Anda di halaman 1dari 17

TUGAS ESSAY BLOK NEUROMUSKULOSKELETAL II

“Spondilitis Tuberkulosa”

Nama : Baiq Fahira Mentari


NIM : 019.06.0015
Blok : NMS II
Dosen : dr. Tunjung, Sp. S

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL – AZHAR MATARAM

2021
BAB I
LATAR BELAKANG

Penyakit Pott, juga dikenal sebagai spondilitis tuberkulosis, adalah gambaran klasik
dari tuberkulosis ekstrapulmonal (TB). Ini terkait dengan morbiditas yang signifikan dan
dapat menyebabkan gangguan fungsional yang parah. Diagnosis cenderung tertunda
karena manifestasi awal awal yang tidak spesifik dan tingkat kecurigaan yang rendah.
Pendekatan diagnostik perlu didasarkan pada nyeri atau kelainan bentuk kronis,
pertimbangan epidemiologis, pencitraan, dan prosedur yang memadai untuk mendapatkan
sampel untuk konfirmasi bakteriologis, patologis, atau molekuler. Perawatan memerlukan
beberapa bulan terapi medis sesuai dengan rekomendasi dan pertimbangan saat ini untuk
prosedur pembedahan, jika diindikasikan. Penyakit Pott adalah salah satu penyakit manusia
tertua, yang telah didokumentasikan dalam sisa-sisa tulang belakang dari Zaman Besi di
Eropa dan pada mumi kuno dari Mesir dan pantai Pasifik Amerika Selatan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI SPONDILITIS TUBERKULOSA


Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Pott’s disease adalah
penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang
mengenai tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari
Spanyol dan Peru pada tahun 1779. Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada
tulang belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme
infeksi terutama oleh penyebaran melalui hematogen.

2.2 ETIOLOGI SPONDILITIS


Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan
famili Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif
lemah yaitu sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk
dihapus walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman batang tahan
asam. Hal ini disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki dinding sel
yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat).
Selain itu bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta
memiliki panjang sekitar 2-4 μm.

2.3 EPIDEMIOLOGI SPONDILITIS


Secara global, tuberkulosis ekstrapulmoner (TB) mewakili 14% dari 6,4
juta kasus TB yang dilaporkan pada tahun 2017, mulai dari 8% di Wilayah Pasifik
Barat hingga 24% di Wilayah Mediterania Timur WHO. Di Amerika Serikat,
proporsi kasus ekstrapulmoner pada tahun 2017 adalah 20,8% (1.887 kasus). Dari
jumlah tersebut, keterlibatan tulang dan sendi adalah yang paling umum ketiga,
terdiri dari 9,8% kasus, setelah penyakit limfatik dan pleura.
Sekitar 1-2% dari total kasus tuberkulosis disebabkan oleh penyakit Pott.
Di Belanda, antara 1993 dan 2001, tuberkulosis tulang dan sendi menyumbang
3,5% dari semua kasus tuberkulosis (0,2-1,1% pada pasien asal Eropa, dan 2,3-
6,3% pada pasien yang bukan berasal dari Eropa). Data dari Los Angeles dan New
York menunjukkan bahwa tuberkulosis muskuloskeletal mempengaruhi terutama
orang Afrika-Amerika, Hispanik Amerika, Asia-Amerika, dan individu yang lahir
di luar negeri.
Seperti halnya bentuk tuberkulosis lainnya, frekuensi Penyakit Pott terkait
dengan faktor sosial ekonomi dan riwayat paparan infeksi. Meskipun beberapa
penelitian telah menemukan bahwa penyakit Pott tidak memiliki kecenderungan
seksual, penyakit ini lebih sering terjadi pada pria (rasio pria-wanita 1,5-2: 1). Di
Amerika Serikat dan negara maju lainnya, penyakit Pott terjadi terutama pada orang
dewasa. Di negara-negara dengan tingkat penyakit Pott yang lebih tinggi,
keterlibatan pada orang dewasa muda dan anak-anak yang lebih tua mendominasi.

2.4 PATHOFISIOLOGI SPONDILITIS


Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena
ukuran bakteri sangat kecil 1-5 μ, kuman TB yang terhirup mencapai alveolus
dan segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus
akan memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar
kuman TB. Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag
mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon.
Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran
limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di
saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika
fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru,
yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kom-pleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu
dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman
tum-buh hingga mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang
respons imunitas selular. Pada saat terbentuk kompleks primer, infeksi TB
primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuk
hipersensitivitas terhadap protein tu-berkulosis, yaitu timbulnya respons positif
terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas selular tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik,
begitu sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun,
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.

Setelah imunitas selular terbentuk fokus primer di jaringan paru


biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Ke-lenjar limfe regional
juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar tersebut. Di dalam koloni yang
sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas selular,
kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus tersebut umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus
reaktivasi, disebut sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, fokus Simon ini dapat mengalami reaktivasi dan
menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang dan lain-lain.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan
pada penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.6Penyebaran hematogen yang
paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar
(occult hematogenic spread), kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit
demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang dituju adalah organ
yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri,
terutama apeks paru atau lobus atas paru. Bagian pada tulang belakang yang
sering terserang adalah peridiskal terjadi pada 33% kasus spondilitis TB dan
dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan penyebaran melalui ligamentum
longitudinal.
Penyakit dimulai dan menyebar dari ligamentum anterior longitudinal.
Radiologi menunjukkan adanya skaloping vertebra anterior, sentral terjadi
sekitar 11,6% kasus spondilitis TB. Penyakit terbatas pada bagian tengah dari
badan vertebra tunggal, sehingga dapat menyebabkan kolap vertebra yang
menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas selular
yang akan membatasi pertumbuhan.
Selain itu, Spondilitis tuberkulosis (TB) atau Penyakit Pott ini biasanya
bermanifestasi sebagai kombinasi dari osteomielitis dan artritis yang biasanya
melibatkan lebih dari 1 ruas tulang belakang. Aspek anterior badan vertebral yang
berdekatan dengan lempeng subkondral biasanya terpengaruh. Tuberkulosis dapat
menyebar dari area itu ke diskus intervertebralis yang berdekatan. Kerusakan
tulang yang progresif menyebabkan kolapsnya tulang belakang dan kifosis. Kanal
tulang belakang dapat menyempit oleh abses, jaringan granulasi, atau invasi dural
langsung, yang menyebabkan kompresi sumsum tulang belakang dan defisit
neurologis. Deformitas kyphotic disebabkan oleh kolaps pada tulang belakang
anterior. Lesi di tulang belakang dada lebih cenderung menyebabkan kifosis
daripada di tulang belakang lumbar. Abses dingin dapat terjadi jika infeksi meluas
ke ligamen dan jaringan lunak yang berdekatan. Abses di daerah lumbar dapat turun
ke bawah selubung psoas ke daerah trigonum femoralis dan akhirnya terkikis ke
dalam kulit.

2.5 MANIFESTASI KLINIS SPONDILITIS


Presentasi penyakit Pott bergantung pada hal-hal berikut:
 Stadium penyakit
 Situs yang terpengaruh
 Adanya komplikasi seperti defisit neurologis, abses, atau saluran sinus

Pasien dengan penyakit Pott mungkin memiliki riwayat tuberkulosis paru


atau penyakit yang menyertai. Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya,
pasien mengalami keadaan sebagai berikut. Gejala konstitusional potensial
penyakit Pott termasuk demam dan penurunan berat badan. Durasi rata-rata gejala
yang dilaporkan saat diagnosis adalah 4 bulan tetapi bisa jauh lebih lama. Hal ini
disebabkan oleh gejala nyeri punggung kronis yang tidak spesifik. Nyeri punggung
adalah gejala penyakit Pott yang paling awal dan paling umum, dengan pasien
biasanya mengalami masalah ini selama berminggu-minggu sebelum mencari
pengobatan.
Kelainan neurologis terjadi pada 50% kasus dan dapat mencakup kompresi
medula spinalis dengan paraplegia, paresis, gangguan sensasi, nyeri radix saraf,
atau sindrom cauda equina. TBC tulang belakang leher adalah presentasi yang
kurang umum tetapi berpotensi lebih serius karena komplikasi neurologis yang
parah lebih mungkin terjadi. Kondisi ini ditandai dengan nyeri dan kaku. Pasien
dengan penyakit tulang belakang leher bagian bawah dapat datang dengan disfagia
atau stridor. Gejala juga dapat berupa tortikolis, suara serak, dan defisit neurologis.
Gambaran klinis tuberkulosis tulang belakang pada pasien yang terinfeksi virus
human immunodeficiency virus (HIV) mirip dengan pasien yang HIV-negatif;
namun, tuberkulosis tulang belakang tampaknya lebih umum pada orang yang
terinfeksi HIV.

MRI seorang pria berusia 31 tahun dengan TBC tulang belakang.

2.6 DIAGNOSIS SPONDILITIS


Banyak orang dengan penyakit Pott (62-90% dari pasien dalam seri yang
dilaporkan) tidak memiliki bukti tuberkulosis ekstraspinal. Informasi dari studi
pencitraan, mikrobiologi, dan patologi anatomi akan membantu menegakkan
diagnosis. Diagnosis spondilitis tuberkulosis harus diselidiki jika ada kecurigaan
klinis yang kuat, bahkan jika temuan radiologi paru sugestif tidak ada. Gambaran
lain yang menunjukkan tuberkulosis adalah sebagai berikut:
 Hasil tes kulit tuberkulin positif ( purified protein derivative [PPD])
 Radiografi dada yang menunjukkan jaringan parut apikal, infiltrat, atau
penyakit kavitas
 Adanya faktor risiko tuberkulosis

Tuberkulosis tulang belakang harus selalu dicurigai ketika radiografi


menunjukkan proses tulang belakang yang merusak. Kondisi yang perlu
dipertimbangkan dalam diagnosis banding penyakit Pott meliputi:
 Tumor tulang belakang
 Mycobacterium kansasii
 Nocardiosis
 Paracoccidioidomycosis
 Artritis septik
 Abses sumsum tulang belakang
 Proses granulomatosa lainnya, terutama brucellosi

2.7 DIFFERENTIAL DIAGNOSIS


Spondilitis TB dapat dibedakan dengan infeksi piogenik yang menunjukkan
gejala nyeri di daerah infeksi yang lebih berat. Selain itu juga terdapat gejala
bengkak, kemerahan dan pasien akan tampak lebih toksis dengan perjalanan yang
lebih singkat dan mengenai lebih dari 1 tingkat vertebrae. Tetapi gambaran
yang spesifik tidak ada sehingga spondilitis TB sulit dibedakan dengan infeksi
piogenik secara klinis. Selain itu spondilitis TB juga dapat dibedakan dengan
tumor, yang menunjukkan gejala tidak spesifik. Selain Infeksi Piogenik dan Tumor,
berikut merupakan beberapa diagnosis banding dari Spondilitis TB;
 Actinomycosis
 Blastomycosis
 Brucellosis
 Candidiasis
 Cryptococcosis
 Histoplasmosis
 Metastatic Cancer With Unknown Primary Site
 Miliary Tuberculosis
 Multiple Myeloma

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG SPONDILITIS


Pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan untuk menentukan adanya
infeksi Mycobacterium tuberculosisa dalah dengan menggunakan uji tuberkulin
(Mantouxtes). Uji tuberkulin merupakan tes yang dapat mendeteksi adanya
infeksi tanpa adanya menifestasi penyakit, dapat menjadi negatif oleh karena
anergi yang berat atau kekurangan energi protein. Uji tuberkulin ini tidak dapat
untuk menentukan adanya TB aktif. Pemeriksaan laju endap darah (LED)
dilakukan dan LED yang meningkat dengan hasil >100 mm/jam. Pemeriksaan
radiologi pada tulang belakang sangat mutlak dilaksanakan untuk melihat
kolumna vertebralis yang terinfeksi pada 25%-60% kasus. Vertebra lumbal I
paling sering terinfeksi. Pemeriksaan radiologi dapat ditemukan fokus infeksi pada
bagian anterior korpus vertebre dan menyebar ke lapisan subkondral tulang. Pada
beberapa kasus infeksi terjadi di bagian anterior dari badan vertebrae sampai ke
diskus intervertebrae yang ditandai oleh destruksi dari end plate. Elemen posterior
biasanya juga terkena. Penyebaran ke diskus intervertebrae terjadi secara langsung
sehingga menampakkan erosi pada badan vertebra anterior yang disebabkan oleh
abses jaringan lunak.
Ketersediaan computerized tomography scan (CT scan) yang tersebar luas
dan magnetic resonance scan (MR-scan) telah meningkat penggunaannya pada
manajemen TB tulang belakang. CT scan dikerjakan untuk dapat menjelaskan
sklerosis tulang belakang dan destruksi pada badan vertebrae sehingga dapat
menentukan kerusakan dan perluasan ekstensi posterior jaringan yang mengalami
radang, material tulang, dan untuk mendiagnosis keterlibatan spinal posterior serta
keterlibatan sacroiliac joindan sacrum. Hal tersebut dapat membantu memandu
biopsi dan intervensi perencanaan pembedahan. Pemeriksaan CT scan
diindikasikan bila pemeriksaan radiologi hasilnya meragukan. Gambaran CT scan
pada spondilitis TB tampak kalsifikasi pada psoas disertai dengan adanya
kalsifikasi periperal. Magnetic resonance imaging (MRI) dilaksanakan untuk
mendeteksi massa jaringan, appendicular TB, luas penyakit, dan penyebaran
subligamentous dari debris tuberculous. Biopsi tulang juga dapat bermanfaat
pada kasus yang sulit, namun memerlukan tingkat pengerjaan dan pengalaman
yang tinggi serta pemeriksaan histologi yang baik. Pada pemeriksaan histologi
akan ditemukan nekrosis kaseosa dan formasi sel raksasa, sedangkan bakteri
tahan asam tidak ditemukan dan biakan sering memberikan hasil yang negatif.
2.9 TREATMENT SPONDILITIS
Saat ini pengobatan spondilitis TB berdasarkan terapi diutamakan
dengan pemberian obat anti TB dikombinasikan dengan imobilisasi
menggunakan korset. Pengobatan non-operatif dengan menggunakan kombinasi
paling tidak 4 jenis obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat disesuaikan
dengan informasi kepekaan kuman terhadap obat. Pengobatan INH dan rifampisin
harus diberikan selama seluruh pengobatan. Regimen 4 macam obat biasanya
termasuk INH, rifampisin, dan pirazinamid dan etambutol. Lama pengobatan
masih kontroversial. Meskipun beberapa penelitian mengatakan memerlukan
pengobatan hanya 6-9 bulan, pengobatan rutin yang dilakukan adalah selama 9
bulan sampai 1 tahun. Lama pengobatan biasanya berdasarkan dari perbaikan
gejala klinis atau stabilitas klinik pasien.13 Obat yang biasa dipakai untuk
pengobatannya seperti pada Tabel 1.
Tabel 1.Obat tuberkulosis, dosis, dan efek samping

Pemberian obat bila dikombinasikan antara INH dan rifampisin maka dosis
dari INH tidak boleh lebih dari 10 mg/KgBB/hr dan dosis rifampisin tidak boleh
lebih dari 15 mg/kgBB/hr serta dalam meracik tidak boleh diracik dalam satu
puyer tetapi pada saat minum obat dapat bersamaan. Sebagai tambahan terapi,
anti inflamasi non steroid kemungkinan digunakan lebih awal pada penyakit
dengan inflamasi superfisial membran yang non spesifik untuk menghambat atau
efek minimalisasi destruksi tulang dari prostaglandin.
Sedangkan, Indikasi untuk perawatan bedah penyakit Pott umumnya
meliputi:
 Defisit neurologis (Kerusakan neurologis akut, paraparesis, dan paraplegia)
 Deformitas tulang belakang dengan ketidakstabilan atau nyeri
 Tidak ada respons terhadap terapi medis (Perkembangan kifosis atau
ketidakstabilan)
Sumber daya dan pengalaman adalah faktor kunci dalam keputusan untuk
menggunakan pendekatan bedah. Lokasi lesi, luasnya kerusakan vertebral, dan
adanya kompresi medula spinalis atau deformitas tulang belakang menentukan
pendekatan operasi spesifik (kifosis, paraplegia, abses tuberkulosis). Kerusakan
tulang belakang dianggap signifikan jika lebih dari 50% dari tubuh tulang belakang
roboh atau hancur atau kelainan bentuk tulang belakang lebih dari 5°. Pendekatan
yang paling konvensional termasuk debridemen fokal radikal anterior dan
stabilisasi posterior dengan instrumentasi. Beberapa variasi dari pendekatan ini
telah dijelaskan. Keuntungan dan keterbatasan spesifik dari teknik pembedahan
berbeda-beda. Individualisasi kasus adalah yang paling penting. Modalitas dan
teknik yang lebih baru sedang dilaporkan, seperti dekompresi torakoskopi.
Pada penyakit Pott yang melibatkan tulang belakang leher, faktor-faktor
berikut membenarkan intervensi bedah dini:
 Frekuensi dan keparahan defisit neurologis yang tinggi
 Kompresi abses yang parah yang dapat menyebabkan disfagia atau asfiksia
 Ketidakstabilan tulang belakang leher

Sedangkan, kolapsnya vertebrae dengan skala yang lebih kecil tidak


dianggap sebagai indikasi untuk pembedahan karena, dengan pengobatan yang
tepat dan kepatuhan terapi, kecil kemungkinannya untuk berkembang menjadi
deformitas yang parah.
2.10 KOMPLIKASI SPONDILITIS
Abses epidural tuberkular dapat menyebabkan kompresi sumsum tulang
belakang dan akar saraf yang menyebabkan defisit yang signifikan. The American
Spinal Injury Association impairment scale (ASIA) berguna untuk
mendokumentasikan pemulihan neurologis dari penyakit Pott. Penunjukan ASIA
A menunjukkan gangguan neurologis yang paling parah, paling sedikit ASIA E.
Pada awal pengobatan, kebanyakan individu dikarakterisasi sebagai ASIA D.
Abses epidural yang besar berkorelasi dengan prognosis yang buruk dalam hal
pemulihan dari defisit neurologis.
Selain itu, Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi
oleh karena kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang
mengalami destruksi sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya
paraplegia pada ekstremitas inferior yang dikenal dengan istilah Pott’s
paraplegia.

2.11 PROGNOSIS SPONDILITIS


Berdasarkan morbiditas, Penyakit Pott merupakan bentuk tuberkulosis
muskuloskeletal yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan kerusakan
tulang, deformitas, dan paraplegia. Penyakit Pott paling sering menyerang tulang
belakang dada dan lumbosakral. Namun, serial yang diterbitkan telah menunjukkan
beberapa variasi. Vertebra toraks bagian bawah membentuk area yang paling sering
terkena (40-50%), diikuti oleh tulang belakang lumbal (35-45%). Dalam seri lain,
proporsinya serupa tetapi mendukung keterlibatan tulang belakang lumbal. Sekitar
10% kasus penyakit Pott melibatkan tulang belakang leher.
Modalitas pengobatan saat ini sangat efektif melawan penyakit Pott jika
gangguan tersebut tidak dipersulit oleh deformitas yang parah atau defisit
neurologis. Deformitas dan defisit motorik adalah konsekuensi paling serius dari
penyakit Pott dan terus menjadi masalah serius bila diagnosis ditunda atau
presentasi pasien berada pada stadium lanjut penyakit. Kepatuhan terapi dan
resistensi obat merupakan faktor tambahan yang secara signifikan mempengaruhi
hasil individu. Paraplegia akibat kompresi tali pusat yang disebabkan oleh penyakit
aktif biasanya merespon dengan baik terhadap kemoterapi. Namun, paraplegia
dapat bermanifestasi atau bertahan selama penyembuhan karena kerusakan
sumsum tulang belakang permanen. Dekompresi operatif dapat sangat
meningkatkan tingkat pemulihan, menawarkan cara pengobatan bila terapi medis
tidak membawa perbaikan yang cepat. Tindak lanjut jangka panjang yang hati-hati
juga dianjurkan, karena komplikasi onset lambat masih dapat terjadi (reaktivasi
penyakit, ketidakstabilan atau deformitas terlambat).
BAB III
KESIMPULAN

Spondilitis TB adalah merupakan masalah penyakit yang kompleks dengan


manifestasi klinis yang bervariasi. Pemeriksaan radiografi mutlak diperlukan untuk
menegakkan diagnosis serta follow up penyakit. Jika dalam pemeriksaan didapatkan
normal, salah satu pemeriksaan jaringan harus dikerjakan untuk menyingkirkan
spondilitis TB. Tata laksana ditentukan oleh ada tidaknya paralisis atau paraplegi pada
ekstremitas inferior sehingga pembedahan harus segera dilakukan. Prognosis tergantung
dari perjalanan penyakit, tata laksana dan komplikasi yang menyertai.
DAFTAR PUSTAKA

Benzagmout M, Boujraf S, Chakour K, Chaoui Mel F. Pott's disease in children. Surg Neurol Int.
2011 Jan 11. 2:1. [Medline]. [Full Text].

Centers for Disease Control and Prevention, Division of Tuberculosis Elimination. Executive
commentary. Reported Tuberculosis in the United States, 2017. Atlanta: US Department
of Health and Human Services, CDC; October 2018. 1-6. [Full Text].

Davidson PT, Le HQ. Tuberculosis and Nontuberculous Mycobacterial Infections. Schlossberg


D, ed. Musculoskeletal Tuberculosis. 4th ed. Saint Louis, MO: W B Saunders; 1999. 204-
20.

Dunn RN, Ben Husien M. Spinal tuberculosis. Bone Joint J. 2018 Apr 1. 100-B (4):425-431.
[Medline].

Ekinci S, Tatar O, Akpancar S, Bilgic S, Ersen O. Spinal Tuberculosis. J Exp Neurosci. 2015.
9:89-90. [Medline].

Helen Bynum. Spitting blood. The history of tuberculosis. Oxford: Oxford University Press;
2012. 6-10.

Moon MS, Kim SS, Lee BJ, Moon JL. Spinal tuberculosis in children: Retrospective analysis of
124 patients. Indian J Orthop. 2012 Mar. 46(2):150-8. [Medline]. [Full Text].

Pola E, Rossi B, Nasto LA, Colangelo D, Logroscino CA. Surgical treatment of tuberculous
spondylodiscitis. Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2012 Apr. 16 Suppl 2:79-85. [Medline].

Pott P. The chirurgical works of Percivall Pott, F.R.S., surgeon to St. Bartholomew's Hospital, a
new edition, with his last corrections. 1808. Clin Orthop Relat Res. 2002 May. 4-10.
[Medline].

Taylor GM, Murphy E, Hopkins R, et al. First report of Mycobacterium bovis DNA in human
remains from the Iron Age. Microbiology. 2007 Apr. 153:1243-9. [Medline].
World Health Organization. Chapter 4. Diagnosis and treatment: TB, HIV-associated TB and
drug-resistant TB. Global Tuberculosis Report 2018. Geneva: World Health
Organization; 2018. 67-102. [Full Text].

Anda mungkin juga menyukai