Anda di halaman 1dari 41

1

TUGAS MATA KULIAH


Perubahan Perilaku Dalam Menangani Risiko

Dosen Pengampu :
Dr. Dian Ayubi SKM MQIH

Kelompok 3 :

Disusun Oleh :

1. Ariny Rosyada Azmy 2006559552


2. Handy Suryadi 2006559842
3. Veronica Crassnaya Angel 2006610874

Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat


Faklultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
2021
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat. Dalam upaya mengoptimalkan pelayanan rumah sakit maka perlu berbagai
upaya untuk semakin menyempurnakan dengan mendorong pengembangan berbagai aspek
strategis. Salah satu hal yang mendapat perhatian penting adalah masalah konsep keselamatan
pasien yang secara umum dikenal sebagai konsep patient safety.
Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan sehingga pasien merasa lebih aman (Depkes,2008). Para pengambil
kebijakan, pemberi pelayanan kesehatan dan pelanggan menempatkan keamanan sebagai
prioritas pertama pelayanan. Program patient safety merupakan suatu hal yang lebih penting
daripada sekedar efisiensi pelayanan (Yuwantina,2012).
Dalam menerapkan standar keselamatan pasien rumah sakit harus melaksanakan
Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang terdiri dari: 1) membangun
kesadaran akan nilai keselamatan pasien; 2) memimpin dan mendukung staf; 3)
mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko;4) mengembangkan sistem pelaporan; 5)
melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien; 6) belajar dan berbagi pengalaman tentang
keselamatan pasien; dan 7) mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan
pasien. Salah satu standar yang paling penting adalah komunikasi. Komunikasi merupakan
kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien. Dengan komunikasi, manusia dapat
menyampaikan perasaan, pikiran, pendapat, sikap dan informasi kepada sesamanya secara
timbal balik. Dalam pelayanan kesehatan, komunikasi menjadi dasar untuk memastikan
bahwa pasien mendapatkan proses perawatan yang terbaik, menjelaskan tujuan pengobatan
dan mendiskusikan proses perawatan pasien dengan profesional lain yang terlibat. Seringkali
komunikasi berlangsung dalam situasi yang tingkat stressnya tinggi dan harus dilakukan
segera sehingga sering meningkatkan miskomunikasi antara dokter dan pasien
(Rachmania,2011).
Penelitian di Jerman mengidentifikasi 15% dari semua peristiwa berhubungan
langsung dengan masalah komunikasi dan pada lebih dari 50% peristiwa, komunikasi
menjadi faktor pendukung. Penelitian-penelitian di bidang bedah juga menunjukkan
2

banyaknya masalah komunikasi pada periode perioperatif. Penelitian observational terhadap


48 kasus bedah yang dilakukan Lingard et.al., (2004) berhasil mengidentifikasi 421 masalah
komunikasi, dan hampir sepertiganya diklasifikasikan sebagai “failures”. Observasi terhadap
10 tindakan operasi yang dilakukan oleh Christian et.al., juga menunjukkan adanya kesalahan
komunikasi di kesepuluh operasi yang diobservasi (Christian, 2006).
Berbagai penelitian di dunia membuktikan banyak kejadian yang membahayakan
pasien terjadi akibat kelalaian dalam proses pelayanan kesehatan, mulai dari kesalahan,
kealpaan, dan kecelakaan yang menimbulkan dampak merugikan bagi pasien. Institute of
Medicine melaporkan 44.000-98.000 orang Amerika meninggal karena kesalahan. Kesalahan
medis (medicalerror) menjadi penyebab utama disusul kealpaan dan komplikasi. Lebih
banyak warga Amerika yang meninggal karena kesalahan medis daripada kanker payudara,
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), atau kecelakaan. Sebanyak 2% dari pasien
yang dirawat mengalami kejadian merugikan karena obat sehingga memperpanjang hari
rawat dan penambahan biaya $4.700 per kejadian, 7% pasien yang dirawat mengalami
kesalahan medis yang serius, dan secara nasional kerugian diperkirakan menjadi $8,5juta
hingga $29 juta. Tingkat kesalahan pengobatan (medication error) di Indonesia cukup tinggi.
Studi yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada antara tahun 2001-
2003 menunjukkan bahwa kesalahan pengobatan mencapai angka 5,07%, sebanyak 0,25%
berakhir fatal hingga kematian. Kesalahan pengobatan dan efek samping obat terjadi pada
rata-rata 6,7% pasien yang masuk rumah sakit, diantara kesalahan tersebut 25%-50% dapat
dicegah (Elfrida, 2011).
Komunikasi efektif merupakan kompetensi yang harus dikuasai oleh seorang dokter.
Dokter harus menerapkan prinsip-prinsip komunikasi untuk menetapkan dan
mempertahankan pengobatan lengkap dan hubungan dokter pasien yang etikal. Juga
menerapkan prinsip kerahasiaan, otonomi pasien, reaksi positif dan aspek pengobatan dalam
hubungan pasien dokter, dalam hal anamnesis, konseling, penjelasan berbagai prosedur,
negosiasi pembuatan keputusan dengan keluarga dan pendidikan pasien.
Satu tanda kurangnya komunikasi antara berbagai profesi kesehatan adalah terus
digunakannya catatan medis yang terpisah dengan catatan perawatan dan catatan profesi
kesehatan lain untuk merekam kondisi pasien. Catatan yang dibuat kurang menggambarkan
informasi mengenai respon pasien dan hal-hal yang dirasakan pasien, bahkan banyak
pengamatan yang tidak dicatat dalam rekam medis. Untuk meningkatkan kualitas catatan
medis adalah dengan mengintegrasikan catatan profesional kesehatan menjadi satu catatan
pasien yang terintegrasi (Moss, 1994).
3

1.2 Tujuan
1. Diketahui Komunikasi Risiko
2. Diketahui Peran Faktor Manusia
3. Diketahui Pelatihan dan Supervisi
4. Diketahui Tim. Budaya dan Mengelola Risiko
4

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Komunikasi Risiko


Menurut Theodorsin (1969) dalam Liliweri (2007), komunikasi merupakan suatu
proses pemindahan informasi dari satu atau sekelompok orang kepada satu atau
sekelompok orang lain dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sehingga
memberikan suatu pengaruh. Komunikasi menjadi salah satu faktor penentu mutu
pelayanan di rumah sakit dan kepuasan pasien merupakan salah satu indikator pelayanan
yang bermutu. Berdasarkan piramida kebutuhan Abraham Maslow, untuk memenuhi
berbagai kebutuhan manusia maka mereka selalu mengarahkan diri dengan tingkah laku
komunikasi.
Komunikasi kesehatan merupakan proses komunikasi yang melibatkan pesan
kesehatan, unsur-unsur atau peserta komunikasi. Dalam komunikasi kesehatan berbagai
peserta yang terlibat dalam proses kesehatan antara dokter, pasien, perawat, profesional
kesehatan, atau orang lain. Pesan khusus dikirim dalam komunikasi kesehatan atau
jumlah peserta yang terbatas dengan menggunakan konteks komunikasi antarpribadi
sebaliknya menggunakan konteks komunikasi massa dalam rangka mempromosikan
kesehatan kepada masyarakat luas yang lebih baik, dan cara yang berbeda adalah upaya
meningkatkan keterampilan kemampuan komunikasi kesehatan (Arianto, 2012).
Komunikasi risiko kepada pasien meliputi informasi yang berkaitan dengan kondisi
kesehatan individu, informasi bagaimana memaksimalkan perawatan dan bagaimana
pemberian terapi. Komunikasi ini bersifat terapeutik yang artinya memfasilitasi proses
penyembuhan. Pasien, keluarga, dan dokter harus secara rutin membuat pilihan
terapeutik pada konsekuensi yang tidak diinginkan (risiko) terkait dengan setiap
keputusan untuk bertindak. Standar subjektif bertujuan agar persetujuan yang
diinformasikan dan komunikasi risiko untuk mendorong partisipasi pasien dalam
pengambilan keputusan bersama.
Pasien dan keluarga menjadi tantangan dalam komunikasi risiko seperti
mengidentifikasi hasil yang tidak diinginkan (misalnya kematian, kecacatan), imanensi,
adanya kemungkinan kejadian, adanya masalah komunikasi lain yang sulit untuk
melibatkan penentuan subjektif pasien atau keluarga, standar professional yang
mengharuskan dokter untuk berbagi risiko yang umumnya diungkapkan oleh orang lain
5

dalam rekam medis. Faktor sosial, budaya dan bahasa mungkin menjadi hambatan untuk
menerapkan pengambilan keputusan bersama, tetapi jika ini mewakili lebih dari sebagian
kecil pertemuan dokter, solusi harus dicari. Hambatan eksternal seperti kebijakan dan
prosedur yang diartikulasikan dengan buruk dapat membuat komunikasi risiko kepada
pasien tidak mungkin dilakukan secara efektif. Hambatan lingkungan mungkin juga
termasuk kurangnya waktu dan sumber daya, pernyataan menyesatkan dalam materi
pendidikan pasien, kendala organisasi, kurangnya penggantian, dan staf yang tidak
memadai.
Komunikasi risiko untuk pengambilan keputusan yang benar-benar terinformasi
memerlukan negosiasi dan pembangunan konsensus, proses yang menekankan
kepentingan atau kekhawatiran yang mendasari posisi masing-masing pihak terkait
keputusan terapeutik. Kegagalan untuk memahami kepentingan masing-masing pihak
dapat mempersulit pengambilan keputusan yang memuaskan. Oleh karena itu, pihak
yang terlibat dalam diskusi tersebut untuk meningkatkan kemungkinan hasil yang
memuaskan jika mereka:
1. Identifikasi, diskusikan, dan tujukan minat untuk mempelajari mengapa dokter,
pasien, atau anggota keluarga menegaskan posisi tertentu.
2. Hargai dinamika interpersonal dalam komunikasi risiko dan bantu orang untuk terus
maju. Emosi mungkin memainkan peran besar dalam pengambilan keputusan medis,
tetapi perasaan tidak boleh dibiarkan mengubah diskusi tentang setiap pilihan dan
manfaatnya.
3. Pertimbangkan setiap alternatif, minimalkan penilaian pada awalnya. Tujuannya
adalah untuk memastikan bahwa pasien memahami pilihan dan bahwa dokter
memahami keinginan pasien. Salah satu produk sampingannya adalah pasien mungkin
merasa bahwa mereka dihargai dan bahwa dokter mereka terbuka dan jujur.
4. Sepakati kriteria dan prinsip yang digunakan untuk menilai setiap opsi.

2.2. Guideline dan Pathway


Guideline (panduan) merupakan pedoman sebagai “buku resep” yang memiliki
peran penilaian klinis dalam perawatan pasien untuk mengansumsikan peserta didik telah
memiliki keterampilan dasar, pengetahuan, dan pengalaman untuk mengikuti suatu resep
tersebut. Dokter dan manajer perlu memutuskan apakah pengenalan mereka akan
mengarah pada peningkatan kualitas perawatan dengan biaya yang dapat diterima.
6

Pedoman klinis didefinisikan sebagai pernyataan yang dikembangkan secara


sistematis untuk membantu keputusan praktisi dan pasien tentang perawatan kesehatan
yang sesuai untuk keadaan klinis tertentu, seperti diagnosis atau pengobatan penyakit
atau masalah klinis yang ditentukan, atau rumah sakit perawatan kesehatan, seperti
penyediaan fasilitas diagnostik atau terapeutik. Sedangkan pathways (jalur) perawatan
disebut juga jalur kritis atau protokol yang merupakan rencana perawatan multidisiplin
dan terstruktur, yang merinci langkah-langkah penting dalam perawatan pasien dengan
masalah klinis tertentu. Dengan memetakan proses perawatan kklinis yang diharapkan,
maka dapat mendukung pengambilan keputusan dan membantu mengidentifikasi dimana
dan mengapa praktik tidak memenuhi standar yang diadopsi. Oleh karena itu, jalur
perawatan merupakan pendekatan sistematis untuk penerapan pedoman lokal. Berikut
dasar pemikiran pedoman klinis:
1. Kesesuaian Perawatan Kesehatan
Ketersediaan bukti penelitian yang baik tidak menjamin integrasi tepat waktu atau
meluas ke dalam praktik klinis rutin. Misalnya, ada basis bukti ekstensif yang
mendukung penggunaan ß-blocker jangka panjang setelah infark miokard akut. Akan
tetapi, penerapan pengobatan yang menyelamatkan nyawa ini bervariasi secara
signifikan antar wilayah dan banyak pasien yang kontraindikasi, terutama pada wanita
dan orang lanjut usia masih gagal menerima. Perawatan kesehatan yang tidak tepat
kemungkinan besar akan berlanjut tanpa penyampaian pengetahuan yang efektif.
Pedoman klinis merupakan salah satu dari beberapa pendekatan jaminan kualitas yang
dapat meningkatkan kualitas perawatan.
2. Mengatasi Informasi
Para profesional kesehatan bekerja di era informasi yang berlebihan dan
meningkatnya kompleksitas perawatan kesehatan. Mempertanyakan praktik dan
mencari serta menilai bukti menjadi keterampilan yang sangat penting dalam
pengembangan profesional Pedoman dapat membantu memenuhi kebutuhan
profesional perawatan kesehatan untuk yang relevan. dan ringkasan bukti klinis yang
andal. Dengan menyoroti area di mana buktinya lemah atau tidak dapat diandalkan,
pedoman dapat membantu membedakan antara tindakan yang didasarkan pada bukti
yang kuat dan tindakan yang lebih bergantung pada penilaian klinis dan preferensi
pasien. Panduan juga dapat memperkuat praktik yang baik, terutama di mana dokter
tidak yakin akan manfaat potensial.
3. Berbagi Informasi dan Pengambilan Keputusan
7

Ada penekanan yang berkembang pada peningkatan keterlibatan pasien dalam


keputusan yang berkaitan dengan perawatanya. Beberapa pedoman dibuat dengan
versi "awam" untuk mempromosikan pendidikan pasien yang lebih konsisten,
terutama dalam kondisi kronis yang memerlukan perawatan diri dalam jumlah besar.
Selain itu, pasien dapat menggunakan pedoman untuk meminta dokter mereka
mempertimbangkan kembali atau mengubah aspek perawatan mereka. Meningkatnya
ketersediaan informasi dan pedoman dari internet menawarkan peluang dan ancaman
bagi pengambilan keputusan bersama. Seperti pedoman lainnya, kegunaan informasi
tersebut sangat bergantung pada validitas dan relevansinya dengan sistem perawatan
kesehatan, kondisi klinis dan pribadi pasien. Jalur perawatan dapat memberi pasien
gagasan yang lebih jelas tentang apa yang diharapkan selama penyelidikan atau
pengobatan. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan kesalahpahaman dan keluhan
yang timbul dari kegagalan komunikasi yang disebabkan oleh harapan yang berbeda
atau kegagalan perawatan.
4. Pencegahan Litigasi
Panduan dapat membantu para profesional mengurangi atau mengatasi ketidakpastian
klinis secara eksplisit menyeimbangkan manfaat dan risiko yang diketahui. Sementara
pencegahan litigasi sering dikaitkan dengan pengambilan tindakan tambahan
(misalnya penyelidikan), seringkali perlu untuk menentukan ambang batas di bawah
tindakan yang tidak mungkin menghasilkan manfaat klinis. Pengalaman baru-baru ini
dalam praktik lahir mati mungkin secara tidak tepat tetapi dapat dimengerti
menurunkan ambang batas di mana dokter kandungan akan menyarankan operasi
caesar pada persalinan berikutnya. Panduan dapat membantu mengurangi praktik yang
tidak tepat tanpa mengorbankan standar perawatan. Dalam spesialisasi risiko tinggi,
seperti kebidanan, pedoman dapat bertujuan untuk mengurangi angka operasi caesar
dengan mempromosikan percobaan persalinan pada wanita dengan operasi caesar
sebelumnya atau mengurangi investigasi yang tidak tepat dan rawat inap di rumah
sakit terkait dengan hipertensi ringan non-proteinurik. Pengembangan lokal dan
penerapan jalur perawatan dapat membantu mengidentifikasi kesalahan sistematis
dalam pemberian perawatan. Ini menginformasikan penggunaan langkah-langkah
lebih lanjut yang harus diambil secara lokal untuk meningkatkan proses perawatan.
Pada tingkat individu, jalur dapat mengingatkan staf akan kegagalan pasien untuk
berkembang secara memuaskan
5. Efisiensi
8

Telah disarankan bahwa jalur perawatan dapat berkontribusi untuk mengurangi lama
rawat inap dan meningkatkan efisiensi dengan meminimalkan duplikasi tugas dan
intervensi yang tidak tepat. Namun, ada beberapa masalah yang terkait dengan jalur
perawatan, termasuk waktu dan biaya peluang pelaksanaannya dan pekerjaan yang
diperlukan. Yang terpenting adalah kurangnya bukti yang mendukung manfaat yang
diklaim mereka. Ada sejumlah besar literatur yang melaporkan peningkatan efisiensi
dan kualitas perawatan tetapi ini hampir seluruhnya, dengan pengecualian satu uji
coba terkontrol secara acak, berdasarkan studi kasus dan observasi. Selanjutnya,
evaluasi yang lebih ketat diperlukan untuk menilai dampak jalur terhadap efisiensi.
6. Alokasi Sumber Daya
Sumber daya yang tersedia untuk perawatan kesehatan terbatas. Pembuat kebijakan,
manajer dan dokter membutuhkan informasi yang relevan dan dapat diandalkan untuk
menginformasikan alokasi sumber daya. Pedoman yang dikembangkan secara ketat
dapat membantu dalam proses ini dengan menyoroti di bawah atau di atas penyediaan
layanan tertentu. Namun, hal ini tidak jarang mengakibatkan pedoman digunakan
sebagai instrumen politik. Spesialis, pasien atau kelompok penekan kadang-kadang
menggunakan pedoman (dengan kualitas variabel) sebagai dasar untuk penyediaan
layanan yang lebih baik atau lebih adil. Oleh karena itu, pedoman klinis dapat
membantu memberikan perawatan kesehatan yang lebih baik dengan margin
keamanan yang lebih besar. Namun, klinisi dan manajer harus menyadari kesalahan
yang dapat dihindari dan kebutuhan untuk pengembangan, diseminasi dan
implementasi yang direncanakan dan dilaksanakan dengan hati-hati untuk
mewujudkan manfaat potensial ini.

Pengguna pedoman harus yakin akan validitasnya (dapat dipercaya) dan


relevansinya dengan masalah dan keadaan klinis, tetapi memilih pedoman yang tepat
dapat menjadi masalah. Empat puluh lima pedoman berbeda untuk pengelolaan depresi
dalam perawatan primer diidentifikasi di Inggris Raya. Ada kisaran yang cukup besar
dalam kualitas subset pedoman yang dinilai secara rinci. Oleh karena itu, daripada
mempromosikan standar perawatan yang seragam, penyebaran pedoman dapat
melanggengkan (atau bahkan menambah) variasi dalam praktiknya. Pedoman lebih
mungkin menjadi valid jika dihasilkan oleh kelompok pengembangan pedoman nasional
atau daerah menurut metode yang ketat dan eksplisit. Di Inggris Raya, Scottish
Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) telah mengembangkan keahlian dan
9

pengalaman dalam pengembangan pedoman. National Institute for Clinical Excellence


(NICE) yang baru-baru ini didirikan di Inggris dan Wales melakukan peran serupa. Di
tempat lain, secara internasional, beberapa inisiatif lain sedang dilakukan untuk
meningkatkan kualitas dan penyebaran pedoman klinis.
Daftar periksa tersedia untuk penilaian kritis pedoman yang belum pernah ditinjau.
Cluzeau dan rekannya merancang instrumen penilaian paling valid dan komprehensif
yang tersedia saat ini. Pertanyaan berikut, berdasarkan instrumen ini, membantu menilai
ketelitian pengembangan pedoman, konten dan konteksnya, dan penerapannya.
1. Apakah kelompok pengembang pedoman mencakup keterampilan dan pengalam yang
tepat?
Kelompok pengembangan pedoman harus mencakup para profesional dengan
keahlian dalam topik klinis, pencarian literatur, epidemiologi, penelitian layanan
kesehatan, memfasilitasi proses kelompok dan penulisan. Dokter yang hadir harus
mewakili berbagai disiplin ilmu yang menangani topik klinis. Misalnya, kelompok
pedoman untuk investigasi perdarahan pascamenopause mungkin termasuk ginekolog
umum, dokter umum, ginekolog onkologi, ahli radiologi dan ahli patologi.
2. Bagaimana bukti diidentifikasi dan dinilai?
Bukti yang digunakan untuk merumuskan rekomendasi harus didasarkan pada
pencarian komprehensif dari penelitian yang tersedia dan relevan. Strategi pencarian
yang tepat mungkin termasuk Perpustakaan Cochrane dan database literatur utama
seperti Medline dan Embase. Jenis studi yang sesuai untuk menjawab pertanyaan,
seperti uji coba terkontrol secara acak untuk terapi pengujian, dan studi kohort untuk
menilai prognosis, harus dinilai secara kritis sesuai dengan kriteria yang disepakati.
Kriteria tersebut membantu untuk "menyaring" atau memperhitungkan keterbatasan
studi. Tanpa metode pengendalian kualitas yang dinyatakan secara eksplisit, sulit bagi
pembaca untuk mengetahui apakah pengembang pedoman secara tidak sengaja (atau
bahkan sengaja) memasukkan prasangka mereka sendiri dalam pemilihan studi.
3. Bagaimana bukti terkait dengan rekomendasi?
Pengguna pedoman perlu mengetahui tentang sifat dan kekuatan bukti yang
menginformasikan rekomendasi, dan bagaimana kelompok pengembangan sampai
pada kesimpulannya. Analisis pedoman yang dihasilkan oleh masyarakat khusus
selama 1988-98 menunjukkan bahwa mayoritas gagal memenuhi kriteria tertentu
untuk kualitas yang baik, termasuk penilaian eksplisit bukti. Sistem penilaian
membantu membedakan antara, rekomendasi berdasarkan bukti yang ketat (misalnya
10

meta-analisis atau uji coba terkontrol secara acak) dan yang didasarkan pada opini dan
pengalaman klinis. Terlepas dari bukti yang tersedia, faktor-faktor lain secara sah
dapat mempengaruhi perumusan rekomendasi, termasuk relevansi bukti dengan
populasi sasaran, pertimbangan ekonomi, nilai-nilai pengembang pedoman dan
masyarakat, dan masalah praktis tentang implementasi.
4. Apakah pedoman ini telah ditinjau secara eksternal?
Tinjauan eksternal meningkatkan validitas dan membantu pra-uji relevansi dan
penerimaan pedoman. Penilaian oleh dokter dan ahli metodologi pedoman, tidak
secara langsung terlibat dalam pengembangan pedoman, memungkinkan pemeriksaan
kelengkapan informasi klinis dan ketelitian metode yang dilaporkan.
5. Apakah pedoman ini mutakhir?
Karena basis bukti dapat berubah seiring waktu, semua pedoman harus
mencantumkan tanggal kedaluwarsa ketika rekomendasi akan ditinjau dan diperbarui
jika perlu.
6. Apakah pengembang pedoman memiliki potensi konflik kepentingan?
Badan yang bertanggung jawab untuk pengembangan pedoman harus diidentifikasi
dengan jelas dan proses pengembangan harus independen secara editorial dari badan
pendanaan. Kriteria ini membantu mengidentifikasi konflik kepentingan. Misalnya,
tanpa independensi editorial, pedoman yang disponsori oleh perusahaan farmasi dapat
secara implisit, atau sebaliknya, merekomendasikan program manajemen yang
mendukung pengobatan obat tertentu. Alternatifnya, pedoman yang dibuat oleh
spesialisasi tertentu mungkin keliru terhadap rekomendasi yang membutuhkan
perluasan spesialisasi tersebut.
7. Dimana dan kapan pedoman ini dapat diterapkan?
Keadaan ketika pedoman tidak dapat diterapkan, seperti ketika peralatan yang sesuai
atau staf terlatih tidak tersedia, harus disebutkan. Demikian pula, pilihan pengelolaan
yang mungkin dan rekomendasi selanjutnya harus diuraikan dengan jelas. Peran
preferensi pasien harus dipertimbangkan untuk membantu staf klinis memutuskan
kapan waktu yang tepat untuk mempertimbangkan hal ini, misalnya dalam
memutuskan antara dua atau lebih perawatan yang mungkin. Karena pedoman
biasanya berlaku untuk sekelompok pasien secara keseluruhan, individu dapat
menerima perawatan yang tidak tepat jika rekomendasi tidak ditulis atau diartikan
dengan baik tanpa mengacu pada kebutuhan dan preferensi individu. Misalnya, dokter
yang mengikuti pedoman pengelolaan hipertensi perlu menyadari keterbatasan mereka
11

dan memperhitungkan penyakit yang sudah ada sebelumnya dan faktor risiko yang
mungkin mempersulit pengobatan dan mengubah hasil.
8. Apa manfaat potensial dari mengikuti pedoman ini?
Manfaat kesehatan potensial dari rekomendasi berikut dapat mencakup penurunan
angka kematian, peningkatan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan,
kepastian atau penghindaran prosedur yang tidak perlu. Ini perlu ditetapkan secara
obyektif untuk mendukung pengambilan keputusan klinis.
9. Berapa biaya potensial untuk mengikuti pedoman ini?
Implementasi pedoman sering kali memiliki implikasi sumber daya, yang terkait
dengan implementasi dan dari biaya tambahan atau penghematan yang dihasilkan dari
rekomendasi berikut. Idealnya, evaluasi teknologi perawatan kesehatan baru
menggabungkan penilaian keefektifan biaya. Karena data efektivitas biaya mungkin
tidak tersedia, pedoman mungkin perlu memperhitungkan beberapa perkiraan biaya
relatif dalam menyajikan rekomendasinya.
Pedoman yang dikembangkan dengan buruk tidak hanya berpotensi membahayakan
pasien. Mereka dapat menambah kebingungan tentang praktik terbaik dan
menimbulkan kebencian terhadap pedoman yang dikembangkan dengan lebih ketat.
Selain mendorong alokasi sumber daya yang lebih adil, penerapan pedoman juga
dapat mempromosikan penyediaan intervensi atau fasilitas perawatan kesehatan yang
tidak tepat. Oleh karena itu, pengembang pedoman harus mempertimbangkan
implikasi yang lebih luas dan kemungkinan biaya yang tidak diketahui serta
konsekuensi dari rekomendasi mereka. Sebagai contoh, merekomendasikan pengujian
H. Pylori rutin untuk pasien dengan dispepsia dengan tujuan mengurangi beban kerja
layanan endoskopi diagnostik dapat meningkatkan permintaan secara paradoks karena
prevalensi tinggi dari presentasi klinis ini di perawatan primer.

Evaluasi (atau audit) dampak pedoman direncanakan secara istimewa sebelum


implementasi. Tiga pendekatan pelengkap dapat dipertimbangkan:
1. Memantau satu aspek penting perawatan menggunakan kondisi pelacak, berdasarkan
asumsi bahwa kondisi tersebut akan mencerminkan kualitas perawatan secara
keseluruhan. Idealnya, kondisi pelacak harus relatif umum, didefinisikan dengan baik,
dan responsif terhadap intervensi perawatan kesehatan yang efektif.
12

2. Berfokus pada sejumlah kecil titik kritis dalam proses perawatan atau jalur di mana
ruang lingkup kesalahan terbesar ada atau di mana konsekuensi kesalahan paling
besar.
3. Penggunaan analisis insiden kritis untuk mengeksplorasi faktor-faktor organisasi yang
berkontribusi terhadap kejadian buruk (atau di mana jalur gagal) dan menilai apakah
tindakan yang berbeda akan mencegah kejadian tersebut.

A. Peran Rekayasa Faktor Manusia


Sebagian besar kesalahan di layanan kesehatan tidak dapat ditangani dengan
menggunakan penanganan risiko klinis yang berfokus pada maalah tradisional seperti
llitigasi, asuransi dan disiplin pribadi. Pemikirin yang hanya berorientasi pada sistem tidaklah
cukup. Yang juga dibutuhkan adalah disiplin formal yang disebut rekayasa faktor-faktor
manusia. Rekayasa faktor manusia harus menjadi bagian dari kosakata, kesadara dan strategi
pelatihan bagi tenaga kesehatan dan bagian manajer risiko.

Salah satu hal penting dalam rekayasa faktor manusia adalah pekerja tetap sehat /
segar bugar sebelum, selama dan sesudah bekerja. Rekayasa faktor manusia melindungi
pekerja agar dapat bekerja dengan aman, sehat dan nyaman. Selain itu rekayasa faktor
manusia dapat menghilangkan atau mengurangi akibat yang membahayakan manusia.
Rekayasa faktor manusia yang diantaranya dalam perangkat medis, perangkat lunak medis
dan desain area kerja kesehatan mampu mengubah cara pendekatan tenaga kesehatan dan
manajer risiko terhadap error dalam pengaturan perawatan kesehatan.

Rekayasa faktor manusia adalah sebuah usaha multidisiplin untuk meningkatkan dan
mengumpulkan iformasi tentang kemampuan manusia dan batas-batasnya, serta
menggunakan informasi tersebut ke peralatan, sistem-sistem, perangkat lunak, fasilitas,
prosedur, pekerjaan, lingkungan, pelatihan, kepegawaian dan manajemen personal untuk
menghasilkan keamanan, kenyamanan dan penampilan manusia yang efektif.

Rekayasa faktor manusia dimuai dari strategi manajemen risiko klinis preventif yang
lahir dari analisis rekayasa faktor manusia, yaitu termasuk:

1. Proses pengadaan
2. Mengembangkan perangkay lunak, area kerja dan prosedur dalam
organisasi pelayanan kesehatan
3. Penekatan pengawasan (contoh: audit)
13

4. Pelatihan kesadaran bagi petugas kesehatan/ medis.


Selanjutnya adalah menyusun strategi penanganan risiko klinik reaktif yang
dipengaruhi oleh faktor rekayasa manusia, yaitu termasuk:

1. Struktur, teknik dan pertanyaan selama analisis adverse event


2. Bagaimana memperbaii tindakan perbaikan pada kesalahan medis dan mengikat
mereka sebagai langkah preventif.
a. Faktor Rekayasa Manusia / Human Factors Engineering (HFE)
Di Amerika sebanyak 100.000 kematian atau cedera serius terjadi setiap tahun akbiat
kecelakaan medis, sebagiam besar terkait penyalahgunaan peralatan medis.Kesalahan
manusia sering dianggap sebagai penyebab kecelakaan alat kesehatan, yang jarang diakui
adalah bahwa human-machine yang dirancang buruk dapat memfasilitasi kekeliruan atau
kesalahan manusia. Kesalahan manusia dapat banyak berkurang dengan menyertakan
faktor-faktor manusia dalam rancangan peralatan medis. Proses rekayasa manusa dapat
diterapkan pada aspek-aspek lain seperti pengaturan empat kerja, sistem informasi, tata
ruang kerja (misalnya di ruang ICU) untuk meningkatkan keselamatan.
Proses rekayasa faktor manusia terdiri atas beberapa elemen penting yang berada
dalam lingkup pengguna sisistem. Proses perancangan ini berfokus pada kebutuhan
pengguna, karakteristk pengguna, dan pengujian penggunaan terhadap mesin terebut.
HFE adalah kerangka kerja untuk pemikiran yang efisien dan konstruktid encakup
metode, alat untuk membantu tim layanan kesehatan melakukan analaisis keselamatan
pasien, seperti Root Cause Analysis. Konsep dan tools HFE ini dapat membantu tim RCA
untuk menganalisis lebih banyak peristiwa yang sudah terjadi dan nyaris terjadi yang
melibatkan, misalnya perangkat medis, perangkat lunak dan area kerja.

B. Waktu Kerja, Stress dan Kelelahan


Tenaga kesehatan kini mengalami waktu shift panjang yang dapat lebih dari 24jam.
Adanya pasien pada malam hari dapat menambah beban kerja, sehingga tenaga medis
memiliki lebih sedikit kesempatan untuk rileks, ataupun beristirahat. Para dokter mengerti
risiko potensial dengan jam kerja yang panjang,n malamm yang rutin, dan kelelahan.
Pengaturan waktu kerja yang panjang dapat menjadi stressor dan memperburuk psikologi
tenaga kesehatan.Waktu kerja non-standr termasuk jam malam, dapat berdampak pada
keefektifan kerja dan kesehatan profesional medis.

a. Irama Sirkadian
14

Irama sikardian memiliki beragam peran dalam tubuh. Irama ini dapat memengaruhi
siklus tidur, suhu tubuh, pencernaan, kebiasaan makan, pelepasan hormon, dan fungsi
penting tubuh lainnya. Lambat atau cepatnya jam biologis tubuh dapat menyebabkan
irama sirkadian yang terganggu atau berjalan tidak normal. Jam biologis tubuh adalah
sistem yang mengatur proses dalam tubuh tetap berjalan berdasarkan jadwal yang
terhubung dengan siklus matahari. Irama yang tidak teratur dapat meningkatkan risiko
munculnya beragam kondisi kesehatan, misalnya obesitas, gangguan tidur, diabetes,
bahkan hingga depresi dan gangguan bipolar. Umumnya waktu berfungsi dan memroses
di tingkat individu, organisasi, sosial dan lingkungan selaras. Keadaan ini pada tenaga
medis dapat menjaditidak sinkron yang berasal dari shift malam reguler.
b. Stress Kerja
Stres sebagai akibat ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber daya yang
dimiliki individu, semakin tinggi kesenjangan terjadi semakin tinggi juga stress yang
dialami individu, dan akan mengancam. Stres merupakan reaksi negatif dari orang-orang
yang mengalami tekanan berlebih yang dibebankan kepada mereka akibat tuntutan,
hambatan, atau peluang yang terlampau banyak.
Stres yang terlalu berlebihan dapat mengancam kemampuan seseorang untuk
menghadapi lingkungan. Stres didasarkan pada asumsi bahwa yang disimpulkan dari
gejala-gejala dan tanda – tanda faal, perilaku, psikologikal dan somatik, adalah hasil dari
tidak/kurang adanya kecocokan antara orang (dalam arti kepribadiannya, bakatnya, dan
kecakapannya) dan lingkungannya, yang mengakibatkan ketidakmampuannya untuk
menghadapi berbagai tuntutan terhadap dirinya secara efektif
Luthan (2006: 441) menjelaskan perbedaan antara stress dan kecemasan:
 Stres bukan masalah kecemasan, yang artinya bahwa, kecemasan terjadi dalam
lingkup emosional dan psikologis, sementara stress terjadi dalam lingkup emosional,
psikologis, dan juga fisik. Stres dapat disertai dengan kecemasan, tetapi keduanya
tidak sama.
 Stres bukan hanya ketegangan saraf: ketegangan saraf mungkin dihasilkan oleh stress,
tetapi keduanya tidak sama. Orang yang pingsan menunjukkan stress, dan beberapa
orang 3 mengendalikannya serta tidak menunjukkannya melalui ketegangan saraf.
 Stres bukan sesuatu yang selalu merusak, buruk atau dihindari. Eustres tidak merusak
atau buruk, tetapi merupakan sesuatu yang perlu dicari, bukannya dihindari. Stres
tidak dapat dielakkan, kuncinya adalah bagaimana kita menangani stress.
15

Stres adalah aspek umum pengalaman pekerjaan, yang paling sering terungkap
sebagai ketidakpuasan kerja, tetapi juga terungkap dalam dalam keadaan afektif yang
kuat: kemarahan, frustrasi, permusuhan, dan kejengkelan. Respon yang lebih pasif juga
umum, misalnya kejenuhan dan rasa bosan (tedium), kelelahan jiwa (burnout), kepenatan
(fatigue), tidak berdaya, tidak ada harapan, kurang gairah, dan suasana jiwa depresi
(Kaswan, 2015).
Hal-hal yang dapat menyebabkan stress kerja diantaranya:
 Faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan seperti beban kerja yang
berlebihan/ kurang, tekanan waktu, jam kerja dan shift kerja, pekerjaan yang
memerlukan fisik dan juga pekerjaan yang berulang.
 Ambiguitas kerja, konflik peran kerja, dan tingkat tanggung jawab
 Tuntutan yang bertentangan antara kehidupan pekerjaan (interaksi dengan bawahan,
rekan kerja, atasan dalam pekerjaan) dan pribadi (rekan/ keluarga di uar pekerjaan).
 Faktor perkembangan karir seperti kurangnya jaminan pekerjaan, promosi dan ambisi
yang gagal.
 Strukutur dan budaya organisasi, politik dalam kantor, komunikasi, partisipasi dalam
pengambilan keputusan, organisasi kerja dan kepercayaang terhadap organisasi.
c. Kelelahan
Secara garis besar kelelahan kerja merupakan suatu kondisi yang timbul karena
aktivitas individu hingga individu tersebut tidak mampu lagi mengerjakannya. Dengan
kata lain, kelelahan kerja dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kinerja yang
berakibat pada peningkatan kesalahan kerja dan berujung pada kecelakaan kerja
(Nurmianto, 2004). Beberapa teori oleh para ahli mengenai definisi kelelahan kerja, yaitu
:
 Kelelahan merupakan kondisi dimana tubuh mengalami kehabisan energi karena
perpanjangan kerja yang dilakukan. Kelelahan sering muncul pada jenis pekerjaan
yang dilakukan secara berulang-ulang atau monoton (Nurmianto, 2004).
 Kelelahan merupakan kondisi yang menunjukkan keadaan tubuh baik fisik maupun
mental yang semuanya berakibat pada penurunan daya kerja serta ketahanan tubuh
(Suma’mur P, 2009).
 Kelelahan merupakan suatu bagian dari mekanisme tubuh untuk melakukan
perlindungan agar tubuh terhindar dari kerusakan yang lebih parah, dan akan kembali
pulih apabila melakukan istirahat (Tarwaka, 2014).
16

Jenis kelelahan Menurut (Suma’mur P, 2009) dan (Tarwaka, 2014), kelelahan dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:
 Kelelahan menurut proses
o Kelelahan otot, merupakan kelelahan yang ditandai dengan kondisi tremor atau
perasaan nyeri pada otot. Kelelahan ini terjadi karena penurunan kapasitas otot
dalam bekerja akibat dari kontraksi yang berulang, baik karena gerakan yang statis
maupun dinamis. Sehingga seseorang tampak kehilangan kekuatannya untuk
melakukan pekerjaan.
o Kelelahan umum, merupakan kelelahan yang ditandai dengan berkurangnya
kemauan untuk bekerja karena pekerjaan yang monoton, intensitas, lama kerja,
kondisi lingkungan, sesuatu yang mempengaruhi mental, status gizi, dan status
kesehatan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh (S, 2011) juga membuktikan
bahwa sebesar 60% pekerja buruh angkut dengan sikap kerja yang tidak baik
mengalami kelelahan secara umum.
 Kelelahan menurut waktu
o Kelelahan akut, merupakan kelelahan yang ditandai dengan kehabisan tenaga fisik
dalam melakukan aktivitas, serta akibat beban mental yang diterima saat bekerja.
Kelelahan ini muncul secara tiba-tiba karena organ tubuh bekerja secara
berlebihan.
o Kelelahan kronis, juga disebut dengan kelelahan klinis yaitu kelelahan yang
diterima secara terus-menerus karena faktor atau kegiatan yang dilakukan
berlangsung lama dan sering. Kelelahan ini sering terjadi sepanjang hari dalam
jangka waktu yang lama, serta kadang muncul sebelum melakukan pekerjaan dan
menimbulkan keluhan seperti sakit kepala, sulit tidur, hingga masalah pencernaan

C. Pelatihan dan Pengawasan


a. Pelatihan
Pelatihan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pelatihan
membantu karyawan dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya,
guna meningkatkan keterampilan, kecakapan, dan sikap yang diperlukan oleh organisasi
dalam usaha mencapai tujuan. Pelatihan merupakan proses secara sistematis mengubah
tingkah laku pegawai untuk mencapai tujuan organisasi. Pelatihan berkaitan dengan
keahlian dan kemampuan pegawai untuk melaksanakan pekerjaan saat ini. Pelatihan
17

memiliki orientasi saat ini dan membantu pegawai untuk mencapai keahlian dan
kemampuan tertentu agar berhasil dalam melaksanakan pekerjaannya.
Tujuan diadakannya pelatihan dan pengembangan yang diselenggarakan perusahaan
terhadap pegawai dikarenakan perusahaan menginginkan adanya perubahan dalam
prestasi kerja pegawai sehingga dapat sesuai dengan tujuan perusahaan. Jadi sebelum
melakukan 18 pelatihan dan pengembangan akan dijelaskan terlebih dahulu tujuan
perusahaan tersebut. Menurut Panggabean (2012) tujuan dilakukan program pelatihan dan
pengembangan adalah untuk kepentingan pegawai dan perusahaan.
 Kepentingan pegawai:
o Memberikan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan pegawai.
o Meningkatkan moral pegawai. Dengan keterampilan dan keahlian yang sesuai
dengan pekerjaannya mereka akan antusias untuk menyelesaikan pekerjaannya
dengan baik.
o Memperbaiki kinerja. Program pelatihan dan pengembangan dapat meminimalkan
ketidakpuasan pegawai dalam melaksanakan pekerjaan.
o Membantu pegawai dalam menghadapi perubahan-perubahan, baik perubahan
struktur organisasi, teknologi maupun sumber daya manusianya.
o Peningkatan karier pegawai. Peluang ini menjadi besar karena keterampilan dan
keahlian mendukung untuk bekerja lebih baik.
o Meningkatkan jumlah balas jasa yang dapat diterima pegawai.
 Kepentingan perusahaan:
o Memenuhi kebutuhan-kebutuhan perencanaan sumber daya manusia.
o Penghematan. Dengan pelatihan dan pengembangan diharapkan pegawai dapat
bekerja lebih efektif dan efisien.
o Mengurangi tingkat kerusakan dan kecelakaan.
o Memperkuat komitmen pegawai.
Perusahaan yang gagal menyediakan pelatihan dan pengembangan akan kehilangan
pegawai yang berorientasi pencapaian yang merasa frustasi karena merasa tidak ada
kesempatan untuk promosi dan akhirnya memilih keluar untuk mencari perusahaan lain
yang menyediakan pelatihan dan pengembangan untuk kemajuan karier mereka. Dengan
tujuan dilaksanakannya pelatihan dan pengembangan ini menggambarkan bahwa peranan
program ini sangat penting bagi perkembangan pegawai dan perusahaan itu sendiri.
18

Pelatihan bagi karyawan merupakan sebuah proses mengajarkan pengetahuan dan


keahlian tertentu serta sikap agar karyawan semakin terampil dan mampu melaksanakan
tanggung jawabnya dengan semakin baik, sesuai dengan standar. Biasanya pelatihan
merujuk pada pengembangan keterampilan bekerja yang dapat digunakan dengan segera.
Sedangkan pengembangan sering dikategorikan secara eksplisit dalam pengembangan
manajemen, organisasi, dan pengembangan individu karyawan. Pengembangan lebih
fokus pada pemenuhan kebutuhan perusahaan jangka panjang. Menurut Tanjung (2013,
p.94) manfaat program pelatihan bagi suatu perusahaan/organisasi sangat penting untuk:

 Pegawai baru
Pegawai baru tersebut belum mempunyai kemampuan sesuai dengan persyaratan yang
dilakukan, oleh karena itu diperlukan pelatihan dengan tujuan agar dapat memberikan
kemampuan pada pegawai tersebut.
 Perubahan teknologi
Perubahan teknologi akan mengubah suasana kerja dalam organisasi. Artinya akan
ada suatu pekerjaan yang mengharuskan penguasaan teknologi baru. Hal ini akan
mempengaruhi susunan pegawai suatu organisasi/perusahaan disebabkan tidak adanya
pegawai yang menguasai teknologi baru tersebut, dengan demikian diperlukan
pelatihan.
 Mutasi
Pendidikan dan pelatihan diperlukan jika ada mutasi dalam artian dipindahtugaskan
dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (bukan hanya pindah tempat untuk
menduduki jabatan baru, melainkan belum cukup bekal untuk menduduki jabatan
baru tersebut). Mutasi penting dilakukan karena mutasi akan menghilangkan
kejenuhan atau kebosanan bagi pegawai. Dengan adanya mutasi, maka pegawai akan
memiliki banyak kemampuan dan keahlian sekaligus memberikan suasana baru bagi
kerja pegawai.
 Promosi
Dalam rangka promosi diperlukan pendidikan dan pelatihan tambahan, karena
biasanya kemampuan seseorang yang akan dipromosi untuk menduduki posisi jabatan
tertentu masih belum cukup. Dengan adanya promosi, maka pegawai berlomba -
lomba untuk berbuat yang terbaik agar memperoleh promosi dari pimpinan. Agar
organisasi berkembang maka organisasi/perusahaan harus melakukan promosi.
19

b. Pengawasan
Pengawasan dapat di definiskan sebagai proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan
organisasi dan manajemen dapat tercapai. Ini berkenaan dengan cara-cara membuat
kegiatan-kegiatan sesuai yang direncanakan. Pengertian ini menunjukkan adanya
hubungan yang sangat erat antara perencanaan dan pengawasan.

Kontrol atau pegawasan adalah fungsi di dalam manajemen fungsional yang harus
dilaksanakan oleh setiap pimpinan semua unit/satuan kerja terhadap pelaksanaan
pekerjaan atau pegawai yang melaksanakan sesuai dengan tugas pokoknya masing-
masing. Dengan demikian, pengawasan oleh pimpinan khusunya yang berupa
pengawasan melekat (built in control), merupakan kegiatan manajerial yang dilakukan
dengan maksud agar tidak terjadi penyimpangan dalam melaksanakan pekerjaan. Suatu
penyimpangan atau kesalahan terjadi atau tidak selama dalam pelaksanaan pekerjaan
tergantung pada tingkat kemampuan dan keterampilan pegawai. Para pegawai yang selalu
mendapat pengarahan atau bimbingan dari atasan, cenderung melakukan kesalahan atau
penyimpangan yang lebih sedikit dibandingkan dengan pegawai yang tidak memperoleh
bimbingan.

Jelasnya pengawasan harus berpedoman terhadap hal-hal berikut:

 Rencana (Planning) yang telah ditentukan


 Perintah (Orders) terhadap pelaksanaan pekerjaan (Performance)
 Tujuan
 Kebijakan yang telah ditentukan sebelumnya
Macam-macam pengawasan, diantaranya:

 Pengawasan dari dalam organisasi (Internal Control)


Pengawasan dari dalam, berarti pengawasan yang dilakukan oleh aparat/unit
pengawasan yang dibentuk dalam organiasasi itu sendiri. Aparat/ unit pengawasan ini
bertindak atas nama pimpinan organisasi. Aparat/ unit pengawasan ini bertugas
mengumpulkan segala data dan informasi yang diperlukan oleh organisasi. Data
kemajuan dan kemunduran dalam pelaksanaan pekerjaan. Hasil pengawasan ini dapat
pula digunakan dalam nilai kebijaksanaan pimpinan. Untuk itu kadang-kadang
pimpinan perlu meninjau kembali kebijaksanaan/keputusan-keputusan yang telah
20

dikeluarkan. Sebaliknya pimpinan dapat pula melakukan tindakan-tindakan perbaikan


terhadap pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya internal control.
 Pengawasan dari luar organisasi (external control)
Pengawasan eksternal (external control) berarti pengawasan yang dilakukan oleh
aparat/unit pengawasan dari luar organisasi itu. Aparat / unit pengawasan dari luar
organisasi itu adalah pengawasan yang bertindak atas nama atasan pimpinan
organisasi itu, atau bertindak atas nama pimpinan organisasi itu karena
permintaannya, misalnya pengawasan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pengawasan Keuangan Negara. Terhadap suatu departemen, aparat pengawasan ini
bertindak atas nama pemerintah/ presiden melalui menteri keuangan. Sedangkan
pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, ialah
pemeriksaan/pengawasan yang bertindak atas nama negara Republik Indonesia.
Di samping aparat pengawasan yang dilakukan atas nama atasan dari
pimpinan organisasi tersebut, dapat pula pimpinan organisasi minta bantuan pihak
luar organisasinya. Permintaan bantuan pemeriksaan/ pengawasan dari pihak luar
organisasi, misalnya perusahaan konsultan, akuntan swasta, dan sebagainya.
Permintaan bantuan pemeriksaan/pengawasan dari pihak luar ini biasanya dilakukan
pada suatu perusahaan dengan maksud-maksud tertentu, misalnya untuk mengetahui
efisiensi kerjanya, untuk mengetahui jumlah keuntungan, untuk mengetahui jumlah
pajak yang harus dibayar, dan sebagainya.
 Pengawasan preventif Arti dari pengawasan preventif adalah pengawasan yang
dilakukan sebelum rencana itu dilaksanakan. Maksud dari pengawasan preventif ini
adalah untuk mencegah terjadinya kekeliruan/kesalahan dalam pelaksanaan. Dalam
sistem pemeriksaan anggaran pengawasan preventif ini disebut preaudit. Adapun
dalam pengawasan preventif ini dapat dilakukan hal-hal berikut :
o Menentukan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan sistem prosedur,
hubungan dan tata kerjanya
o Membuat pedoman / manual sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan
o Menentukan kedudukan, tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya
o Mengorganisasikan segala macam kegiatan, penempatan pegawai dan pembagian
pekerjaannya
o Menentukan sistem koordinasi, pelaporan, dan pemeriksaan
21

o Menetapkan sanksi-sanksi terhadap pejabat yang menyimpang dari peraturan yang


telah ditetapkan.
 Pengawasan Represif
Arti dari pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan setelah adanya
pelaksanaan pekerjaan. Maksud diadakannya pengawasan represif ialah untuk
menjamin kelangsungan pelaksanaan pekerjaan agar hasilnya sesuai dengan rencana
yang telah ditetapkan. Dalam sistem pemeriksaan anggaran, pengawasan represif ini
disebut pos-audit.
Metode Pengawasan:

 Pengawasan Langsung
Pengawasan Langsung adalah apabila aparat pengawasan/pimpinan organisasi
melakukan pemeriksaan langsung pada tempat pelaksanaan pekerjaan, baik dengan
sistem inspektif, verifikatif, maupun dengan sistem investigatif. Metode ini
dimasudkan agar segera dapat dilakukan tindakan perbaikan dan penyempurnaan
dalam pelaksanaan pekerjaan. Sedangkan sistem pengawasan langsung oleh atasannya
disebut built in control.
 Pengawasan Tidak langsung
Pengawasan Tidak Langsung adalah apabila aparat pengawasan/pimpinan
organisasi melakukan pemeriksaan pelaksanaan pekerjaan hanya melalui laporan-
laporan yang masuk kepadanya. Laporan-laporan tersebut dapat berupa uraian kata-
kata deretan angka-angka atau statistik yang berisi gambaran atas hasil kemajuan
yang telah tercapai sesuai dengan pengeluaran biaya/ anggaran yang telah
direncanakan. Kelemahan dari pengawasan tidak langsung ini tidak dapat segera
mengetahui kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaannya, sehingga dapat
menimbulkan kerugian yang lebih banyak.
 Pengawasan Formal
Pengawasan Formal adalah pengawasan yang secara formal dilakukan oleh
unit/ aparat pengawasan yang bertindak atas nama pimpinan organisasinya atau atasan
dari pimpinan organisasi itu. Dalam pengawasan ini biasaya telah ditentukan
prosedur, hubungan, dan tata kerjanya.
 Pengawasan Informal
Pegawasan informal adalah pengawasan yang tidak melalui saluran formal
atau prosedur yang telah ditentukan. Pengawasan informal ini biasanya dilakukan
22

oleh pejabat pimpinan dengan melalui kunjungan yang tidak resmi (pribadi), atau
secara incognito. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan kekakuan dalam
hubungan antara atasan dan bawahan. Dengan cara demikian pimpinan menghendaki
keterbukaan dalam memperoleh informasi dan sekaligus usul/saran perbaikan dan
penyempurnaannya dari bawahannya. Untuk masalah-masalah yang dihadapi oleh
bawahannya yang tidak mungkin dipecahkan sendiri, maka pimpinan dapat
memberikan jalan keluar pemecahannya. Sebaliknya bawahan juga merasa bangga
karena diberi kesempatan mengemukakan pendapatnya secara langsung terhadap
pimpinannya. Jelasnya bahwa pengawasan informal mendekatkan hubungan pribadi
yang bersifat informal. Hal ini sangat menguntungkan terhadap pelaksanaan tugas-
tugas pekerjaan.
 Pengawasan Administratif
Pengawasan Administratif adalah pengawasan yang meliputi bidang
keuangan, kepegawaian, dan material. Pengawasan keuangan menyangkut tentang pos
pos anggaran (rencana anggaran), pelaksanaan anggaran yang meliputi kepengurusan
administratif dan pengurusan bendaharawan. Hal ini menyangkut prosedur
penerimaan dan prosedur pengeluaran uang. Pengawasan kepegawaian menyangkut
hal hal yang berhubungan dengan administratsi kepegawaian serta menyangkut
terhadap hak- hak mereka yang harus dipenuhi (gaji, kenaikan pangkat, dan fasilitas-
fasilitas lain). Pengawasan material adalah untuk mengetahui apakah barangbarang
yang disediakan (dibeli) sesuai dengan rencana pengadaannya

4. Kerjasama tim, Budaya dan mengelola resiko

4.1 Kerjasama Tim

Kerjasama tim adalah suatu proses dimana tim memiliki sasaran atau tujuan yang sama yang
dapat mengembangkan hubungan timbal balik yang efektif untuk mencapai tujuan tim
(Tarricone & Luca, 2002). Dalam praktiknya, manager menjamin seseorang memahami
tanggungjawab kolega terdekatnya maupun unit kerjanya disamping tanggungjawabnya.
Sehingga tanggungjawab ini mendukung kelompok lain dan mengemban tanggung jawab
formal atas keselamatan instalasi. Maka dari itu, kerjasama tim sangat diperlukan dalam
tindakan keselamatan (INSAG, 1991).
Menurut Survei Budaya Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Hospital Surveyon Patient Safety
Culture),yang dikeluarkan oleh AHRQ (American Hospital Research and Quality) tahun
23

2004 bahwa kerjasama tim tidak hanya melakukan koordinasi dan kolaborasi dalam unit
kerja di rumah sakit antara satu unit dengan unit yang lain dalam memberikan pelayanan
yang terbaik untuk pasien, namun dilakukan juga antar staf untuk saling mendukung satu
sama lain, saling menghormati, dan bekerja sama sebagai tim (AHRQ, 2016).

Kerjasama yang baik merupakan salah satu faktor pendukung terbentuknya budaya
keselamatan. Tim didefinisikan sebagai kumpulan yang dapat dibedakan dari dua atau lebih
orang yang berinteraksi, dinamis dan saling bergantung, dan melakukan fungsi tertentu
sesuai dengan tugasnya masing-masing. Penelitian menunjukkan bahwa kurangnya
kerjasama dan budaya yang bersifat individualis dapat menyebabkan timbulnya kesalahan
yang berulang (Tourani et al., 2015).
Hampir seluruh pekerjaan yang terdapat dalam perawatan kesehatan dilakukan secara
berkelompok dan interdisipliner. Faktor yang mempengaruhi kerja kelompok digambarkan
pada bagan berikut ini:

Masukan Proses Luaran

Pemimpin Performa
Proses/ Dinamika
Pengetahuan Produktivitas
Komunikasi
Kemampuan Kualitas
Koordinasi
Sikap
Kooperasi/ Konflik Error/ kejadian
Gaya Kecelakaan

Anggota
Kelompok
Pengetahuan
Kemampuan Work Tugas
Skap Sumberdaya
Organisasi
Budaya Lingkungan
Ukuran
Struktur
Gaya/ tipe
Organisasi
Ukuran
Norma
Peran Status
Kepaduan

Gambar 4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kerjasama

(Rhona Flin, 2007)


24

Gambar tersebut menjelaskan bagaimana faktor individu, kepemimpinan dan struktur tim
dapat mempengaruhi dinamika kelompok yang kemudian mempengaruhi hasil seperti
produktivitas, keamanan dan atau kepuasan. Peran yang diadopsi oleh anggota tim juga
dapat mempengaruhi efektivitas dengan peran yang terkini dan akuntabilitas anggota tim.
Apabila peran antara kelompok kerja tidak didefinisikan secara jelas maka akan
menimbulkan masalah (WHO, 2009).

Kerja tim yang baik atau sukses mampu meminimalisir masalah keselamatan pasien dan
dapat meningkatkan moral dan kesejahteraan anggota kelompok, serta kemampuan
kelompok (WHO, 2009). Kelompok/ tim yang sukses dikarakteristikkan sebagai berikut
(WHO, 2011a):

a. Memiliki tujuan umum dimana semua anggota kelompok menghasilkan tujuan yang
jelas dan sama yang meliputi kepentingan dan kepemilikan.

b. Memiliki tujuan terukur serta fokus terhadap tugas tim.

c. Memiliki kepemimpinan yang efektif untuk mengelola konflik, mengatur dan


memelihara struktur, mengakomodir kepercayaan dan dukungan anggota serta
mendengarkan anggota

d. Memiliki komunikasi yang efektif untuk berbagi ide dan informasi akan menyimpan
catatan tertulis serta memberikan waktu untuk refleksi tim.

e. Perpaduan yang bagus melalui tim dengan semangat dan komitmen tim ingin selalu
bekerja sama.

4.2 Budaya keselamatan


Budaya keselamatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budaya suatu organisasi,
didefinisikan sebagai kesamaan kepercayaan, sikap, nilai, norma, dan karakteristik perilaku
para pekerjanya terkait kinerja organisasi dalam aspek keselamatan (Morello et al., 2013).
Budaya keselamatan yang positif pada suatu organisasi memiliki komunikasi saling percaya,
persepsi pentingnya keselamatan, tindakan pencegahan yang efektif, dukungan kepada
pekerja sehingga mengurangi angka insiden dan kecelakaan di Instansi Pelayanan Kesehatan
(Health Foundation (Great Britain, 2011). Konsep utama budaya keselamatan adalah
mengenali risiko akibat aktivitas organisasi dan upaya untuk mencapai prosedur yang aman,
lingkungan bebas menyalahkan, mendorong individu secara aktif melaporkan kesalahan
yang terjadi, kolaborasi dalam mengatasi masalah keselamatan, dan komitmen organisasi
25

dalam bentuk sumber daya (Mohler, 2015).


Strategi meningkatkan budaya keselamatan adalah membentuk badan keselamatan pasien,
patroli pemimpin (walkarounds leadership), memberikan edukasi mencakup dasar-dasar
keselamatan pasien, root causes analysis, teori sistem, pelaporan dan analisis kasus, serta
penekanan terhadap kerjasama dan

komunikasi. Namun diperlukan waktu berkisar 3-5 tahun untuk mengidentifikasi


perubahan yang nyata pada budaya (Halligan & Zecevic, 2011). Manajemen rumah sakit
menunjukkan komitmen dengan memiliki kebijakan dan prosedur resmi terkait dengan
keselamatan (Halligan & Zecevic, 2011).
Model Reciprocal Safety Culture oleh Cooper (2016) menjelaskan 3 variabel yang saling
berinteraksi membentuk budaya keselamatan yaitu variabel pertama adalah individu
(psikologis internal) meliputi pengetahuan, kemampuan, nilai, sikap, norma, persepsi,
kecerdasan, motivasi, dan kepribadian pekerja. Psikologis internal merupakan persepsi atau
sikap individu yang dapat diukur menggunakan kuesioner iklim keselamatan. Variabel
kedua adalah situasional merupakan sistem manajemen keselamatan seperti kebijakan,
peraturan, SPO (sistem prosedur operasional), sistem manajemen, dan susunan organisasi.
Variabel ketiga yaitu perilaku meliputi kepatuhan, pelatihan, pengenalan, komunikasi, dan
panutan. Perilaku merupakan tingkat upaya kearah peningkatan keselamatan. Model budaya
keselamatan yang dikembangkan oleh Cooper memungkinkan untuk mengukur budaya
keselamatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif (Cooper, 2016).
Iklim keselamatan merupakan komponen dari budaya keselamatan yang paling mudah
untuk dapat diukur. Namun, dalam kenyataannya, budaya dan iklim keselamatan belum
memiliki perbedaan istilah yang jelas. Banyak penulis menggunakan istilah budaya
keselamatan dan iklim keselamatan secara tertukar (Gadd et al., 2002). Iklim keselamatan
merupakan persepsi dan sikap pekerja (individu) terhadap permukaan dari budaya
keselamatan dalam suatu organisasi (Flin, 2007). Iklim keselamatan mengacu pada
persepsi pekerja (individu) tentang komitmen manajemen berkaitan dengan kebijakan,
prosedur, dan praktik keselamatan (Rasmussen et al., 2006). Griffin et al. mengembangkan
kontruk iklim keselamatan terdiri dari persepsi yang dibagikan berupa nilai dan praktik
pada semua level (Griffin & Curcuruto, 2016).
Konsep iklim/ budaya keselamatan pasien menjadi populer di kalangan dunia kesehatan.
Para pembuat kebijakan kesehatan nasional mendorong penerapan budaya keselamatan
pasien baik di tingkat yurisdiksi maupun tingkat organisasi melalui survei-survei reguler
26

dilakukan oleh rumah sakit (Australian Commission


on Safety and Quality in Health Care, 2011). Hal ini menyebabkan munculnya kebutuhan terhadap
alat pengukuran budaya keselamatan pasien yang relatif murah, mudah, dan cepat (Morello et al.,
2013)

Pengukuran Kematangan Budaya Keselamatan

Pengukuran budaya keselamatan memerlukan kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif.


Pengukuran dilakukan dengan wawancara terstruktur, survei dan kuesioner. Metode
kuantitatif digunakan untuk mengetahui variabel yang dapat mempengaruhi budaya
keselamatan. Penggunaan instrumen dengan metode kuantitatif bersifat praktis, efisien dan
efektif untuk mengumpulkan data dalam jumlah yang besar (Human Engineering, 2005).
Metode kualitatif digunakan untuk mengetahui lebih dalam variabel yang mendukung, namun
pengumpulan data dan analisisnya butuh waktu yang lama (Hodgen et al., 2017). Penggunaan
metode kualitatif dapat memberikan penjelasan mendalam tentang persepsi pekerja sehingga
menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif mendapatkan gambaran yang lengkap
tentang budaya keselamatan (Hodgen et al., 2017). Pengukuran dapat dilakukan dengan
metode observasi, FGD, review informasi dan studi kasus (Kummerow & Kirby, 2013).
Penggabungan metode kuantitatif dan kualitatif untuk mengukur budaya keselamatan dapat
menghasilkan gambaran yang lengkap tentang budaya keselamatan (Hodgen et al., 2017).
Wiegmann et al. (2004) menjelaskan bahwa untuk menilai budaya keselamatan perlu
menggunakan kombinasi metode kuantitatif dengan wawancara terstruktur, survei dan
kuesioner serta metode kualitatif dapat digunakan dengan cara observasi, focus group
discussion (FGD), review informasi terdahulu, dan studikasus. Kombinasi metode ini biasanya
dikenal dengan istilah triangulasi (Human Engineering, 2005). Berikut merupakan bagan
rekomendasi pengukuran budaya keselamatan.
27

Budaya Keselamatan Organisasi

Dilihat sebagai:
Dilihat sebagai: Dilihat sebagai:
Persepsi organisasi
Atribut tujuan Persepsi individu
organisasi (is or has) (bagaimana (dampak pada individu)

Terwujud dalam: Terwujud dalam:


Terwujud dalam:
Kebijakan keselamatan, Komitmen pekerja,
Pekerja, kontraktor,
sistem dan proses, sikap, tanggung jawab,
danpersepsi eksternal
struktur, laporan perilaku dll

Metode:
Metode: Metode: Kuesioner,
Wawancara
Observasi, Audit Observasi
,Kuesioner

Gambar 4.2 Metode Pengukuran Budaya Keselamatan

(Loughborouh University Health & Safety Executive, 2010)

Pengukuran budaya kematangan keselamatan dilakukan dengan menggabungkan instrumen


MaPSaF dan OGP (Oil and Gas Procedures). Instrumen ini menilai kematangan pekerja
terhadap keselamatan secara kuantitatif dan kualitatif. Untuk kuantitatif, responden mengisi
kuesioner dengan skala likert berdasarkan model tingkat kematangan organisasi Westrum,
yaitu pathological, reactive, bureaucratic, proactive, dan generative. Sedangkan untuk
kualitatif melalui workshop yang berisi refleksi dan FGD (Focus Group Discussion) yang
diikuti sekitar 10-12 orang. Pekerja diminta untuk menilai aspek budaya kematangan
keselamatan yang dikelompokkan berdasarkan tingkat kematangan.
Instrumen kematangan budaya keselamatan di layanan kesehatan
menggunakan MaPSaF (Manchester Patient Safety Framework) yang dapat
dilihatpada tabel di bawah ini (Hodgen et al., 2017):

Tabel 4.1 MaPSaF dan Indikatornya

Variabel MaPSaF Indikator MaPSaF


1. Komitmen untuk perkembangan 1. Kebijakan
berkelanjutan 2. Prosedur
2. Prioritas yang diberikan untuk 3. Isu keselamatan pasien
keselamatan 4. Penanggungjawab isu keselamatan pasien
5. Jenis sistem pelaporan
28

3. Kesalahan sistem dan tanggungjawab 6. Alur penerimaan pelaporan


individu 7. Laporan dilihat sebagai peluang untuk perbaikan
atau untuk menyalahkan
8. Penanggung jawab Investigasi insiden
4. Pencatatan insiden dan praktik
9. Cara Investigasi insiden
terbaik
10. Tujuan pencatatan insiden
11. Cara evaluasi insiden
5. Mengevaluasi insiden dan praktik
12. Penghargaan untuk praktik kerja yang aman
terbaik
13. Penggunaan data untuk evaluasi insiden
6. Pembelajaran yang mempengaruhi 14. Tindak lanjut setelah terjadi insiden
perubahan 15. Mekanisme pembelajaran setelah insiden terjadi
16. Sistem komunikasi tentang isu keselamatan
7. Komunikasi terkait isu 17.Jenis sistem komunikasi tentang isu keselamatan
keselamatan 18. Pencatatan komunikasi yang berkualitas tentang
isu keselamatan
19. Manajemen isu keselamatan di tempat kerja
8. Manajemen personal dan isu
20. Pengelolaan isu keselamatan staf di tempat kerja
keselamatan
21. Prosedur rekrutmen dan seleksi staf
22. Pengembangan program pelatihan keselamatan
pasien
9. Pendidikan dan pelatihan pegawai
23. Persepsi staf terhadap program pelatihan dan
pendidikan
24. Pengembangan tim kerja
10. Kerjasama Tim 25. Manajemen tim
26. Tim kerja untuk keselamatan pasien
Sumber: (University of Manchester, 2006)

Tabel diatas menunjukkan instrumen MaPSaF sebagai instrumen kematangan


budaya keselamatan pasien yang mengandung 10 variabel dengan 26 indikator.

4.3 Mengelola Resiko

Risiko adalah potensi terjadinya kerugian dan dapat ditimbulkan dari proses atau kegiatan yang
dilakukan saat ini atau kejadian pada masa yang akan datang. Manajemen risiko adalah
pendekatan proaktif yang bertujuan untuk mengidentifikasi, menilai dan menyusun prioritas
risiko. Dan juga menghilangkan atau meminimalkan dampak risiko (Carroll, 2004).
Manajemen risiko meliputi kegiatan identifikasi hazard dan penilaian risiko. Kedua
29

komponen tersebut merupakan fungsi utama dari sistem manajemen keselamatan. Berikut
merupakan rekomendasi pengukuran untuk membantu mengidentifikasi adanya potensi hazard
(Occupational Safety and Health Administration, 2013):

a. Menyediakan akses dan membuat sumber informasi yang memungkinkan tentang


potensi hazard di tempat kerja.
b. Mengombinasikan informasi yang sudah ada dengan hasil inspeksi, Job Hazard
Analysis (JHA), investigasi cedera dan penyakit, masukan pekerja dan teknik lainnya
untuk mengidentifikasi hazard.
c. Menilai dan memprioritaskan hazard, serta memperhitungkan efektivitas kendali yang
sedang dilakukan.
d. Terus memantau dan merespon bahaya baru yang dikenali

Setelah hazard diidentifikasi, pengendalian risiko perlu dilakukan prosedur dari


pengendalian tersebut, diantaranya (Roughton & Mercurio, 2002):
a. Menggunakan teknik rekayasa yang memungkinkan dan tepat

b. Menciptakan prosedur kerja yang aman dan mudah dipahami untuk pekerja

c. Menyiapkan APD

d. Menggunakan pengendalian administratif

e. Merawat fasilitas dan peralatan untuk mencegaha kerusakan alat

f. Merencanakan dan menyiapkan kondisi apabila terjadi keadaan darurat serta dan
mengadakan pelatihan yang memadai
g. Menghadirkan program surveilan medis dalam keadaan darurat untuk mengurangi
risiko dari insiden yang mungkin dapat terjadi
h. Tanggungjawab manajerial untuk memantau kegiatan yang berlangsung diluar
pelaksanaan tindakan jaminan kualitas (penilaian secara berkala terhadap praktek kerja,
program pelatihan, pengendalian dokumen, prosedur penugasan staf dan sistem
jaminan kualitas) (Roughton & Mercurio, 2002)
Penelitian Almost, et.al. (2018) menunjukkan leading indikator yang penting untuk K3 di
fasilitas kesehatan yaitu komitmen manajemen, komunikasi K3, kompetensi karyawan
terkait K3, partisipasi karyawan dalam K3, dan kesehatan kerja (Almost, et.al., 2018).
Kategori risiko insiden keselamatan menurut Leape (2002) antara lain:
30

Tabel 4.2 Kategori Risiko dan Definisinya

Kategori
No. Definisi
Risiko
Strategi dan Risiko yang terkait dengan model keterlibatan dokter termasuk menarik
1 Hubungan
danmempertahankan panel dokter yang berpengalaman untuk operasional
Dokter
di RS.
Risiko yang terkait dengan pendekatan multidisiplin untuk perawatan
Pelayanan akut, perawatan khusus, diagnostik dan investigasi serta program
2
Medis kesehatan. Ini termasuk risiko yang terkait dengan fasilitas yang tidak
memadai dan pengobatan
yang tidak akurat dari penyakit di masing-masing area layanan.

3 Keunggulan Risiko terkait infrastruktur untuk mendukung pelayanan pasien,


Layanan kepuasan pasiendan perawatan untuk Ranap, Rajal dan Pasien
Internasional.
Kualitas dan Risiko terkait pengendalian infeksi, perizinan dan kredensial dokter,
4
Akreditasi dokumentasi
dan pelaporan BPJS, standar dan praktik klinis, prosedur darurat, dan
audit klinis.
Kesehatan dan Risiko yang terkait dengan pencemaran lingkungan, keamanan sumber
5
Keamanan daya dan
kesehatan dan keamanan karyawan di RS.

6 Operasional Risiko terkait dengan kecukupan kebijakan dan prosedur yang terkait
Keperawatan dengan
operasional keperawatan dan menjaga pelayanan berkelanjutan.

7 Fasilitas dan Risiko yang terkait dengan ketidakcukupan atau kegagalan fasilitas dan
Peralatan peralatan
utk pelaksanaan pelayanan.
8 Farmasi Risiko terkait proses farmasi dan pengiriman produk farmasi ke unit RS
dan pasien,
Risiko terkait dengan budaya, struktur organisasi, komunikasi,
Sumber Daya rekrutmen, manajemen kinerja, remunerasi, pembelajaran &
9
Manusia pengembangan, retensi, Kesehatan & Keselamatan Kerja dan
hubungan industrial, termasuk sistem
pendukung, proses dan prosedur.
31

Risiko bahwa sistem tidak dikelola atau dikendalikan secara memadai,


integritas data, keandalan tidak dapat dipastikan, kinerja vendor yang
Teknologi
10 tidak memadai dan pemantauan, sistem atau arsitektur jaringan tidak
Informasi
mendukung inisiatif dan strategi bisnis jangka menengah atau panjang,
perencanaan kapasitas tidak ditinjau secara
rutin sehingga muncul kegagalan, risiko data atau migrasi sistem atau
antarmuka.

11 Pemasaran Risiko yang terkait dengan sumber pelanggan, persaingan, manajemen


merek &
lisensi merek dan reputasi perusahaan.
Risiko terkait dengan operasi likuiditas / treasury, manajemen hubungan
dengan pemberi pinjaman, pengelolaan kas, penagihan dan pemrosesan
12 Keuangan
klaim, risiko kredit pelanggan, manajemen piutang yang tidak memadai
kontrol dan kurangnya
pemantauan yang memadai mengarah ke risiko penipuan yang lebih
tinggi.

Risiko yang berkaitan dengan ketidakpatuhan terhadap peraturan


Hukum dan
13 perundang-undangan termasuk ketentuan hukum langsung & tidak
Kepatuhan
langsung, kecukupan
pelaporan keuangan & pengungkapan, peraturan, kebijakan dan prosedur
internal.
Rantai
14 Risiko yang terkait dengan sumber dan manajemen vendor.
Pemasokan
Risiko yang terkait dengan pengembangan strategi, aliansi strategis,
Perencanaan perencanaan bisnis, bauran bisnis, target kinerja, kegagalan untuk
15
dan Strategi menyelaraskan strategi dan tujuan fungsional dengan strategi
perusahaan-lebar. Risiko terkait dengan penataan
dan pendanaan modal yang tidak tepat.
Tata Kelola Risiko terkait prosedur board and board termasuk pengawasan risiko,
16
Perusahaan kontrol
internal, CSR, hubungan pemangku kepentingan termasuk hubungan
investor, dll.
17 Komunikasi Risiko yang terkait dengan kepatutan/ kecukupan komunikasi eksternal &
PR.
Penilai Risiko yang terkait dengan perubahan trend konsumen/ bisnis/
18 Dampak pergeseranteknologi yang mempengaruhi semua aspek bisnis dan
Lingkungan kecukupan penilaian risiko
tersebut.

Sumber: (Leape, 2002)


32

Ruang lingkup manajemen risiko rumah sakit antara lain: (a) Risiko pasien,

(b) Risiko staf klinis, (c) Risiko karyawan, (d) Risiko kekayaan, (e) Risiko keuangan, (f)
Risiko lainnya (Carroll, 2004). Ruang lingkup tersebut digambarkan dengan hexagonal
di bawah ini:

Gambar 4.3 Scope of Hospital Risk Management


(Carroll, 2004)
Manajemen risiko adalah kegiatan identifikasi, analisis dan eliminasi hazard (dan/ atau
mitigasi ke tingkat yang dapat diterima atau ditoleransi) dari bahaya, serta risiko
berikutnya, yang dapat mengancam kelangsungan hidup organisasi (Civil Aviation
Safety Authority, 2012). Pengendalian risiko merupakan inti dari sistem manajemen
keselamatan yang perlu dilakukan secara terus menerus agar pengendalian efektif.
Berikut proses manajemen risiko (ACHS, 2013; Goverment of Western Australia,
2005):

Tetapkan Konteks

Identifikasi Risiko
Monitor dan Review
Komunikasi dan Konsultasi

Analisa Risiko

PenilaianRisiko

Evaluasi Risiko

Kelola Risiko

Daftar Risiko

Gambar 4.4 Proses Manajemen Risiko


(ACHS, 2013; Goverment of Western Australia, 2005)
33

Analisis Risiko

Analisis risiko klinis bertujuan untuk memisahkan risiko klinis kecil yang dapat
diterima dari risiko klinis besar yang tidak dapat diterima (ACHS, 2013). Analisis
risiko dapat menyediakan data yang dapat digunakan untuk membantu program
evaluasi dan pengelolaan risiko klinis. Analisis risiko klinis ini melibatkan
pertimbangan sumber-sumber risiko klinis, konsekuensinya dan kemungkinan
terjadinya konsekuensi tersebut. Pada analisis risiko perlu adanya kedalaman
analisis ditentukan melalui kompleksitas aktivitas dan ketersediaan informasi/
data. Menghitung tingkat risiko klinis suatu kegiatan, dapat mempertimbangkan
unsur-unsur individu dari risiko klinis secara individual dankemudian digabungkan
untuk membentuk tingkat risiko. Perhitungan tersebut dapat menggunakan rumus
berikut (Apollo Hospitals, 2016):

Tingkat risiko = Konsekuensi/ Dampak X Probabilitas/ Frekuensi


Gambar 4.5 Level Frekuensi atau Kemungkinan
(Apollo Hospitals, 2016)
34

Tabel 4.4 Skor Dampak

1 2 3 4 5
INSIGNIFICANT MINOR MODERATE MAJOR CATASTROPHIC

 Berkurangnya fungsi
 Cedera luas
Dapat diatasi motorik/sensorik
CEDERA  Kehilanga
Tidak ada cedera dengan pertolongan  Setiap kasus yang Kematian
PASIEN n fungsi
pertama memperpanjang
utama
perawatan
permanen
PELAYANAN/ Terhenti lebih dari 1jam Terhenti lebih dari Terhenti lebih dari
Terhenti lebih dari 1 hari Terhenti permanen
OPERASIONAL 8 jam 1minggu
BIAYA/ Kerugian lebih dari Kerugian lebih dari Kerugian lebih dari Kerugian lebih dari
Kerugian kecil
KEUANGAN 0,1% anggaran 0,25% anggaran 0,5% anggaran 1% anggaran
 Media nasional
 Media lokal  Media lokal  Media nasional
PUBLIKASI Rumor
 Waktu singkat  Waktu lama  Kurang  Lebih dari 3 hari
dari 3hari
Dampak kecil thd Dampak serius thd
Dampak bermakna thd
moril karyawan dan moril karyawan Menjadi
REPUTASI Rumor moril karyawan dan
kepercayaan dankepercayaan masalahberat
kepercayaan masyarakat
masyarakat masyarakat bagi pr

Sumber: (Apollo Hospitals, 2016)

Untuk memetakan risiko terhadap probabilitas dan dampak dapat menggunakan risk
matrix. Disamping itu, risk matrix dapat menjelaskan mitigasi risiko pada tingkat
yang bisa ditolerir (Apollo Hospitals, 2016).
35

Gambar 4.6 Matriks Grading Risiko


(Apollo Hospitals, 2016)
Risk = Probability (of the Event) X Consequence”

Gambar 4.7 Asesmen Matriks


(Apollo Hospitals, 2016)

Gambar 4.8 Pendekatan Perawatan Risiko


(Apollo Hospitals, 2016)

Pengelolaan Resiko

Langkah-langkah dalam pengelolaan risiko yaitu 1) identifikasi opsi pengelolaan yang tepat
diantaranya menghindari risiko, menerima risiko, transfer risiko, retensi risiko, mengurangi
dampak/ konsekuensi, mengurangi probabilitas/ kemungkinan, kontrol risiko, 2) mengkaji
kelayakan opsi pengelolaan, analisis biaya manfaat, 3) memilih opsi pengelolaan risiko yang
36

paling sesuai, 4) persiapkan rencana pengelolaan risiko, 5) menentukan tingkat risiko


residual dan akseptabilitasnya 6) menerapkan rencana pengelolaan risiko (Goverment of
Western Australia, 2005). Risk Register/ daftar risiko merupakan bagian dari proses
pencatatan mengelola risiko di area kerja. Setiap ada risiko yang diidentifikasi perlu dicatat
dalam daftar. Beberapa komponen yang paling banyak digunakan dalam risk register adalah
(ACHS, 2013): 1) tangal, 2) deskripsi risiko, 3) frekuensi risiko, 4) dampak risiko, 5)
penanggulangan: mencegah, mengurangi, atau mentransfer risiko, 6) individu yang
bertanggung jawab, 7) peringkat risiko (rendah, menengah, tinggi atau sangat tinggi dan
prioritas keseluruhan risiko).
Rumah sakit perlu memiliki standar yang berisi program Risk Assessment tahunan meliputi 1)
risiko yang teridentifikasi dalam 1 tahun, 2) informasi insiden keselamatan pasien, 3) klaim
litigasi dan komplain, investigasi eksternal & asesmen internal dan eksternal serta akreditasi,
4) informasi potensial risiko (menggunakan RCA & FMEA) (Saunders, 2002). Penanganan
risiko melibatkanpengidentifikasian berbagai pilihan untuk menangani risiko, menilai pilihan
tersebut, menyiapkan rencana penanganan risiko dan menerapkannya. Pilihan penanganan
yang mungkin antara lain (Apollo Hospitals, 2016):
 Menerima tingkat risiko dalam kriteria yang ditetapkan;
 Mentransfer risiko ke pihak lain/ pertanggungan;
 Menghindari risiko dengan melakukan proteksi keamanan/ mengadopsi
praktik dan kebijakan yang aman;
 Mengurangi kemungkinan terjadinya dan/ atau konsekuensi dari peristiwa
risiko.

Risiko yang dinilai kritis harus dituliskan dalam profil risiko. Profil tersebut berisi rincian
risiko, faktor yang berkontribusi, skor risiko, dokumentasi kontrol dan rencana tindakan
khusus dan praktis. Rencana tindakan harus terikat oleh waktu dan tanggung jawab untuk
memfasilitasi pemantauan status di masa depan. Praktik dan pengendalian mitigasi harus
mencakup penentuan kebijakan, prosedur, praktik, dan proses yang memastikan bahwa
tingkat risiko yang ada diturunkan ke tingkat yang dapat diterima. Dalam banyak kasus
risiko yang signifikan mungkin masih ada setelah mitigasi tingkat risiko dengan penanganan
risiko. Risiko yang masih ada ini perlu dipertimbangkan dengan tepat. Dalam kasus risiko
keuangan, hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi yaitu asuransi oleh lembaga eksternal
dan asuransi diri atau pendanaan internal (Apollo Hospitals, 2016).
37

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Menurut Theodorsin (1969) dalam Liliweri (2007), komunikasi merupakan suatu proses
pemindahan informasi dari satu atau sekelompok orang kepada satu atau sekelompok orang
lain dengan menggunakan simbol-simbol tertentu sehingga memberikan suatu pengaruh.
Komunikasi menjadi salah satu faktor penentu mutu pelayanan di rumah sakit dan kepuasan
pasien merupakan salah satu indikator pelayanan yang bermutu. Berdasarkan piramida
kebutuhan Abraham Maslow, untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia maka mereka
selalu mengarahkan diri dengan tingkah laku komunikasi.Guideline (panduan) merupakan
pedoman sebagai “buku resep” yang memiliki peran penilaian klinis dalam perawatan pasien
untuk mengansumsikan peserta didik telah memiliki keterampilan dasar, pengetahuan, dan
pengalaman untuk mengikuti suatu resep tersebut. Dokter dan manajer perlu memutuskan
apakah pengenalan mereka akan mengarah pada peningkatan kualitas perawatan dengan
biaya yang dapat diterima.

Sebagian besar kesalahan di layanan kesehatan tidak dapat ditangani dengan menggunakan
penanganan risiko klinis yang berfokus pada masalah tradisional seperti litigasi, asuransi dan
disiplin pribadi. Pemikirin yang hanya berorientasi pada sistem tidaklah cukup. Yang juga
dibutuhkan adalah disiplin formal yang disebut rekayasa faktor-faktor manusia.. Rekayasa
faktor manusia yang diantaranya dalam perangkat medis, perangkat lunak medis dan desain
area kerja kesehatan mampu mengubah cara pendekatan tenaga kesehatan dan manajer
risiko terhadap error dalam pengaturan perawatan kesehatan.

Agar kondisi praktik aman terlaksana dengan baik harus diperhatikan pengelolaan terkait
waktu kerja, stress, kelelahan, pelatihan, supervisi, kerjasama tim, budaya dan pengelolaan
resiko.Tim perlu dimasukkan ke dalam struktur manajemen yang memungkinkan
akuntabilitas mereka diakui secara jelas oleh semua orang. Tim yang baik akan menjadi tim
yang terbuka untuk belajar dari kesalahan mereka serta keberhasilan mereka. Pemimpin tim
yang baik akan sangat penting untuk proses ini. Sumber daya tambahan sangat penting
untuk melakukan ini, dan juga untuk menyediakan cadangan untuk menghindari krisis.
38

DAFTAR PUSTAKA

Asih GY, Widhiastuti H, Dewi R. 2018. Stres Kerja. Cetakan 1. Semarang:


Semarang University Press.
AHRQ. (2016). AHRQ Hospital Survey on Patient Safety Culture: User’s
Guide.
Apollo Hospitals. (2016). Risk Management Policy-Apollo Hospitals.
Arianto, 2012. Komunikasi Kesehatan (Komunikasi Antara Dokter Dan
Pasien). Palu: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako.
Christian CK, Gustafson ML, and Roth EM, 2006. A prospective study of
patient safety in the operating room Surgery, 2006. 139: p. 159-173.
Cooper, D. (2009). A review of process design factors. Professional Safety,
February, 36–45.
Depkes 2008. Pedoman Penegakan Disiplin Kedokteran beserta Himpunan
Peraturan Tentang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Edisi Ketiga. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Elfrida, Solha. 2011. Budaya Patient Safety dan Karakteristik Kesalahan
Pelayanan: Implikasi Kebijakan di Salah Satu Rumah Sakit di Kota Jambi
Goverment of Western Australia, D. of H. (2005). Desktop Guide to Clinical
Risk Management.
Insag. (1991). Safety Series No . 75-Insag-4 International Atomic Energy
Agency , Vienna , 1991 Categories In The Iaea Safety Series. In Atomic
Energy (Issue 75).
Kaswan. (2015). Sikap Kerja. Dari Teori dan Implementasi Sampai Bukti.
Bandung. Alfabeta.
Liliweri A. 2007. Komunikasi antar pribadi. Bandung: Citra Aditya Bakti
Lingard L, et al., 2004. Communication failures in the operating room: an
observational classification of recurrent types and effects. Qual Saf Health
Care, 2004. 13: p. 330-334.
Luthans, Fred. (2006). Perilaku Organisasi. Alih bahasa: Vivin Andhika
Yuwono, Sekar Purwanti, Arie P, dan Winong Rosari.Yogyakarta: Andi.
M. Kadarisman, Manajemen Pengembangan Sumber Daya Manusia (Jakarta:
Rajawali: 2013), hlm. 172
39

Moss, S. & Tubbs, S. L. 2001. Human Communication (Konleks-konleks'


Komunikasi): Buku kedua. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nigms. https://www.nigms.nih.gov/education/fact-sheets/Pages/circadian-
rhythms.aspx. Diakses 9 Mei
Rachmania, Putri. 2011. Pola Komunikasi Dokter Terhadap Pasien Dalam Proses
Penyembuhan Di Klinik Makmur Jaya. Jakarta: Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi Syarif Hidayatullah.
Robbins, S. P., & Judge, T. (2013). Organizational behavior. Pearson, Prentice
Hall
Saunders, L. (2002). The Safety Toolkit – Designing a risk register Making it
Happen: A Guide for Risk Managers on How to Populate a Risk Register,
CASU and Risk Register.1–5.
http://www.dhsspsni.gov.uk/guidance_on_register.pdf
Sleep. https://www.sleep.org/articles/circadian-rhythm-body-clock/.
Diakses 9Mei
Vincent C, Taylor-Adams S, Chapman EJ, et al. How to investigate and
analyse clinical incidents: clinical risk unit and association of litigation
and risk management protocol. BMJ 2000;320:777–81
Vincent, C. (2003). Understanding and Responding To Adverse Events. New
England Journal Medicine. 2003
Webmd. https://www.webmd.com/sleep-disorders/circadian-rhythm-
disorders-cause#1. Diakses 9 Mei
WHO. (2009). Human Factors in Patient Safety Review of Topics and Tools.
WHO. (2011). Patient Safety Curriculum. Academic Medicine, 75(5).
Yohannes Yahya, Pengantar Manajemen (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2006), hlm. 133. 2
Yuwantina. 2012. Evaluasi Program Keselamatan pasien di Rumah Sakit.
Jakarta: Pustaka Medika.

Anda mungkin juga menyukai