Anda di halaman 1dari 14

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

AKUNTANSI KEPERILAKUAN

“KODE ETIK PROFESI AKUNTANSI UNTUK MEMBANGUN


KEPERCAYAAN PUBLIK”

Disusun Oleh :

Intan Raka Pangesti (206020300111013)

PASCA SARJANA
MAGISTER AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : Intan Raka Pangesti
NIM : 206020300111013
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Program : Magister Akuntansi

Dengan ini menyatakan bahwa artikel dengan judul : “KODE ETIK PROFESI
AKUNTANSI UNTUK MEMBANGUN KEPERCAYAAN PUBLIK” benar
bebas dari plagiat ,dan apabila pernyataan ini terbukti tidak benar,maka saya siap
menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Demikian surat plagiasi ini saya buat untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Malang,12 Juni 2021


Yang Menyatakan,

Intan Raka Pangesti


KODE ETIK PROFESI AKUNTANSI: GLOBAL ETHICS
Intan Raka Pangesti
Universitas Brawijaya
email: intanraka08@student.ub.ac.id
Abstract: Accounting Profession Code of Ethics to build confidence public.
Ethics in upholding the code of ethics for the public accounting profession is a
crucial issue and becomes an important topic for various discussions. KAP must
carry out its code of ethics properly in the audit engagement it carries out, so that
the good name and image of the profession and public trust regarding the public
accounting profession can be properly maintained. This effort can be realized if
the implementation of the principles of professional ethics can be carried out in
accordance with predetermined provisions. The ethical principles based on the
professional accountant's code of ethics consist of integrity, objectivity,
professional competence and prudence, confidentiality and professional behavior.

Abstrak: Kode Etik Profesi Akuntansi Untuk Membangun Kepercayaan


Publik. Etika dalam penegakan kode etik profesi akuntan publik merupakan
masalah krusial dan menjadi hal yang penting untuk menjadi topik dalam berbagai
pembahasan. KAP harus menjalankan kode etiknya dengan baik dalam perikatan
audit yang dilaksanakan, sehingga nama baik dan citra profesi dan kepercayaan
masyarakat mengenai profesi akuntan publik dapat terjaga dengan baik. Upaya ini
dapat terwujud apabila pelaksanaan prinsip-prinsip etika profesi dapat
dilaksanakan sesuai dengan ketententuan yang telah ditetapkan. Prinsip etika
berdasarkan kode etik akuntan profesional terdiri atas integritas, objektivitas,
kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan serta perilaku profesional.

Kata Kunci: Kode Etik, Citra Profesi, Prinsip Etika Profesi


.
Pendahuluan
Profesi akuntansi merupakan suatu profesi yang pasti dibutuhkan disetiap
perusahaan. Hal ini dapat disebabkan karena profesi akuntansi merupakan peranan
yang sentral dan penting dalam mengambil keputusan dalam perusahaan demi
kelanjutan suatu perusahaan. Menilik dari pentingnya peran akuntan dalam suatu
perusahaan maka setiap akuntan diharuskan mentaati suatu kode etik profesi
akuntansi. Kode etik ini dibuat dengan tujuan agar setiap akuntan tidak melakukan
kecurangan atau penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan suatu entitas.
Dalam profesi dibidang akuntansi, etika merupakan pedoman bagi perilaku
akuntan sebagai bentuk suatu pertanggungjawaban terhadap klien, masyarakat,
anggota profesi maupun dirinya sendiri (Sugiharti, 2015). Pada hakikatnya,
masyarakat di Indonesia dibangun atas dasar aturan-aturan serta etika. Dalam
kaitannya dengan hal etika, akuntansi memiliki keterkaitan yang sangat erat
dengan etika. Dapat dikatakan demikian, karena dalam kegiatan akuntansi seorang
akuntan dituntut untuk melakukan judgement, namun pada realita yang terjadi
tidak mudah bagi akuntan untuk melakukan hal tersebut. Oleh sebab itu,
pentingnya kesadaran dalam beretika sangat dibutuhkan bagi seorang akuntan
dalam pengambilan keputusan akuntansi (Wati dan Sudibyo, 2016).
Etika Profesi Akuntan menjadi kajian dan isue krusial saat beberapa kasus
besar melanda dunia Kantor Akuntan Publik. Publik memperoleh informasi
tentang kejadian di USA yang dipicu oleh skandal Enron, Worldcom dan
beberapa perusahaan besar di USA di sekitar tahun 2002. Kejadian tersebut
menjadi penyebab ditutupnya Enron juga Kantor Akuntan Publik terbesar di dunia
saat itu, Andersen. Sementara beberapa kejadian di dalam negeri yang melanda
Kantor Akuntan Publik juga terjadi. Kasus PT Telkom, PT Kereta Api Indonesia,
PT Kimia Farma adalah beberapa contoh. Beberapa kalangan ahli berpendapat
kasus- kasus tersebut terjadi karena terjadinya kegagalan di dalam menerapkan
Etika Profesi Akuntan dalam praktek Akuntan Publik. Meski sesungguhnya
prinsip- prinsip Etika Profesi Akuntan tidak hanya berlaku untuk profesi Akuntan
Publik, namun mengikat juga bagi profesi-profesi lain yang menggeluti bidang
keahlian akuntansi. Karenanya, profesi Auditor Pemerintah, Akuntan Internal,
Auditor Internal hingga Dosen, sesungguhnya juga terikat dengan Etika Profesi
Akuntan. Masyarakat terlanjur memahami bahwa Etika Profesi Akuntan
merupakan hal yang sama dengan Etika Profesi Akuntan Publik.
Padahal faktanya apabila merujuk pada pembidangan profesi yang ada di
dalam IAI (Ikatan Akuntan Indonesia), maka setidaknya akan terdapat (1)
Kompartemen Akuntan Sektor Publik (2) Kompartemen Akuntan Manajemen (3)
Kompartemen Akuntan Pendidik. Sementara untuk Akuntan Publik, telah lepas
dari IAI dan mendirikan wadah IAPI organisasi (Institut Akuntan Publik
Indonesia). Akuntan yang berprofesi sebagai Konsulen Pajak, tergabung di dalam
wadah organisasi IKPI (Ikatan Konsulen Pajak Indonesia). Dengan demikian
menyamakan terminologi Etika Profesi Akuntan dengan Etika Profesi Akuntan
Publik, adalah kurang tepat. Mungkin karena dampak yang ditimbulkan oleh
pelanggaran Etika lebih langsung dirasakan masyarakat ekonomi (berkurangnya
kepercayaan investor yang ditampakkan dengan berkurangnya transaksi yang
terjadi di Pasar Modal), serta ada Blow up media secara besar-besaran maka
seolah masalah Etika Profesi Akuntan hanya menjadi domain bagi Kantor
Akuntan Publik dan Akuntan Publik.
Kasus
Sebagai sebuah contoh, kasus yang terjadi di PT KAI (misalnya) tidak
murni kesalahan dari KAP dan AP yang melakukan audit pada periode
ditemukannya kesalahan. Karena sebelumnya audit di PT KAI dilakukan oleh
auditor Pemerintah sebelum digantikan posisinya oleh KAP. Akumulasi kesalahan
terjadi bertahun-tahun pada saat auditor Pemerintah melakukan audit. Saat
digantikan oleh KAP kesalahan tersebut terdeteksi. Kesalahan fatal yang
dilakukan oleh KAP dan AP yang menggantikan posisi Auditor Pemerintah saat
itu adalah, tidak meminta Auditor terdahulu (Auditor Pemerintah) untuk
mengkoreksi laporan auditannya, dan menerbitkan kembali Laporan Auditannya.
Akibatnya, KAP dan AP pengganti, dibebani kesalahan.
Selain itu di Indonesia contoh kasus skandal yang melanggar kode etik
akuntan adalah kasus Farma. Kimia Farma diduga kuat melakukan penyimpangan
manipulasi data laporan keuangan perusahaan tahun 2001 dengan cara melakukan
mark up laba bersih. Dalam laporannya tersebut, Kimia Farma berhasil meraup
laba sebesar Rp 132 milyar. Setelah berhasil dilakukan audit ulang pada tanggal 3
Oktober 2002, ternyata telah ditemukan beberapa kesalahan. Pada laporan
keuangan yang baru, profit yang didapat hanya sebesar Rp 99,56 milyar sehingga
ditemukan miss Rp 32,6 milyar (24,7%) dari laba awal yang telah dilaporkan
sebelumnya. Salah saji yang berkaitan dengan persediaan terjadi karena adanya
penggelembungan dari daftar harga persediaan. Sedangkan salah saji yang
berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas
penjualan. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
Pemerintah (BPKP) pada tahun 2001 menyatakan bahwa KAP Hans Tuanakotta
dan Mustofa (HTM) telah melanggar Standar Profesional Akuntan (SPAP)
(Sumiyantini,dkk, 2017).
Pembahasan
Berdasarkan kedua kasus tersebut dapat diketahui pelanggaran kasus
mengenai kode etik akuntan telah terjadi di Indonesia, namun demikian hingga
saat ini penelitian tentang Etika Profesi Akuntan yang mengamati profesi lain
selain dari profesi Akuntan Publik, masih sangat jarang dilakukan. Aktifitas riset
dari kalangan akademisi didominasi oleh topik-topik penelitian Etika Profesi
Akuntan dengan mengambil obyek Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik.
Sebagai contoh penelitian tentang Etika Akuntan, adalah seperti yang dilakukan
oleh Volker (1984), Bebeau, et al (1985) menyatakan bahwa para Akuntan
Profesional cenderung mengabaikan persoalan moral bilamana menemukan
masalah yang bersifat teknis. Kemudian, Cushing (1999) yang menawarkan
sebuah kerangka kerja berdasarkan Game Theory untuk melakukan pengujian
pendekatan standar Etika dengan profesi Akuntan. Penelitian yang dilakukan oleh
Ludigdo (1999) menghasilkan rumusan bahwa pelanggaran Etika seharusnya
tidak terjadi apabila Akuntan memiliki pengetahuan, pemahaman, serta kemauan
dalam menerapkan nilai-nilai moral dan etika secara memadai dalam pelaksanaan
pekerjaan profesionalnya. Hasil Penelitian Payamta (2002) menyatakan bahwa
berdasarkan Pedoman Etika IFAC, maka syarat-syarat etika suatu organisasi
akuntan, sebaiknya didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang mengatur
tindakan/ perilaku seseorang akuntan dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
Prinsip-prinsip tersebut meliputi: (1) Integritas, (2) Obyektifitas, (3) Independensi,
(4) Kepercayaan, (5) Standar-standar teknis, (6) Kemampuan Profesional, dan (7)
Perilaku Etika. Yang menarik adalah pendapat dari Sudibyo (1995) dalam
Khomsiyah dan Indriantoro (1998) yang menyatakan bahwa Dunia Pendidikan
Akuntansi memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku Etika dari Auditor.
Etika dalam penegakan kode etik profesi akuntan publik merupakan
masalah krusial yang tidak henti-hentinya menjadi topik pembahasan. Perbuatan
tidak etis kerap kali membuat etika seseorang dipertanyakan. Memang,
mengkritisi tindakan seseorang, baik maupun buruk, benar ataupun salah sudah
menjadi tradisi dikalangan masyarakat. Mereka cenderung melakukan judgement
bahwa sikap dan perilaku seseorang yang dinilai buruk menandakan ada yang
salah dengan etikanya. Terminologi etika pun acap kali dikaitkaitkan dengan
moral, norma, serta aturan-aturan. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad
(2004) dalam Nugroho (2012) bahwa etika adalah norma, manusia harus berjalan
dan bersikap sesuai norma yang ada. Berbicara mengenai etika, tentu tidak dapat
terpisahkan dari etika profesi. Jika etika membahas perilaku setiap orang tanpa
terkecuali, lain halnya dengan etika profesi. Etika profesi lebih menekankan pada
tuntutan seseorang terhadap profesi yang dimiliki, agar tidak terjadi
penyimpangan atau pelanggaran yang dapat merugikan profesi yang
bersangkutan.
Kode etik dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, dan
pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik
merupakan aturan sebagai pedoman berperilaku dan berbudaya. Kode etik harus
berisi tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang harus
didahulukan dan apa yang boleh dikorbankan oleh profesi (Pusdiklatwas BPKP,
2008). Merujuk beberapa kasus mengenai etika profesi yang telah dikemukakan di
atas dapat tarik suatu kesimpulan bahwa, etika, etika profesi, dan kode etik
merupakan hal yang sangat penting serta keberadaannya, harus dijunjung tinggi
oleh setiap profesi. KAP harus menjalankan kode etiknya dengan baik dalam
perikatan audit yang dilaksanakan, sehingga nama baik dan citra profesi tetap
terjaga. Etika dalam menghadapi dilema etis akuntan publik merupakan suatu
profesi yang unik dibandingkan dengan profesi lainnya. Kata unik yang
disematkan dalam profesi ini diberikan bukan tanpa alasan. Hal ini karena, dalam
menjalankan tugas profesinya seorang akuntan publik harus menggunakan
keahlian profesinya dengan tetap mempertahankan sikap independensi.
Akuntan publik sebagai profesi, menerima bentuk penugasan dan
mendapatkan fee dari hasil perikatan audit yang dijalankannya. Selain itu, terdapat
perihal lain yakni terkait dengan bentuk pertanggungjawaban atau akuntabilitas
seorang auditor yang tidak hanya kepada klien melainkan kepada para pemakai
laporan keuangan auditan. Bentuk pertanggung jawaban yang diberikan oleh
auditor adalah terkait dengan opini. Klien sebagai pihak yang memberikan
perikatan serta pembayaran fee, sering kali menekan auditor untuk menjalankan
audit sesuai dengan keinginannya agar mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya.
Namun disisi lain, tentu hal ini bertentangan dengan kode etik yang dimiliki oleh
auditor. Auditor sebagai pihak yang dinilai independen dituntut untuk melakukan
pemeriksaan tanpa adanya intervensi dari berbagai pihak. Sehingga inilah yang
kerap kali membuat auditor mengalami dilema, ia harus turut mempertahankan
klien untuk terus menjadi klien KAP-nya atau melaksanakan audit dengan sangat
ketat (Ludigdo, 2007:138).
Kondisi ini menjadi suatu dilema etis merupakan hal yang sering terjadi
dalam perikatan audit. Dilema etis yang sering muncul biasanya berkaitan dengan
penerimaan perikatan (klien versus keahlian profesional), imbalan jasa profesional
(fee minimal) dan independensi (Dewi, 2013). Dilema etis (ethical dilema) sendiri
adalah situasi yang dihadapi oleh seseorang di mana ia harus mengambil
keputusan tentang perilaku yang tepat Arens, et al (2008:100) serta dalam situasi
yang tepat pula. Namun keputusan yang diambil justru sering melenceng dari
tataran norma yang telah ditetapkan. Sehingga tak jarang, dilema etis yang terjadi
mengantarkan akuntan publik kepada sikap yang jauh dari kata moral. Kasus-
kasus pelanggaran yang ter-blow up merupakan bentuk representasi dari dilema
etis yang tidak mampu dipertahankan oleh auditor untuk memilih tindakan yang
tepat. Dampak terjadinya ppelanggaran ini pun menjadikan akuntan publik
sebagai profesi yang memiliki citra buruk dimata publik.
Masyarakat seolah kehilangan kepercayaan atas profesi akuntan publik.
Pada hakikatnya, terdapat beberapa cara yang dapat ditempuh agar terhindar dari
dilema etis, salah satunya ialah seorang akuntan diwajibkan untuk taat dan patuh
pada kode etik yang telah ditetapkan serta dapat menjunjung tinggi
profesionalisme. KAP dalam menjalankan perikatan auditnya selalu menjadikan
kode etik sebagai patokan. Ini dilakukan agar, dalam pelaksanaan kerja tetap
berjalan pada koridor yang telah ditetapkan, sehingga berbagai bentuk
pelanggaran yang merugikan dapat dihindari. Implementasi prinsip-prinsip etika
dalam mencegah distorsi etika profesi merupakan aturan yang dikeluarkan dan
digunakan oleh suatu organisasi profesi untuk mengatur perilaku anggotanya
(Nurdira, 2015). Hal ini berlaku pula bagi profesi akuntan publik. Sebagai auditor
eksternal, akuntan publik dituntut untuk taat dan patuh pada kode etik yang telah
disusun dan ditetapkan DSAP-IAPI. Keberadaan kode etik, dinilai mempunyai
kedudukan penting yang sangat berpengaruh dalam tindakan yang dilakukan oleh
akuntan publik.
Adapun kode etik yang ditetapkan terbagi ke dalam prinsip-prinsip etika
yang wajib ditaati setiap akuntan profesional dalam melaksanakan perikatan audit.
Prinsip etika berdasarkan kode etik akuntan profesional terdiri atas integritas,
objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan serta perilaku
profesional. Integritas memiliki konotasi etis, dan menurut Minkes, et.al (1999)
yang dikutip oleh Gea (2014), perilaku etis berkaitan dengan “ought” atau “ought
not”, bukan hanya “must” dan “must not”. Gea (2014) mengemukakan bahwa
integritas adalah sesuatu yang terkait langsung dengan individu, bukan dengan
kelompok atau organisasi. Sunarto (2003) yang dikutip Andriana (2014)
menyatakan bahwa, integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan
perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan prinsip.
Kebanyakan kasus yang mencuat merupakan salah satu bentuk distorsi
terhadap minimnya ketaatan terhadap integritas. Padahal jika ditelaah lebih lanjut,
integritas adalah kepribadian yang dilandasi unsur jujur, berani, bijaksana, dan
bertanggung jawab, sehingga menimbulkan kepercayaan dan rasa hormat (Ulum,
2012:97). Berbagai penjelasan yang telah dikemukakan di atas sekiranya dapat
menjadi acuan bagi auditor dalam melaksanakan perikatan audit dengan bersikap
lugas dan jujur dalam semua hal yang berhubungan dengan profesional dan bisnis.
Independensi pada saat melakukan penugasan audit, untuk mempertahankan
integritas yang dimilikinya. Dengan adanya integritas, maka proses pemeriksaan
yang dilakukan dapat memperoleh hasil real, sesuai keadaan perusahaan yang
bersangkutan. Upaya antisipasi terhadap distorsi integritas pun dapat dilakukan
dengan melakukan rotasi audit, tidak membiarkan adanya kerjasama antara
akuntan publik dengan klien, memberikan pelatihan dalam bentuk ceramah-
ceramah dan mengutamakan pencegahan dini dengan mengungkapkan semua
fakta material yang diketahuinya, dan memberikan solusi dengan menekankan
pentingnya pengendalian internal yang dilakukan dengan proses peer-review
secara berkala baik oleh KAP lain, ataupun otoritas yang lebih tinggi (Andriana,
2014).
Objektivitas harus dilakukan yang dapat diartikan bebasnya seseorang dari
pengaruh pandangan subjektif pihak-pihak lain yang berkepentingan sehingga
dapat mengemukakan pendapat apa adanya (Ulum, 2012:99). Seorang auditor
hendaknya tidak pernah menempatkan diri atau ditempatkan dalam posisi di mana
objektivitas mereka dapat dipertanyakan (Yusuf, 2014). Sukriah dkk (2009)
menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat objektivitas auditor, maka semakin
baik kualitas hasil pemeriksaannya, sebaliknya bila objektivitas seorang auditor
dinilai rendah/buruk hal ini mengindikasikan bahwa kinerja auditor pun dicap
buruk pula. Untuk menghindari benturan kepentingan inilah, sekiranya auditor
mampu membatasi dirinya agar tidak memiliki hubungan yang terlalu dekat
dengan klien. Selain itu, auditor diwajibkan untuk tetap bersikap independen
dalam hubungannya dengan klien.
Prinsip objektivitas yang dilaksanakan dengan baik dan tidak memihak
sama sekali dalam menjalankan perikatan auditnya dan perbedaan kepentingan
yang terjadi umumnya disebabkan oleh dua kepentingan yang berlawanan. Hal ini
disampaikan oleh Nugroho (2012) bahwa benturan kepentingan tersebut dapat
disebabkan oleh tekanan dari pihak klien dan tekanan dari pihak masyarakat.
Dengan demikian, agar dapat menghindari benturan kepentingan yang terjadi
maka auditor harus dapat mempertahankan objektivitasnya pada saat
melaksanakan pemeriksaan untuk mengambil keputusan yang konsisten dan
sesuai dengan kepentingan publik. Ini semata-mata karena objektivitas auditor
merupakan dasar utama kepercayaan masyarakat terhadap perkembangan profesi
dan prasyarat yang sangat penting dalam penilaian kualitas hasil kerja auditor
(Yusuf, 2014).
Prinsip selanjutnya yang wajib dipatuhi oleh akuntan publik adalah
kompetensi dan kehati-hatian profesional. Adapun kompetensi dan kehati-hatian
profesional menurut Kode Etik Akuntan Profesional dapat diartikan sebagai sikap
seorang akuntan dalam menjaga pengetahuan dan keahlian profesional pada
tingkat yang dibutuhkan. Ini dilakukan untuk memastikan, bahwa klien atau
pemberi kerja menerima jasa profesional yang kompeten berdasarkan
perkembangan praktik, peraturan, teknik mutakhir, dan bertindak sungguh-
sungguh sesuai dengan teknik serta standar profesional yang berlaku. KAP yang
sudah menerapkan prinsip ini dengan baik sesuai dengan ketentuan yang
seharusnya dilakukan sebagai seorang auditor. Upaya untuk meningkatkan
kompetensi yang dimiliki, selalu mengikuti Pendidikan Profesi Akuntansi (PPA)
serta terus meng-update peraturan-peraturan terbaru. Hal ini pun terbukti pada
saat melakukan penugasan, klien dan KAP memiliki kompetensi yang mumpuni
sebagai seorang auditor. Dengan kompetensi yang dimiliki dan didukung oleh
pengalaman-pengalamannya selama sembilan belas tahun menjadi auditor.
KAP lebih berhati-hati dalam menjalankan berbagai bentuk perikatan audit
dengan selalu bersikap waspada dan tidak mudah percaya terhadap klien.
Sehingga KAP maupun karyawan tetap melakukan pemeriksaan secara akurat.
Bertolak dari pernyataan terkait dengan kompetensi yang dihubungkan dengan
kehati-hatian profesional di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk dapat dikatakan
sebagai profesional maka auditor diwajibkan untuk memiliki kompetensi serta
sikap hati-hati agar dalam pelaksanaan auditnya tidak menimbulkan distorsi yang
merugikan. Selain itu semakin tinggi kompetensi auditor maka semakin baik
kualitas pemeriksaannya Christiawan (2002) begitu pula dengan kehatihatian.
Selanjutnya mengenai prinsip kerahasiaan, yaitu memiliki arti sesuatu
yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui orang lain. Kode Etik
Akuntan Profesional memberikan pengertian terkait kerahasiaan, yaitu
menghormati informasi yang diperoleh dari hasil hubungan profesional dan bisnis
dengan tidak mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak ketiga tanpa ada
kewenangan yang jelas dan memadai, kecuali terdapat suatu hak atau kewajiban
hukum atau profesional untuk mengungkapkannya. Disamping itu, praktisi tidak
diperkenankan menggunakan informasi tersebut untuk kepentingan pribadi/ pihak
ketiga. Kerahasiaan mutlak diperlukan dalam bentuk perikatan yang terjadi antara
auditor dan klien. Dengan kerahasiaan maka, auditor sekiranya dapat bersikap
hati-hati dalam bertindak serta menjaga lisannya dengan tidak mengungkapkan
informasi yang dinilai rahasia bagi klien.
Perilaku Profesional Prinsip terakhir adalah terkait dengan perilaku
profesional. Perilaku profesional menurut Kode Etik Akuntan Profesional yaitu
mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku dan menghindari perilaku apapun
yang dapat mengurangi kepercayaan kepada profesi. Perilaku profesional kiranya
harus dapat diterapkan dengan baik dalam setiap bentuk perikatan yang dilakukan
oleh auditor. Cara-cara yang dapat dilakoni oleh akuntan publik dalam
meningkatkan profesionalnya ialah dengan tetap tunduk dan patuh terhadap
standar auditing dan juga kode etik. Disamping hal itu, auditor juga dapat
meningkatkan pengetahuan dan wawasan, agar sikap profesional yang dimiliki
dinilai mumpuni oleh pengguna jasanya. KAP dalam melaksanakan tugasnya
sebagai auditor telah bertindak secara profesional. Adanya sikap profesional
membuat para klien memiliki kepercayaan atas jasa yang diberikan kepadanya.
Tingkat kepercayaan inilah yang kemudian memberikan penilaian tinggi atas
kinerja auditor, sehingga baik auditor maupun KAPnya layak menyandang gelar
profesional. Dengan sikap profesional yang dimiliki oleh seorang auditor, maka
sudah pasti menghasilkan laporan audit yang dinilai handal. Karena semakin
tinggi profesionalisme yang dimiliki, maka semakin tinggi pula kualitas auditnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agusti, Restu., Nastia Putri Dewi. 2013. “Pengaruh Kompetensi, Independensi,
Dan Profesionalisme Terhadap Kualitas Audit (Studi Empiris pada Kantor
Akuntan Publik Se Sumatra)”. Jurnal Ekonomi. Volume 21 Nomor 3
September 2013.
Andriana, Denny. 2014. Pengaruh Intellectual Capital Terhadap Kinerja
Keuangan Perusahaan (Studi pada Perusahaan Pertambangan dan
Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia 2010 – 2012)”. Jurnal
Riset Akuntansi dan Keuangan Vol.2. No.1. 2014. 251-260.
Arens, Randal & Mark.2008. Auditing dan Jasa Assurance (Pendekatan
Terintegrasi). Edisi Keduabelas. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Aulia, Muhammad Yusuf. 2013. Pengaruh Pengalaman, Independensi, dan
Skeptisme Profesional Auditor terhadap pendeteksian kecurangan.
Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial UIN Syarif Hidaytullah Jakarta.
Bebeau, M. J., J. R. Rest, dan C. M. Yamoor. 1985. Measuring Dental Students
Ethical Sensitivity. Journal of Dental Education. Vol. 49. Pp. 225-235.
Christiawan, Y.J. 2002. Kompetensi dan Independensi Akuntan Publik: Refleksi
Hasil Penelitian Empiris. Journal Directory : Kumpulan Jurnal Akuntansi
dan Keuangan Unika Petra. Vol. 4 / No. 2.
Cushing, Barry. E. 1999, Sistem Informasi Akuntansi dan Organisasi Perusahaan.
Terjemahan Ruchyat Kosasih, cetakan ke 2, Jakarta : Erlangga.
Gea, A. 2014, Personal Integrity and Leadership. HUMANIORA , 7 (3), 359-369.
Khomsiyah dan Nur Indriantoro, 1998. Pengaruh Orientasi Etika Terhadap
Komitmen, dan Sensitivitas Etika Auditor Pemerintah di DKI Jakarta.
Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol. 1, No. 1 (Januari): 13 – 28.
Ludigdo, Unti, dan Machfoedz. 1999. Transformasi Nilai Etika dalam Rangka
Peningkatan Profesionalisme Akuntan: Tinjauan atas Kurikulum
Pendidikan Tinggi Akuntansi. Makalah dalam Diskusi Panel Nasional
Mahasiswa Akuntansi di Unibraw: Malang.
Maryani, T. dan U. Ludigdo. 2007. Survei Atas Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Sikap dan Perilaku Etis Akuntan. TEMA. Volume II
Nomor 1. Maret. p. 49-62.
Nurdira. G. F, Purnamasari. P, Utomo. H. 2015. “Pengaruh Etika Profesi,
Komitmen Organisasi, dan Independensi Terhadap Kinerja Auditor
(Survey Pada Kantor Akuntan Publik di Bandung)”. Jurnal. Prosiding
Penelitian SPeSIA Akuntansi Universitas Islam Bandung.
Payamta. 2002. Sikap Akuntan dan Pengguna Jasa Akuntan Publik Terhadap
Advertensi Jasa Akuntan Publik. SNA 5 Semarang. p. 544-559.
Sugiharti,A. 2015. Pengaruh Moral Reasoning dan Ethical Sensitivity Terhadap
Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi Dengan Gender Sebagai Variabel
Moderasi (Studi Empiris Pada Mahasiswa Akuntansi di Perguruan Tinggi
Islam dan Perguruan Tinggi Nasional di Daerah Istimewa Yogyakarta).
Jurnal Akuntansi
Sukriah, Ika, dkk. 2009, Jurnal. Pengaruh Pengalaman Kerja, Independensi,
Objektivitas, Integritas, dan Kompetensi terhadap Kualitas Hasil
Pemeriksaan. Simposium Nasional Akuntansi XII, Palembang.
Sumiyantini, Ni Kadek., Ni Kadek Sinarwati, dan Anantawikrama
TunggaAtmadja. 2017. Persepsi Mahasiswa Jurusan Akuntansi Mengenai
Idealisme, Relativisme Dan Tingkat Pengetahuan Pada Perilaku Tidak Etis
Akuntan (Studi pada Mahasiswa Jurusan Akuntansi Universitas
Pendidikan Ganesha)
Ulum, Ihyaul. 2012. Audit Sektor Publik. Jakarta: Bumi Aksara.
Volker, JM.1984.Counseling Experience Moral Judgment, awareness of
Consequenses and Moral sensitivity in Counseling Practice’. Department
of Psychology, University of Minesota.
Wati, M., dan Sudibyo, B., 2016,”Pengaruh Pendidikan Etika Bisnis Dan
Religiusitas Terhadap Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi”, Jurnal
Economia, Vol. XII, Nomor 2, Oktober 2016.
Widhi, Saputro Nugroho dan Erma Setyawati. 2015. Pengaruh Independensi,
Gaya Kepemimpinan, Komitmen Organisasi, dan Pemahaman Good
Governance terhadap Kinerja Auditor Pemerintah (Studi Empiris Pda
BPKP Perwakilan Jawa Tengah). BENEFIT Jurnal Manajemen dan Bisnis,
Volume 19 Nomor 1, hal. 64-79.

Anda mungkin juga menyukai