PEMBAHASAN
Pada BAB ini kelompok akan membahas tentang kesenjangan antara teori dengan studi
kasus asuhan keperawatan yang dilakukan pada Tn. I dengan prilaku kekerasan di Ruang
Merpati RSJ Prof. HB.Sa’anin Padang, pada tanggal 24 Februari – 1 Maret 2020. Pembahasan
yang penulis lakukan meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan
evaluasi.
A. Pengkajian
Menurut Stuart dan Sundeen (2012), pengkajian merupakan tahap awal dan dasar
utama dalam proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data dan
perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis,
psikologis, sosial, dan spiritual.Pengelompokkan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat
pula berupa faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping,
dan kemampuan koping yang telah dimiliki klien. Dalam pengumpulan data penulis
kemampuan dan perilaku klien, dan juga dari status rekam medik.
Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan didukung
dengan hasil observasi, tanda dan gejala perilaku kekerasan diantaranya: ada ungkapan
berupa ancaman, ungkapan kata-kata kasar, ungkapan ingin memukul/melukai, wajah merah
dan tegang, pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan,
bicara kasar, suara tinggi, mencerit/ berteriak, mondar mandir, melempar atau memukul
Data – data yang didapatkan dari hasil pengkajian pada Tn. I yaitu klien mengatakan
kesal dan ingin memukul, banyak bicara, kadang bicara ngaur, emosi labil, klien
mendominasi pembicaraan, klien ingin selalu didengarkan, suara keras, tatapan tajam,
mudah tersinggung, gelisah, agresif, mondar-mandir serta afek labil. Menurut Stuart dan
Sudeen (2012) perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seserang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain,
maupun lingkungan. Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis yang diarahkan pada diri sendiri, orang
lain dan lingkungan. Menurut analisa kelompok berdasarkan data yang diperoleh pada Tn. I
adanya kesesuaian antara teori dengan tanda dan gejala yang ditemukan pada Tn. I dimana
klien cenderung mengungkapkan perasaan marah atau kesalnya dengan cara yang
maladaptif.
Tanda dan gejala harga diri rendah dapat dinilai dari ungkapan pasien yang
menunjukkan penilaian negatif tentang dirinya dan didukung dengan hasil wawancara dan
observasi, pasien mengungkapkan hal negatif diri sendiri dan orang lain, perasaan tidak
mampu, pandangan hidup yang pesimis, penolakan terhadap kemampuan diri, penurunan
produktivitas, tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menundukkan kepala saat
Data – data yang didapatkan dari hasil pengkajian pada Tn. I yaitu klien mengatakan
merasa tidak dihargai oleh istrinya yang tidak mau mendengarkannya, klien merasa tidak
berharga dan tidak bermanfaat saat ini, mengatakan dirinya hanya seorang tidak berguna dan
miskin. Klien terlihat murung dan sedih serta menunduk saat membicarakan keluarganya.
Menurut analisa kelompok berdasarkan data yang diperoleh adanya kesesuaian antara
konsep teoritis tentang tanda dan gejala harga diri rendah dengan tanda dan gejala yang
ditemukan pada Tn.I. Menurut (Kemenkes, 2012) harga diri rendah adalah perasaan tidak
berharga, tidak berarti, dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap
diri sendiri dan kemampuan diri. Klien mengalami harga diri rendah dapat diakibatkan
karena mekaniskme koping yang dimiliki klien tidak efektif, sehingga klien kurang puas
Tanda dan gejala defisit perawatan diri dapat dinilai dari pernyataan pasien tentang
kebersihan diri, berdandan dan berpakaian, makan dan minum, BAB dan BAK dan
didukung dengan data hasil observasi, tanda dan gejala pasien dengan defisit perawatan diri
itu sendiri diantaranya pasien mengatakan malas mandi, tidak mau menyisir rambut, rambut
kotor, rambut acak-acakan, tidak mau menggosok gigi, kulit berdaki dan bau, tidak mau
memotong kuku, kuku panjang dan kotor, tidak mau berdandan/ berhias, pakaian kotor dan
tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada paien lak-laki tidak bercukur, tidak bisa/ tidak mau
menggunakan alat mandi/kebersihan diri, tidak menggunakan alat makan dan minum saat
makan dan minum, ketidakmampuan mengambil makan dan minum sendiri, makan
bercereran, makan tidak pada tempatnya, BAB dan BAK sembarangan, tidak membersihkan
diri dan tempat BAB dan BAK setelah BAB dan BAK, tidak mengetahui cara perawatan diri
Data – data yang didapatkan dari hasil pengkajian pada Tn. I yaitu penampilan klien
cukup rapi,klien memakai celana terbalik, kuku panjang, rambut, kumis dan jenggot tidak
rapi, gigi kuning berkaries, mulut klien bau. Menurut analisa kelompok berdasarkan data
yang diperoleh adanya kesesuaian antara konsep teoritis dari tanda dan gejala defisit
keperawatan diri dengan tanda dan gejala yang terdapat pada Tn.I. Menurut (Herdman,
2012) defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas
perawatan diri (kebersihan diri, berhias, makan, toileting). Hal ini dapat terjadi dikarenakan
adanya penurunan motivasi yang dialami klien sehingga klien merasa malas untuk
Menurut keluarga klien sudah mengalami gangguan jiwa sejak 22 tahun yang lalu.
Pengobatan sebelumnya tidak berhasil karena klien tidak teratur minum obat dan gejala
akhirnya kambuh lagi karena klien marah-marah tanpa sebab. Hal ini sesuai dengan konsep
minum obat. Menurut Kaplan & Suddock menguraikan perilaku kepatuhan minum obat pada
pasien dengan gangguan jiwa terdiri dari kepatuhan kontrol setelah perawatan, kepatuhan
mengkonsumsi obat secara tepat, dan kepatuhan untuk mengikuti anjuran tenaga kesehatan
B. Diagnosa Keperawatan
ketidakberdayaan, koping keluarga tidak efektif, koping individu tidak efektif, ketidak
resiko perilaku kekerasan, harga diri rendah dan defisit perawatan diri. Semua perencanaan
keperawatan mengacu pada aspek teoritis, sesuai dengan strategi pelaksanaan tindakan
keperawatan.
C. Intervensi
pada klien yang dalam hal ini dapat disesuaikan dengan SOP (Standar Operasional
percaya dengan klien dengan alasan dapat membantu menghilangkan perasaan takut
klien.Perawat juga perlu melakukan kontak sering dan singkat secara bertahap dengan klien
dengan alasan bahwa keberadaan perawat menunjukkan perhatian dan kepedulian perawat
terhadap klien.Perawat juga harus mengobservasi klien dari tanda-tanda perilaku kekerasan
sehingga dapat mencegah respon agresif yang dapat mencederai dirinya sendiri, orang lain
dengan 3 diagnosa kepada pasien yaitu resiko perilaku kekerasan, harga diri rendah dan
defisit perawatan diri. Adapun rencana keperawatan untuk resiko perilaku kekerasan terdiri
dengan cara latihan fisik 1 (tarik nafas dalam) dan SP 2 (pukul bantal/kasur), SP 2 PK
melatih klien mengontrol PK dengan cara patuh minum obat secara teratur, SP 3 PK melatih
klien mengontrol PK dengan cara verbal asertif, meminta dengan baik, menolak dengan
baik, dan mengungkapkan perasaan kesal dengan baik, SP 4 PK melatih klien mengontrol
Tindakan keperawatan pada klien risiko perilaku kekerasan adalah mengajarkan klien
mengenal dan memahami perilaku kekerasan yang dilakukannya serta mengajarkan cara
mengendalikan marah/ perilaku kekerasan secara fisik, sosial/ verbal, spiritual dan
pemanfaatan obat (Keliat & Akemat, 2010). Tindakan ini merupakan tindakan pencegahan
perilaku kekerasan klien berulang, dimana menurut Stuart (2009) Intervensi yang dilakukan
dalam upaya mencegah dan mengelola perilaku agresif pada klien dengan perilaku
kekerasan salah satunya adalah preventive strategies, dengan cara Meningkatkan kesadaran
diri (self awareness) perawat, Pendidikan kepada klien (patient education). Pendidikan klien
dilakukan sebagai cara untuk subsidi area kognitif klien. Pemberian pengetahuan yang tepat
untuk mengendalikan perilaku kekerasan, cara berkomunikasi yang tepat, dan cara
mengekspresikan marah dapat dijelaskan kepada klien. Klien diajak menyadari perilaku
marah, melatih ekspresi marah, mengidentifikasi cara alternatif mengekspresikan marah dan
konfrontrasi dari sumber marah. Alternatif mengekspresikan marah yaitu dengan latihan
fisik, verbal, spiritual dan patuh minum obat.Cara berikutnya yaitu Latihan Asertif,
Townsend (2009) dan Stuart (2009) menyatakan salah satu intervensi keperawatan untuk
orang lain, mengatakan “tidak” terhadap permintaan yang tidak rasional, mampu untuk
dan agresif, serta meningkatkan perilaku asertif (Rawlins, Williams, & Beck, 1993).
Perilaku asertif akan membuat seseorang merasa nyaman terhadap diri sendiri dan orang
lain, mengembangkan rasa saling menghormati dengan orang lain, meningkatkan harga diri,
dimanfaatkan oleh orang lain. Pelaksanaan dititikberatkan pada melatih individu mengelola
perilaku agresif dan menyampaikan kebutuhan dengan cara yang berbeda (Rawlins,
kekerasan secara spiritual, tindakan keperawatan yang melibatkan kegiatan spiritual ini
telah dibuktikan pada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa mengontrol marah dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan spiritual melalui calming technique dan saling
memaafkan pada pasien skizofrenia dengan resiko perilaku kekerasan (Padma,S &
yang signifikan antara komitmen agama dan kesehatan, yaitu seseorang yang taat
menjalankan ajaran agama relatif lebih sehat dan mampu mengatasi penyakitnya sehingga
proses penyembuhan penyakit lebih cepat (Zainul, 2007). Menurut (Sulistyowati &
Rencana keperawatan untuk diagnosa Harga Diri Rendah terdiri dari 4 SP yaitu SP 1
HDR mengidentifikasi kemampuan positif yang dimiliki klien baik dirumah dan di RSJ,
dan melatih kemampuan positif pertama yang bisa klien lakukan di RSJ. SP 2 HDR
melatih kemampuan positif klien yang kedua yang bisa klien lakukan di RSJ. SP 3 HDR
melatih kemampuan positif klien yang ketiga yang bisa klien lakukan di RSJ. Dan SP 4
HDR melatih kemampuan positif klien yang keempat yang bisa klien lakukan di RSJ.
Kemudian Rencana Keperawatan untuk diagnosa Defisit Perawatan Diri terdiri dari 4
SP yaitu SP 1 DPD menjelaskan kepada pasien pentingnya menjaga kebersihan diri pada
klien, dan melatih klien cara mandi yang benar. SP 2 DPD melatih klien berdandan/
berhias yang benar. SP 3 DPD melatih klien cara makan yang benar, dan untuk SP 4 DPD
D.Implementasi
sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi dengan singkat, apakah rencana tindakan
masih sesuai dan dibutuhkan pasien saat ini. Perawat juga menilai sendiri, apakah
melaksanakan tindakan. Perawat juga menilai kembali apakah tindakan aman bagi pasien.
Setelah tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat akan
pasien yang isinya menjelaskan apa yang akan dilaksanakan peran serta yang diharapkan
dari pasien, dokumentasikan semua tindakan yang telah dilaksanakan beserta respon pasien.
Februari 2020 yang diawali dengan hubungan saling percaya dengan Tn. I serta
pada Tn. I yakni membina hubungan saling percaya dengan Tn.I, melakukan pengkajian,
mengidentifikasi penyebab PK serta melatih klien mengontrol PK dengan cara latihan fisik 1
(tarik nafas dalam) dan latihan fisik 2 (memukul bantal / kasur). SP 1 dilanjutkan pada hari
berikutnya sampai pada tanggal 7 Februari 2020 untuk mengoptimalkan SP yang telah
sampai pasien mandiri. Hari pertama yaitu tanggal 5 Februari 2020 kelompok melakukan SP
1 PK yang pertama, dilanjutkan pada hari kedua tanggal 6 Februari 2020 juga dilakukan SP
1 dikarenakan pasien belum mampu melakukan teknik nafas dalam dan pukul bantal secara
mandiri. Hari ketiga tanggal 7 Februari 2020 masih dilakukan SP 1 kepada pasien hingga
tercapai kamampuan dan kemamuan mandiri pasien dalam melakukan teknik nafas dalam
dan pukul bantal dalam mengontrol emosi marah. SP 2 Risiko Perilaku kekerasan kelompok
lakukan pada tanggal 8 Februari 2020 yaitu mengajarkan pasien untuk patuh minum obat,
SP 2 dilakukan selama dua hari untuk mengoptimalkan SP yang telah diberikan pada klien.
yaitu melatih klien mengontrol marah dengan cara verbal: meminta, menolak, dan
mengungkapkan dengan baik, dan SP4 PK dilaksanakan pada tanggal 11 Februari 2020
Tindakan keperawatan untuk diagnosa Harga Diri Rendah dilaksanakan selama 7 hari
pada tanggal 5-11 Februari 2020. Pada tanggal 5-6Februari 2020 kelompok melaksanakan
SP 1 HDR yaitu mengindentifikasi kemampuan positif yang dimilki oleh klien, dan melatih
kemampuan positif klien yang pertama : merapikan tempat tidur. SP 2 HDR dilaksanakan
pada tanggal 8 Februari 2020 yaitu melatih kemampuan positif klien yang kedua :
membersihkan meja/ ruang makan makan. Selanjutnya pada tanggal 9Februari 2020
kelompok melanjutkan implementasi SP 3 HDR yaitu melatih kemampuan positif klien yang
ketiga : menyapu lantai dan pada tanggal 10Februari 2020 dilaksanakan implementasi SP 4
hari pada tanggal 5-9Februari 2020, Pada tanggal 5-6Februari 2020 kelompok melaksanakan
alat kebersihan diri, serta melatih klien cara menjaga kebersihan diri : mandi dan ganti
pakaian, sikat gigi, cuci rambut, potong kuku. Pada tanggal 7 Februari 2020 dilanjutkan ke
SP 2 DPD yaitu mengevaluasi kegiatan kebersihan diri, dan melatih klien cara berdandan
setelah kebersihan diri : sisiran dan cukuran. Selanjutnya pada tanggal 8Februari 2020 untuk
diagnosa DPD kelompok melaksanakan SP 3 DPD yaitu menjelaskan cara dan alat makan
dan minum dan melatih klien cara makan dan minum yang baik. Pada tanggal 12 januari
interaksi emosi klien labil, klien suka berkilah, klien kadang tidak kooperatif, mendominasi
pembicaraan, dan jawaban klien berbelit-belit.Pada kasus Tn. I implementasi yang diberikan
pada SP 1 menghabiskan waktu lebih lama yaitu 3 kali pertemuan, hal ini di karenakan
pasien masih belum mampu dan enggan untuk melakukan latihan yang diajarkan oleh
kelompok pada hari pertama. Kelompok melakukan optimalisasi SP 1 kepada pasien pada
hari ke 2 sampai pasien mampu melakukan latihan mengontrol emosi dangan bantuan
perawat, dan dilanjutkan pada hari ketiga untuk hasil yang optimal. Kelompok berasumsi
dengan kemampuan dan kesadaran pasien pentingnya latihan nafas dalam akan menjadi
modal pasien unutk mengontrol emosi dan relaksasi sehingga pasien lebih mudah untuk
tenang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sujawo dan Livana
(2018)tentang Penerapan stategi pelaksanaan (SP) perilaku kekerasan yang paling efektif
menurut pasien perilaku kekerasan di ruang rawat inap laki-laki RSJD Dr. Amino
mengontrol perilaku kekerasan adalah dengan teknik Napas Dalam yang menyebabkan
telah dilakukan pada Tn. I berupa cara mengontrol marah dengan latihan fisik (tarik nafas
dalam dan pukul bantal/ kasur), minum obat dengan teratur, mengontrol marah dengan cara
verbal: meminta, menolak, dan mengungkapkan dengan baik, dan dengan cara spriritual:
berzikir. Implementasi juga telah dilakukan dengan melatih kemampuan positif yang dimilki
klien yang bias dilakukan di rumah sakit jiwa untuk meningkatkan kepercayaan diri klien,
Implementasi yang dilaksanakan selama tujuh hari di permudah dengan pasien yang
mampu mengingat dengan baik instruksi yang telah diajarkan oleh perawat dan kemampuan
pasien untuk berinteraksi dengan orang lain melalui Terapi aktivitas kelompok yang
dilakukan diruangan.
E. Evaluasi
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan yang dilakukan kepada klien (Keliat, 2006). Dari hasil diskusi dan wawancara
didapatkan bahwa klien telah melakukan tindakan perilaku kekerasan yang merugikan orang
lain dan lingkungan.Pada evaluasi tujuan umum untuk diagnosa perilaku kekerasan, klien
sudah dilatih cara minum obat yang benar, mengontrol PK dengan latihan fisik teknik nafas
dalam dan memukul bantal/kasur, patuh minum obat secara teratur, serta dilatih dengan cara
verbal/ sosial : meminta, menolak dan mengungkapkan kekesalan dengan baik. Klien juga
sudah dilatih kemampuan positif yang dimilki klien : merapikan tempat tidur, melipat
kain/baju, menyapu dan mengepel lantai untuk meningkatkan kepercayaan dirinya. Serta
Pada tanggal 5 Februari 2020 didapatkan data bahwa Tn. J belum mengetahui cara dan
manfaat mengontrol prilaku kekerasan dengan cara latihan fisik I dan II yaitu tarik nafas
penyebab PK dan melatih klien untuk mengontrol marah dengan cara latihan fisik I dan fisik
II.Pada tanggal 8Februari 2020 klien masih belum mengenal obat yang dikonsumsinya
secara mandiri. Kelompok mengoptimalkan SP 2 selama 2 hari sampai klien mengenal dan
mengetahui obat yang diminumnya secara mandiri. Pada tanggal 10Februari 2020 klien
sudah mampu mengontrol marah dengan cara verbal : meminta, menolak, dan
mengungkapkan dengan baik dan pada tanggal 11 Februari 2020 klien juga sudah mampu
mengontrol marah dengan cara spiritual : berdzikir dan berwudhu. Dari implementasi
keperawatan untuk diagnosa perilaku kekerasan yang dilakukan selama7 hari, klien sudah
secara berkelanjutan karena kadang-kadang emosi klien tidak stabil dan klien masih terlihat
mondar-mandir.
Setelah dilakukan implementasi keperawatan selama 6 hari untuk diagnosa Harga Diri
Rendah, klien sudah mampu melatih kemampuan positif yang dimilikinya dan klien terlihat
lebih percaya diri. Pada tanggal 5Februari 2020 klien masih belum mampu merapikan
kemampuan positif yang pertama : merapikan tempat tidur pada hari selanjutnya. Pada
membersihkan meja/ruang makan. Pada tanggal 7 Februari klien sudah mampu melakukan
kemampuan positif yang ketiga : menyapu lantai dan tanggal 11 januari klien sudah mampu
Perawatan Diri, klien sudah mampu menjaga kebersihan diri dengan mandi setiap hari,
mengganti/ memakai pakaian dengan benar, memotong kuku, serta mencukur rambut dan
merapikan kumis, janggutnya, dan menyisir rambutnya setelah mandi. Secara keseluruhan
rencana tindakan dapat dilaksanakan, namun klien masih memerlukan arahan lebih lanjut.
Evaluasi juga diperlukan secara berkelanjutan karena kadang-kadang klien malas untuk