Cairan Interstisial
Cairan yang mengelilingi  sel, rata-rata volumenya adalah 11-12 liter pada orang
dewasa. Cairan limfe juga termasuk dalam kategori ini.
- Cairan Transeluler
Merupakan cairan yang terkandung di antara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikordial, pleura, sendi synovial, intraocular, dan sekresi saluran
pencernaan.
Sectio caesaria merupakan metode untuk melahirkan bayi melalui irisan pada
abdomen dan uterus. Beberapa pasien yang memerlukan tindakan sectio caesaria
tentunya memerlukan penatalaksanaan anestesi. Karena bahaya yang mungkin timbul
berkaitan dengan manajemen jalan napas dan gejolak hemodinamik pada saat intubasi
maka anestesi umum dipilih bila ada kontra indikasi terhadap anestesi regional.
Anestesi epidural digunakan pada saat pasien dengan preeklampsia berat, meskipun
anestesi spinal banyak dihindari berkaitan dengan resiko hipotensinya namun dari
beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa efek anestesi spinal dan epidural
terhadap hemodinamik sama.
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Ny. Nurafifah
Umur : 32 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
BB : 60 kg
Agama : Islam
Alamat : Pasangkayu

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Nyeri perut tembus belakang.
2. Riwayat penyakit sekarang : Pasien masuk RS dengan keluhan nyeri
pada perut tembus belakang yang dirasakan sejak 01.00 malam SMRS.
Perdarahan pervaginam (+), Pelepasan lender (+). Keluhan dirasakan
semakin memberat dengan adanya keluhan nyeri kepala (+), mual (+),
nyeri uluh hati (+). Pasien mengeluh awalnya nyeri pada perut bagian
bawah kemudian berpindah sampai kebagian belakang. Buang air kecil
sering dengan volume sedikit.demam (-), batuk (-) sesak (-).Buang air
besar (BAB) lancar seperti biasa.
3. Riwayat AMPLE
o A (Alergy) : Tidak didapatkan Alergi terhadap obat, asma (-)
o M (Medication) : tidak sedang menggunakan pengobatan tertentu
o P (Past History of Medication) : Riwayat DM (-), HT (-), Icterus (-),
riwayat penggunaan obat-obat (-).
o L (Last Meal) : Pasien terakhir makan pukul 00.00 pagi sebelum
operasi, mual (+), muntah (-)
o E (Elicit History) : Nyeri perut bawah diserti nyeri kepala yang semakin
memberat SMRS
o Riwayat penyakit keluarga:
o Riwayat penyakit paru (-)
o Riwayat penyakit jantung (-)
o Riwayat penyakit diabetes melitus (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK

B1 ( Breath) : Airway paten, nafas spontan, reguler, simetris, RR 20x/m,


pernapasan cuping hidung (-), snoring (-), stridor (-), buka mulut lebih 3 jari,
Mallampati score class I. Auskultasi : Suara napas bronchovesiculer, rhonki
(-/-), wheezing (-/-)
B2 (Blood) : Akral hangat, nadi reguler kuat angkat, frek 84x/m, CRT 2” ,
TD: 130/80 mmHg, ictus cordis teraba di SIC 5, S1-S2 reguler, murmur (-)
gallop (-)
B3 ( Brain) : Compos mentis, GCS 15, refleks cahaya +/+
B4 (Bladder) : BAK : kateter (+), BAB biasa
B5 (Bowel) : Keluhan mual (-), muntah (-). Abdomen : inspeksi tampak
cembung, kesan normal. Auskultasi peristaltik (+), kesan normal. Palpasi
nyeri takan (+), massa (-). Perkusi tympani (+) pada seluruh lapang abdomen.
B6 (Bone) : Nyeri (-)jjjj, krepitasi (-) morbilitas (-), ekstremitas
deformitas(-)

D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil Rujukan Satuan

HEMATOLOGI

Hemoglobin 8,0 L: 14-18, P: 12-16 g/dl


Leukosit 12,9 4.000-12.000 /mm3

Eritrosit 3.58 L: 4.5-6.5 P: 3.9-5.6 Juta/ul

Hematokrit 37,4 L: 40-46 P: 35-47 %

Trombosit 471.000 150.000-450.000 /mm3

Waktu
4.00 4-12 menit m.det
pembekuan/CT

Waktu
8.00 1-4 menit m.det
perdarahan/BT

Tabel Kimia Klinik

Parameter Hasil Satuan Range Normal

GDS 68,8 mg/dL 70 -140

Tabel Imunoserologi

Parameter Hasil

HbsAg Positif

E. DIAGNOSIS
- PS. ASA II E : Pasien disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang dengan status emergensi.
- G1P0A0 Gravid 39-40 Minggu + Inpartu Kala 1 fase laten + CPD + Anemia
sedang

F. LAPORAN ANESTESI PASIEN


- Diagnosis pra-bedah : G1P0A0 Gravid 39-40 Minggu + Inpartu Kala
1 fase laten + CPD + Anemia sedang
a) Diagnosis post-bedah : P1A0 + Anemia Sedang
b) Jenis pembedahan : Sectio Caesarea
c) Persiapan anestesi : Informed consent
Puasa ± 8 jam sebelum operasi
d) Jenis anestesi : General Anestesi
e) Teknik anestesi : Subarachnoid Block
f) Medikasi : Bupivacaine 12,5 mg, Ondansentron
4mg, Petidin 50 mg, Oksitosin 20 IU,
Ketorolac 4 mg
g) Pemeliharaan anestesi : O2 6 L/menit
h) Respirasi : Spontan
i) Status Fisik : ASA II E
j) Induksi mulai : 19.20 WITA
k) Operasi mulai : 19.35 WITA
l) Lama operasi : 1 jam 40 menit
m) Lama puasa : 8 jam

Tabel 3. Tekanan darah dan frekuensi nadi selama operasi

Pukul Tekanan Darah Nadi (kali/menit) SaO2


(WITA) (mmHg)
19.20 130/85 100 97
19.25 132/85 100 97
19.30 141/90 98 97
19.35 115/75 95 97
19.40 132/78 101 97
19.45 134/83 98 97
19.50 141/81 95 97
19.55 118/78 100 97
20.00 110/62 95 98
20.05 121/61 95 98
20.10 105/60 90 98
20.15 105/68 95 98
20.20 108/59 95 98
20.25 111/70 85 98
20.30 101/65 85 98
20.35 111/70 88 98
20.40 121/75 99 98
20.45 115/75 89 98
20.50 105/74 88 98
20.55 115/75 97 98
21.00 108/78 90 98
21.05 110/70 92 98
21.10 125/75 99 98
21.15 130/72 97 98
21.20 130/65 80 98

G. CAIRAN
 Pemberian Cairan:
o Cairan masuk :
Durante operatif : Kristaloid RL 800 cc + NaCl 0,9% 500 cc + PRC
500 cc
Total input cairan : 1.800 cc
o Cairan keluar :
Perdarahan :
kasa 4x4 (14 buah) 15 x 14 = 210 cc
Kasa lipat (1 buah )  150 x 1 = 150 cc
Tabung suction + 500 cc
Urin : ± 150 cc
Total output cairan : Perdarahan 860 cc, Urin ± 150 cc

H. POST OPERATIF
1. Nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Memasang O2 2 L/menit nasal kanul.
3. Analgetik.
o Nadi : 120 x/menit
o RR: 34 x/menit
o TD: 80/40
o VAS Score: 6
4. Skor pemulihan pasca anestesi:
 Alderete Score
o Aktivitas = Dua ekstremitas tidak dapat digerakkan (0)
o Respirasi = Dangkal namun pertukaran udara adekuat (1)
o Sirkulasi = TD ± 20% dari nilai pre anestesi (2)
o Kesadaran = sadar, siaga, orientasi (2)
o Warna kulit = pucat (1)
o Skor Pasien (6): pasien ACC dipindahkan ke ICU.

BAB III
PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi pada pasien ini telah dilakukan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, sehingga pasien digolongkan sebagai
ASA II E karena pada ini dijumpai adanya leukositosis (12,9) disertai adanya HbsAg
(+), tetapi pasien tidak memiliki penyakit lain selain penyakit yang akan dioperasi
dan tidak ada keterbatasan fungsional.
Pada kasus ini jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi. General
anestesi adalah suatu tindakan medis dimana tujuan utamanya adalah menghilangkan
nyeri. Bedanya dengan anestesi regional pasien tidak merasakan nyeri tapi masih
sadar. Selain itu, karakteristik general anestesi adalah reversible yang artinya akan
menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek samping dan juga dapat diprediksi
lama durasinya dengan menyesuaikan dosisnya. General anestesi yang dipilih pada
kasus ini adalah dengan subarachnoid blok. Anestesi blok subaraknoid atau biasa
disebut anestesi spinal adalah tindakan anestesi dengan memasukan obat analgetik ke
dalam ruang subaraknoid di daerah vertebra lumbalis yang kemudian akan terjadi
hambatan rangsang sensoris mulai dari vertebra thorakal 4. Untuk pembedahan,daerah
tubuh yang dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah papila mamae kebawah ). Dengan durasi
operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3 jam. Kontra indikasi pada teknik anestesi
subaraknoid blok terbagi menjadi dua yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
 Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. : Karena
pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
 Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam rongga
subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan intracranial, dan bisa
menimbulkan komplikasi neurologis
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa
terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka harus
dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.
Kontra indikasi relatif :
 Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan penyebaran
infeksi.
 Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan bisa
dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
 Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar tidak
membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang sudah ada pada
pasien sebelumnya.
 Kelainan psikis
 Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120 menit,
bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan hingga 150
menit.
 Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah jantung
akibat efek obat anestesi local.
 Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan
Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan. Hal ini
berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan berulang-ulang, dapat membuat
pasien tidak nyaman

Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan dengan banyaknya
cairan yang hilang. Terapi cairan intravena terdiri dari cairan kristaloid, koloid, atau
suatu kombinasi kedua-duanya. Larutan kristaloid adalah larutan mengandung ion
dengan berat molekul rendah (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan
koloid berisi ion dengan berat molekul tinggi seperti protein atau glukosa. Cairan
koloid menjaga tekanan oncotic plasma dan sebagian besar ada di intravascular,
sedangkan cairan kristaloid dengan cepat didistribusikan keseluruh ruang cairan
extracellular. Terapi cairan dimaksudkan untuk maintenence, mengganti cairan
yang hilang pada waktu puasa, pada waktu pembedahan (translokasi), adanya
perdarahan dan oleh sebab-sebab lain misalnya adanya cairan lambung, cairan
fistula dan lain-lainnya.

1. Kebutuhan cairan maintenance


Pada waktu intake oral tidak ada, defisit cairan dan elektrolit dapat terjadi
dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang terus berlangsung,sekresi
gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari kulit dan paru. kebutuhan
pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel berikut:

       Berat badan                                                       Kebutuhan        

10 kg pertama                                                            4 ml/kg/jam

10-20 kg kedua                                                          2 ml/kg/jam

masing-masing kg  > 20 kg                                       1 ml/kg/jam

3.1 tabel estimasi kebutuhan cairan pemeliharaan

Pada kasus didapatkan berat badan pasien 60 kg sehingga kebutuhan cairan


pemeliharaannya (4x10) + (2x10) + (1x40) = 100 ml/jam sedangkan cairan
pemeliharaannya selama 1 jam 40 menit : 1,4 x 100 = 140 ml

Dapat juga menggunakan rumus Cairan Maintanance

(M) : = 35 cc/KgBB/24jam

= 35 x 60 kg= 2100 cc/ 24 jam = 87,5 cc/jam

= 87,5 x 1,4 = 122,5 cc

2. Cairan pengganti Operasi


Pada kasus ini dilakukan pembedahan jenis section caesarea, dimana operasi ini
merupakan operasi yang besar, sehingga perlu juga kita mengetahui cairan yang
hilang berdasarkan jenis operasinya, sebagaimana rumus yang bisa kita gunakan
adalah :

Sehingga, pada pasien ini didapatkan 4-8 ml/kg = (4-8 ml) x 60 kg = 240 sampai 480
ml. Sedangkan cairan pengganti operasi selama 1 jam 40 menit adalah 1,4 x (240 –
480 ) = 335 sampai 672 ml
Cairan yang dapat digunakan sebagai cairan maintenance adalah cairan
kristaloid (asering, RL) dengan perhitungan perbandingan 3:1, sedangkan cairan
maintenance yang kedua adalah koloid dengan perbandingan 1:1.

3. Pengganti Perdarahan
Tabel 3.4 Volume darah

EBV (Estimate Blood Volume) pada pasien :

EBV = 65 ml/kg x BB kg

= 65ml/kg x 60 kg

= 3.900 ml

Jumlah perdarahan: ± 860 cc

% perdarahan : 860/3.900 x 100% = 22,05 %

Hct pasien−Hct standar


MABL=EBV ×
( Hct pasien+ Hct standar ) /2
26,2−25 1,2
¿ 3900 × =3900× =182,81
( 26,2+25 ) 25,6
2

Defisit darah selama 1 jam 40 menit = 860 ml sedangkan pada pasien dilakukan
transfusi darah sebanyak 500 ml. Sehingga perhitungannya 860 - 500 = 360 ml.
Untuk mengganti kehilangan darah 360 cc diperlukan ± 1080 cairan kristaloid. Tapi
karena EBV ditas 20% maka dianjurkan untuk penggantian darah dengan PRC 1
kantong
Total kebutuhan cairan selama 1 jam 40 menit operasi : 150 + 672 + 122,5 +
1080 = 2.024,5 ml
Keseimbangan kebutuhan: Cairan masuk – cairan yang keluar = 1800 ml –
2024,5 ml = - 224, ml

DAFTAR PUSTAKA

(1) Sjamsuhidajat R, Jong W de. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. EGC: Jakarta;
2005.
(2) Siregar H, Yusuf I, Gani, Sinrang AW. Fisiologi sel dan cairan tubuh. Edisi 2.
Bagian Ilmu faal FK UNHAS; Makassar.
(2) Guyton AC, Hall J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC;
2007.
(3) Latief S A, Suryadi K A, Dachlan M R. Anestetik Inhalasi Petunjuk Praktis
Anestesiologi. 2nded. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI;
2002.Availablefrom:URL:http://cilinicalupdates2011.files.wordpress.com
/2010/11/syokclinical-update_dr-sri-rahardjo.pdf diakses tanggal 20 desember
2017 Millers Anesthesia. 7th ed.
(4) Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug, 5,
2013] Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview.
Accessed on 2013 Oct 15
(5) S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 123
(6) S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV.
Infomedika, 2004; 125-8

Anda mungkin juga menyukai