Makalah Sistem Politik Indonesia Kel 5 - Dikonversi
Makalah Sistem Politik Indonesia Kel 5 - Dikonversi
Kelompok 5
➢ Oktabi Pratama
A. Latar Belakang
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik
suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi
dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia
tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah).
Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari
orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat,
anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek
politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi
secara langsung atau tidak langsung dengan praktik- praktik politik. Jika secara tidak langsung,
hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan
jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga
negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah
menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-
praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat
dan mengukur pengetahuan- pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya,
pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
A. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
a) Definisi sempit, sosialisasi politik adalah penanaman informasi politik yang disengaja,
nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh badan-badan instruksional secara formal
ditugaskan untuk tanggung jawab ini.
b) Definisi luas, sosialisasi politik merupakan semua usaha mempelajari politik baik formal
maupun informal, disengaja ataupun terencana pada setiap tahap siklus kehidupan dan
termasuk didalamnya tidak hanya secara eksplisit masalah belajar politik tetapi juga
secara nominal belajat bersikap non politik mengenai karakteristik-karakteristik
kepribadian yang bersangkutan.
Easton dan Denuis, sosialisasi politik yaitu suatu proses perkembangan seseorang untuk
mendapatkan orientasi-orientasi politik dan pola-pola tingkah lakunya.
Almond, sosialisasi politik adalah proses-proses pembentukan sikap- sikap politik dan pola-
pola tingkah laku. Proses sosialisasi dilakukan melalui berbagai tahap sejak dari awal masa
kanak-kanak sampai pada tingkat yang paling tinggi dalam usia dewasa.
b) Tingkat Individual
Proses sosialisasi politik dapat dipahami sebagai proses warga suatu Negara membentuk
pandangan-pandangan politik mereka. Dalam konsep Freud, individu dilihat sebagai objek
sosilaisasi yang pasif sedangkan Mead memandang individu sebagai aktor yang aktif, sehingga
proses sosialisasi politik merupakan proses yang beraspek ganda. Di satu pihak, ia merupakan
suatu proses tertutupnya pilihan- pilihan perilaku, artinya sejumlah kemungkinan terbuka yang
sangat luas ketika seorang anak lahir menjadi semakin sempit sepanjang proses sosialisasi. Di
lain pihak, proses sosialisasi bukan hanya merupakan proses penekanan.
Masalah budaya politik Indonesia masih tetap merupakan topik kajian yang sangat menarik,
sekalipun kajian tersebut akhir-akhir ini kurang lagi mendapatkan minat kalangan imuan politik
Indonesia. Hal tersebut terjadi karena beberapa hal.
1. Pertama, penjelasan yang bersifat kultural dalam memahami politik Indonesia kurang
representatif bila dibandingkan penjelasan yang bersifat lain. Penjelasan yang bersifat
cultural dipresepsikan terlampau berorientasi kepada perilku kelompok politik sebuah
etnik yang dominan di Indonesia, terutama etnik jawa,sehingga tidak dapat dijadikan
parameter dalam memahami politik Indonesia kontemporer yang sudah semakin
kompleks.
2. Kedua, ketika memasuki dekade 80-an, kalangan ilmuan politik sudah mulai dihadapkan
pada penjelasan yang bersifat cultural memperlihatkan wajah yang etnosentris dan
patrokial. Penjelasan alternatif yang muncul dikenal denan pendekatan ekonomi politik,
yang juga bersifat strukturlis, yang mencoba mengaitkan antara persoalan politik dengan
masalah ekonomi.
3. Ketiga, belum lagi terselesaikan perdebatan tentang model penjelasan mana yang lebih
baik untuk menjelaskan politik Indonesia, apakah model penjelasan yang bersifat kultural
atau structural, sekarang kita dihadapkan kepada kenyataan munculnya sebuah model
analisis yang dapat dikatakan juga sebagai alternatif, yaitu alternatif yang lebih
memperhatikan peranan state, yang kemudian dihadapkan dengan masyarakat atau civil
society. Proses pembentukan budaya politik di Indonsia dilakukan melalui apa yang
disebut sosialisasi politik. Yaitu proses penerusan atau pewarisan nilai dari satu generasi
ke generasi berikutnya melalui berbagi media, seperti: keluarga, sanak saudara, kelompok
bermain sekolah. Sejak kecil seorang individu sudah ditanami nilai-nilai atau keyakinan
politik orang tuanya. Anak juga mendengarkan pembicaraan orang tua mengenai figure
politik yang di usung, apalagi anak juga dapat langsung atribut-atribut partai politik yang
diminati orangtuanya yang tentunya akan mempengaruhi pandangan seorang individu
kelak. Di sekolahpun mulai taman kanak-kanak sampai tingkat lanjutan individu disuguhi
pemahaman dan pencitraan terhadap tokoh atau organisasi politik, yang terdapat dalam
pelajaran sejarah, ideologi, ilmu sosial sampai pajangan gambar Presiden dan Wakil
Presiden, lambang Negara.
b) Kecendrungan patronage
Hubungan antara penguasa maupun masyarakat cenrung patronage, yaitu pola hubungan
dalam konteks individual, antar dua individu, yaitu si Patron dan si Client, terjadi interaksi yang
bersifat resiprokal atau timbale balik dengan mempertukarkan sumberdaya (exchange of
resources) yang dimiliki masing- masing pihak misalnya kekuasaan, kedudukan, perlindungan,
perhatian dan tidak jarang sumberdaya yang bersifat materi pada si Patron, sementara Client
memiliki sumberdaya berupa tenaga, dukungan dan loyalitas). Bisanya patron yang paling
banyak menikmati hasil karena memiliki sumberdaya yang lebih banyak. Tidak jarang juga ada
pihak ketiga yang disebut brooker yang menyebabkan hubungan ini berkembang. Pola hubungan
seperti ini di Indonesia cendrung mengarah ke pola hubungan yang negatif yang tenar dengan
istilah kolusi. Dari gambaran itu dapat diamati bahwa perilaku para birokrat sekarang merupan
kelanjutan dari apa yang dilakukan oleh pendahulu mereka.
c) Kecendrungan Neo-Patrimonialistik
Dikatakan sebagai neo-patrimonialistik, karena Negara memiliki atribut yang bersifat
modern dan rasionalistik tetapi tetap juga tetap juga memperhatikan atribut yang bersifat
patrimonilistik. Dalam kehidupan bernegara selain dalam lingkaran birokrasi dan hierarkhi,
terdapat kebijaksanaan yang bersifat patrikularistik daripada bersifat universalistic, kalangan
penguasa politik cendrung mengaburkan apa yang menjadi kepentingan publik dan sangat sulit
menentukan kepastian rencana dan kebijakan yang akan dipilih, sehingga sangat bertentangan
dengan konsep Negara modern yang bersifat rasionalistik, sehingga segala sesuatunya dapat
diprediksi.
2. Civil Society
Civil society merupakan kondisi dimana individu, kelompok dan masyarakat dapat saling
berinteraksi dengan semangat toleransi, di dalam ruang tersebut masyarakat dapat melakukan
partisipasi dalam pembentukan kebijaksanaan public dalam suatu Negara. Sementara Victor
Perez-Diaz lebih menekankan pada suatu proses sejarah yang tidak terputuskan serta keadaan
masyarakat yang telah mengalami pemerintahan terbatas, kebebasan, ekonomi pasar dan
timbulnya asosiasi-asosiasi masyarakat yang mandiri, dimana satu sama lainnya saling
menopang, dengan kata lain civil society adalah sebuah masyarakat baik secara individual
maupun secara kelompok dalam Negara yang mampu berinteraksi dengan Negara secara
independen. Dalam masyarakat Indonesia, dapat dikatakan bahwa civil society belum dapat
ditemukan. Karena, masyarakat Indonesia masih berada dalam proses transpormasi di satu pihak,
di pihak lain kekuasaan Negara masih sangat besar. Selain itu masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat yang pluralistik baik dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, etnisitas, juga termasuk
bidang politik, yang kesemuanya merupaka faktor penghambat tumbuh dan berkembangnya civil
society.
Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada
pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses
politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan
oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi
politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari
sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk
ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.
Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative
democracy atau demokrasi musawarah. Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain
terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat
pemilih (hanya berkisar 50 – 60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu
terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang
dengan konsep deliberative democracy.
Sebagai komunitas warga negara yang terdidik dan terpelajar,hendaknya kita memiliki peran
besar (partisipasi aktif)untuk melakukan perubahan politik yang lebih baik dan berbudaya.
Melalui sarana pemilihan umum, kita dapat menjadikannya sebagai momentum untuk mendorong
perubahan sosial politik, politik ekonomi, budaya, dan lain-lain ke arah yang lebih baik dan
demokratif melalui pemerintahanyang dipilah melalui pemilu, secara damai dan beradab
(berbudaya). Semua itu dimaksudkan sebagai upaya melakukan pendidikan budaya politik
partisipan (rakyat) yang lebih luas karena dengan demikian akan dapat digunakan sebagai salah
satu rujukan untuk menentukan pilihan dalam pemilu secara arif, bijaksana, kritis, dan rasional.
Dalam setiap tahapan pemilu, kita sebagai simpatisan (kader) partai politik, ataupu kaum
terpelajar tidak ada larangan untuk mengikutinya. Namun demikian, hal yang perlu dikedepankan
dalam kampanye adalah situasi damai karena dalam kampanyenya sering kali terjadi
persinggungan antar massa pendukung dari partai politik (simpatisan dan kader) partai politik.
Bermula dari saling mengejek dan saling hina di antara mereka ketika berpapasan di jalan raya
dalam situasi kampanye, perkelahian antar massa pendukung partai politik seringkali terjadi.
Untuk mewujudkan situasi seperti itu dibutuhhkan toleransi yang besar terhadap kelompok
yang berbeda pandangan politik dan juga sikap anti kekerasan. Pelajar yang ingin aktif dalam
kampanye harus sadar bahwa tindakan brutal, kekerasan, dan keseluruhan hanya akan merusak
situasi pemilu yang demokratis dan beradab. Untuk itu, kita harus sadar bahwa brutalisme,
kekerasan, dan kerusuhan yang mengiringi proses pemilu sebenarnya adalah tindakan yang
sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokratis dan budaya politik bangsa Indonesia. Albert
Camuspernah mengatakan bahwa I’ anarchie est I’abus de la democratie, anarkisme adalah
penyelewengan dari demokrasi.
2. Peran budaya politik partisipan di Indonesia
Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada
dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para
pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin “Saya mengharapkan
partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah
masihng- masing”. Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga
sebagai aktor utama pembuatan keputusan.
Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau pemerintahan
bisa dilihat dalam spektrum:
• Rezim otoriter – warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan
keputusan politik
• Rezim patrimonial – warga diberitahu tentang keputusan politik yang
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulansebagai berikut:
1. Sebagai bangsa yang berdaulat, kemampuan menjaga dan melindungi seluruh wilayah
Negara dari berbagai ancaman dan gangguan baik berasal dari dalam negeri maupun dari
luar negeri, tidak dapat dihindari lagi. Pertahanan dan keamanan Negara republik
Indonesia dilaksanakan dengan menyusun, mengerahkan, menggerakkan serta seluruh
potensi nasional, termasuk kekuatan masyarakat diseluruh bidang kehidupan nasional
termasuk pentingnya sosialisasi budaya politik yang baik dan sehat yang bisa
menyatukan semua komponen bangsa. Maka dapat disimpulkan bahwa Budaya politik
merupakan perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara, peneyelenggaraan
administrasi negara.
2. Budaya politik partisipan perlu di sosialisasikan kepada segenap rakyat agar dapat
berperan serta secara aktif.
B. Saran
Dalam berpolitik sebaikya dilakukan menurut kaidah-kaidah dan aturan- aturan yang sesuai agar
tercipta integrasi nasional. Karena bangsa Indonesia terrdiri dari berbagai macam suku, ras,
agama, dan budaya.
Daftar Pustaka
https://zanas.wordpress.com/pentingnya-sosialisasi-politik-dalam-pengembangan- budaya-
politik/
http://www.geschool.net/nuurynurmelia/blog/perubahan-sosial-budaya-di-bidang- politik
http://govmedikz-medikz.blogspot.com/2011/01/kematangan-budaya-politik.html
http://jeffryarcher.blogspot.com/2012/12/makalah-budaya-politik-partisipan.html