Anda di halaman 1dari 7

Urgensi Merenungi Filosofi Penciptaan 

Manusia

Ditulis oleh teosophy di/pada November 21, 2009

Oleh: Mohammad Adlany

Permasalahan yang berhubungan dengan filsafat kehidupan dan tujuan


penciptaan bukanlah hal baru bagi manusia. Di sepanjang sejarah, pada
setiap masyarakat, terdapat banyak individu mengkaji tema ini dengan
meilhat perspektif dan amal perbuatan mereka yang beragam. Usaha
cemerlang dari para filosof Yunani, pemikir Rum, dan para teolog dari
mazhab-mazhab besar tentang penafsiran kehidupan hakiki manusia
merupakan dalil yang jelas untuk menetapkan bahwa persoalan tersebut
telah direnungkan secara global. Berdasarkan realitas ini, permasalahan
tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan dalam konteks sejarah
sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri. Belum terdapat pembahasan
tersendiri secara mendetail yang berhubungan dengan filsafat dan tujuan
penciptaan pada tiga abad terakhir, namun pada masa kini hal itu telah
dijadikan tema mandiri yang dikaji secara hangat, mendetail, dan
mendalam.

Hangatnya pembahasan tema ini pada zaman modern karena tidak


tercapainya harapan kemanusian yang diamanatkan kepada ilmu dan
teknologi, walaupun apa yang telah dicapai sekarang ini kurang lebih
sempurna secara material, teknologi, dan informasi, tetapi peradaban
manusia dari dimensi psikologi dan spiritual mengalami kemunduran yang
luar biasa yang belum pernah diprediksi oleh manusia itu sendiri. Kezaliman,
ketidakadilan dan penderitaan umat manusia yang terjadi pada masa kini
jauh lebih buruk dan menakutkan dari apa yang terjadi pada masa lampau,
manusia lebih rendah dari binatang dan lebih licik dari iblis.

Kita mengetahui bahwa langkah pertama yang diambil untuk membahas


setiap pokok masalah adalah meneliti secara tepat substansi dan latar
belakang munculnya tema permasalahan dari semua aspek. Misalnya, begitu
banyak kritikan dan sanggahan atas pembahasan yang berhubungan dengan
fenomena-fenomena alam karena faktor ketiadaan pengamatan dan
pengkajian yang tepat atas latar belakang permasalahan.
Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan untuk mengenal dan
mengungkap rahasia filsafat penciptaan dan tujuan hakiki kehidupan
manusia adalah mengkaji faktor-faktor dan motivasi-motivasi yang
menyebabkan manusia lebih terdorong untuk memperhatikan dimensi
filsafat penciptaan dan tujuan kehidupannya.

Dalam hal ini, adalah suatu kekeliruan apabila kita memandang bahwa solusi
dari setiap masalah-masalah yang berkaitan dengan esensi manusia sama
dengan kita menarik suatu garis lurus untuk menghubungkan antara titik
awal dan titik akhir. Yang terbaik adalah memaparkan hal-hal yang
substansial dan esensial kemudian mencari solusinya yang tepat. Di bawah
ini akan kami jabarkan secara terperinci berbagai faktor-faktor dan alasan-
alasan manusia yang mengharuskannya berpaling dan merenungkan
kembali apa filsafat penciptaan dan tujuan kehidupannya.

1. Kehidupan dunia akan sirna

Mayoritas manusia ketika memandang aspek ketidaklanggengan,


ketidakabadian, dan keterbatasan kehidupan di dunia ini lantas melahirkan
pertanyaan-pertanyaan tentang filsafat penciptaan dan tujuan kehidupan.
Semua  kebahagiaan, kenikmatan, dan kebaikan di dunia ini mesti
mengalami kefanaan, kehancuran, dan kepunahan. Tak satupun dari perkara
dan realitas kehidupan yang abadi dan langgeng. Inilah sebuah kenyataan
yang tak satupun manusia mengingkarinya. Di lubuk hatinya yang terdalam
ia bertanya: apakah tujuan dan arah kehidupan? Apakah hakikat penciptaan
alam yang tidak abadi ini? Apakah makna dan nilai-nilai kehidupan di dunia
ini? Apakah substansi dan esensi kehidupan material ini? Apakah yang
diinginkan dari kehidupan seperti ini? Apakah masa kanak-kanak harus
berakhir dengan masa remaja? Apakah masa remaja mesti berujung pada
masa dewasa dan masa tua? Bukankah setelah semua penderitaan,
kesedihan, dan kemalangan yang di alami manusia di dunia ini berakhir
niscaya beralih pada kebahagiaan, kegembiraan, dan keberuntungan
manusia? Bagaimana dengan segelintir manusia yang selama hidupnya
senantiasa mengalami penderitaan dan kezaliman?
Pada dasarnya manusia senantiasa merindukan kesempurnaan, kebaikan,
dan kebahagiaan hakiki, apabila ia telah mendapatkan apa yang dicita-
citakan, maka mustahil ia menanyakan dan merenungkan kembali hal-hal
yang berhubungan dengan hakikat hidup, filsafat penciptaan, dan tujuan
kehidupan.

2. Misteri kematian

Kehidupan setiap manusia, baik yang dijalani dengan penuh kebahagiaan


dan kegembiraan atau dilalui dengan segala penderitaan, kemalangan, dan
kezaliman harus berujung dan berakhir dengan realitas kematian. Kematian
merupakan suatu kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri dan mustahil
ditolak oleh semua manusia bahkan oleh setiap makhluk. Seluruh manusia
jujur berkata bahwa satu-satunya kenyataan dalam catatan kehidupan
mereka adalah kematian.

Ketika manusia melihat kehidupannya sendiri, ia mendapatkan


kehidupannya yang harus berujung pada gerbang kematian. Ia lantas
merenung bahwa mengapa kehidupan dunia ini tercipta dan setelah
menjalaninya untuk beberapa waktu lamanya dalam kubangan lumpur
penderitaan mesti berakhir pada kematian? Kenapa tidak dari awalnya
kehidupan alam materi ini dibentuk secara abadi dan berkepanjangan?
Apakah permainan kehidupan ini yang ujungnya adalah kematian
mempunyai arah dan tujuan? Apakah substansi dan esensi kehidupan?

Begitu banyak manusia yang dapat kita saksikan bagaimana dalam


kehidupannya bersikap acuh tak acuh terhadap hakikat dan tujuan
penciptaan, tetapi ketika mendengar atau menyaksikan langsung kematian
salah satu dari keluarga yang dicintainya maka ia seketika tersentak dan
kemudian larut merenungan kembali tentang filsafat penciptaan dan tujuan
kehidupan manusia di dunia ini.

3. Kegagalan cita-Cita
Pengaruh yang cukup besar dalam upaya mengalihkan manusia untuk
kembali merenungkan tentang tujuan hakiki kehidupan dunia adalah ketika
manusia menghadapi beragam kegagalan dan putus asa dalam menggapai
cita-cita dan keinginan duniawi.

Dalam menjalani kehidupan di alam fana ini manusia diharuskan merancang


cita-citanya yang relatif itu dan kemudian berupaya untuk mencapainya
dengan segala kemampuan yang ada padanya. Tetapi sangat disayangkan,
manusia yang semestinya menjadikan cita-cita yang relatif itu sebagai
perantara meraih tujuan hakiki dan filsafat kehidupan, hanya akan berpaling
kepada cita-cita hakiki ketika mulai terjebak dan tersudut di pojok
kehidupan, putus asa, dan tak mampu lagi berbuat yang terbaik bagi
kehidupan duniawinya.

Point yang perlu juga diperhatikan di sini berhubungan dengan perenungan


kembali persoalan hakikat dan filsafat penciptaan adalah ketinggian cita-cita
seseorang. Sebagai contoh, seorang musafir yang menentukan tujuan
perjalanannya pada wilayah tertentu dalam waktu yang terbatas. Ketika ia
tidak dapat mencapai tujuan perjalanannya itu terkadang ia merenung
sejenak mengenai arti kehidupan dan tujuan manusia dihamparan
kehidupan alam materi ini. Tapi manusia seperti ini, ketika waktu berlalu
dan mendapatkan lagi sebuah keinginan baru yang menggantikan cita-
citanya yang dulu, maka ia kembali lupa dan tidak menghiraukan lagi tujuan
hakikinya yang dulu ia tetapkan. Hal ini berbeda dengan seorang kaya dan
berilmu yang mematok cita-cita duniawi setinggi langit dan kemudian
berupaya di sepanjang umurnya dengan mengerahkan segala potensi yang
dimilikinya dalam mencapai cita-citanya tersebut. Apabila telah bertahun-
tahun lamanya berusaha namun apa yang dicita-citakannya sama sekali tak
kunjung tercapai, ia malah semakin bangkrut dan akhirnya putus asa. Dalam
keputus-asaannya, ia menggugat peran kekayaan dan keilmuannya yang
tidak dapat menafsirkan secara benar dan bisa mengantarkan kehidupannya
kepada apa-apa yang dicita-citakan, disaat seperti ini, terkadang akan
mengarahkan pikiran-jernih dan menggoyah kesadaran batinnya untuk
kembali merenungkan tujuan hakiki kehidupan dan filsafat penciptaan.

 
4. Kehidupan sosial yang tak menguntungkan

Keadaan kehidupan masyarakat yang sarat dengan problem dan masalah


yang sulit mencari solusi dan pemecahannya merupakan salah satu faktor
yang dapat membuat manusia kembali merenungkan makna kehidupan dan
tujuan penciptaannya.

Seorang miskin yang jauh dari kenikmatan kehidupan duniawi,


kehidupannya dijalani dengan segala penderitaan, usaha keras dan banting
tulang dari pagi hingga malam hari terus mencari sesuap nasi dan
memenuhi segala kebutuhan primernya, orang seperti ini yang hanya
mendapatkan penderitaan dan kemalangan hidup niscaya akan
merenungkan kembali makna dan arti kehidupan. Mengapa kita mesti hadir
di dunia ini sehingga harus menjalani kehidupan dengan penuh penderitaan
dan kemalangan?

Sudah tentu ada diantara orang-orang yang tidak mendapatkan hak-haknya,


tidak berhasil, dan tidak rela dengan keadaan hidupnya di dunia ini pasti
akan melontarkan perkataan tentang arah dan tujuan kehidupan duniawi.
Tapi kalau diperhatikan sejenak, begitu banyak orang-orang seperti ini bila
meraih apa yang dikehendakinya di dunia ini kemungkinan besar tidak
memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan makna dan tujuan
penciptaan, karena mereka sesungguhnya hanya menginginkan perubahan
kondisi kehidupan duniawinya dan lantas menempatkan secara salah
pertanyaan tentang tujuan hidup.

5. Pertanyaan hakiki tentang filsafat penciptaan

Hal-hal yang dikemukakan di atas belumlah menyentuh jawaban hakiki dari


permasalahan tujuan kehidupan dan filsafat penciptaan, mereka yang
mencari jawaban itu pada dasarnya hanyalah bersifat aksidental karena
penderitaan hidup senantiasa meliputi diri mereka. Tapi bagi mereka yang
tidak lagi dipengaruhi oleh watak kehidupan material dan bahkan menguasai
seluruh sendi kehidupan duniawi, memandang kehidupan dunia ini dan
segala realitas keberadaan niscaya akan mendapatkan jawaban hakiki atas
pertanyaan tentang filsafat hidup dan tujuan penciptaan tersebut.

Memandang kehidupan dunia ini secara hakiki, hanya bisa dirahi ketika
manusia lepas dari pengaruh emosional dan kejiwaan yang menimpa
kehidupan dunianya dan melihatnya dengan jiwa yang suci dan perenungan
rasional, dengan demikian ia akan mencapai masalah yang hakiki mengenai
tujuan penciptaan dan jawaban atasnya.

Sesungguhnya jawaban atas masalah tersebut ada dalam jiwa setiap


manusia, tujuan dan filsafat penciptaan tidak terletak di dalam kehidupan
material dan fenomena-fenomena lahiriah seperti makan, minum, dan tidur
serta kecenderungan-kecenderungan alami lainnya.

Apabila manusia telah puas dengan kehidupan material dan duniawi ini,
maka ia tak lagi mengejar pertanyaan-pertanyaan tentang dari mana kita
datang? Kenapa kita lahir di dunia ini? Dan hendak kemana kita pergi? Atau
paling tidak jawaban dari pertanyaan ini tidak ditafsirkan dan diarahkan
kepada kehidupan duniawi dan material.

Para pengikut filsafat nihilisme juga melakukan suatu kesalahan besar,


karena mereka memandang bahwa kehidupan hakiki hanyalah kehidupan
dunia-material. Oleh karena itu, segala hal, termasuk tujuan dan filsafat
penciptaan didasarkan dan ditafsirkan berdasarkan watak kehidupan
duniawi. Mereka menolak tujuan lain selain ini.

Pandangan yang berlawanan dengan perspektif di atas adalah bahwa


kehidupan dunia-material bukanlah tujuan akhir dan hakiki, mereka
beranggapan bahwa alam itu tidak terbatas pada alam materi saja
melainkan terdapat juga alam akal dan mitsal (barzakh)[1]. Alam-alam ini,
walaupun mempunyai tujuan-tujuan sementara, tetapi secara universal
memiliki tujuan akhir dan hakiki. Adalah suatu kesalahan apabila kita
memandang bahwa kumpulan dari tujuan-tujuan setiap alam itu merupakan
tujuan esensial dan hakiki. Tujuan hakiki tak lain adalah tujuan akhir seluruh
penciptaan dan realitas kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai