Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS KEDOKTERAN KELUARGA:

GAMBARAN PENGETAHUAN KELUARGA TENTANG


PENULARAN TB PARU

DISUSUN OLEH:

Abdurrahman Fikri Thaha C014172003


Ibrahim Amir C014191004
Muhammad Fathurrahman K C014191002
Baru Juanna Cynthia XC064182032
Kenneth Suliyanto XC062192006

SUPERVISOR PEMBIMBING:

dr. Muhammad Ikhsan, MS.PKK

drg. St. Maisarah, MARS

dr. Alifia Ayu Delima, M.Kes

BAGIAN KEDOKTERAN KOMUNITAS DAN KEDOKTERAN PENCEGAHAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
SEPTEMBER 2020
LAPORAN KASUS KEDOKTERAN KELUARGA: TUBERKULOSIS PARU

Abdurrahman Fikri Thaha 1*, Ibrahim Amir 1* , Muhammad Fathurrahman K 1*,

Baru Juanna Cynthia 1*


, Kenneth Suliyanto 1*

1) Bagian Kedokteran Keluarga dan Kedokteran Pencegahan


2) Pusekesmas Cendrawasih, Makassar, Sulawesi Selatan
*Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia

ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang mana bersifat basil tahan asam (BTA). Penyakit
tuberkulosis ini menular melalui air droplets dan berkembang pesat terutama di daerah
kemiskinan. Indonesia menempati urutan kedua dengan kasus infeksi TB terbesar di
dunia setelah India dan diikuti oleh China. Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi
sepertiga populasi dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan Kejadian TB
tahunan di Indonesia mencapai 1.020.000 kasus. Tingkat kejadian TB adalah 391 per
100.1 populasi. Studi deskriptif ini diperoleh melalui anamnesis yang diperoleh dari
wawancara melalui komunikasi digital (telepon), perlengkapan data keluarga, analisa
psikososial serta lingkungan, serta penilaian berdasarkan diagnosis holistik. Kasus ini
mendeskripsikan seorang pasien perempuan 25 tahun dengan TB Paru Bakteriologis
Kasus Baru. Berdasarkan hasil pengamatan penulis, didapatkan beberapa faktor yang
mempengaruhi penyakit pasien. Didapatkan faktor resiko eksternal yaitu adanya riwayat
kontak dengan anggota keluarga (sepupu) yang terdiagnosis TB Paru. Keluarga
merupakan suppport system yang utama yang dimiliki tiap orang, oleh karenanya penulis
akan mengkaji lebih dalam sudut pandang kedokteran keluarga dan melihat secara
holistik. Serta diharapkan hasil dari laporan ini tidak hanya menyelesaikan masalah klinis
pasien, tetapi juga mencari dan memberi solusi atas hal-hal yang mempengaruhi
kesehatan pasien dan keluarga.

Kata kunci : Tuberkulosis, Kedokteran keluarga, Diagnostik Holistik, Puskesmas Cendrawasih


LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh bakteri (Mycobacterium tuberculosis) yang


paling sering menyerang paru-paru. TBC dapat disembuhkan dan dicegah. TB menyebar
dari orang ke orang melalui udara. Ketika orang dengan TB paru batuk, bersin atau
meludah, mereka mengluarkan kuman TB ke udara. Seseorang perlu menghirup hanya
beberapa kuman ini agar terinfeksi. Orang yang terinfeksi bakteri TB memiliki risiko 5-15%
seumur hidup jatuh sakit dengan TB. Orang dengan sistem kekebalan yang lemah, seperti
orang yang hidup dengan HIV, kekurangan gizi atau diabetes, atau orang yang
menggunakan tembakau, memiliki risiko lebih tinggi untuk terinfeksi dengan TBC. World
Health Organization (WHO) memperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
oleh TB paru. Pada tahun 2018, jumlah kasus TB baru terbesar terjadi di wilayah Asia
Tenggara, dengan 44% kasus baru, diikuti oleh wilayah Afrika, dengan 24% kasus baru
dan Pasifik Barat sekitar 18%. Lebih dari 95% kasus dan kematian terjadi di negara
berkembang (WHO, 2019).
Gejala umum TB paru aktif adalah batuk dengan dahak dan darah, nyeri dada,
kelemahan, penurunan berat badan, demam dan keringat malam. Banyak negara masih
mengandalkan metode yang telah lama digunakan yang disebut sputum smear
microscopy untuk mendiagnosis TB. Teknisi laboratorium terlatih melihat sampel dahak di
bawah mikroskop untuk melihat apakah ada bakteri TB. Mikroskopi hanya mendeteksi
setengah dari jumlah kasus TB dan tidak dapat mendeteksi resistansi obat TB adalah
penyakit yang dapat diobati dan disembuhkan. Penyakit TB aktif yang rentan terhadap
obat diobati dengan standar 6 bulan obat antimikroba yang diberikan dengan informasi
dan dukungan kepada pasien oleh pekerja kesehatan atau sukarelawan terlatih. Tanpa
dukungan seperti itu, kepatuhan pengobatan lebih sulit. Antara 2000 dan 2018,
diperkirakan 58 juta jiwa diselamatkan melalui diagnosis dan perawatan TB (WHO, 2019).
Penyakit TB Paru menurut Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai suatu
penyakit yang menjadi target untuk diturunkan, selain malaria dan HIV & AIDS. Pada level
nasional, upaya dilakukan melalui program Directly Observed Treatment Shortcourse
Chemotherapy (DOTS) (KEMENKES, 2016). Menurut laporan Riskesdas tahun 2013
prevalensi penduduk Sulawesi Selatan yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan
tahun 2007 dan 2013 adalah 0,2% dan 0,3%.Lima kabupaten/kota dengan TB paru
tertinggi ada Luwu Utara (0.54%), Wajo (0,46%), Bantaeng (0,44%), Jeneponto (0,44%)
dan Gowa (0,40%). Prevalensi TB hampir tiga kali lebih tinggi di pedesaan dibandingkan
perkotaan dan lima kali lebih tinggi tingkat pendidikan rendah daripada pendidikan tinggi
(Syakur, 2019).
Oleh karena itu, TB masih menjadi masalah kesehatan yang diprioritaskan oleh
Dinas Kesehatan Kota Makassar. Kasus TB juga masih ditemukan di beberapa
puskesmas. Salah satunya Puskesmas Cendrawasih dengan total sebanyak 98 kasus
baru pada tahun 2019. Dalam upaya memutus rantai infeksi TB, pengetahuan akan pola
pengendalian penyakit merupakan hal penting untuk diketahui. Analisa ini bertujuan untuk
mengevaluasi kondisi pasien TB dalam sudut pandang kedokteran keluarga untuk
menentukan dan mengevaluasi strategi pemberantasan TB ke depan.

ILUSTRASI KASUS
Pasien Nn. DA usia 25 tahun, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosisi positif BTA
saat melakukan pemeriksaan di Instalasi Laboratorium Terintegrasi RS Labuang Baji.
Penulis melakukan anamnesis terhadap pasien dengan berkomunikasi via telepon.
Awalnya diagnosis ditegakkan saat pasien mendapatkan perawatan dan pemeriksaan
laboratorium di RS Labuang Baji, pasien datang dengan keluahan batuk yang tak kunjung
sembuh disertai dahak bercampur bercak darah pada Juni 2020. Keluhan pertama
dirasakan pasien sejak Februari 2020, awalnya hanya batuk disertai demam, tidak ada
dahak, tidak ada darah, riwayat keringat malam tidak ada. Kemudian pasien didampingi
Ibunya memeriksakan diri ke dokter, pasien didiagnosis dengan bronkitis dan mendapatkan
terapi obat-obatan dari dokter (pasien lupa nama obat). Pasien mengatakan mengalami
sedikit perbaikan, namun masih sesekali batuk dan pasien mengobatinya dengan obat-
obat tradisional, namun tidak ada perbaikan gejala yang cukup berarti. Pada akhir Juni
2020, keluhan dirasakan semakin memberat, batuk disertai dahak bercampur bercak
darah, kadang disertai demam dan keringat malam. Nafsu makan berkurang ada, riwayat
penurunan berat badan ada (pasien lupa berapa kg). Pasien kemudian mendapatkan
perawatan dan melakukan pemeriksaan sputum, karena gejala mengarah ke tuberculosis
di RS Labuang Baji. Hasil pemeriksaan sputum pasien positif BTA.
Saat ini sementara melakukan pengobatan 6 bulan fase lanjutan (bulan ke-3).
Pasien saat ini mengonsumsi OAT kombinasi rifampicin dan isoniazid tablet setiap hari
senin rabu dan jumat. Pengobatan dibantu oleh ibu pasien untuk diingatkan agar rutin
minum obat. Pasien sering melakukan kontrol ke puskesmas dan juga untuk pengambilan
obat. Dalam situasi pandemi saat ini, pasien biasanya menghubungi petugas terlebih
dahulu untuk mengambil obat di Puskesmas.
Riwayat menderita tuberkulosis sebelumnya tidak ada, ini kali pertama penyakitnya
diketahui. Riwayat penyakit sebelumnya didiagnosis dengan bronkitis tahun 2013, pasien
rutin berobat sampai tuntas. Pasien memiliki riwayat asma dan alegi udang. Riwayat
merokok dan minum minuman beralkohol ada. Riwayat penyakit hipertensi, hepatitis, DM,
jantung, dan gagal ginjal disangkal oleh pasien. Riwayat operasi disangkal. Riwayat stress
dan depresi disangkal oleh pasien.
Riwayat kontak dengan penderita TB sebelumnya ada. Yaitu dengan sepupu
pasien yang juga menderita tuberculosis sejak 1 tahun yang lalu dan sudah dinyatakan
sembuh. Riwayat penderita di lingkungan sekitar rumah atau tempat kerja tidak diketahui.
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama saat ini tidak ada, baik ayah,dan ibu pasien
yang masih tinggal serumah.
Dikarena keterbatasan akses kontak fisik disituasi pandemi sehingga pemeriksaan
fisik pasien tidak dapat dilakukan. Dari pemeriksaan penunjang didapatkan pemeriksaan
suptum (03/07/2020) BTA positif, foto thoraks (03/07/2020) kesan TB aktif superior dextra
dan pneumonia bilateral.
Pasien lahir tanggal 1 januari 1995, saat ini belum berkeluarga. Saat ini tinggal
bersama ayah (DS:55 tahun) dan ibu (AN: 52 tahun). Awalnya pasien bekerja sebagai
wiraswasta, namun sejak sakit pasien sudah tidak bekerja lagi. Keuangan/nafkah
sekarang dari orang tua yang tinggal serumah dan bekerja sebagai wiraswasta. Sebelum
sakit, pasien sering keluar rumah untuk berkumpul dengan teman-temannya. Setelah sakit
pasien membatasi aktifitasnya diluar rumah, keluarga maupun kerabat lain sudah jarang
berkunjung semenjak pandemi dan selama sakit.

Kondisi rumah saat ini merupakan perumahan layak huni, dengan ventilasi rumah
yang baik dan pencahayaan yang baik (sinar matahari). Kondisi di rumah semasa sakit
pasien saat ini untuk tidur sendiri, dan peralatan makan mandi semuanya masing masing,
namun masih berkumpul bersama keluarga di dalam rumah. Selama sakit pasien rutin
menggunakan masker di dalam rumah dan menjaga kontak langsung dengan keluarga.
Sementara itu jarak yang ditempuh dari rumah ke fasilitas pelayanan kesehatan
dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 20 menit.
Secara subjektif fungsionalitas keluarga pasien dapat dinilai berdasarkan
quuesioner Family APGAR, dimana pasien mendapatkan dukungan penuh dalam aspek
adaptasi, kemitraan, pertumbuhan, kasih sayang dan kebersamaan dalam menangani
penyakitnya terutama ibu dan ayahnya yang selama ini merawat pasien. Sehingga
didapatkan skor 9 dari total 10 yang mengindikasikan fungsi keluarga yang baik (sangat
fungsional).
Pernyataan Selalu Kadang Tidak
(2) (1) (0)
1. Saya merasa puas karena saya dapat v
meminta pertolongan kepada keluarga
saya ketika saya menghadapi
permasalahan
2. Saya merasa puas dengan cara keluarga v
saya membahas berbagai hal dengan
saya dan berbagi masalah dengan saya.
3. Saya merasa puas karena keluarga saya v
menerima dan mendukung keinginan-
keinginan saya untuk memulai kegiatan
atau tujuan baru dalam hidup saya.
4. Saya merasa puas dengan cara keluarga v
saya mengungkapkan kasih sayang dan
menanggapi perasaan-perasaan saya,
seperti kemarahan, kesedihan dan cinta.
5. Saya merasa puas dengan cara keluarga v
saya dan saya berbagi waktu bersama.
Skor Total 9

Tabel 1. Penilaian APGAR Keluarga

Berdasarkan prinsip diagnosis holistik yang ditegakkan pada pasien adalah


sebagai berikut:
1. Pada aspek klinis, Pasien sadar akan penyakitnya setelah mendapatkan keterangan
dari dokter dan ingin berobat tuntas. Dengan harapan penyakitnya segera sembuh.
Dan bisa berkumpul dengan baik seperti sebelum sakit. Pasien juga mengetahui
faktor resiko penularan penyakitnya sehingga saat ini sementara menggunakan
masker secara rutin di rumah, pisah kamar dengan orang tua pasien dan maupun
penggunaan alat-alat makan ataupun mandi di rumah.
2. Pada aspek personal, Pasien didiagnosis menderita Tuberkulosis berdasarkan
anamnesa, gejala klinis dan pemeriksaan sputum dengan BTA positif, serta
gambaran foto thoraks menunjukan TB aktif superior dextra.
3. Pada aspek risiko internal, pada riwayat dalam keluarga ditemukan adanya riwayat
penyakit yang sama dalam keluarga namun bukan unsur keterkaitan genetik
karena penyakit ini merupakan penyakit menular. Pasien juga memiliki
pengetahuan yang cukup tentang pencegahan penularan Tb Paru ke anggota
keluarga lainnya. Kondisi pasien saat ini tidak mempengaruhi kondisi psikologisnya
dan menerima penyakit yang diderita. Saat ini pasien dapat berktivitas seperti
semula sebelum sakit.
4. Pada aspek risiko faktor eksternal, keluarga mendukung dan memahami tentang
penyakit pasien, memberi dukungan serta bersedia menjadi pengawas minum obat.
Riwayat kontak dengan sepupu yang terdiagnosis TB. Dalam hal ekonomi atau
pembiayaan pengobatan untuk penyakitnya, pasien dibantu dengan adanya jaminan
kesehatan KIS oleh pemerintah. Lingkungan sosial dan masyarsakat sekitar baik
namun semenjak pandemi pasien jarang beraktivitas atau berinteraksi sosial diluar
rumah.
5. Pada aspek derajat fungsional, pasien tidak terpengaruh oleh kondisi penyakitnya,
tidak ada gangguan aktivitas dan bekerja seperti sebelum sakit.

Intervensi holistik dan penanganan secara komprehensif mencakup tindakan


terhadap pasien, keluarga dan lingkungannya, edukasi mengenai penyakit dan
penaganan serta pencegahan penularan yang sejaan dengan penyakit TB yang
diderita. Pemberian nasihat atas kondisi dan kesehatan psikologis pasien dan keluarga
serta pemberiaan support kepada pasien untuk optimis terhadap penyakitnya. Peran
keluarga yang sangat penting khususnya mengenai kondisi fisik, psikologis dan
kesehatan.
Gambar 1. Genogram keluarga Nn. DA
HUMAN MADE ENVIRONMENT

Gambar 2. Mandala Of Health


DISKUSI

Wawancara via telepon dilakukan pada tanggal 03/09/2020 hingga 04/09/2020 untuk
pendekatan dan perkenalan terhadap pasien serta menerangkan maksud dan tujuan
wawancara, diikuti dengan anamnesis tentang keluarga dan perihal penyakit yang telah
diderita. Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan masalah kesehatan yaitu seorang
pasien perempuan berusia 25 tahun yang di diagnosis klinis dengan Tuberkulosis Paru
Bakteriologis Kasus Baru. Awalnya diagnosis ditegakkan saat pasien mendapatkan
perawatan dan pemeriksaan laboratorium di RS Labuang Baji, pasien datang dengan
keluahan batuk yang tak kunjung sembuh disertai dahak bercampur bercak darah pada
Juni 2020, kadang disertai demam dan keringat malam. Dirasakan penurunan nafsu makan
serta penurunan berat badan . Pasien kemudian mendapatkan perawatan dan melakukan
pemeriksaan sputum, karena gejala mengarah ke tuberculosis di RS Labuang Baji. Hasil
pemeriksaan sputum pasien positif BTA, sementara hasil foto thoraks menggambarkan TB
aktif superior dextra.
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis Gejala klinik tuberkulosis secara umumnya yaitu batuk ≥ 3 minggu, batuk
darah, sesak napas, nyeri dada, gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia,
berat badan menurun, Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang
lainnya (Mansjoer, et all. 2001)
Penularan TB sangat dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku sehat
penduduk, dan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan. Masalah lingkungan yang
terkait seperti masalah kesehatan yang berhubungan dengan perumahan, kepadatan
anggota keluarga, kepadatan penduduk, konsentrasi kuman, ketersediaan cahaya
matahari. Menurut pasien, kondisi rumahnya cukup baik dari aspek pencahayaan dan
ventilasi. Selama sakit, pasien mengaku bahwa masih berkumpul bersama keluarga di
dalam rumah dengan orang tua namun tidur berasingan dan segala peralatan seperti
alatan makan dan mandi juga dipisahkan. Hal ini menunjukkan bahwa pasien sadar akan
penyakitnya dan mencoba untuk tidak menularkannya.
Hasil wawancara kami juga menunjukkan bahwa pasien memiliki pengetahuan yang
cukup tentang penyakit yang ia derita, yang terlihat oleh pola berobat pasien yang bersifat
rutin control berobat. Saat ini sementara melakukan pengobatan 6 bulan fase lanjutan
(bulan ke 3). Pasien saat ini mengonsumsi obat kombinasi rifamfisin dan isoniazid tablet
setiap hari senin rabu dan jumat. Penatalaksanaan pada pasien ini dimulai dengan
pengobatan Hipertensi dan pengendalian OAT. Tujuan pengobatan TB antara lain :
Menyembuhkan, mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas pasien, Mencegah
kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan, Mencegah kekambuhan TB, Mengurangi
penularan TB kepada orang lain, Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya
(Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. 2011).
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan) dan fase
lanjutan 4 bulan. Tahap Intensif: mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila diberikan dengan tepat maka
pasien menular menjadi tidak menular dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB
BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan. (Bahar A, et Al . 2009). Tahap lanjutan:
tahap yang sangat penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan. (Bahar A, et Al . 2009). Pada pasien ini, pengobatan dibantu oleh
ibu pasien untuk diingatkan agar rutin minum obat, dengan harapan tidak terjadinya
resistensi OAT pada pasien. Pasien sering melakukan kontrol ke puskesmas dan juga
untuk pengambilan obat.
Pada hasil wawancara, pasien termasuk Kategori 1 dengan pasien kasus baru TB
Paru BTA positif yang dimana Kategori 1 (2RHZE/4R3H3), diberikan untuk: Pasien kasus
baru TB paru BTA positif, Pasien kasus baru TB paru BTA negatif foto toraks positif,
Pasien TB ekstra paru (Kementerian Kesehatan RI. 2015).
Berdasarkan wawancara juga didapatkan baik pasien maupun keluarga memiliki
pengetahuan yang baik tentang penyakit tuberkulosis, yang mana pengetahuan dan
pemahaman seseorang tentang penyakit tuberkulosis dan pencegahan penularannya
memegang peranan penting dalam keberhasilan upaya pencegahan penularan penyakit
tuberkulosis. Hal itu dapat dinilai berdasarkan questioner Family APGAR, dimana pasien
mendapatkan dukungan penuh dalam aspek adaptasi, kemitraan, pertumbuhan, kasih
sayang dan kebersamaan dalam menangani penyakitnya terutama istri dan anak
bungsunya yang selama ini merawat beliau.
Skor dari Family APGAR pasien adalah 9 yang mana mengindikasikan fungsi
keluarga yang sangat baik. Walau pun begitu, pasien mendapat dukungan yang sangat
baik dari aspek ekonomi, social, spiritual dan sebagainya dari Family circle tersebut
sehingga pasien berasa aman dan puas terhadap
dirinya sekarang. Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kepatuhan untuk pengobatan TB Paru, dimana keluarga inti maupun keluarga besar
berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggota keluarganya. Fungsi dasar keluarga
yaitu fungsi perawatan kesehatan. Fungsi perawatan kesehatan adalah kemampuan
keluarga untuk merawat anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan (Fatmala
K et. all, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Trilianto A.E. et all, dari 157 responden (pasien TB) di
Kabupaten Bondowoso, terdapat 139 responden yang mendapatkan dukungan yang baik
dari keluarga mereka dan 132 (94.96%) darinya merupakan responden yang patuh minum
OAT dan tuntas sehingga kembali sembuh. Hal ini menunjukkan bahwa penting dan
besarnya peran dari anggota keluarga dalam membantu pasien mengurus dan melawan
penyakit yang diderita sehingga mendapatkan hasil yang terbaik diinginkan. Dalam
penatalaksanaannya keluarga diharapkan mengerti dan mendukung pasien untuk rutin
memeriksakan diri, mengingatkan pasien untuk mengkonsumsi obat obatan yang
diberikan sesuai jadwal pemberian obat dan sering memberikan dukungan pada pasien
dari segala segi, keluarga sebagai pengawas minum obat, serta mengingatkan pasien
untuk kontrol berkala, dapat mengadakan skrining jika diperlukan dalam keluarga.
Upaya promotif dan preventif yang dapat dilakukan layanan kesehatan dapat berupa:
 Edukasi terkait dengan diagnosis penyakit dan komplikasi yang dapat terjadi kepada
pasien
 Edukasi untuk memakai masker
 Edukasi peran keluarga dalam tata laksana
 Edukasi untuk minum obat teratur dan rajin untuk kontrol pengobatan teratur
 Edukasi PHBS dan pencegahan dalam kondisi pandemik COVID-19
 Edukasi pola makan sehat dan seimbang
 Edukasi etika batuk yang baik
 Edukasi rajin untuk terpapar oleh matahari pagi
DAFTAR PUSTAKA

Bahar A, Amin Z. 2009. Tuberkulosis Paru. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Balai
penerbit FKUI.
Depkes, RI., 2005, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis, Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan, Jakarta.
Dinas kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2015. Profil kesehatan provinsi Sulawesi.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Petunjuk teknis pelayanan tuberkulosis bagi peserta
jaminan kesehatan nasional.
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. 2001. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. 2011
Perhimpunan dokter paru Indonesia.
WHO ,2004. Global tuberculosis report 2004. World Health Organization,
Geneva. WHO ,2019. Global tuberculosis report 2019. World Health
Organization, Geneva.
Fatmala, K. and Satyabakti, P., 2017. Hubungan Pengetahuan, Stigma, Dan Dukungan
Keluarga Dengan Kepatuhan Minum Obat Kusta Di Puskesmas Pragaan. Jurnal Ilmiah
Kesehatan Media Husada, 6(1), pp.67-78.
Trilianto, A., Hartini, H., Shidiq, P. and R, H., 2020. Hubungan Dukungan Keluarga
Dengan Kepatuhan Pengobatan Klien Tuberkulosis Di Kabupaten Bondowoso. Jurnal
Ilmu Kesehatan MAKIA, 10(1).

Anda mungkin juga menyukai