Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK DARI MASA ANAK


AWAL SAMPAI AKHIR

TAHUN PELAJARAN 2017/2018

Mata Kuliah : Psikologi Perkembangan


Dosen : Hari Budi, S.Psi, MM

Di Susun Oleh :
Kelompok 3

Edwin Ferdinan (201610515039)

Nur Hasanah

Psikologi 3–C

UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA

Jl. Raya Perjuangan, Bekasi Utara, Jawa Barat 17121, Indonesia


Telpon : (021) 88955882
Email : info@ubharajaya.ac.id
Web : http://www.ubharajaya.ac.id
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan Karunia,
Rahmat, dan Hidayah-Nya yang berupa kesehatan, sehingga makalah yang berjudul
“Perkembangan Sosial Emosional Anak Dari Masa Anak Awal Sampai Akhir” dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun sebagai tugas kelompok mata kuliah Psikologi Perkembangan.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang di berikan oleh dosen
pengampu mata kuliah Psikologi Perkembangan Hari Budi, S.Psi, MM. Kami berusaha
menyusun makalah ini dengan segala kemampuan, namun kami menyadari bahwa makalah
ini masih banyak memiliki kekurangan baik dari segi penulisan maupun segi penyusunan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan senang
hati demi perbaikan makalah selanjutnya.

Semoga makalah ini bisa memberikan informasi mengenai Perkembangan Sosial


Emosional Anak Dari Masa Anak Awal Sampai Akhir dan bermanfaat bagi para
pembacanya. Atas perhatian dan kesempatan yang diberikan untuk membuat makalah ini
kami ucapkan terima kasih.

Bekasi, 09 November 2017

Penulis
i

DAFTAR ISI

Kata Pengantar                                                                                                       _______ i

Daftar Isi                                                                                                                _______ ii

BAB I  PENDAHULUAN                                                                             ___________ 1

             1.1.  Latar Belakang                                                                            ___________ 1

             1.2.  Rumusan Masalah                                                                       ___________ 2

             1.3.  Tujuan Penulisan                                                                         ___________ 2

             1.4.  Manfaat                                                                                       ________ ____ 2

BAB II  PEMBAHASAN                                                                                ___________ 3

             2.1  Perkembangan Emosi dan Perkembangan Kepribadian ___________________3

             2.2 Peran Keluarga dalam Perkembangan Anak___________________________12

2.3 Hubungan Teman, Permainan, dan Televisi dalam Perkembangan Anak_____20

2.4

BAB III     PENUTUP                                                                                          _________

                   Kesimpulan                                                                                          ________

                   Saran                                                                                                    _________

Daftar Pustaka                                                                                                        _________

ii
BAB I

PENDAHULUAN

 1.1  Latar Belakang


Emosi merupakan perasaan yang terjadi ketika seseorang berada dalam suatu kondisi atau
terlibat dari suatu interaksi yang penting baginya. Emosi ditandai dengan perilaku yang
mencerminkan rasa senang atau tidak senang dari seseorang yang sedang berada dalam suatu
kondisi atau interaksi.
Sebagai bayi, perkembangan sosioemosi anak-anak menunjukan kemajuan berarti ketika
pengasuhnya (terutama orang tua) mensosialisasikan mereka, dan mereka mengembangkan
cara yang lebih rumit untuk memulai interaksi sosial dengan orang lain. Perkembangan
kelekatan yang aman adalah aspek kunci perkembangan bayi, dan perkembangan otonomi di
tahun kedua kehidupan menyiratkan pencapaian penting. Ketika anak-anak melewati masa
bayi, penting bagi pengasuh untuk memandu anak-anak meregulasi emosi mereka.
Temperamen pun menjadi karakteristik sentral dari profil bayi dan beberapa gaya
temperamen lebih adaptif daripada gaya lain. Mengasuh anak menjadi lebih umum di tahun-
tahun terakhir ini, dan kualitasnya berbeda-beda. Orang tua tetap berperan penting dalam
perkembangan anak di awal masa kanak-kanak, namun kini kawan sebaya pun mulai
berperan.
Pada masa kanak-kanak awal, kehidupan emosi dan kepribadian anak-anak
memperlihatkan perkembangan yang berarti. Seiring dengan proses ini, dunia mereka yang
dulunya kecil ini menjadi terbuka lebih lebar. Selain pengaruh relasi keluarga, kawan-kawan
sebaya mulai berperan dalam perkembangan anak-anak untuk mengisi kehidupan sehari-hari.
Dalam artikel ini akan membahas tentang perkembangan emosi dan kepribadian anak,
pengaruh keluarga terhadap perkembangan anak, dan peran sebaya, bermain, dan televisi
dalam perkembangan anak.
Perkembangan sosioemosi dimasa anak-anak perlu di pahami dan dapat diterapkan
dalam perilaku sehari-hari untuk mengasuh anak-anak awal. Dengan mengetahui hal tersebut
seorang anak dapat berkembang dengan baik dan memiliki kepribadian yang baik.
Perkembangan masa kanak-kanak awal yang baik akan mmbuat perkembangan selanjutnya
akan menjadi baik, begitu pula sebaliknya jika perkembangan masa kanak-kanak awal kurang
baik maka perkembangan selanjutnya akan kurang baik juga.
1
1.2 Perumusan Masalah
1. Apa saja karakteristik Perkembangan Emosional dan Kepribadian Anak?
2. Peran apa yang dimainkan keluarga dalam Perkembangan Anak?
3. Bagaimana hubungan Teman Sebaya, Permainan, dan Televisi terlibat dalam
Perkembangan Anak?

1.3  Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain:

1.      Untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Perkembangan.

2.      Untuk menambah pengetahuan tentang Perkembangan Sosial Emosional Anak Dari
Masa Anak Awal Sampai Akhir.

3.

4.

1.4  Manfaat

               Manfaat yang didapat dari makalah ini adalah:

1.      Mahasiswa dapat menambah pengetahuan tentang Perkembangan Sosial Emosional


Anak Dari Masa Anak Awal Sampai Akhir.

2.     Mahasiswa dapat mengetahui karakteristik Perkembangan Emosional dan


Kepribadian Anak.

3.     

4.     

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Perkembangan Emosi dan Perkembangan Kepribadian

Di masa kanak-kanak awal, perkembangan sosio-emosi anak-anak kecil ditandai oleh


sejumlah perubahan. Perkembangan pikiran serta pengalaman emosi yang terjadi
menghasilkan kemajuan yang nyata dalam perkembangan diri, kematangan emosi,
pemahaman moral, serta kesadaran gender.

1.      Diri
Selama tahun kedua kedua kehidupan , anak-anak membuat banyak kemajuan dalam
pengenalan diri. Pada tahun-tahun masa kanak-kanak awal, anak-anak mengembangkan
berbagai cara yang dapat meningkatkan pemahaman diri mereka.
a.      Inisiatif versus Rasa Bersalah
Pada masa kanak-kanak awal, anak-anak menjadi lebih yakin bahwa mereka adalah diri
mereka sendiri. Selama masa kanak-kanak awal, mereka mulai menemukan pribadi yang
diinginkan. Secara intensif mereka mengidentifikasi kepada orang tuanya, yang hampir selalu
terlihat kuat dan cantik, meskipun seringkali tidak masuk akal, tidak sependapat, dan
kadangkala membahayakan. Selama kanak-kanak awal, anak-anak menggunakan
keterampilan perseptual, motorik, kognitif, dan bahasa untuk melakukan sesuatu. Mereka
memiliki kelebihan energi yang memungkinkan melupakan kegagalan-kegagalannya dengan
cepat dan mendekati area-area baru yang terlihat menarik bahkan meskipun area-area itu
terlihat berbahaya tanpa kekurangan energi dan rasa keterarahan yang meningkat. Pada tahap
ini, dengan inisiatifnya sendiri, anak-anak dengan gembira bergerak menuju dunia sosial
yang lebih luas. Inisiatif ini di pimpin oleh  suara hati. Inisiatif dan antusias mereka tidak
hanya memberi reward, namun juga rasa bersalah, yang dapat menurunkan penghargaan diri.
b.      Pemahaman Diri dan Memahami Orang Lain
Sebuah penelitian hasil terbaru mengungkapkan bahwa anak kecil lebih paham secara
psikologis kepada diri sendiri dan orang lain daripada yang selama ini dibayangkan.
Meningkatnya pemahaman psikologi anak ini mencerminkan  kerumitan psikologis anak.
3
1.      Pemahaman diri
Seorang anak kecil dengan jelas telah memulai mengembangkan pemahaman diri, yang
merupakan representasi diri, substansi dan isi dari konsepsi diri. Meskipun bukan merupakan
identitas personal yang menyeluruh, pemahaman diri menyediakan pondasi yang rasional.
Di masa kanak-kanak awal, anak-anak kecil berpikir bahwa diri dapat dideskripsikan 
menurut berbagai karakteristik material, seperti ukuran, bentuk, dan warna. Mereka
membedakan dirinya dengan orang lain melalui atribut fisik dan mental. Berbagai aktivitas
fisik juga merupakan sebuah komponen sentral dari diri di masa kanak-kanak awal.
Meskipun anak-anak kecil seringkali mendeskripsikan dirinya sendiri dengan hal-hal
yang kongkret, terlihat, serta aktivitas. Ketika usia 4 atau 5 tahun, dimana mereka mendengar
orang lain menggunakan sifat psikologis dan istilah-istilah emosi, mereka mulai memasukkan
istilah dan sifat itu dalam penjelasan mengenai mereka sendiri. Dalam suatu deskripsi diri,
seorang anak berusia 4 tahun mungkin akan berkata “Saya tidak takut. Saya selalu bahagia”.
Deskripsi diri seorang anak kecil biasanya positif secara realistis, seperti yang tercermin
dalam komentar seorang anak berusia 4 tahun mengatakan bahwa ia selalu bahagia padahal
sebenarnya tidak. Anak-anak mendeskripsikan optimism ini karena mereka belum dapat
membedakan antara kompetensi yang diinginkan dan kompetensi sebenarnya. Anak-anak
juga cenderung menyamakan kemampuan dan usaha. Mereka berpikir bahwa perbedaan
kemampuan dapat diubah dengan mudah sebagaimana perbedaan usaha tidak melakukan
perbandingan sosial spontan terhadap kemampuan mereka dengan kemampuan orang lain,
dan cenderung membandingkan kemampuan mereka yang sekarang dengan kemampuan
mereka pada usia yang lebih kecil.
2.      Memahami orang lain
Anak-anak membuat kemajuan dalam hal memahami orang lain di masa kanak-kanak
awal. Pada usia sekitar 4 tahun hingga 5 tahun, anak-anak tidak hanya mulai menjelaskan diri
mereka sendiri dalam istilah sifat-sifat psikologis, namun mereka juga mempersepsikan orang
lain demikian. Mungkin saja anak usia 4 tahun berkata, “Guruku baik”.
Peneliti telah menemukan bahwa anak-anak usia 4 tahun pun mengerti seseorang
mungkin akan membuat pernyataan yang tidak benar untuk memperoleh apa yang diinginkan
atau menghindari masalah. Aspek penting lainnya dari memahami orang lain meliputi
pemahaman tentang komitmen bersama.

4
2.      Perkembangan Emosi
Kesadaran mengenai diri yang berkembang pada seorang anak kecil berkaitan dengan
kemampuan merasakan rentang emosinya yang semakin luas. Seperti orang dewasa, anak-
anak kecil mengalami berbagai emosi dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan emosi di
masa kanak-kanak awal membuat mereka mencoba untuk memahami reaksi-reaksi emosi
orang lain dan mengendalikan emosinya sendiri.
a.      Mengekspresikan Emosi
Rasa bangga, malu, bersalah, adalah contoh dari emosi sadar diri. Emosi-emosi sadar diri
tidak terlihat berkembang hingga kesadaran diri muncul di sekitar usia 18 bulan. Selama
proses bertahun-tahun kehidupan kanak-kanak awal, emosi-emosi seperti bangga dan rasa
bersalah menjadi lebih umum. Secara khusus mereka dipengaruhi oleh respons-respons orang
tua terhadap tingkah laku anak. Sebagai contoh, seorang anak kecil merasa malu ketika orang
tuanya mengatakan ,”Kamu seharusnya merasa bersalah karena telah memukul saudara
perempuanmu”.
b.      Memahami Emosi
Perubahan yang paling penting di dalam perkembangan emosi masa kanak-kanak awal
adalah peningkatan pemahaman terhadap emosi. Selama masa kanak-kanak awal, anak-anak
semakin memahami suatu situasi dapat menimbulkan emosi tertentu, ekspresi wajah
mengindikasikan emosi tertentu, emosi mempengaruhi tingkah laku, serta emosi dapat
digunakan untuk mempengaruhi emosi orang lain.
Antara usia 2 hingga 4 tahun, anak-anak memperlihatkan peningkatan jumlah istilah yang
mereka gunakan untuk mendeskripsikan emosi. Selama masa ini, anak-anak juga belajar
mengetahui penyebab dan konsekuensi dari perasaan-perasaan. Ketika anak berusia 4 hingga
5 tahun, mereka memperlihatkan adanya peningkatan kesadaran sehingga mereka perlu
mengelola emosi-emosi mereka agar dapat memenuhi standar sosial. Pada usia 5 tahun,
sebagian besar anak-anak dapat menemukan emosi secara akurat, yang diperoleh dengan
menghadapi lingkungan serta menjelaskan strategi yang mereka lakukan dalam mengatasi
tekanan sehari-hari.
c.       Mengatur Emosi
Pengaturan emosi sangat berperan penting pada kemampuan anak-anak mengelola
tuntutan dan konflik yang dihadapi dalam berinteraksi dengan orang lain.

5
1. Orang tua yang melatih emosi dan mengabaikan emosi.

Orang tua dapat berperan penting dalam membantu anak-anak mengelola emosi mereka.
Orang tua yang melatih emosi mengawasi emosi anak-anaknya, memandang emosi negatif
anak sebagai kesempatan untuk melatih, membantu anak-anak melabeli emosi, serta melatih
anak-anak bagaimana mengatasi emosi secara efektif. Sebaliknya, orang tua yang menolak
emosi memandang peran mereka untuk menolak, mengabaikan, atau mengubah emosi
negatif. Orang tua yang melatih emosi berinteraksi dengan anak-anaknya dengan cara yang
tidak menampik, lebih banyak mendukung dan memuji, dan lebih bersifat mengasuh daripada
orang tua yang menolak emosi. Lebih jauh lagi, anak-anak dari orang tua yang melatih emosi
lebih dapat menenangkan diri ketika sedang marah, lebih efektif dalam meregulasi dampak
negatif, lebih baik dalam memfokuskan atensi dan memiliki lebih sedikit masalah.
2.      Regulasi emosi dan hubungan dengan  teman sebaya.
Emosi berperan penting dalam menentukan keberhasilan relasi anak-anak dengan kawan
sebaya. Anak-anak yang moody dan negatif secara emosi cenderung ditolak oleh kawan-
kawan sebayanya, di mana anak-anak yang positif secara emosi lebih populer. Anak usia 4
tahun mengenali dan menyusun strategi untuk mengendalikan amarahnya lebih baik dari anak
usia 3 tahun.

3.      Perkembangan Moral


Perkembangan moral (moral development) mencakup perkembangan pikiran, perasaan,
dan perilaku menurut aturan dan kebiasaan mengenai hal-hal yang seharusnya dilakukan
seseorang ketika berinteraksi dengan orang lain. Teori-teori perkembangan utama
memfokuskan aspek-aspek yang berbeda dari perkembangan moral.
1.      Perasaan Moral
Rasa cemas dan rasa bersalah merupakan hal penting dalam menjelaskan perkembangan
moral. Menurut Freud, untuk meredakan kecemasan, menghindari hukuman, dan
mempertahankan afeksi orang tua, anak-anak beridentifikasi dengan orang tua, mengenali
standar-standar mengenai benar atau salah, sehingga terbentuklah superego sebagai elemen
moral dari kepribadian.
Selain rasa bersalah dan cemas, yang mempengaruhi perasaan moral adalah empati, yaitu
reaksi terhadap perasaan-perasaan orang lain dengan respons emosi yang serupa dengan
perasaan-perasaan orang lain. Untuk tindakan moral yang efektif, anak-anak perlu belajar
6
bagaimana mengidentifikasi berbagai kondisi emosi dan mengantisipasi tindakan-tindakan
yang dapat membantu kondisi emosi orang lain membantu perkembangan moral anak-anak.
2.      Penalaran Moral
Dari usia 4 hingga 7 tahun, anak-anak memperlihatkan moralitas heteronom, tahap
pertama dari perkembangan moral dalam teori Piaget. Dalam pikiran anak-anak, keadilan dan
aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh berubah dan terlepas
dari kendali manusia.
Dari usia 7 hingga 10 tahun, anak-anak yang berada di dalam suatu transisi
memperlihatkan beberapa ciri dari tahap pertama penalaran moral dan beberapa ciri dari
tahap kedua, moralitas otonom. Usia 10 tahun keatas, anak-anak memperlihatkan moralitas
otonom. Mereka menyadari aturan-aturan dan hukum-hukum yang diciptakan oleh manusia,
menilai suatu tindakan, dan mempertimbangkan intensi pelaku maupun konsekuensinya.
Karena anak-anak kecil adalah para moralis heteronom, mereka menilai kebenaran
perilaku berdasarkan konsekuensi dari perilaku itu., bukan berdasarkan intensi dari pelaku.
Para pemikir heteronom juga berkeyakinan bahwa aturan-aturan tidak dapat diubah dan
ditetapkan otoritas yang berkuasa sepenuhnya. Sebaliknya, anak-anak yang lebih tua para
moralis otonom menerima dan mengetahui bahwa aturan-aturan yang ada hanya merupakan
perjanjian-perjanjian yang disepakati bersama untuk kepentingan kenyamanan, yang dapat
diubah.
Para pemikit heteronom juga percaya pada keadilan yang pasti ada, yaitu konsep bahwa
hukuman akan langsung diberikan jika sebuah aturan dilanggar. Anak kecil  berkeyakinan
bahwa sebuah penyimpangan secara otomatis berkaitan dengan hukuman. Anak-anak yang
lebih besar, para moralis otonom mengetahui bahwa hukuman tidak dapat diletakkan hanya
jika seseorang yang menyaksikan perbuatan salah yang dilakukannya.
Didalam kelompok kawan-kawan sebaya, anak yang satu memiliki pengaruh dan status
yang sama dengan anak lainnya, rencana-rencana dinegosiasi dan dikoordinasi, serta tidak
kesetujuan diungkapkan dan akhirnya disepakati. Relasi orang tua-anak, dimana orang tua
lebih berpengaruh dibandingkan kawan-kawan, kurang melatih pnalaran moral yang sulit,
karena aturan-aturan seringkali ditetapkan secara autoritarian.
3.      Perilaku Moral
Proses penguatan, hukuman, dan imitasi menjelaskan perkembangan perilaku moral.
Ketika anak-anak diberikan penghargaan karena menampilkan perilaku yang sesuai dengan
hukum dan kebiasaan sosial
7
mereka cenderung akan mengulang perilaku itu. Ketika mereka diberikan panutan moral,
anak-anak cenderung mengadopsi tindakan mereka. Di samping itu, ketika anak-anak
dihukum  karena perilaku yang tidak bermoral, perilaku itu cenderung tidak diulangi.
Meskipun demikian, hukuman dapat memiliki dampak negatif.
4.      Hati Nurani
Hati nurani mengacu pada regulasi standar internal tentang benar dan salah yang
melibatkan integrasi dari ketiga komponen perkembangan moral , pemikiran moral, perasaan,
dan perilaku. Anak-anak telah menyadari hal yang benar dan salah, memiliki kapasitas untuk
menunjukan empati terhadap orang lain, mengalami rasa bersalah, menunjukan perasaan
tidak nyaman setelah melakukan pelanggaran, dan sensitif apabila melanggar peraturan. Hal
yang penting adalah adanya kemauan dari anak-anak untuk mengambil nilai-nilai dari orang
tuanya yang diperoleh dari relasi yang akrab dan positif.
5.      Pengasuhan dan Perkembangan Moral Anak
Diantara aspek-aspek terpenting dari relasi antara orang tua dan anak-anak yang
berkontribusi terhadap perkembangan moral anak-anak adalah kualitas relasi, disiplin orang
tua, strategi proaktif, dan dialog berkomunikasi. Kewajiban orang tua adalah memberikan
pengasuhan yang positif dan mengarahkan anak-anak untuk menjadi manusia yang
kompeten. Kewajiban anak-anak adalah merespons dengan pantas inisiatif orang tua dan
mempertahankan relasi yang positif dengan orang tua.
Strategi pengasuhan yang penting adalah untuk secara proaktif menghindari potensi
perilaku yang salah oleh anak-anak sebelum hal itu terjadi. Untuk anak-anak yang lebih kecil,
menjadi proaktif berarti menggunakan pengalihan, seperti mengalihkan perhatian anak-anak
atau memberikan aktivitas alternatif. Untuk anak-anak yang lebih besar, menjadi proaktif
adalah berkomunikasi kepada mereka mengenai nilai-nilai yang dianggap penting oleh orang
tua.
Komunikasi dapat direncanakan atau secara spontan dan brrfokus topik seperti kejadian-
kejadian yang sudah terjadi(perilaku salah atau yang baik), bebagai kejadian yang sedang
datang (pergi kesuatu tempat yang menimbulkan perilaku positif) dan kejadian yang
mendadak (berkomunikasi kepada anak tentang luapan marah saudaranya).
4.      Gender
Identitas gender yang merujuk kepada penghayatan seseorang terhadap gendernya,
termasuk pengetahuan, pemahaman, dan penerimaan menjadi pria atau wanita, dimana
sebagian besar anak-anak memperolehnya ketika mereka berusia 3 tahun.
8
Peran gender merupakan seperangakat ekspektasi yang menentukan bagaimana wanita dan
pria seharusnya
berpikir, bertindak, dan merasa. Selama masa prasekolah, kebanyakan anak-anak mulai
bertindak sesuai dengan peran gender yang ditetapkan oleh budaya yang berlaku. Tipe gender
mengacu pada penerapan peran tradisional dari maskulin atau feminim. Sebagai contoh,
berkelahi adalah karakter peran tradisional maskulin dan menangis karakter peran tradisional
feminim.

1.      Pengaruh Biologis


Sejumlah faktor biologis yang berpengaruh adalah kromosom, hormon, dan evolusi.
Pasangan ke-23 terdiri dari kombinasi kromosom X dan Y, biasanya terdapat dua kromosom
X pada wanita terkadang juga sebuah kromosom X dan sebuah kromosom Y pada pria.
Hormon berperan penting dalam perkembangan perbedaan oleh gonads (indung telur pada
wanita, testes pada pria). Estrogen, estradiol mempengaruhi perkembangan karakteristik fisik
pada wanita. Androgen, seperti testosteron, mendorong perkembangan karakteristik fisik pada
pria. Hormon seks dapat memengaruhi perkembangan sosio-emosi anak-anak.
Menurut psikologi evolusioner, adaptasi selama evolusi manusia mengakibatkan
perbedaan antara pria dan wanita. Karena perbedaan peran mereka dalam reproduksi, pria dan
wanita menghadapi tekanan yang berbeda ketika spesies manusia berevolusi. Secara khusus,
karena pria cenderung akan mewariskan gen-gen mereka, seleksi alam akan mengantungkan
pria yang mengadopsi strategi jangka-pendek dalam berpasangan. Para psikolog evolusioner
menyatakan bahwa pria mengembangkan disposisi yang mengarah pada perilaku menganggu,
kompetisi, dan mengambil resiko.
Sebaliknya, menurut psikolog evolusioner kontribusi wanita terhadap pewarisan gen akan
mengalami kemajuan ketika mereka menjamin sumberdaya yang dapat memastikan bahwa
keturunan mereka akan bertahan hidup. Konsekuensinya, seleksi natural cenderung memilih
wanita yang mendedikasikan usahanya dalam pengasuhan dan memilih pasangan yang
berhasil, anbisisus, yang memiliki sumberdaya dan mampu melindungi keturunannya.
Kritik terhadap psikolog evolusioner menyatakan bahwa hipotesisnya hanya didasarkan
pada spekulasi mengenai prasejarah, bukan didasarkan pada fakta, dan bahwa dalam semua
situasi manusia tidak terikat pada perilaku yang adaptif untuk evolusi di masa lalu.

9
2.      Pengaruh Sosial
Banyak ilmuan sosial tidak melandaskan penyebab perbedaan psikologis dari gender pada
disposisi. Mereka berpendapat bahwa perbedaan ini berkaitan dengan pengalaman sosial.
Kaitan antara pengalaman dengan perbedaan gender dijelaskan oleh teori-teori sosial dan
kognitif.
a.       Teori Sosial Gender
Terdapat tiga teori sosial mengenai gender teori peran sosial, teori psikoanalitik, dan teori
sosial kognitif. Teori peran sosial (social role theory) yang menyatakan bahwa perbedaan
gender disebabkan oleh adanya peran yang kontras antara wanita dan pria. Pada sebagian
besar budaya di seluruh dunia, wanita memiliki kekuasaan dan status yang lebih rendah
dibandingkan pria. Wanita juga memiliki kendali kecil dibandingkan pria. Dibandingkan
dengan pria, wanita lebih banyak mengerjakan tugas-tugas domestik, lebih sedikit
meluangkan waktu dalam pekerjaan yang dibayar, menerima pendapatan yang lebih kecil,
dan jarang menempati level tertinggi dalam suatu organisasi.
Teori psikoanalisis mengenai gender (psychoanalytic theory of gender), anak prasekolah
mengembangkan semacam ketertarikan seksual terhadap orang tua dengan gender yang
berbeda. Proses inilah yang disebut disebut sebagai Oedipus (untuk anak laki-laki) atau
electra (untuk anak perempuan) complex. Ketika berusia 5 atau 6 tahun, seorang anak
meninggalkan ketertarikan ini karena perasaan cemas. Setelah itu, anak beridentifikasi
dengan orang tua dengan gender yang sama ini. Anak-anak memiliki karakteristik yang
tipikal sesuai gendernya, sebelum berusia 5 atau 6 tahun, mereka menjadi maskulin atau
feminim meskipun orang tua dengan gender yang sama tidak hadir di dalam keluarga.
Teori kognitif sosial mengenai gender (social cognitive theory of gender),
perkembangan gender anak-anak terjadi melalui observasi dan imitasi terhadap hal-hal yang
dikatakan dan dilakukan orang lain, serta melalui penghargaan dan hukuman yang diterima
untuk perilaku yang sesuai dan tidak sesuai dengan gender. Semenjak dilahirkan, para pria
dan wanita diperlakukan secara berbeda. Ketika para bayi dan balita memperlihatkan
perbedaan gender, orang dewasa cenderung memberi penghargaan. Orang tua seringkali
menggunakan metode hadiah dan hukuman ketika mengajar anak perempuannya untuk
menjadi feminim dan anak-anak laki-lakinya menjadi maskulin. Budaya, sekolah, kawan
sebaya, media, dan para anggota keluarga lainnya juga menjadi model peran gender.
10
Pengaruh orang tua, melalui tindakan dan melalui contoh yang di berikan, mempengaruhi
perkembangan gender anak-anaknya . Baik ibu maupun ayah penting secara psikologis
terhadap perkembangan gender  anak mereka. Meskipun demikian, budaya di seluruh dunia
cenderung memberikan peran yang berbeda kepada mereka.
 Strategi Sosialisasi Ibu. Dalam banyak budaya, ibu  mensosialisasikan anak
perempuannya agar lebih patuh dan bertanggung jawab dari pada laki-laki. Ibu
juga memberikan lebih banyak batasan terhadap otonomi anak perempuan.
 Strategi Sosialisasi Ayah. Ayah menunjukan atensi lebih kepada anak laki-laki
daripada anak perempuan, lebih banyak melakukan aktivitas dangan anak laki-
laki, serta lebih mendukung perkembangan intelektual anak laki-laki.
Pengaruh Teman Sebaya Orang tua memberikan diskriminasi yang paling awal berkaitan
dengan peran gender. Meskipun demikian, tidak lama kemudian, teman sebaya ikut serta
dalam proses merespons dan meniru perilaku maskulin dan feminim. Bahkan, teman sebaya
berperan penting bagi perkembangan gender sedemikian rupa sehingga taman bermain
disebut sebagai “sekolah gender”.
Teman sebaya secara luas menghargai dan menghukum perilaku gender. Sebagai contoh,
ketika anak bermain dengan cara yang menurut budaya dinyatakan sesuai dengan gendernya,
kawan-kawan sebaya cenderung menghargai mereka. Namun Teman sebaya sering kali
menolak anak-anak yang bertindak dengan cara yang dianggap lebih mencerminkan
karakteristik dari gender lain.
Gender membentuk aspek-aspek yang penting dalam relasi dengan teman sebaya. Gender
mempengaruhi komposisi dari kelompok anak-anak, ukuran kelompok, serta interaksi di
dalam kelompok.
Ketika menginjak usia sekitar 3 tahun, anak-anak sudah memperlihatkan prefensi untuk
menghabiskan waktu dengan teman-teman bermain yang bergender sama. Dari usia 4 hingga
12 tahun, perfensi untuk bermain dengan kelompok gender yang sama meningkat, dan selama
tahun-tahun sekolah dasar anak-anak melewatkan sebagian besar waktu luangnya dengan
anak-anak yang bergender sama.
Ukuran kelompok, usia anak 5 tahun keatas, anak laki-laki cenderung bergabung dengan
kelompok yang lebih besar dibandingkan anak perempuan. Anak laki-laki juga cenderung
berpartisipasi di dalam berbagai permainan kelompok yang lebih terorganisasi dibandingkan
anak perempuan.
11
Interaksi dalam kelompok yang bergender sama. Dibandingkan anak perempuan, anak
laki-laki lebih suka terlibat di dalam permainan fisik, berkompetisi, berkonflik,
memperlihatkan ego, beresiko, dan mencari dominasi. Sebaliknya, anak-anak perempuan
lebih suka terlibat dalam “percakapan kolaborati”, dimana mereka berbicara dan bertindak
secara timbal balik.
3.      Pengaruh kognitif
Observasi, imitasi, hadiah, dan hukuman semua merupakan mekanisme di mana gender
berkembang sesuai teori kognitif sosial. Menurut pandangan ini, interaksi antara anak dan
lingkungan sosial merupakan kunci utama bagi perkembangan gender.
Sebuah teori kognitif yang berpengaruh adalah teori skema gender, yang menyatakan
bahwa tipe gender terjadi ketika anak-anak secara bertahap mengembangkan skema gender
atas sesuai gender dan tidaak sesuai gender dalam budaya mereka. Sebuah skema gender
mengorganisasi dunia berdasarkan wanita dan pria. Anak-anak secara internal termotivasi
untuk memersepsikan dunia dan bertindak sesuai dengan skema mereka yang berkembang
itu. Sedikit demi sedikit, anak-anak memahami hal-hal yang sesuai gender dan yang tidak
sesuai gender dalam budaya mereka, dan mengembangkan skema gender yang membentuk
persepsi mereka terhadap dunia dan apa yang mereka ingat. Anak-anak lebih termotivasi
untuk bertindak sesuai dengan skema gender tersebut. Jadi, skema gender menjadi landasan
bagi tipe gender.

2.2 Peran Keluarga dalam Perkembangan Anak

Kelekatan (attachment) pada seorang pengasuh merupakan relasi sosial yang penting
selama masa bayi. Perkembangan sosial dan emosi juga dibentuk oleh relasi-relasi lain dan
oleh temperamen, konteks, pengalaman sosial di awal kanak-kanak, serta di masa
selanjutnya.
A.    Pengasuhan
Pengasuhan yang baik menarik memerlukan waktu dan usaha. Perkembangan anak
bukanlah kuantitas waktu yang diluangkan orang tua untuk anak-anaknya kualitas
pengasuhan juga penting. Gaya pengasuhan yang digunakan setiap orang tua bervariasi.

12
1.      Gaya pengasuhan Baumrind
Diana Baumrind (1971) berkeyakinan bahwa orang tua seharusnya tidak menghukum
atau bersikap dingin kepada anak-anaknya. Orang tua seharusnya mengembangkan aturan-
aturan dan bersikap hangat kepada anak-anaknya Ia mendeskripsikan empat tipe gaya
pengasuhan:
1.      Pengasuhan otoriter (authoritarian parenting) adalah gaya yang bersifat membatasi dan
menghukum, di mana orang tua mendesak anaknya agar mematuhi orang tua serta
menghormati usaha dan jerih payah mereka. Orang tua otoritarian menempatkan batasan-
batasan dan kendali yang tegas pada anak serta tidak memberi peluang kepada anak-anak
untuk bermusyawarah. Orang tua ototarian juga mungkin memukul anak, menetapkan aturan-
aturan secara kaku tanpa memberikan penjelasan, dan menunjukan kemarahan terhadap anak.
Anak-anak dari orang tua ototaritarian sering kali tidak bahagia, takut, dan cemas ketika
membandingkan dirinya dengan orang lain, tidak memiliki inisiatif, dan memiliki
keterampilan komunikasi yang buruk.
2.      Pengasuhan otoritatif (authoritative parenting) adalah mendorong anak-anak untuk mandiri
namun masih tetap memberi batasan dan kendali atas tindakan-tindakan anak. Orang tua
masih memberikan kesempatan untuk berdialog secara verbal. Di samping itu orang tua juga
bersifat hangat dan mengasuh. Orang tua otoritatif memperlihatkan rasa senang dan
dukungan sebagai respons tingkah laku yang matang, mandiri, dan sesuai usia anak-anaknya.
Anak-anak yang orang tuanya otoritatif seringkali terlihat riang gembira, memiliki kendali
dirinya dan percaya diri. Mereka cenderung mempertahankan relasi yang bersahabat dengan
kawan-kawan sebaya, kooperatif dengan orang dewasa, dan mampu mengatasi stres dengan
baik.
3.      Pengasuhan lalai (neglectful parenting) adalah gaya dimana orang tua sangat sangat tidak
terlibat di dalam kehidupan anak. Anak-anak yang orang tuanya lalai mengembangkan
perasaan bahwa aspek-aspek lain dari kehidupan orang tua lebih penting daripada mereka.
Anak-anak cenderung tidak kompeten dalam sosial. Banyak anak-anak yang kurang memiliki
kendali diri dan tidak mampu independensi secara baik. Mereka sering kali memiliki harga
diri yang rendah, tidak matang, dan mungkin terasing dari keluarga.
4.      Pengasuhan permisif (indulgent parenting) adalah gaya dimana orang tua sangat terlibat
dengan anaknya namun kurang memberikan tuntutan atau kendali terhadap mereka. Orang
tua semacam ini membiarkan anak-anaknya melakukan apapun yang mereka inginkan.
13
Hasilnya adalah anak-anak yang tidak pernah belajar mengendalikan perilakunya sendiri dan
selalu berharap kemauan mereka dituruti. Anak-anak dari orang tua yang memanjakan, jarang
belajar menghormati orang lain dan kesulitan mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin
mendominasi egosentris, tidak patuh, dan kesulitan relasi dengan teman sebaya.
2.      Gaya pengasuhan dalam konteks
Gaya pengasuhan konteks merupakan gaya yang diterapkan sesuai dengan etnis atau
kebudayaan masing-masing tempat. Sebagai contoh, orang tua Asia-Amerika seringkali
melanjutkan praktik pengasuhan tradisional Asia yang kadangkala bersifat otoritarian. Orang
tua tersebut menerapkan kendali yang ketat terhadap kehidupan anak-anak.
3.      Hukuman
Selama berabad-abad, hukuman fisik seperti memukul, dianggap sebagai sebuah
keharusan dan bahkan metode yang dipilih untuk mendisiplinkan anak-anak. Sebuah riset
menyimpulkan bahwa hukuman fisik oleh orang tua diasosiasikan dengan level kepatuhan
langsung dan agresi yang lebih tinggi pada anak-anak.
Alasan-alasan yang digunakan untuk menghindari memukul anak atau hukuman-
hukuman adalah sebagai berikut:
1.      Jika seorang dewasa menghukum seorang anak dengan cara berteriak, menjerit, atau
memukul, artinya orang tua memberikan contoh yang tidak baik dalam menangani situasi
yang dalam tekanan. Anak-anak dapat meniru perilaku yang agresif dan kehilangan kendali.
2.      Hukuman dapat menanamkan rasa takut, marah, atau sikap menghindar. Sebagai contoh,
memukul anak dapat menyebabkan anak tersebut menghindar berada di dekat orang tua
karena takut.
3.      Hukuman mengatakan hal-hal yang tidak boleh dilakukan alih-alih hal-hal yang seharusnya
dilakukan. Sebaiknya anak-anak diberi umpan balik, seperti “Kenapa kamu tidak mencoba
ini”
4.      Hukuman dapat berbahaya. Orangtua mungkin secara tidak sengaja menjadi sangat bangkit
amarahnya ketika mereka menghukum anak-anak, sehingga mereka menjadi kasar.
Untuk mengatasi perilaku yang salah pada anak, sebagian besar psikolog anak
menyarankan untuk mengajak anak bernalar, khususnya dengan menjelaskan konsekuensi
dari tindakan anak terhadap orang lain. Titik akhir tentang penerapan hukuman fisik kepada
anak-anak adalah perdebatan mengenai dampak hukuman fisik pada perkembangan anak
terus berlanjut. Jika hukuman fisik digunakan, maka seharusnya hukuman tersebut ringan,
tidak sering, sesuai usia, dan digunakan dalam konteks relasi orang tuaanak yang positif.
14
4.      Pengasuhan bersama
Pengasuhan bersama yakni dukungan yang diberiakan oleh masing-masing orang tua
terhadap satu sama lain dalam membesarkan anak. Koordinasi yang buruk di antara orang
tua, rongrongan salah satu orang tua, kurangnya kooperasi dan kehangatan, dan terputusnya
hubungan dengan salah satu orang tua, adalah kondisi-kondisi yang dapat membuat anak
beresiko. Pengasuhan bersama mengindikasikan usaha pengendalian anak-anak melebihi
pengasuhan ibu atau ayah saja. Orang tua yang tidak memiliki banyak waktu bersama anak-
anaknya atau yang memiliki masalah dalam pengasuhan anak dapat memanfaatkan konseling
dan terapi.

B.     Penganiayaan Anak


Banyak hukuman yang diberikan pada anak dengan tindak kekerasan yaitu pemukulan.
Orang tua beranggapa ditandai oleh n bahwa dengan memberikan hukuman dengan
memukul, salah satu cara untuk anak tersebut. Namun, hukuman yang salah dapat
mengakibatkan perkembangan sosioemosi pada anak menjadi buruk.
1.      Jenis-jenis Penganiayaan Anak
Ada empat tipe jenis-jenis kekerasan pada anak yaitu, kekerasan fisik, pengabaian anak,
kekerasan seksual, dan kekerasan emosi (learinghouse on child abuse and neglect, 2004):
1.      Penganiayaan fisik. Kekerasan fisik ditandai dengan penderitaan cedera fisik yang
disebabkan oleh pukulan, hantaman, tendangan, tusukan, pembakaran, guncangan, atau hal-
hal lain yang melukai anak. Orang tua atau orang lain mungkin saja tidak bermaksud melukai
anak, cedera mungkin akibat dari hukuman fisik yang berlebihan.
2.      Pengabaian Anak. Pengabaian ditandai oleh kegagalan untuk menyediakan kebutuhan dasr
anak. Pengabaian dapat bersifat fisik (contohnya, tidak mengacuhkan), pendidikan (misalnya
mengizinkan sering membolos sekolah), atau emosi (contohnya, tidak memperhatikan
kebutuhan anak). Pengabaian anak adalah bentuk yang paling umum dari perlakuan yang
salah pada anak.
3.      Penyiksaan seksual. Kekerasan seksual ditandai oleh mengusap genital anak, hubungan
intim, inses, perkosaan, sodomi, eksploitasi yang bersifat komersial melalui prostitusi atau
memproduksi materi-materi pornografi.
4.      Pelecehan Emosional. Kekerasan emosional (kekerasan psikologis/kekerasan verbal/cedera
mental) meliputi tindakan atau kelalaian dari orang tua atau pengasuh lain yang menimbulkan
masalah-masalah perilaku, kognitif, atau emosi.
15
Meskipun semua bentuk perlakuan yang salah terhadap anak ini dijumpai secara terpisah,
bentuk-bentuk itu sering kali terjadi dalam kombinasi. Kekerasan emosi hampir selalu ada
ketika bentuk lainnya teridentifikasi.
2.      Konteks Penganiayaan
Tidak ada faktor tunggal yang menyebabkan perlakuan yang salah pada anak. Kombinasi
dari faktor-faktor seperti kebudayaan, keluarga, dan perkembangan, agaknya berkontribusi
terhadap perlakuan yang salah pada anak. Interaksi dari semua anggota keluarga perlu
dipertimbangkan, terlepas dari siapa yang melakukan kekerasan pada anak. Kurang lebih
sepertiga orang tua yang mengalami kekerasan ketika kanak-kanak juga akan melakukan
kekerasan pada anak-anaknya sendiri.
3.      Konsekuensi-konsekuensi Perkembangan Penganiayaan
Beberapa konsekuensi kekerasan terhadap perkembangan anak dan remaja adalah
regulasi yang buruk, masalah kelekatan, masalah relasi dengan kawan-kawan sebaya,
kesulitan beradaptasi di sekolah, seta masalah-masalah psikologis seperti depresi dan
kenakalan remaja.
Di kemudian hari, ketika dewasa individu yang mengalami kekerasan sering kali
kesulitan dalam membentuk dan membina relasi akrab yang sehat. Ketika dewasa, anak-anak
yang mengalami kekerasan juga sering kali melakukan kekerasan pada orang dewasa lain,
terutama terhadap pacar, suami atau isteri, dan menyalahgunakan obat terlarang, obat anti
kecemasan serta depresi.

C.    Hubungan Saudara Kandung dan Urutan Keluarga

1.      Hubungan Saudara Kandung


Siapa pun yang pernah dibesarkan dengan saudara kandung, mungkin memiliki memori
yang kaya tentang interaksi agresif dan bermusuhan. Ketika berusia 2 hingga 4 tahun, rata-
rata saudara kandung akan berkonflik setiap 10 menit sekali, kemudian konflik akan
berkurang ketika berusia sekitar 5 hingga 7 tahun.
Orang tua yang ikut campur dan membiarkan konflik antarsaudara kandung memanas
bukanlah hal cara yang baik. Orang tua menjadi penengah diantara mereka dan memberikan
solusi yang tepat kepada mereka supaya tidak konflik berlanjut. Relasi dengan saudara
kandung bukan hanya konflik namun  juga saling membantu, berbagi, mengajarkan, dan
bermain.
16
Saudara kandung juga dapat bertindak sebagai pendukung, pesaing, maupun mitra
berkomunikasi. Ada tiga jenis karakteristik penting relasi dengan saudara kandung:
1.      Kualitas emosional hubungan. Baik emosi positif dan negatif yang intensif sering kali saling
diekspresikan di antara saudara kandung. Sebagian besar anak-anak dan remaja memiliki
perasaan yang bercampur baur terhadap saudara kandungnya.
2.      Kedekatan dan keakraban hubungan. Saudara kandung biasanya sangat mengenal satu sama
lain, dan keakraban ini mengindikasikan bahwa mereka dapat saling mendukung, mengoda,
atau menyepelekan, tergantung situasinya.
3.      Variasi dalam hubungan saudara kandung. Beberapa saudara kandung mendeskripsikan
relasi mereka secara lebih positif  daripada saudara kandung lainnya.
2.      Urutan kelahiran
Kedudukan seorang anak sebagai saudara yang lebih tua atau lebih muda, berkaitan
dengan perkembangan sejumlah karakteristik kepribadian. Sebagai contoh penelitian terbaru
menyimpulkan bahwa “ anak pertama adalah anak yang paling pandai, berhasil, dan berhati-
hati, sementara adik-adiknya adalah anak pembakang, liberal, dan mudak setuju”.
Dibandingkan adik-adiknya, anak pertama cenderung lebih dewasa, lebih penolong,
konformis, dan dapat mengendalikan diri. meskipun demikian, perbedaan-perbedaan akibat
urutan kelahiran tersebut sangat sedikit laporannya.
Konsep yang populer menyatakan bahwa anak tunggal adalah anak manja, dengan
karakteristik yang tidak menyenangkan seperti dependen, kurang kendali diri, dan berpusat
pada diri sendiri. Anak tunggal sering berorientasi pada prestasi dan memperlihatkan
kepribadian yang menyenangkan, khususnya dibandingkan dengan anak yang lahir dari
keluarga besar.
Faktor-faktor penting lainnya dalam kehidupan anak-anak mempengaruhi perilaku selain
urutan kelahiran yaitu keturunan, contoh kompetensi atau inkompetensi yang di tampilkan
orang tua ke anak-anak dalam kehidupan sehari-hari, pengaruh kawan sebaya, pengaruh
sekolah, faktor-faktor sosio ekonomi, faktor-faktor sosio-historis, dan variasi budaya.

D. Keluarga yang Berubah dalam Dunia Sosial yang Berubah


Lebih dari sekadar variasi jumlah saudara kandung, keluarga dimana anak-anak
dibesarkan berbeda-beda dalam banyak hal yang penting. Dalam kehidupan bermasyarakat
banyak perbedaan antara keluarga yang lainnya. Setiap keluarga memiliki karakter orang tua
yang berbeda-beda.
17
Pada keluarga-keluarga dengan dua orang tua, anak-anak bisa saja tinggal di dalam keluarga
dengan kedua orang tua bekerja, orang tua yang pernah bercerai, atau orang tua gay atau
lesbian.
1.      Orangtua Bekerja
Bekerja dapat berdampak positif maupun negatif terhadap pengasuhan. Penelitian terbaru
mengindikasikan bahwa yang penting dari perkembangan  anak adalah sifat dari pekerjaan
orang tua alih-alih salah satu atau kedua orang tua bekerja di luar rumah. Orang tua dengan
kondisi kerja yang tidak mendukung, seperti jam kerja yang panjang, lembur, menimbulkan
stres, dan tidak adanya otonomi dalam pekerjaan, cenderung akan memyulitkan di rumah dan
memberi pila pengasuhan yang kurang efektif daripada orang tua dengan kondisi pekerjaan
yang lebih baik.
2.      Anak-anak dalam Keluarga Bercerai
Sebagian besar peneliti sepakat bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai
memperlihatkan penyesuaian diri yang lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak yang
berasal dari keluarga utuh. Dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga utuh, anak-anak
yang berasal dari keluarga bercerai cenderung memperlihatkan masalah-masalah akademis,
masalah eksternal (seperti berulah dan kenakalan remaja), kurang memiliki tanggung jawab
sosial, kurang kompeten dalam relasi yang akrab, putus sekolah, aktif secara seksual di usia
dini, mengomsumsi obat-obatan, bergabung dengan kawan-kawan antisosial, memiliki
penghargaan diri yang rendah, dan kurang mengembangkan kelekatan yang aman sebagai
orang dewasa awal.
Jika stres dan kekacauan di dalam relasi keluarga berkaitan dengan pernikahan yang tidak
bahagia, dipenuhi konflik, dan mengikis kesejahteraan anak-anak itu dapat dikurangi dengan
perceraian, atau hidup dalam keluarga dengan keluarga tunggal, maka perceraian mungkin
merupakan hal yang baik. Meskipun demikian, jika perceraian mengakibatkan berkurangnya
sumber daya dan meningkatkan resiko yang disebabkan oleh perceraian juga disertai dengan
pengasuhan yang tidak memadai atau konflik yang berkepanjangan, tidak hanya di antara
pasangan namun juga orang tua, anak-anak, dan saudara kandung, maka demi anak-anak
sebaiknya pernikahan yang tidak bahagia itu dipertahankan.
Faktor-faktor yang termasuk risiko dan kerentanan anak adalah penyesuaian diri sebelum
perceraian, kepribadian, dan temperamen, gender, dan hak pengasuhan. Anak-anak yang
orang tuanya akan bercerai memperlihatkan penyesuaian diri yang buruk sebelum perceraian
yang terjadi.
18
Anak-anak yang secara sosial matang dan bertanggung jawab, yang hanya memperlihatkan
sedikit masalah perilaku, dan yang memiliki temperamen yang baik, lebih mampu
menghadapi perceraian orang tuanya. Anak-anak dengan temperamen yang sulit sering kali
mengalami kesulitan mengatasi perceraian orang tuanya.
3.      Orangtua Homoseksual dan Lesbian
Seperti pasangan heteroseksual, orang tua gay dan lesbian sangat bervariasi. Mereka
mungkin saja tidak menikah atau memiliki pasangan dari gender yang sama. Banyak ibu yang
lesbian dan ayah yang gay, harus memberikan hak asuh mereka kepada mantan pasangannya
yang heteroseksual. Sebagian besar anak-anak dari orang tua gay dan lesbian di lahirkan di
dalam relasi heteroseksual yang berakhir dengan perceraian. dalam pandangan umum
menyatakan bahwa pengasuhan orang tua gay atau lesbian dapat membahayakan
perkembangan anak. Meskipun demikian, para peneliti tidak menemukan banyak perbedaan
antara anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua heteroseksual.
4.      Budaya, Etnis, dan Variasi Sosio-ekonomi
Pengasuhan dapat dipengaruhi oleh budaya, etnisitas, dan status sosioekonomi. Budaya,
etnisitas, dan status sosioekonomi sebagai bagian dari makrosistem karena mencerminkan
konteks sosial dan lebih luas.
Studi lintas budaya. Perubahan budaya, yang dibawa oleh faktor-faktor tertentu seperti
meningkatnya perjalanan internasional, internet dan komunikasi elektronik, serta globalisasi
ekonomi, menghampiri keluarga-keluarga di seluruh dunia. Terdapat kecenderungan semakin
besar pada mobilitas keluarga, migrasi ke daerah ke perkotaan, perpisahan karena beberapa
anggota keluarga bekerja di kota atau di negara lain, keluarga yang lebih kecil, lebih sedikit
kerabat, serta jumlah ibu bekerja yang semakin besar. Kecenderungan –kecenderungan ini
dapat mengubah sumber daya yang tersedia bagi anak-anak. Sebagai contoh, ketika beberapa
generasi tidak lagi tinggal berdekatan, anak-anak dapat kehilangan dukungan dan bimbingan
dari kakek-nenek, tante, dan paman. Sisi positifnya, keluarga yang semakin kecil dapat
menghasilkan keterbukaan dan komunikasi yang lebih baik antara orang tua dan anak.
Kesukuan. Keluarga dengan orang tua tunggal lebih umum di kalangan orang-orang
Afrika-Amerika dan orang-orang Latin dibandingkan orang-orang Amerika kulit putih.
Dibandingkan dengan rumah tangga dengan orang tua lengkap, orang tua tunggal memiliki
keterbatasan sumber daya, misalnya waktu, keuangan, dan energi.

19
Orang tua dari etnis minoritas juga kurang berpendidikan dan cenderung lebih banyak tinggal
di lingkungan dengan pendapatan rendah dibandingkan orang tua kulit putih. Namun
demikian, banyak keluarga minoritas yang hidupnya sederhana dapat membesarkan anak-
anak yang kompeten.
Akulturasi dan Pengasuhan Etnis Minoritas. Anak-anak dan orang tua dari minoritas
etnik diharapkan dapat mengatasi aspek-aspek dominan dari latar belakang budaya dan
identitas mereka. Mereka akan mengalami berbagai tingkatan alkulturasi, yaitu perubahan
budaya yang terjadi ketika satu budaya bersinggungan dengan budaya lain. Sebagai contoh,
orang tua Asia-Amerika mungkin merasa sulit untuk memodifikasi gaya pengendalian
tradisional mereka ketika menghadapi gaya pengasuhan yang lebih permisif pada budaya
minoritas.
Status sosio-ekonomi. Dibandingkan keluarga berpenghasilan tinggi, keluarga
berpenghasilan rendah kurang memiliki akses terhadap sumber daya. Perbedaan akses
terhadap sumber daya ini mencakup nutrisi, layanan kesehatan, asuransi kecelakaan, serta
kesempatan memperkaya pendidikan seperti tutorial dan aktivitas. Perbedaan-perbedaan ini
terkumpul dalam keluarga berpenghasilan rendah dengan karakteristik kemiskinan jangka
panjang.

2.3  Hubungan Teman, Permainan, dan Televisi dalam Perkembangan Anak


Keluarga merupakan sebuah konteks sosial yang penting bagi perkembangan anak-anak.
Meskipun demikian, perkembangan anak-anak juga dipengaruhi oleh hal-hal yang
berlangsung di konteks sosial lain, seperti di dalam kelompok sebaya dan ketika anak-anak
bermain atau menonton televisi.
A.    HubunganTeman Sebaya
Ketika anak-anak semakin besar, mereka semakin banyak meluangkan waktu dengan
kawan-kawan sebayanya, yakni anak-anak yang kurang lebih berusia atau memiliki level
kematangan yang sama.

1.      Fungsi Kelompok Teman Sebaya


Fungsi kelompok sebaya adalah menyediakan sumber informasi dan sumber
perbandingan mengenai dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan balik mengenai
kemampuannya dari kelompok kawan sebaya. Anak-anak mengevaluasi hal-hal yang mereka
lakukan sebagai sesuatu yang lebih baik, sama baik, atau lebih buruk,
20
dibandingkan yang dilakukan anak-anak lain. Penilaian-penilaian ini sulit dilakukan di rumah
karena saudara-saudara kandung mereka biasanya lebih tua atau lebih muda.
Teman-teman sebaya yang baik merupakan hal yang diperlukan bagi perkembangan
sosial yang normal. Fokus perhatiannya adalah anak-anak yang menarik diri yang ditolak
oleh kawan-kawan sebaya atau yang dijadikan korban dan merasa kesepian, berisiko
mengembangkan sejumlah masalah, termasuk kenakalan remaja dan putus sekolah.
2.      Perubahan-perubahan Perkembangan
Ketika berusia 3 tahun, anak-anak lebih memilih menghabiskan waktunya dengan kawan-
kawan sesama gender dibandingkan dengan lawan jenis, prefensi ini meningkat di masa
kanak-kanak awal. Selama tahun yang sama, frekuensi interaksi di antara kawan-kawan
sebaya, memperlihatkan peningkatan, baik yang bersifat positif maupun negatif. Pada anak-
anak prasekolah interaksi dengan kawan sebaya banyak yang warnai dengan sekedar
bercakap-cakap mengenai hal-hal seperti “berunding, berdebat, dan menyepakati aturan-
aturan dalam bermain. Selama masa kanak-kanak awal, interaksi anak-anak dengan kawan
sebaya menjadi lebih terkoordinasi, lebih lama, dan berurutan.
3.      Teman
Di masa kanak-kanak awal, anak-anak membedakan antara teman dan bukan teman. Bagi
sebagian besar anak-anak, seorang sahabat adalah orang yang diajak bermain. Anak-anak
prasekolah cenderung memiliki teman-teman yang berbeda gender dan etnisnya daripada
anak yang lebih tua.
4.      Hubungan antara Orang Tua-Anak, dan Teman Sebaya
Orang tua dapat mempengaruhi hubungan anak-anak dengan teman sebayanya melalui
berbagai cara, baik langsung maupun tidak langsung. Orang tua memengaruhi hubungan
tersebut melalui interaksi mereka dengan anak-anak, cara orang tua mengelola kehidupan
anak-anak, serta kesempatan yang diberikan kepada anak-anak. Sebuah penelitian
mengungkapkan bahwa kehangatan, saran, dan kesempatan yang diberikan oleh ibu dan ayah
terkait dengan kompetensi sosial anak-anak (perilaku prososial yang tinggi, agresi yang
rendah), dan selanjutnya ke penerimaan sosial (disukai oleh teman-teman sebaya dan guru).
Keputusan daya hidup mendasar yang dibuat oleh orang tua, pilihan lingkungan tempat
tinggal, tempat ibadah, sekolah, dan teman-teman sangat menentukan kumpulan orang yang
akan dipilih oleh anak-anak sebagai temannya. Pilihan ini akan memengaruhi tempat
bertemunya anak-anak, tujuan interaksinya, dan akhirnya menjadi teman mereka.

21
Meskipun hubungan orang tua-anak mempengaruhi hubungan anak-teman sebaya, anak-anak
juga mempelajari bentuk lain dari relasi melalui hubungan mereka dengan teman sebaya.
Sebagai contoh, permainan fisik terjadi  umumnya antara anak dengan teman sebaya, bukan
pada interaksi anak-orang tua. Ketika sedang tertekan, anak-anak akan mendatangi orang
tuanya untuk mencari dukungan, bukan teman sebayanya. Dalam hubungan orang tua-anak,
anak-anak belajar menghubungkan figur otoritas. Dengan teman sebaya, anak-anak akan
berinteraksi secara setara dan belajar membentuk hubungan berdasarkan pengaruh bersama.
B.     Permainan
Sebagian besar interaksi dengan teman-teman sebaya selama masa kanak-kanak
melibatkan kegiatan bermain, namun bermain sosial merupakan salah satu dari tipe bermain.
Bermain merupakan salah satu aktivitas menyenangkan yang dilakukan demi aktivitas itu
sendiri, bermain memiliki fungsi dan bentuk.
1.      Fungsi Permainan
Bermain penting bagi perkembangan kognitif dan sosia-emosi anak-anak. Bermain dapat
membantu dalam mengatasi kecemasan dan konflik-konflik lainnya. Karena ketegangan
dapat diredakan melalui aktivitas bermain, anak dapat mengatasi masalah hidupnya. Bermain
memungkinkan anak untuk memungkinkan anak untuk mengeluarkan kelebihan energi dan
melepaskan ketegangan yang tertahan. Anak-anak dapat merasa kurang terancam dan
cenderung lebih dapat mengekspresikan perasaan-perasaan sebenarnya di dalam konteks
bermain.
Bermain sebagai aktivitas yang menggairahkan dan menyenangkan karena bermain
memuaskan dorongan eksplorasi kita. Dorongan ini mencakup rasa ingin tahu dan hasrat
untuk memperoleh informasi mengenai sesuatu yang baru atau tidak biasa.
2.      Jenis Bermain
Jenis permainan anak yang banyak dipelajari adalah permainan sensorimotor serta
permainan praktis, permainan pura-pura/simbolik, permainan sosial, permainan konstruktif,
dan games.
Permainan sensoris-motorik dan praktis Permainan sensoris-motorik (sensorimotor
play) adalah perilaku yang dilakukan bayi untuk memperoleh kesenangan melalui skema-
skema sensorimotornya. Bayi biasanya terlibat dalam permainan visual, eksploratif, dan
motorik. Sebagai contoh, di usia 9 bulan, bayi mulai memilih obyek-obyek baru untuk di
eksplorasi dan dimainkan, khususnya obyek-obyek responsif, seperti mainan yang dapat
menimbulkan suara atau melambung.
22
Permainan praktis (pratice play) melibatkan pengulangan perilaku, yang terjadi ketika
sejumlah keterampilan baru sedang dipelajari, atau ketika anak dituntut untuk memiliki
penguasaan fisik ataupun mental dan mengoordinasi keterampilan yang diperlukan untuk
permainan atau olahraga.
Permainan pura-pura atau simbolis (pretence/simbolic play) terjadi ketika seorang
anak mengubah lingkungan fisik menjadi sebuah simbol. Ketika berusia 9 hingga 30 bulan,
anak-anak meningkatkan penggunaan obyek di dalam permainan simbolik. Mereka belajar
mengubah obyek, menganggap obyek itu menjadi obyek lain, serta memperlakukan obyek itu
seolah-olah menjadi obyek lainnya itu. Sebagai contoh, daun dianggap sebagai uang.
Permainan pura-pura adalah aspek penting dalam perkembangan anak-anak kecil dan sering
kali merefleksikan kemajuan perkembangan kognitifnya, terutama sebagi indikasi dan
pemahaman simbolis.
Permainan sosial (social play) adalah kegiatan bermain yang melibatkan interaksi
dengan kawan-kawan sebaya. Permainan sosial meningkat secara dramatis selama masa
prasekolah. Bagi sebagian besar anak-anak, permainan sosial adalah konteks utama bagi
interaksi sosial anak-anak dengan kawan sebayanya. Permainan sosial mencakup berbagai
pertukaran seperti bergantian, percakapan berbagai topik, permainan dan rutinitas sosial, serta
permainan fisik.
Permaian konstruktif (constructive play) mengkombinasikan permainan
sensorimotor/praktis dengan representasi simbolik. Bermain konstruktif terjadi ketika anak-
anak terlibat kreasi yang bersifat regulasi-diri dari sebuah produk atau solusi. Bermain
konstruktif meningkat di masa prasekolah sebagaimana permainan simbolik meningkat dan
permainan sensorimotork menurun. Bermain konstruktif juga merupakan bentuk permainan
yang sering dilakukan di tahun-tahn sekolah dasar, baik di dalam maupun di luar kelas.
Games adalah aktivitas yang dilakukan untuk memperoleh kesenangan dan memiliki
aturan-aturan. Games sering kali bersifat kompetitif. Anak-anak prasekolah mungkin mulai
berpartisipasi di dalam permainan sosial yang mencakup aturan-aturan sederhana yang
bersifat timbal balik.

23
C.    Televisi
Meskipun televisi hanyalah salah satu dari berbagai tipe media-massa yang
mempengaruhi perilaku anak-anak, televisi memberikan dampak yang paling besar. Sebagian
besar anak-anak meluangkan lebih banyak waktu di depan televisi daripada di depan orang
tuanya.
Televisi dapat memberikan dampak negatif terhadap anak-anak karena televisi membuat
anak-anak malas belajar, melalaikan pekerjaan rumah, mengajarkan stereotif, menyediakan
model-model yang agresif, dan menayangkan tayangan yang tidak realistis mengenai dunia.
Meskipun demikian, televisi dapat memberikan dampak positif  bagi perkembangan anak-
anak melalui penayangan program-program pendidikan yang dapat memotivasi, serta
menyediakan model-model dari perilaku prososial.
1.      Pengaruh Televisi Terhadap Agresi Anak
Penelitian menemukan kaitan antara menonton tayangan kekerasan  di televisi ketika
masih anak-anak dan tindakan agresif  beberapa tahun kemudian. Sebagai contoh, dalam
suatu penelitian , paparan kekerasan media pada usia 6 hingga 10 tahun terkait dengan
perilaku agresif orang dewasa muda.
Selain tayangan kekerasan televisi, kini juga terdapat kekhawatiran sehubungan dengan
meningkatnya kecenderungan anak-anak bermain  video games yang bertema kekerasan,
khususnya tayangan yang realistik.
2.      Pengaruh Televisi Terhadap Perilaku Prososial Anak
Televisi juga dapat mengajarkan anak-anak lebih baik bertindak secara positif, prososial,
dibandingkan secara negatif dan antisosial.
3.      Telivisi, Perkembangan Kognitif, dan Prestasi
Secara umum, televisi belum memperlihatkan memengaruhi kreativitas anak-anak, namun
secara negatif terkait dengan kemampuan mental mereka.
Menonton televisi juga berkaitan dengan penurunan prestasi sekolah. Namun, beberapa jenis
tayangan televisi seperti program-program pendidikan untuk anak dapat meningkatkan
prestasi. Ketika menjadi anak-anak prasekolah dikaitkan dengan seperangkat karakteristik
yang diinginkan pada masa remaja : mendapatkan nilai yang lebih tinggi, membaca lebih
banyak buku, menempatkan nilai yang lebih tinggi atas prestasi, lebih kreatif, dan bertindak
kurang agresif.

24

Anda mungkin juga menyukai