2
Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Rumah Sakit
Hasan Sadikin Bandung
Abstrak
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Tetanus ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Tetanus masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk. Ada tiga sasaran penatalaksanaan
tetanus yaitu membuang sumber tetanospasmin, netralisasi toksin yang tidak terikat, perawatan penunjang (suportif)
sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan habis dimetabolisme. Sebagian besar kasus membutuhkan
waktu 4−6 minggu untuk pengobatan suportif di ICU. Faktor beratnya penyakit dan keberhasilan terapi suportif
akan menentukan outcome.
Abstract
Tetanus is an acute toxemia caused by neurotoksin produced by Clostridium tetani. Tetanus is characterized
by periodic and severe muscle spasms. Tetanus is still an important health issue in developing countries due
to poor immunization programme. Three goals of tetanus management areeradication of tetanospasmin source,
neutralization of unbound toksin, supportive care until tissue-bound tetanospasmin is completely metabolized.
Most cases take 4−6 weeks of supportive care in ICU. Severity of the disease and the quality of supportive care
determine the patien outcome.
Korespondensi:Hendra Laksamana Jaya,dr.,SpAn ,Rumah Sakit Siloam Sriwijaya Palembang, Komplek Wayhitam blok
G no 56 Palembang, Email fey1979@yahoo.com
114
115
pathways) terpendek akan terkena lebih dahulu, kelompok otot dengan jalur neuronal pendek.
seperti otot-otot mastikasi. Sehingga pada awal Oleh karena itu, gejala yang tampak pada lebih
gejala dapat timbul trismus (kaku rahang) dan dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah
disfagia.1−3 trismus, kaku leher, dan nyeri punggung.
Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal
Gejala Klinis menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit
Periode inkubasi tetanus antara 3−21 hari (rata- tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus
rata 7 hari). Pada 80%−90% penderita, 3
gejala otot- otot trunkal mengakibatkan opistotonus.
muncul 1–2 minggu setelah terinfeksi. Selang Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat
waktu sejak munculnya gejala pertama sampai infeksi sering terlibat,
1,3,6,7
menghasilkan penampakan
terjadinya spasme pertama disebut periode onset. tidak simetris.
Periode onset maupun periode inkubasi secara Spasme otot yang muncul spontan dapat
signifikan menentukan prognosis. Makin singkat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual, auditori,
(periode onset<48 jam dan periode inkubasi1 <7 atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri
hari) menunjukkan makin berat penyakitnya. dan dapat menyebabkan ruptur tendon, dislokasi
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat
ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot, dan terjadi dalam waktu singkat, mengakibatkan
ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi obstruksi saluran napas atas akut dan henti napas.
kekakuan otot yang lebih dahulu terjadi pada Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat
spasme yang melibatkan otot-otot dada. terkendali. Gangguan otonom biasanya mulai
Bila spasme berkepanjangan, dapat terjadi beberapa hari setelah spasme dan berlangsung
hipoventilasi
3,6
berat dan apnea yang mengancam 1−2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis yang
nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, dominan menyebabkan periode vasokonstriksi,
gagal napas akibat spasme otot adalah penyebab takikardia dan hipertensi. Autonomic storm
kematian paling sering. Hipoksia biasanya berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin.
terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan Keadaan ini silih berganti dengan episode
membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan hipotensi, bradikardia dan asistol yang tiba-
dan aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi tiba. Gambaran gangguan otonom lain meliputi
selama minggu pertama dan kedua, dan dapat salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi
berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah bronkus,
1,3
hiperpireksia, stasis lambung dan
itu rigiditas1 masih terjadi sampai beberapa ileus.
minggu lagi. Pada keadaan berat dapat timbul berbagai
Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia komplikasi. Intensitas spasme paroksismal
sirkulasi, terutama bila spasme otot tidak kadang cukup untuk mengakibatkan ruptur otot
spontan dan hematoma intramuskular. Fraktur tetani hipokalsemia, histeri, ensefalisis, terapi
kompresi atau subluksasi vertebra5 dapat terjadi, fenotiazin, serum sickness, epilepsi dan rabies.4
biasanya pada vertebra torakal. Gagal ginjal
akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat Penatalaksanaan di ICU
dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis karena Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:
spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi membuang sumber tetanospasmin; menetralisasi
lain meliputi atelektasis, penumonia aspirasi, toksin yang tidak terikat; perawatan penunjang
ulkus peptikum, retensi urine, infeksi traktus (suportif) sampai tetanospasmin yang
urinarius, ulkus1 dekubitus, trombosis vena, dan berikatan dengan jaringan telah habis
tromboemboli. dimetabolisme.4,5,7−14
Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular Spasme otot dan rigiditas diatasi secara
dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi lebih
infiltrasi di tempat sekitar luka. Hanya dibutuhkan sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan
sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25−30 kecil5 kemungkinannya mengalami spasme
hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin otot. Diazepam efektif mengatasi spasme dan
efektif. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal.
hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau Dosis diazepam yang di- rekomendasikan adalah
komponen human immunoglobulin sebelumnya; 0,1−0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2−4 jam
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain sesuai gejala klinis, dosis yang direkomendasikan
yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral
intramuskular. Bila tidak tersedia maka digunakan dalam dosis 2−3 mg/kgBB setiap 3 jam. Spasme
ATS dengan dosis 100.000- 200.000 unit harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg
diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000 per rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg
unit intravena pada hari pertama, kemudian per rektal untuk anak dengan berat badan ≥10
60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler kg, atau diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/
masing-masing pada hari kedua dan ketiga.1,4,5 kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian
Setelah penderita sembuh, sebelum keluar diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan
rumah sakit harus diberi immunisasi aktif sesuai keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi
dengan toksoid, karena seseorang yang (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-
sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki 0,2 mg/ kgBB IV untuk menghilangkan spasme
kekebalan.1,3,5 akut, diikuti infus tetesan tetap 15−40 mg/ kgBB/
hari. Setelah 5−7 hari dosis diazepam diturunkan
Pengobatan suportif bertahap 5−10 mg/hari dan dapat diberikan
melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak
suportif sampai efek toksin yang telah terikat dijumpai spasme spontan, kesadaran membaik
habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus (tidak koma) dan tidak dijumpai gangguan
1,10,13,14
sebaiknya ditangani di ICU agar bisa diobservasi pernapasan. Tambahan efek sedasi bisa
secara berkelanjutan. Untuk meminimalkan didapat dari barbiturat khususnya fenobarbital dan
risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi Fenotiazin seperti klorpromazin, penggunaannya
stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di dapat menguntungkan
1,3
pasien dengan gangguan
ruangan gelap dan tenang.3−5,12 Pasien diposisikan otonom. Fenobarbital diberikan dengan dosis
agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan 120−200 mg intravena, dan diazepam dapat
intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120
serta analisis gas darah penting sebagai penuntun mg/hari. Klorpromazin diberikan setiap 4−8 jam
terapi.5 dengan dosis dari 4−125,10 mg bagi bayi sampai
Penanganan jalan napas merupakan prioritas. 50−150 mg bagi dewasa. Morfin bisa memiliki
Spasme otot, spasme laring, aspirasi, atau dosis efek sama dan biasanya digunakan sebagai
besar sedatif semuanya dapat mengganggu tambahan sedasi benzodiazepine.
respirasi. Sekresibronkus yang berlebihan1 Jika spasme tidak cukup terkontrol dengan
memerlukan tindakan suctioning yang sering. benzodiazepine, dapat dipilih pelumpuh otot
Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nondepolarisasi dengan intermittent positive-
napas terutama jika ada opistotonus dan pressure ventilation (IPPV). Tidak ada data
keterlibatan6otot-otot punggung, dada, atau distres perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada
pernapasan. Kematian akibat spasme laring tetanus, rekomendasi didapatkan dari laporan
mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi kasus. Pancuronium harus 1dihindari karena efek
otot respirasi tidak adekuat 3sering terjadi jika samping simpatomimetik. Atracurium dapat
tidak tersedia akses ventilator. dijadikan obat pilihan. Vecuronium juga telah
status imunisasi pasien. Phillips score <9, Becker DG, Horowitz JH, et al. Management
severitas ringan; 9−18, severitas sedang; dan >18, and prevention of tetanus. Niger J Paed.
severitas berat. Dakar score 0−1, severitas ringan 2003;13(3):139-54.
dengan mortalitas10%; 2−3, severitas sedang 6. Towey R. Tetanus: a review. Update in
dengan mortalitas 10%−20%; 4, severitas berat Anesthesia. Vol 43 No. 19. [Internet]. 2005
dengan mortalitas 20%−40%; 5−6, severitas [cited 2013 Oct 20]. Available from: http://
sangat berat dengan mortalitas www.update.anaesthesiologist.org/wp-
>50%.10 content/tetanus-a- review.pdf.
Outcome pasien tetanus tergantung berat 7. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus:
penyakit dan fasilitas pengobatan yang tersedia. a review of the literature. Br J Anaesth.
Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% 2001;87(3):477-87.
dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas 8. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus.
yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai Neurol India.2002;50:398-407.
25%. Hanya sedikit penelitian jangka panjang 9. Quasim S. Management of tetanus.World
pada pasien yang berhasil selamat. Pemulihan Anaesthesia Tutorial of the Week. Vol 87
tetanus cenderung lambat namun sering No. 3. [Internet]. 2001 [cited 2013 Oct 20].
sembuh sempurna. Beberapa pasien mengalami Available from: http://www.aagbi. org/sites/
abnormalitas elektroensefalografi yang menetap default/files/ 17- management-of-tetanus.pdf.
dan gangguan keseimbangan, berbicara, 10. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N,
dan memori.3 Binh N, Parry J, et al. Neurological aspects of
tropical disease: tetanus. J Neurol Neurosurg
Psychiatry.2000;69:292-301.
11. Torbey MT, Suarez JI, Geocadin R. Less
Daftar Pustaka common causes of quadriparesis and
respiratory failure. In: Suarez JI, editor.
1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink Critical care neurology and neurosurgery. 1st
MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek ed. New Jersey: Humana Press; 2004.p.493-
PM, editors. Textbook of Critical Care. 5.
5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 12. Dawn MT, Elisson RT. Tetanus. In: Irwin RS,
2005.p.1401-4. Rippe JM, editors. Irwin and Rippe’s intensive
2. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni care medicine. 6th ed. Massachusetts:
N, eds. Oh’s Intensive Care Manual. 6th Lippincot Williams & Wilkins. 2008.p.1140-
ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann 1.
Elsevier; 2009.p.593-7. 13. WHO. Current recommendations for
3. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in treatment of tetanus during humanitarian
anesthesia, critical are & pain. Vol. 6 No. 3. emergencies. WHO Tech Note. [Internet].
[Internet]. 2006 [cited 2013 Oct 20]. Available 2010 [cited 2013 Oct 20]. Available at: http://
from: http://www.ceaccp.oxfordjournals.org www.whqlibdoc. who.int/hq/2010/WHO_
content/6/4/164.3.full.pdf. HSE_GAR_DCE_2010.2_eng.pdf.
4. Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis 14. Witt MD, Chu LA. Infections in the critically
& Tatalaksana Kegawat Daruratan Tulang ill. In: Bongard FS, Sue DY, eds. Current
Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009. critical care diagnosis and treatment. 2nd ed.
5. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, California: McGraw-Hill; 2003.p.432-4.