Anda di halaman 1dari 13

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada BAB ini kelompok akan membahas tentang kesenjangan antara teori dengan studi

kasus asuhan keperawatan yang dilakukan pada Tn. I dengan prilaku kekerasan di Ruang

Merpati RSJ Prof. HB.Sa’anin Padang, pada tanggal 24 Februari – 1 Maret 2020. Pembahasan

yang penulis lakukan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan

evaluasi.

A. Pengkajian

Menurut Stuart dan Sundeen (2012), pengkajian merupakan tahap awal dan dasar

utama dalam proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data dan

perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis,

psikologis, sosial, dan spiritual.Pengelompokkan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat

pula berupa faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping,

dan kemampuan koping yang telah dimiliki klien. Dalam pengumpulan data penulis

menggunakan metode wawancara dengan klien, observasi secara langsung terhadap

kemampuan dan perilaku klien, dan juga dari status rekam medik.

Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan didukung

dengan hasil observasi, tanda dan gejala perilaku kekerasan diantaranya: ada ungkapan

berupa ancaman, ungkapan kata-kata kasar, ungkapan ingin memukul/melukai, wajah merah

dan tegang, pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan,
bicara kasar, suara tinggi, mencerit/ berteriak, mondar mandir, melempar atau memukul

benda/orang lain (Kemenkes, 2012)

Data – data yang didapatkan dari hasil pengkajian pada Tn. I yaitu klien mengatakan

kesal dan ingin memukul, banyak bicara, kadang bicara ngaur, emosi labil, klien

mendominasi pembicaraan, klien ingin selalu didengarkan, suara keras, tatapan tajam,

mudah tersinggung, gelisah, agresif, mondar-mandir serta afek labil. Menurut Stuart dan

Sudeen (2012) perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seserang melakukan

tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain,

maupun lingkungan. Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk

melukai seseorang secara fisik maupun psikologis yang diarahkan pada diri sendiri, orang

lain dan lingkungan. Menurut analisa kelompok berdasarkan data yang diperoleh pada Tn. I

adanya kesesuaian antara teori dengan tanda dan gejala yang ditemukan pada Tn. I dimana

klien cenderung mengungkapkan perasaan marah atau kesalnya dengan cara yang

maladaptif.

Tanda dan gejala harga diri rendah dapat dinilai dari ungkapan pasien yang

menunjukkan penilaian negatif tentang dirinya dan didukung dengan hasil wawancara dan

observasi, pasien mengungkapkan hal negatif diri sendiri dan orang lain, perasaan tidak

mampu, pandangan hidup yang pesimis, penolakan terhadap kemampuan diri, penurunan

produktivitas, tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menundukkan kepala saat

berinteraksi bicara lambat dengan suara lemah (Kemenkes, 2012).

Data – data yang didapatkan dari hasil pengkajian pada Tn. I yaitu klien mengatakan

merasa tidak dihargai oleh istrinya yang tidak mau mendengarkannya, klien merasa tidak

berharga dan tidak bermanfaat saat ini, mengatakan dirinya hanya seorang tidak berguna dan
miskin. Klien terlihat murung dan sedih serta menunduk saat membicarakan keluarganya.

Menurut analisa kelompok berdasarkan data yang diperoleh adanya kesesuaian antara

konsep teoritis tentang tanda dan gejala harga diri rendah dengan tanda dan gejala yang

ditemukan pada Tn.I. Menurut (Kemenkes, 2012) harga diri rendah adalah perasaan tidak

berharga, tidak berarti, dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap

diri sendiri dan kemampuan diri. Klien mengalami harga diri rendah dapat diakibatkan

karena mekaniskme koping yang dimiliki klien tidak efektif, sehingga klien kurang puas

terhadap dirinya sendiri.

Tanda dan gejala defisit perawatan diri dapat dinilai dari pernyataan pasien tentang

kebersihan diri, berdandan dan berpakaian, makan dan minum, BAB dan BAK dan

didukung dengan data hasil observasi, tanda dan gejala pasien dengan defisit perawatan diri

itu sendiri diantaranya pasien mengatakan malas mandi, tidak mau menyisir rambut, rambut

kotor, rambut acak-acakan, tidak mau menggosok gigi, kulit berdaki dan bau, tidak mau

memotong kuku, kuku panjang dan kotor, tidak mau berdandan/ berhias, pakaian kotor dan

tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada paien lak-laki tidak bercukur, tidak bisa/ tidak mau

menggunakan alat mandi/kebersihan diri, tidak menggunakan alat makan dan minum saat

makan dan minum, ketidakmampuan mengambil makan dan minum sendiri, makan

bercereran, makan tidak pada tempatnya, BAB dan BAK sembarangan, tidak membersihkan

diri dan tempat BAB dan BAK setelah BAB dan BAK, tidak mengetahui cara perawatan diri

yang benar (Kemenkes, 2012).

Data – data yang didapatkan dari hasil pengkajian pada Tn. I yaitu penampilan klien

cukup rapi,klien memakai celana terbalik, kuku panjang, rambut, kumis dan jenggot tidak

rapi, gigi kuning berkaries, mulut klien bau. Menurut analisa kelompok berdasarkan data
yang diperoleh adanya kesesuaian antara konsep teoritis dari tanda dan gejala defisit

keperawatan diri dengan tanda dan gejala yang terdapat pada Tn.I. Menurut (Herdman,

2012) defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas

perawatan diri (kebersihan diri, berhias, makan, toileting). Hal ini dapat terjadi dikarenakan

adanya penurunan motivasi yang dialami klien sehingga klien merasa malas untuk

melakukan perawatan diri.

Menurut keluarga klien sudah mengalami gangguan jiwa sejak 22 tahun yang lalu.

Pengobatan sebelumnya tidak berhasil karena klien tidak teratur minum obat dan gejala

akhirnya kambuh lagi karena klien marah-marah tanpa sebab. Hal ini sesuai dengan konsep

teoritis Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik / ketidak patuhan dalam

minum obat. Menurut Kaplan & Suddock menguraikan perilaku kepatuhan minum obat pada

pasien dengan gangguan jiwa terdiri dari kepatuhan kontrol setelah perawatan, kepatuhan

mengkonsumsi obat secara tepat, dan kepatuhan untuk mengikuti anjuran tenaga kesehatan

berupa perubahan pola hidup ( contohnya cara mengatasi masalah).

B. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan kelompok kepada pasien kelolaan,

kelompok memproritaskan 3 daftar masalah keperawatan jiwa yaitu Perilaku Kekerasan,

Harga Diri Rendah, dan Defisit Perawatan Diri.

Selain itu, kelompok menegakkan masalah keperawatan diantaranya

ketidakberdayaan, koping keluarga tidak efektif, koping individu tidak efektif, ketidak

Patuha dan Kurang Pengetahuan


Setiap tindakan yang diberikan berdasarkan strategi pelaksanaan tindakan keperawatan

resiko perilaku kekerasan, harga diri rendah dan defisit perawatan diri. Semua perencanaan

keperawatan mengacu pada aspek teoritis, sesuai dengan strategi pelaksanaan tindakan

keperawatan.

C. Intervensi

Rencana keperawatan merupakan metode komunikasi tentang asuhan keperawatan

pada klien yang dalam hal ini dapat disesuaikan dengan SOP (Standar Operasional

Prosedur).Dalam rencana keperawatan dituliskan perawat melakukan bina hubungan saling

percaya dengan klien dengan alasan dapat membantu menghilangkan perasaan takut

klien.Perawat juga perlu melakukan kontak sering dan singkat secara bertahap dengan klien

dengan alasan bahwa keberadaan perawat menunjukkan perhatian dan kepedulian perawat

terhadap klien.Perawat juga harus mengobservasi klien dari tanda-tanda perilaku kekerasan

sehingga dapat mencegah respon agresif yang dapat mencederai dirinya sendiri, orang lain

maupun lingkungan disekitarnya. Perawat juga menunjukkan sikap menerima akan

mendorong klien untuk menceritakan perasaan yang klien rasakan.

Dari diagnosa yang diangkat, kelompok akan merencanakan tindakan keperawatan

dengan 3 diagnosa kepada pasien yaitu resiko perilaku kekerasan, harga diri rendah dan

defisit perawatan diri. Adapun rencana keperawatan untuk resiko perilaku kekerasan terdiri

dari 4 SP yaitu SP1 PK mengidentifikasi penyebab PK dan melatih klien mengontrol PK

dengan cara latihan fisik 1 (tarik nafas dalam) dan SP 2 (pukul bantal/kasur), SP 2 PK

melatih klien mengontrol PK dengan cara patuh minum obat secara teratur, SP 3 PK melatih

klien mengontrol PK dengan cara verbal asertif, meminta dengan baik, menolak dengan
baik, dan mengungkapkan perasaan kesal dengan baik, SP 4 PK melatih klien mengontrol

PK dengan cara spiritual (ibadah).

Tindakan keperawatan pada klien risiko perilaku kekerasan adalah mengajarkan klien

mengenal dan memahami perilaku kekerasan yang dilakukannya serta mengajarkan cara

mengendalikan marah/ perilaku kekerasan secara fisik, sosial/ verbal, spiritual dan

pemanfaatan obat (Keliat & Akemat, 2010). Tindakan ini merupakan tindakan pencegahan

perilaku kekerasan klien berulang, dimana menurut Stuart (2009) Intervensi yang dilakukan

dalam upaya mencegah dan mengelola perilaku agresif pada klien dengan perilaku

kekerasan salah satunya adalah preventive strategies, dengan cara Meningkatkan kesadaran

diri (self awareness) perawat, Pendidikan kepada klien (patient education). Pendidikan klien

dilakukan sebagai cara untuk subsidi area kognitif klien. Pemberian pengetahuan yang tepat

untuk mengendalikan perilaku kekerasan, cara berkomunikasi yang tepat, dan cara

mengekspresikan marah dapat dijelaskan kepada klien. Klien diajak menyadari perilaku

marah yang telah dilakukan melalui mengidentifikasi marah, menyampaikan perasaan

marah, melatih ekspresi marah, mengidentifikasi cara alternatif mengekspresikan marah dan

konfrontrasi dari sumber marah. Alternatif mengekspresikan marah yaitu dengan latihan

fisik, verbal, spiritual dan patuh minum obat.Cara berikutnya yaitu Latihan Asertif,

Townsend (2009) dan Stuart (2009) menyatakan salah satu intervensi keperawatan untuk

mencegah terjadinya perilaku kekerasan adalah membangun komunikasi asertif dengan

mengajarkan keterampilan komunikasi efektif. Kemampuan asertif ini adalah dasar

keterampilaninterpersonal yangmeliputi: berkomunikasi secara langsung kepada

orang lain, mengatakan “tidak” terhadap permintaan yang tidak rasional, mampu untuk

menyatakan ketidaksetujuan dan mengungkapkan penghargaan secara tepat dan menerima


pujian. Assertiveness Training bertujuan untuk mengurangi ketergantungan, perilaku pasif

dan agresif, serta meningkatkan perilaku asertif (Rawlins, Williams, & Beck, 1993).

Perilaku asertif akan membuat seseorang merasa nyaman terhadap diri sendiri dan orang

lain, mengembangkan rasa saling menghormati dengan orang lain, meningkatkan harga diri,

membantu mencapai tujuan, mengurangi kecemasan, melindungi diri agar tidak

dimanfaatkan oleh orang lain. Pelaksanaan dititikberatkan pada melatih individu mengelola

perilaku agresif dan menyampaikan kebutuhan dengan cara yang berbeda (Rawlins,

Williams, & Beck 1993).

Rencana tindakan keperawatan selanjutnya adalah dengan mencegah perilaku

kekerasan secara spiritual, tindakan keperawatan yang melibatkan kegiatan spiritual ini

telah dibuktikan pada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa mengontrol marah dapat

dilakukan dengan menggunakan pendekatan spiritual melalui calming technique dan saling

memaafkan pada pasien skizofrenia dengan resiko perilaku kekerasan (Padma,S &

Dwidiyanti, M, 2014).Selain itu penelitian psikiatrik membuktikan bahwa ada hubungan

yang signifikan antara komitmen agama dan kesehatan, yaitu seseorang yang taat

menjalankan ajaran agama relatif lebih sehat dan mampu mengatasi penyakitnya sehingga

proses penyembuhan penyakit lebih cepat (Zainul, 2007). Menurut (Sulistyowati &

Prihantini, 2015) menunjukkan bahwa adanya pengaruh terapi psikoreligius terhadap

penurunan perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia di RSJD Surakarta.

Rencana keperawatan untuk diagnosa Harga Diri Rendah terdiri dari 4 SP yaitu SP 1

HDR mengidentifikasi kemampuan positif yang dimiliki klien baik dirumah dan di RSJ,

dan melatih kemampuan positif pertama yang bisa klien lakukan di RSJ. SP 2 HDR

melatih kemampuan positif klien yang kedua yang bisa klien lakukan di RSJ. SP 3 HDR
melatih kemampuan positif klien yang ketiga yang bisa klien lakukan di RSJ. Dan SP 4

HDR melatih kemampuan positif klien yang keempat yang bisa klien lakukan di RSJ.

Kemudian Rencana Keperawatan untuk diagnosa Defisit Perawatan Diri terdiri dari 4

SP yaitu SP 1 DPD menjelaskan kepada pasien pentingnya menjaga kebersihan diri pada

klien, dan melatih klien cara mandi yang benar. SP 2 DPD melatih klien berdandan/

berhias yang benar. SP 3 DPD melatih klien cara makan yang benar, dan untuk SP 4 DPD

melatih klien cara eliminasi BAK dan BAB yang benar.

D.Implementasi

Implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan

keperawatan.Dalam implementasi pada kasus ini kelompok sudah membuat perencanaan

yang sudah tertulis sebelum melakukan tindakan.Sebelum melaksanakan tindakan yang

sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat, apakah rencana tindakan

masih sesuai dan dibutuhkan pasien saat ini. Perawat juga menilai sendiri, apakah

mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, dan tehnikal yang diperlukan untuk

melaksanakan tindakan. Perawat juga menilai kembali apakah tindakan aman bagi pasien.

Setelah tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat akan

melaksanakan tindakan keperawatan, perawat membuat kontrak (inform consent) dengan

pasien yang isinya menjelaskan apa yang akan dilaksanakan peran serta yang diharapkan

dari pasien, dokumentasikan semua tindakan yang telah dilaksanakan beserta respon pasien.

Tindakan keperawatan untuk diagnosa Perilaku Kekerasan dilakukan mulai tanggal 5 – 11

Februari 2020 yang diawali dengan hubungan saling percaya dengan Tn. I serta

mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dimiliki oleh klien. Implementasi dilakukan


selama 7 hari tanggal 5 – 11 Februari 2020. Pada tanggal 5-7 januari melakukan SP 1 PK

pada Tn. I yakni membina hubungan saling percaya dengan Tn.I, melakukan pengkajian,

mengidentifikasi penyebab PK serta melatih klien mengontrol PK dengan cara latihan fisik 1

(tarik nafas dalam) dan latihan fisik 2 (memukul bantal / kasur). SP 1 dilanjutkan pada hari

berikutnya sampai pada tanggal 7 Februari 2020 untuk mengoptimalkan SP yang telah

diberikan kepada klien.

Dalam pelaksanaan implementasi keperawatan diagnosa keperwatan RPK ini

kelompok membutuhkan waktu 3 kali pertemuan selama 3 hari untuk melaksanakan SP 1

sampai pasien mandiri. Hari pertama yaitu tanggal 5 Februari 2020 kelompok melakukan SP

1 PK yang pertama, dilanjutkan pada hari kedua tanggal 6 Februari 2020 juga dilakukan SP

1 dikarenakan pasien belum mampu melakukan teknik nafas dalam dan pukul bantal secara

mandiri. Hari ketiga tanggal 7 Februari 2020 masih dilakukan SP 1 kepada pasien hingga

tercapai kamampuan dan kemamuan mandiri pasien dalam melakukan teknik nafas dalam

dan pukul bantal dalam mengontrol emosi marah. SP 2 Risiko Perilaku kekerasan kelompok

lakukan pada tanggal 8 Februari 2020 yaitu mengajarkan pasien untuk patuh minum obat,

SP 2 dilakukan selama dua hari untuk mengoptimalkan SP yang telah diberikan pada klien.

Selanjutnya pada tanggal 10 Februari 2020 kelompok melakukan implementasi SP3 PK

yaitu melatih klien mengontrol marah dengan cara verbal: meminta, menolak, dan

mengungkapkan dengan baik, dan SP4 PK dilaksanakan pada tanggal 11 Februari 2020

yaitu mengontrol marah dengan cara spiritual: berzikir.

Tindakan keperawatan untuk diagnosa Harga Diri Rendah dilaksanakan selama 7 hari

pada tanggal 5-11 Februari 2020. Pada tanggal 5-6Februari 2020 kelompok melaksanakan

SP 1 HDR yaitu mengindentifikasi kemampuan positif yang dimilki oleh klien, dan melatih
kemampuan positif klien yang pertama : merapikan tempat tidur. SP 2 HDR dilaksanakan

pada tanggal 8 Februari 2020 yaitu melatih kemampuan positif klien yang kedua :

membersihkan meja/ ruang makan makan. Selanjutnya pada tanggal 9Februari 2020

kelompok melanjutkan implementasi SP 3 HDR yaitu melatih kemampuan positif klien yang

ketiga : menyapu lantai dan pada tanggal 10Februari 2020 dilaksanakan implementasi SP 4

yaitu melatih kemampuan positif klien yang keempat : mengepel lantai.

Implementasi keperawatan untuk diagnosa Defisit Perawatan Diri dilakukan selama 5

hari pada tanggal 5-9Februari 2020, Pada tanggal 5-6Februari 2020 kelompok melaksanakan

SP 1 DPD klien yaitu mengidentifikasi masalah perawatan diri : kebersihan diri,berdandan,

makan/minum, BAB/BAK, menjelaskan pentingnya kebersihan diri , menjelaskan cara dan

alat kebersihan diri, serta melatih klien cara menjaga kebersihan diri : mandi dan ganti

pakaian, sikat gigi, cuci rambut, potong kuku. Pada tanggal 7 Februari 2020 dilanjutkan ke

SP 2 DPD yaitu mengevaluasi kegiatan kebersihan diri, dan melatih klien cara berdandan

setelah kebersihan diri : sisiran dan cukuran. Selanjutnya pada tanggal 8Februari 2020 untuk

diagnosa DPD kelompok melaksanakan SP 3 DPD yaitu menjelaskan cara dan alat makan

dan minum dan melatih klien cara makan dan minum yang baik. Pada tanggal 12 januari

kelompok melanjutkan implementasi untuk diagnosa DPD ke SP 4 yaitu Menjelaskan cara

BAB dan BAK yang baik.

Selama melakukan implementasi pada Tn.I terdapat beberapahambatan karena selama

interaksi emosi klien labil, klien suka berkilah, klien kadang tidak kooperatif, mendominasi

pembicaraan, dan jawaban klien berbelit-belit.Pada kasus Tn. I implementasi yang diberikan

pada SP 1 menghabiskan waktu lebih lama yaitu 3 kali pertemuan, hal ini di karenakan

pasien masih belum mampu dan enggan untuk melakukan latihan yang diajarkan oleh
kelompok pada hari pertama. Kelompok melakukan optimalisasi SP 1 kepada pasien pada

hari ke 2 sampai pasien mampu melakukan latihan mengontrol emosi dangan bantuan

perawat, dan dilanjutkan pada hari ketiga untuk hasil yang optimal. Kelompok berasumsi

dengan kemampuan dan kesadaran pasien pentingnya latihan nafas dalam akan menjadi

modal pasien unutk mengontrol emosi dan relaksasi sehingga pasien lebih mudah untuk

tenang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sujawo dan Livana

(2018)tentang Penerapan stategi pelaksanaan (SP) perilaku kekerasan yang paling efektif

menurut pasien perilaku kekerasan di ruang rawat inap laki-laki RSJD Dr. Amino

GondohuttomoSemarang. Dengan hasil pasien mengatakan strategi yang efektif dalam

mengontrol perilaku kekerasan adalah dengan teknik Napas Dalam yang menyebabkan

perasaan tenang dan lega pada pasien.

Selanjutnya Implementasi yang dilakukan sesuai dengan perencanaan yang di buat

telah dilakukan pada Tn. I berupa cara mengontrol marah dengan latihan fisik (tarik nafas

dalam dan pukul bantal/ kasur), minum obat dengan teratur, mengontrol marah dengan cara

verbal: meminta, menolak, dan mengungkapkan dengan baik, dan dengan cara spriritual:

berzikir. Implementasi juga telah dilakukan dengan melatih kemampuan positif yang dimilki

klien yang bias dilakukan di rumah sakit jiwa untuk meningkatkan kepercayaan diri klien,

serta melatih klien bagaimana cara menjaga kebersihan dirinya.

Implementasi yang dilaksanakan selama tujuh hari di permudah dengan pasien yang

mampu mengingat dengan baik instruksi yang telah diajarkan oleh perawat dan kemampuan

pasien untuk berinteraksi dengan orang lain melalui Terapi aktivitas kelompok yang

dilakukan diruangan.
E. Evaluasi

Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan

keperawatan yang dilakukan kepada klien (Keliat, 2006). Dari hasil diskusi dan wawancara

didapatkan bahwa klien telah melakukan tindakan perilaku kekerasan yang merugikan orang

lain dan lingkungan.Pada evaluasi tujuan umum untuk diagnosa perilaku kekerasan, klien

sudah dilatih cara minum obat yang benar, mengontrol PK dengan latihan fisik teknik nafas

dalam dan memukul bantal/kasur, patuh minum obat secara teratur, serta dilatih dengan cara

verbal/ sosial : meminta, menolak dan mengungkapkan kekesalan dengan baik. Klien juga

sudah dilatih kemampuan positif yang dimilki klien : merapikan tempat tidur, melipat

kain/baju, menyapu dan mengepel lantai untuk meningkatkan kepercayaan dirinya. Serta

klien sudah dilatih untuk menjaga kebersihan diri.

Pada tanggal 5 Februari 2020 didapatkan data bahwa Tn. J belum mengetahui cara dan

manfaat mengontrol prilaku kekerasan dengan cara latihan fisik I dan II yaitu tarik nafas

dalam dan pukul bantal/kasur.Sehingga perlu dioptimalkan SP 1 PK yaitu mengidentifikasi

penyebab PK dan melatih klien untuk mengontrol marah dengan cara latihan fisik I dan fisik

II.Pada tanggal 8Februari 2020 klien masih belum mengenal obat yang dikonsumsinya

secara mandiri. Kelompok mengoptimalkan SP 2 selama 2 hari sampai klien mengenal dan

mengetahui obat yang diminumnya secara mandiri. Pada tanggal 10Februari 2020 klien

sudah mampu mengontrol marah dengan cara verbal : meminta, menolak, dan

mengungkapkan dengan baik dan pada tanggal 11 Februari 2020 klien juga sudah mampu

mengontrol marah dengan cara spiritual : berdzikir dan berwudhu. Dari implementasi

keperawatan untuk diagnosa perilaku kekerasan yang dilakukan selama7 hari, klien sudah

mampu mengontrol PK secara mandiri. Secara keseluruhan rencana tindakan dapat


dilaksanakan, namun klien masih memerlukan arahan lebih lanjut.Evaluasi juga diperlukan

secara berkelanjutan karena kadang-kadang emosi klien tidak stabil dan klien masih terlihat

mondar-mandir.

Setelah dilakukan implementasi keperawatan selama 6 hari untuk diagnosa Harga Diri

Rendah, klien sudah mampu melatih kemampuan positif yang dimilikinya dan klien terlihat

lebih percaya diri. Pada tanggal 5Februari 2020 klien masih belum mampu merapikan

tempat tidur dengan baik sehingga kelompok mengoptimalkan SP 1 yaitu melatih

kemampuan positif yang pertama : merapikan tempat tidur pada hari selanjutnya. Pada

tanggal 6 Februari klien sudah mampu melakukan kemampuan positif kedua :

membersihkan meja/ruang makan. Pada tanggal 7 Februari klien sudah mampu melakukan

kemampuan positif yang ketiga : menyapu lantai dan tanggal 11 januari klien sudah mampu

melakukan kemampuan positif keempat : mengepel lantai.

Setelah dilakukan implementasi keperawatan selama 5 hari untuk diagnosa Defisit

Perawatan Diri, klien sudah mampu menjaga kebersihan diri dengan mandi setiap hari,

mengganti/ memakai pakaian dengan benar, memotong kuku, serta mencukur rambut dan

merapikan kumis, janggutnya, dan menyisir rambutnya setelah mandi. Secara keseluruhan

rencana tindakan dapat dilaksanakan, namun klien masih memerlukan arahan lebih lanjut.

Evaluasi juga diperlukan secara berkelanjutan karena kadang-kadang klien malas untuk

memperhatikan pakaian yang dikenakan.

Anda mungkin juga menyukai