Di Susun Oleh :
Kelompok 3
Nur Hasanah
Psikologi 3–C
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan Karunia,
Rahmat, dan Hidayah-Nya yang berupa kesehatan, sehingga makalah yang berjudul
“Perkembangan Sosial Emosional Anak Dari Masa Anak Awal Sampai Akhir” dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah Psikologi Perkembangan.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang di berikan oleh dosen
pengampu mata kuliah Psikologi Perkembangan Hari Budi, S.Psi, MM. Kami berusaha
menyusun makalah ini dengan segala kemampuan, namun kami menyadari bahwa makalah
ini masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi penulisan maupun segi penyusunan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan senang
hati demi perbaikan makalah selanjutnya.
Penulis
i
DAFTAR ISI
2.4
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
2. Untuk menambah pengetahuan tentang Perkembangan Sosial Emosional Anak Dari
Masa Anak Awal Sampai Akhir.
3.
4.
1.4 Manfaat
3.
4.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Diri
Selama tahun kedua kedua kehidupan , anak-anak membuat banyak kemajuan dalam
pengenalan diri. Pada tahun-tahun masa kanak-kanak awal, anak-anak mengembangkan
berbagai cara yang dapat meningkatkan pemahaman diri mereka.
a. Inisiatif versus Rasa Bersalah
Pada masa kanak-kanak awal, anak-anak menjadi lebih yakin bahwa mereka adalah diri
mereka sendiri. Selama masa kanak-kanak awal, mereka mulai menemukan pribadi yang
diinginkan. Secara intensif mereka mengidentifikasi kepada orang tuanya, yang hampir selalu
terlihat kuat dan cantik, meskipun seringkali tidak masuk akal, tidak sependapat, dan
kadangkala membahayakan. Selama kanak-kanak awal, anak-anak menggunakan
keterampilan perseptual, motorik, kognitif, dan bahasa untuk melakukan sesuatu. Mereka
memiliki kelebihan energi yang memungkinkan melupakan kegagalan-kegagalannya dengan
cepat dan mendekati area-area baru yang terlihat menarik bahkan meskipun area-area itu
terlihat berbahaya tanpa kekurangan energi dan rasa keterarahan yang meningkat. Pada tahap
ini, dengan inisiatifnya sendiri, anak-anak dengan gembira bergerak menuju dunia sosial
yang lebih luas. Inisiatif ini di pimpin oleh suara hati. Inisiatif dan antusias mereka tidak
hanya memberi reward, namun juga rasa bersalah, yang dapat menurunkan penghargaan diri.
b. Pemahaman Diri dan Memahami Orang Lain
Sebuah penelitian hasil terbaru mengungkapkan bahwa anak kecil lebih paham secara
psikologis kepada diri sendiri dan orang lain daripada yang selama ini dibayangkan.
Meningkatnya pemahaman psikologi anak ini mencerminkan kerumitan psikologis anak.
3
1. Pemahaman diri
Seorang anak kecil dengan jelas telah memulai mengembangkan pemahaman diri, yang
merupakan representasi diri, substansi dan isi dari konsepsi diri. Meskipun bukan merupakan
identitas personal yang menyeluruh, pemahaman diri menyediakan pondasi yang rasional.
Di masa kanak-kanak awal, anak-anak kecil berpikir bahwa diri dapat dideskripsikan
menurut berbagai karakteristik material, seperti ukuran, bentuk, dan warna. Mereka
membedakan dirinya dengan orang lain melalui atribut fisik dan mental. Berbagai aktivitas
fisik juga merupakan sebuah komponen sentral dari diri di masa kanak-kanak awal.
Meskipun anak-anak kecil seringkali mendeskripsikan dirinya sendiri dengan hal-hal
yang kongkret, terlihat, serta aktivitas. Ketika usia 4 atau 5 tahun, dimana mereka mendengar
orang lain menggunakan sifat psikologis dan istilah-istilah emosi, mereka mulai memasukkan
istilah dan sifat itu dalam penjelasan mengenai mereka sendiri. Dalam suatu deskripsi diri,
seorang anak berusia 4 tahun mungkin akan berkata “Saya tidak takut. Saya selalu bahagia”.
Deskripsi diri seorang anak kecil biasanya positif secara realistis, seperti yang tercermin
dalam komentar seorang anak berusia 4 tahun mengatakan bahwa ia selalu bahagia padahal
sebenarnya tidak. Anak-anak mendeskripsikan optimism ini karena mereka belum dapat
membedakan antara kompetensi yang diinginkan dan kompetensi sebenarnya. Anak-anak
juga cenderung menyamakan kemampuan dan usaha. Mereka berpikir bahwa perbedaan
kemampuan dapat diubah dengan mudah sebagaimana perbedaan usaha tidak melakukan
perbandingan sosial spontan terhadap kemampuan mereka dengan kemampuan orang lain,
dan cenderung membandingkan kemampuan mereka yang sekarang dengan kemampuan
mereka pada usia yang lebih kecil.
2. Memahami orang lain
Anak-anak membuat kemajuan dalam hal memahami orang lain di masa kanak-kanak
awal. Pada usia sekitar 4 tahun hingga 5 tahun, anak-anak tidak hanya mulai menjelaskan diri
mereka sendiri dalam istilah sifat-sifat psikologis, namun mereka juga mempersepsikan orang
lain demikian. Mungkin saja anak usia 4 tahun berkata, “Guruku baik”.
Peneliti telah menemukan bahwa anak-anak usia 4 tahun pun mengerti seseorang
mungkin akan membuat pernyataan yang tidak benar untuk memperoleh apa yang diinginkan
atau menghindari masalah. Aspek penting lainnya dari memahami orang lain meliputi
pemahaman tentang komitmen bersama.
4
2. Perkembangan Emosi
Kesadaran mengenai diri yang berkembang pada seorang anak kecil berkaitan dengan
kemampuan merasakan rentang emosinya yang semakin luas. Seperti orang dewasa, anak-
anak kecil mengalami berbagai emosi dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan emosi di
masa kanak-kanak awal membuat mereka mencoba untuk memahami reaksi-reaksi emosi
orang lain dan mengendalikan emosinya sendiri.
a. Mengekspresikan Emosi
Rasa bangga, malu, bersalah, adalah contoh dari emosi sadar diri. Emosi-emosi sadar diri
tidak terlihat berkembang hingga kesadaran diri muncul di sekitar usia 18 bulan. Selama
proses bertahun-tahun kehidupan kanak-kanak awal, emosi-emosi seperti bangga dan rasa
bersalah menjadi lebih umum. Secara khusus mereka dipengaruhi oleh respons-respons orang
tua terhadap tingkah laku anak. Sebagai contoh, seorang anak kecil merasa malu ketika orang
tuanya mengatakan ,”Kamu seharusnya merasa bersalah karena telah memukul saudara
perempuanmu”.
b. Memahami Emosi
Perubahan yang paling penting di dalam perkembangan emosi masa kanak-kanak awal
adalah peningkatan pemahaman terhadap emosi. Selama masa kanak-kanak awal, anak-anak
semakin memahami suatu situasi dapat menimbulkan emosi tertentu, ekspresi wajah
mengindikasikan emosi tertentu, emosi mempengaruhi tingkah laku, serta emosi dapat
digunakan untuk mempengaruhi emosi orang lain.
Antara usia 2 hingga 4 tahun, anak-anak memperlihatkan peningkatan jumlah istilah yang
mereka gunakan untuk mendeskripsikan emosi. Selama masa ini, anak-anak juga belajar
mengetahui penyebab dan konsekuensi dari perasaan-perasaan. Ketika anak berusia 4 hingga
5 tahun, mereka memperlihatkan adanya peningkatan kesadaran sehingga mereka perlu
mengelola emosi-emosi mereka agar dapat memenuhi standar sosial. Pada usia 5 tahun,
sebagian besar anak-anak dapat menemukan emosi secara akurat, yang diperoleh dengan
menghadapi lingkungan serta menjelaskan strategi yang mereka lakukan dalam mengatasi
tekanan sehari-hari.
c. Mengatur Emosi
Pengaturan emosi sangat berperan penting pada kemampuan anak-anak mengelola
tuntutan dan konflik yang dihadapi dalam berinteraksi dengan orang lain.
5
1. Orang tua yang melatih emosi dan mengabaikan emosi.
Orang tua dapat berperan penting dalam membantu anak-anak mengelola emosi mereka.
Orang tua yang melatih emosi mengawasi emosi anak-anaknya, memandang emosi negatif
anak sebagai kesempatan untuk melatih, membantu anak-anak melabeli emosi, serta melatih
anak-anak bagaimana mengatasi emosi secara efektif. Sebaliknya, orang tua yang menolak
emosi memandang peran mereka untuk menolak, mengabaikan, atau mengubah emosi
negatif. Orang tua yang melatih emosi berinteraksi dengan anak-anaknya dengan cara yang
tidak menampik, lebih banyak mendukung dan memuji, dan lebih bersifat mengasuh daripada
orang tua yang menolak emosi. Lebih jauh lagi, anak-anak dari orang tua yang melatih emosi
lebih dapat menenangkan diri ketika sedang marah, lebih efektif dalam meregulasi dampak
negatif, lebih baik dalam memfokuskan atensi dan memiliki lebih sedikit masalah.
2. Regulasi emosi dan hubungan dengan teman sebaya.
Emosi berperan penting dalam menentukan keberhasilan relasi anak-anak dengan kawan
sebaya. Anak-anak yang moody dan negatif secara emosi cenderung ditolak oleh kawan-
kawan sebayanya, di mana anak-anak yang positif secara emosi lebih populer. Anak usia 4
tahun mengenali dan menyusun strategi untuk mengendalikan amarahnya lebih baik dari anak
usia 3 tahun.
9
2. Pengaruh Sosial
Banyak ilmuan sosial tidak melandaskan penyebab perbedaan psikologis dari gender pada
disposisi. Mereka berpendapat bahwa perbedaan ini berkaitan dengan pengalaman sosial.
Kaitan antara pengalaman dengan perbedaan gender dijelaskan oleh teori-teori sosial dan
kognitif.
a. Teori Sosial Gender
Terdapat tiga teori sosial mengenai gender teori peran sosial, teori psikoanalitik, dan teori
sosial kognitif. Teori peran sosial (social role theory) yang menyatakan bahwa perbedaan
gender disebabkan oleh adanya peran yang kontras antara wanita dan pria. Pada sebagian
besar budaya di seluruh dunia, wanita memiliki kekuasaan dan status yang lebih rendah
dibandingkan pria. Wanita juga memiliki kendali kecil dibandingkan pria. Dibandingkan
dengan pria, wanita lebih banyak mengerjakan tugas-tugas domestik, lebih sedikit
meluangkan waktu dalam pekerjaan yang dibayar, menerima pendapatan yang lebih kecil,
dan jarang menempati level tertinggi dalam suatu organisasi.
Teori psikoanalisis mengenai gender (psychoanalytic theory of gender), anak prasekolah
mengembangkan semacam ketertarikan seksual terhadap orang tua dengan gender yang
berbeda. Proses inilah yang disebut disebut sebagai Oedipus (untuk anak laki-laki) atau
electra (untuk anak perempuan) complex. Ketika berusia 5 atau 6 tahun, seorang anak
meninggalkan ketertarikan ini karena perasaan cemas. Setelah itu, anak beridentifikasi
dengan orang tua dengan gender yang sama ini. Anak-anak memiliki karakteristik yang
tipikal sesuai gendernya, sebelum berusia 5 atau 6 tahun, mereka menjadi maskulin atau
feminim meskipun orang tua dengan gender yang sama tidak hadir di dalam keluarga.
Teori kognitif sosial mengenai gender (social cognitive theory of gender),
perkembangan gender anak-anak terjadi melalui observasi dan imitasi terhadap hal-hal yang
dikatakan dan dilakukan orang lain, serta melalui penghargaan dan hukuman yang diterima
untuk perilaku yang sesuai dan tidak sesuai dengan gender. Semenjak dilahirkan, para pria
dan wanita diperlakukan secara berbeda. Ketika para bayi dan balita memperlihatkan
perbedaan gender, orang dewasa cenderung memberi penghargaan. Orang tua seringkali
menggunakan metode hadiah dan hukuman ketika mengajar anak perempuannya untuk
menjadi feminim dan anak-anak laki-lakinya menjadi maskulin. Budaya, sekolah, kawan
sebaya, media, dan para anggota keluarga lainnya juga menjadi model peran gender.
10
Pengaruh orang tua, melalui tindakan dan melalui contoh yang di berikan, mempengaruhi
perkembangan gender anak-anaknya . Baik ibu maupun ayah penting secara psikologis
terhadap perkembangan gender anak mereka. Meskipun demikian, budaya di seluruh dunia
cenderung memberikan peran yang berbeda kepada mereka.
Strategi Sosialisasi Ibu. Dalam banyak budaya, ibu mensosialisasikan anak
perempuannya agar lebih patuh dan bertanggung jawab dari pada laki-laki. Ibu
juga memberikan lebih banyak batasan terhadap otonomi anak perempuan.
Strategi Sosialisasi Ayah. Ayah menunjukan atensi lebih kepada anak laki-laki
daripada anak perempuan, lebih banyak melakukan aktivitas dangan anak laki-
laki, serta lebih mendukung perkembangan intelektual anak laki-laki.
Pengaruh Teman Sebaya Orang tua memberikan diskriminasi yang paling awal berkaitan
dengan peran gender. Meskipun demikian, tidak lama kemudian, teman sebaya ikut serta
dalam proses merespons dan meniru perilaku maskulin dan feminim. Bahkan, teman sebaya
berperan penting bagi perkembangan gender sedemikian rupa sehingga taman bermain
disebut sebagai “sekolah gender”.
Teman sebaya secara luas menghargai dan menghukum perilaku gender. Sebagai contoh,
ketika anak bermain dengan cara yang menurut budaya dinyatakan sesuai dengan gendernya,
kawan-kawan sebaya cenderung menghargai mereka. Namun Teman sebaya sering kali
menolak anak-anak yang bertindak dengan cara yang dianggap lebih mencerminkan
karakteristik dari gender lain.
Gender membentuk aspek-aspek yang penting dalam relasi dengan teman sebaya. Gender
mempengaruhi komposisi dari kelompok anak-anak, ukuran kelompok, serta interaksi di
dalam kelompok.
Ketika menginjak usia sekitar 3 tahun, anak-anak sudah memperlihatkan prefensi untuk
menghabiskan waktu dengan teman-teman bermain yang bergender sama. Dari usia 4 hingga
12 tahun, perfensi untuk bermain dengan kelompok gender yang sama meningkat, dan selama
tahun-tahun sekolah dasar anak-anak melewatkan sebagian besar waktu luangnya dengan
anak-anak yang bergender sama.
Ukuran kelompok, usia anak 5 tahun keatas, anak laki-laki cenderung bergabung dengan
kelompok yang lebih besar dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki juga cenderung
berpartisipasi di dalam berbagai permainan kelompok yang lebih terorganisasi dibandingkan
anak perempuan.
11
Interaksi dalam kelompok yang bergender sama. Dibandingkan anak perempuan, anak
laki-laki lebih suka terlibat di dalam permainan fisik, berkompetisi, berkonflik,
memperlihatkan ego, beresiko, dan mencari dominasi. Sebaliknya, anak-anak perempuan
lebih suka terlibat dalam “percakapan kolaborati”, dimana mereka berbicara dan bertindak
secara timbal balik.
3. Pengaruh kognitif
Observasi, imitasi, hadiah, dan hukuman semua merupakan mekanisme di mana gender
berkembang sesuai teori kognitif sosial. Menurut pandangan ini, interaksi antara anak dan
lingkungan sosial merupakan kunci utama bagi perkembangan gender.
Sebuah teori kognitif yang berpengaruh adalah teori skema gender, yang menyatakan
bahwa tipe gender terjadi ketika anak-anak secara bertahap mengembangkan skema gender
atas sesuai gender dan tidaak sesuai gender dalam budaya mereka. Sebuah skema gender
mengorganisasi dunia berdasarkan wanita dan pria. Anak-anak secara internal termotivasi
untuk memersepsikan dunia dan bertindak sesuai dengan skema mereka yang berkembang
itu. Sedikit demi sedikit, anak-anak memahami hal-hal yang sesuai gender dan yang tidak
sesuai gender dalam budaya mereka, dan mengembangkan skema gender yang membentuk
persepsi mereka terhadap dunia dan apa yang mereka ingat. Anak-anak lebih termotivasi
untuk bertindak sesuai dengan skema gender tersebut. Jadi, skema gender menjadi landasan
bagi tipe gender.
Kelekatan (attachment) pada seorang pengasuh merupakan relasi sosial yang penting
selama masa bayi. Perkembangan sosial dan emosi juga dibentuk oleh relasi-relasi lain dan
oleh temperamen, konteks, pengalaman sosial di awal kanak-kanak, serta di masa
selanjutnya.
A. Pengasuhan
Pengasuhan yang baik menarik memerlukan waktu dan usaha. Perkembangan anak
bukanlah kuantitas waktu yang diluangkan orang tua untuk anak-anaknya kualitas
pengasuhan juga penting. Gaya pengasuhan yang digunakan setiap orang tua bervariasi.
12
1. Gaya pengasuhan Baumrind
Diana Baumrind (1971) berkeyakinan bahwa orang tua seharusnya tidak menghukum
atau bersikap dingin kepada anak-anaknya. Orang tua seharusnya mengembangkan aturan-
aturan dan bersikap hangat kepada anak-anaknya Ia mendeskripsikan empat tipe gaya
pengasuhan:
1. Pengasuhan otoriter (authoritarian parenting) adalah gaya yang bersifat membatasi dan
menghukum, di mana orang tua mendesak anaknya agar mematuhi orang tua serta
menghormati usaha dan jerih payah mereka. Orang tua otoritarian menempatkan batasan-
batasan dan kendali yang tegas pada anak serta tidak memberi peluang kepada anak-anak
untuk bermusyawarah. Orang tua ototarian juga mungkin memukul anak, menetapkan aturan-
aturan secara kaku tanpa memberikan penjelasan, dan menunjukan kemarahan terhadap anak.
Anak-anak dari orang tua ototaritarian sering kali tidak bahagia, takut, dan cemas ketika
membandingkan dirinya dengan orang lain, tidak memiliki inisiatif, dan memiliki
keterampilan komunikasi yang buruk.
2. Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting) adalah mendorong anak-anak untuk mandiri
namun masih tetap memberi batasan dan kendali atas tindakan-tindakan anak. Orang tua
masih memberikan kesempatan untuk berdialog secara verbal. Di samping itu orang tua juga
bersifat hangat dan mengasuh. Orang tua otoritatif memperlihatkan rasa senang dan
dukungan sebagai respons tingkah laku yang matang, mandiri, dan sesuai usia anak-anaknya.
Anak-anak yang orang tuanya otoritatif seringkali terlihat riang gembira, memiliki kendali
dirinya dan percaya diri. Mereka cenderung mempertahankan relasi yang bersahabat dengan
kawan-kawan sebaya, kooperatif dengan orang dewasa, dan mampu mengatasi stres dengan
baik.
3. Pengasuhan lalai (neglectful parenting) adalah gaya dimana orang tua sangat sangat tidak
terlibat di dalam kehidupan anak. Anak-anak yang orang tuanya lalai mengembangkan
perasaan bahwa aspek-aspek lain dari kehidupan orang tua lebih penting daripada mereka.
Anak-anak cenderung tidak kompeten dalam sosial. Banyak anak-anak yang kurang memiliki
kendali diri dan tidak mampu independensi secara baik. Mereka sering kali memiliki harga
diri yang rendah, tidak matang, dan mungkin terasing dari keluarga.
4. Pengasuhan permisif (indulgent parenting) adalah gaya dimana orang tua sangat terlibat
dengan anaknya namun kurang memberikan tuntutan atau kendali terhadap mereka. Orang
tua semacam ini membiarkan anak-anaknya melakukan apapun yang mereka inginkan.
13
Hasilnya adalah anak-anak yang tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan
selalu berharap kemauan mereka dituruti. Anak-anak dari orang tua yang memanjakan, jarang
belajar menghormati orang lain dan kesulitan mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin
mendominasi egosentris, tidak patuh, dan kesulitan relasi dengan teman sebaya.
2. Gaya pengasuhan dalam konteks
Gaya pengasuhan konteks merupakan gaya yang diterapkan sesuai dengan etnis atau
kebudayaan masing-masing tempat. Sebagai contoh, orang tua Asia-Amerika seringkali
melanjutkan praktik pengasuhan tradisional Asia yang kadangkala bersifat otoritarian. Orang
tua tersebut menerapkan kendali yang ketat terhadap kehidupan anak-anak.
3. Hukuman
Selama berabad-abad, hukuman fisik seperti memukul, dianggap sebagai sebuah
keharusan dan bahkan metode yang dipilih untuk mendisiplinkan anak-anak. Sebuah riset
menyimpulkan bahwa hukuman fisik oleh orang tua diasosiasikan dengan level kepatuhan
langsung dan agresi yang lebih tinggi pada anak-anak.
Alasan-alasan yang digunakan untuk menghindari memukul anak atau hukuman-
hukuman adalah sebagai berikut:
1. Jika seorang dewasa menghukum seorang anak dengan cara berteriak, menjerit, atau
memukul, artinya orang tua memberikan contoh yang tidak baik dalam menangani situasi
yang dalam tekanan. Anak-anak dapat meniru perilaku yang agresif dan kehilangan kendali.
2. Hukuman dapat menanamkan rasa takut, marah, atau sikap menghindar. Sebagai contoh,
memukul anak dapat menyebabkan anak tersebut menghindar berada di dekat orang tua
karena takut.
3. Hukuman mengatakan hal-hal yang tidak boleh dilakukan alih-alih hal-hal yang seharusnya
dilakukan. Sebaiknya anak-anak diberi umpan balik, seperti “Kenapa kamu tidak mencoba
ini”
4. Hukuman dapat berbahaya. Orangtua mungkin secara tidak sengaja menjadi sangat bangkit
amarahnya ketika mereka menghukum anak-anak, sehingga mereka menjadi kasar.
Untuk mengatasi perilaku yang salah pada anak, sebagian besar psikolog anak
menyarankan untuk mengajak anak bernalar, khususnya dengan menjelaskan konsekuensi
dari tindakan anak terhadap orang lain. Titik akhir tentang penerapan hukuman fisik kepada
anak-anak adalah perdebatan mengenai dampak hukuman fisik pada perkembangan anak
terus berlanjut. Jika hukuman fisik digunakan, maka seharusnya hukuman tersebut ringan,
tidak sering, sesuai usia, dan digunakan dalam konteks relasi orang tuaanak yang positif.
14
4. Pengasuhan bersama
Pengasuhan bersama yakni dukungan yang diberiakan oleh masing-masing orang tua
terhadap satu sama lain dalam membesarkan anak. Koordinasi yang buruk di antara orang
tua, rongrongan salah satu orang tua, kurangnya kooperasi dan kehangatan, dan terputusnya
hubungan dengan salah satu orang tua, adalah kondisi-kondisi yang dapat membuat anak
beresiko. Pengasuhan bersama mengindikasikan usaha pengendalian anak-anak melebihi
pengasuhan ibu atau ayah saja. Orang tua yang tidak memiliki banyak waktu bersama anak-
anaknya atau yang memiliki masalah dalam pengasuhan anak dapat memanfaatkan konseling
dan terapi.
19
Orang tua dari etnis minoritas juga kurang berpendidikan dan cenderung lebih banyak tinggal
di lingkungan dengan pendapatan rendah dibandingkan orang tua kulit putih. Namun
demikian, banyak keluarga minoritas yang hidupnya sederhana dapat membesarkan anak-
anak yang kompeten.
Akulturasi dan Pengasuhan Etnis Minoritas. Anak-anak dan orang tua dari minoritas
etnik diharapkan dapat mengatasi aspek-aspek dominan dari latar belakang budaya dan
identitas mereka. Mereka akan mengalami berbagai tingkatan alkulturasi, yaitu perubahan
budaya yang terjadi ketika satu budaya bersinggungan dengan budaya lain. Sebagai contoh,
orang tua Asia-Amerika mungkin merasa sulit untuk memodifikasi gaya pengendalian
tradisional mereka ketika menghadapi gaya pengasuhan yang lebih permisif pada budaya
minoritas.
Status sosio-ekonomi. Dibandingkan keluarga berpenghasilan tinggi, keluarga
berpenghasilan rendah kurang memiliki akses terhadap sumber daya. Perbedaan akses
terhadap sumber daya ini mencakup nutrisi, layanan kesehatan, asuransi kecelakaan, serta
kesempatan memperkaya pendidikan seperti tutorial dan aktivitas. Perbedaan-perbedaan ini
terkumpul dalam keluarga berpenghasilan rendah dengan karakteristik kemiskinan jangka
panjang.
21
Meskipun hubungan orang tua-anak mempengaruhi hubungan anak-teman sebaya, anak-anak
juga mempelajari bentuk lain dari relasi melalui hubungan mereka dengan teman sebaya.
Sebagai contoh, permainan fisik terjadi umumnya antara anak dengan teman sebaya, bukan
pada interaksi anak-orang tua. Ketika sedang tertekan, anak-anak akan mendatangi orang
tuanya untuk mencari dukungan, bukan teman sebayanya. Dalam hubungan orang tua-anak,
anak-anak belajar menghubungkan figur otoritas. Dengan teman sebaya, anak-anak akan
berinteraksi secara setara dan belajar membentuk hubungan berdasarkan pengaruh bersama.
B. Permainan
Sebagian besar interaksi dengan teman-teman sebaya selama masa kanak-kanak
melibatkan kegiatan bermain, namun bermain sosial merupakan salah satu dari tipe bermain.
Bermain merupakan salah satu aktivitas menyenangkan yang dilakukan demi aktivitas itu
sendiri, bermain memiliki fungsi dan bentuk.
1. Fungsi Permainan
Bermain penting bagi perkembangan kognitif dan sosia-emosi anak-anak. Bermain dapat
membantu dalam mengatasi kecemasan dan konflik-konflik lainnya. Karena ketegangan
dapat diredakan melalui aktivitas bermain, anak dapat mengatasi masalah hidupnya. Bermain
memungkinkan anak untuk memungkinkan anak untuk mengeluarkan kelebihan energi dan
melepaskan ketegangan yang tertahan. Anak-anak dapat merasa kurang terancam dan
cenderung lebih dapat mengekspresikan perasaan-perasaan sebenarnya di dalam konteks
bermain.
Bermain sebagai aktivitas yang menggairahkan dan menyenangkan karena bermain
memuaskan dorongan eksplorasi kita. Dorongan ini mencakup rasa ingin tahu dan hasrat
untuk memperoleh informasi mengenai sesuatu yang baru atau tidak biasa.
2. Jenis Bermain
Jenis permainan anak yang banyak dipelajari adalah permainan sensorimotor serta
permainan praktis, permainan pura-pura/simbolik, permainan sosial, permainan konstruktif,
dan games.
Permainan sensoris-motorik dan praktis Permainan sensoris-motorik (sensorimotor
play) adalah perilaku yang dilakukan bayi untuk memperoleh kesenangan melalui skema-
skema sensorimotornya. Bayi biasanya terlibat dalam permainan visual, eksploratif, dan
motorik. Sebagai contoh, di usia 9 bulan, bayi mulai memilih obyek-obyek baru untuk di
eksplorasi dan dimainkan, khususnya obyek-obyek responsif, seperti mainan yang dapat
menimbulkan suara atau melambung.
22
Permainan praktis (pratice play) melibatkan pengulangan perilaku, yang terjadi ketika
sejumlah keterampilan baru sedang dipelajari, atau ketika anak dituntut untuk memiliki
penguasaan fisik ataupun mental dan mengoordinasi keterampilan yang diperlukan untuk
permainan atau olahraga.
Permainan pura-pura atau simbolis (pretence/simbolic play) terjadi ketika seorang
anak mengubah lingkungan fisik menjadi sebuah simbol. Ketika berusia 9 hingga 30 bulan,
anak-anak meningkatkan penggunaan obyek di dalam permainan simbolik. Mereka belajar
mengubah obyek, menganggap obyek itu menjadi obyek lain, serta memperlakukan obyek itu
seolah-olah menjadi obyek lainnya itu. Sebagai contoh, daun dianggap sebagai uang.
Permainan pura-pura adalah aspek penting dalam perkembangan anak-anak kecil dan sering
kali merefleksikan kemajuan perkembangan kognitifnya, terutama sebagi indikasi dan
pemahaman simbolis.
Permainan sosial (social play) adalah kegiatan bermain yang melibatkan interaksi
dengan kawan-kawan sebaya. Permainan sosial meningkat secara dramatis selama masa
prasekolah. Bagi sebagian besar anak-anak, permainan sosial adalah konteks utama bagi
interaksi sosial anak-anak dengan kawan sebayanya. Permainan sosial mencakup berbagai
pertukaran seperti bergantian, percakapan berbagai topik, permainan dan rutinitas sosial, serta
permainan fisik.
Permaian konstruktif (constructive play) mengkombinasikan permainan
sensorimotor/praktis dengan representasi simbolik. Bermain konstruktif terjadi ketika anak-
anak terlibat kreasi yang bersifat regulasi-diri dari sebuah produk atau solusi. Bermain
konstruktif meningkat di masa prasekolah sebagaimana permainan simbolik meningkat dan
permainan sensorimotork menurun. Bermain konstruktif juga merupakan bentuk permainan
yang sering dilakukan di tahun-tahn sekolah dasar, baik di dalam maupun di luar kelas.
Games adalah aktivitas yang dilakukan untuk memperoleh kesenangan dan memiliki
aturan-aturan. Games sering kali bersifat kompetitif. Anak-anak prasekolah mungkin mulai
berpartisipasi di dalam permainan sosial yang mencakup aturan-aturan sederhana yang
bersifat timbal balik.
23
C. Televisi
Meskipun televisi hanyalah salah satu dari berbagai tipe media-massa yang
mempengaruhi perilaku anak-anak, televisi memberikan dampak yang paling besar. Sebagian
besar anak-anak meluangkan lebih banyak waktu di depan televisi daripada di depan orang
tuanya.
Televisi dapat memberikan dampak negatif terhadap anak-anak karena televisi membuat
anak-anak malas belajar, melalaikan pekerjaan rumah, mengajarkan stereotif, menyediakan
model-model yang agresif, dan menayangkan tayangan yang tidak realistis mengenai dunia.
Meskipun demikian, televisi dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan anak-
anak melalui penayangan program-program pendidikan yang dapat memotivasi, serta
menyediakan model-model dari perilaku prososial.
1. Pengaruh Televisi Terhadap Agresi Anak
Penelitian menemukan kaitan antara menonton tayangan kekerasan di televisi ketika
masih anak-anak dan tindakan agresif beberapa tahun kemudian. Sebagai contoh, dalam
suatu penelitian , paparan kekerasan media pada usia 6 hingga 10 tahun terkait dengan
perilaku agresif orang dewasa muda.
Selain tayangan kekerasan televisi, kini juga terdapat kekhawatiran sehubungan dengan
meningkatnya kecenderungan anak-anak bermain video games yang bertema kekerasan,
khususnya tayangan yang realistik.
2. Pengaruh Televisi Terhadap Perilaku Prososial Anak
Televisi juga dapat mengajarkan anak-anak lebih baik bertindak secara positif, prososial,
dibandingkan secara negatif dan antisosial.
3. Telivisi, Perkembangan Kognitif, dan Prestasi
Secara umum, televisi belum memperlihatkan memengaruhi kreativitas anak-anak, namun
secara negatif terkait dengan kemampuan mental mereka.
Menonton televisi juga berkaitan dengan penurunan prestasi sekolah. Namun, beberapa jenis
tayangan televisi seperti program-program pendidikan untuk anak dapat meningkatkan
prestasi. Ketika menjadi anak-anak prasekolah dikaitkan dengan seperangkat karakteristik
yang diinginkan pada masa remaja : mendapatkan nilai yang lebih tinggi, membaca lebih
banyak buku, menempatkan nilai yang lebih tinggi atas prestasi, lebih kreatif, dan bertindak
kurang agresif.
24