Anda di halaman 1dari 14

Proses Meraih Kesempurnaan 

Insani

Ditulis oleh teosophy di/pada Desember 23, 2009

Oleh: Mohammad Adlany

Kesempurnaan setiap maujud mempunyai batasan tertentu yang telah


ditetapkan oleh Sang Pencipta. Karena karakteristik masing-masing maujud,
mulai dari tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia, adalah berbeda satu
sama lain, maka kesempurnaannya pun menjadi berbeda dan bertingkat-
tingkat. Setiap maujud dikatakan sempurna ketika potensi-potensi khusus
yang ada pada dirinya telah aktual.

Kesempurnaan setiap maujud harus ditemukan dalam sistem alam


penciptaan. Untuk melakukan hal ini, harus dilakukan pengenalan terhadap
hakikat suatu maujud untuk kemudia menempatkan kedudukannya di alam
penciptaan, setelah itu dibutuhkan spesialisasi yang untuk mengetahui,
memperkirakan, dan terakhir memberikan kesimpulan yang layak.
Tentunya, penentuan kesempurnaan suatu maujud tidak bisa merujuk pada
pendapat masyarakat umum, adat istiadat, dan peradaban.

1. Mengenal kesempurnaan manusia

Dengan memperhatikan pemikiran di atas, maka hal-hal yang diperlukan


untuk mengenal kesempurnaan manusia, adalah:

1. Mengenal dimensi kesempurnaan manusia;


2. Menetapkan dimensi terbaik di antara seluruh dimensi wujud yang
dimilik manusia;
3. Mencari kesempurnaan yang layak dari poin terbaik;
4. Menemukan metodologi pendidikan dan pembinaan untuk
mengarahkan manusia menuju titik kesempurnaan tertinggi;
5. Cerdas dalam melangkah, mengenal, dan memilih jalan dan tarikat di
antara jalan-jalan yang telah dikenali;
6. Menemukan derajat dan kedudukan yang harus diperoleh pada
perjalanan menyempurna ini,
7. Memperoleh akhir kedudukan yang ditempuh oleh seorang pesuluk
dan sampai pada titik akhir kesempurnaan.

2. Proses pencapaian kesempurnaan manusia

Syarat pertama untuk melakukan perjalanan ke arah tujuan tertinggi


manusia adalah melaksanakan ketujuh poin di atas, yang tidak
memperhatikan salah satunya atau meninggalkan seluruhnya akan
menyebabkan kebingungan dan kesesatan bahkan pada awal perjalanan.

1. Sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya, manusia


merupakan sebuah majemuk dari seluruh tingkatan eksistensi dan
merupakan contoh atau miniatur dari seluruh keberadaaan. Manusia
yang paling sempurna akan memiliki seluruh kesempurnaan yang
dimiliki oleh Sang Penciptanya.
2. Telah dikatakan bahwa dimensi terbaik dan terunggul yang dimiliki
oleh manusia adalah dimensi nonmaterinya (akal) yang menyebabkan
seluruh malaikat bersujud padanya.
3. Kesempurnaan yang layak untuk kedudukan manusia ini adalah dia
merupakan dan menjadi maujud yang terbaik dan paling sempurna di
antara seluruh eksistensi, tidak menganggap dirinya kecil, rendah, dan
tidak menjual dirinya untuk tingkatan yang lebih rendah seperti
materi, melainkan memanfaatkan dan meletakkan seluruhnya sebagai
alat dan wasilah dalam perjalanan menuju tingkatan tertinggi dan
untuk mencapai kedudukan yang lebih tinggi dan paling sempurna.
4. Melewati dan meniti jalan yang diperintahkan oleh Tuhan yang telah
ditetapkan oleh-Nya dengan diturunkannya agama Islam lewat Nabi
dan Rasul-Nya. Dimana hal ini harus ia lakukan dengan menghiasi
aspek lahir dan dimensi batin dengan mengamalkan perintah-perintah
dan aturan-aturan Tuhan (baca: syariat) serta tidak penafikan aturan-
aturan Ilahi tersebut sekecil apapun, dan pada langkah pertama dia
harus menegaskan dirinya untuk melaksanakan hukum yang wajib dan
mushtahab, dan meninggalkan yang mubah, haram, dan makruh,
serta berusaha untuk mendakwakannya.
5. Meletakkan setiap jejak dan langkahnya dalam tradisi orang-orang
yang shaleh dan berilmu, berjalan sendiri sangat besar kemungkinan
untuk tersesat karena dia tidak mampu mengenali jalan yang hak dan
benar, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Musa bin Ja’far as
dalam salah satu haditsnya, “Binasalah orang yang tidak memiliki
pembimbing yang membimbingnya” dan sebagaimana yang dikatakan
oleh Amirul Mukminin Ali as, sebelum manusia mencapai tingkatan
alim rabbani (orang yang benar-benar mengenal Tuhan) dan
mengetahui derajatnya, terlebih dahulu dia harus belajar untuk
mendapatkan jalan keselamatan.
6. Mengetahui setiap tahap dari masing-masing derajat dan kedudukan
spiritual, supaya dia tidak menghentikan langkahnya pada posisi yang
telah didapatkannya, karena setiap kedudukan memiliki pengaruh
yang sebegitu agung dan menakjubkan kadangkala hal ini
memunculkan sangkaan pada seseorang bahwa dia telah sampai pada
titik tertinggi dari kesempurnaan, sementara dia tidak mengetahui
bahwa saat ini dia baru saja memulai perjalanannya yang begitu
panjang. Salah satu persoalan yang paling urgen dalam melakukan
perjalanan ke arah tujuan yang benar dan hakiki adalah terletak pada
kesalahan dalam menentukan kedudukan dan derajat spiritual ini,
yang tentu saja akan menyebabkan stagnasi dalam perjalanan ke
tahapan selanjutnya. Pada tahapan ini, diharuskan ada seorang guru
untuk membimbingnya ke derajat dan kedudukan tertinggi. Melakukan
perjalanan spiritual seorang sendiri dengan tanpa guru sebagai
pembimbing spiritual, kadangkala akan mengakibatkan perjalanan
justru mengarah ke ambang kesesatan, kehilangan akal sehat, dan
munculnya kebingungan. Apabila untuk melakukan perjalanan di alam
ini saja kita harus mengetahui dan mengenal lintasannya, bagaimana
mungkin kita akan bisa berjalan di alam transenden dan spiritual
tanpa terlebih dahulu mengetahui dan mengenal lintasan
perjalanannya dan tanpa adanya guru pembimbing?
7. Akhir dari derajat dan kedudukan manusia adalah perjalanan menuju
“Realitas Tak Terbatas”, Tuhan.

3. Hakikat insan dan kesempurnaannya

Faktor paling besar penyebab kesalahan dalam perjalanan manusia saat ini
adalah ketidakjelasan dan ketiadaan perhatian terhadap hakikat manusia.
Persoalan ini telah menyebabkan manusia meninggalkan fitrah yang benar
dan terjerumus ke lembah kesesatan. Dalam keadaan seperti ini, kesalahan,
kesesatan, dan keburukan telah termanifestasi dalam bentuk tujuan yang
tinggi, sedangkan tujuan asli dan hakiki mereka telah terlupakan. Dalam
keadaan ini, hawa nafsu dan khayalan kosong diposisikan sebagai arah dan
tujuan yang sebenarnya.

Ulama sejati yang akan duduk sebagai pemimpin kafilah manusia dan
memperkenalkan dirinya sebagai pemimpin masyarakat adalah penting bagi
mereka untuk terlebih dahulu berpikir tentang hakikat manusia dan
berusaha menentukan identitas hakiki manusia untuk mengetahui poin-poin
kesempurnaan yang layak untuk mereka.

Manusia yang sifat dasarnya adalah bersumber dari malaikat dan ruh
Ilahi, “Dan telah Aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku”[1], untuk apa
mengarahkan dirinya pada suatu realitas yang bukan tujuan suci
penciptaannya? Manusia yang Tuhan menyebut kedudukannya dengan
firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang
serendah-rendahnya”[2], tidak seharusnya menjadikan tempat tinggal
abadinya di asfalus-safilin (paling rendahnya kedudukan), melainkan tempat
terendah tersebut (baca: alam materi) harus dianggap sebagai batu
loncatan menuju ke langit suci makrifat dan derajat tertinggi.

Burung-burung angkasa yang sayapnya lebar yang tidak bisa tertampung


dalam sebuah sangkar dan sarang manapun, sama sekali tidak layak
terpenjara dalam sebuah sangkar yang sempit. Dia harus terbang bebas
mengarungi angkasa, lautan, dan hutan-hutan.

Manusia yang kalbunya tidak dapat dipenuhi dan dipuaskan oleh realitas
apapun, sehingga apabila planet bumi ini diserahkan kepadanya, ia tetap
akan memikirkan untuk menguasai planet-planet lainnya, dan apabila telah
menguasai seluruh alam, masih tetap memiliki keinginan untuk menguasai
apa yang berada di luar alam, apakah dia akan merasa beruntung dan
bahagia dengan hanya mengenyangkan perut dan syahwatnya? Tidak, sama
sekali tidak demikian, apabila dia memiliki kapasitas wujud yang tidak
terbatas, maka dia hanya layak untuk sesuatu yang juga tidak terbatas, dan
kesempurnaan hakikat yang tak terbatas ini menuntut kehadiran realitas
kesempurnaan yang tidak terbatas pula.

Ibarat di atas adalah kandungan dari ayat, “Yaitu orang-orang yang beriman


dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya
dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”[3], yang dengan
beberapa penegasan mengatakan bahwa satu-satunya yang mampu
menenangkan hati dan memberi ketentraman serta kepuasaan pada kalbu
dan jiwa manusia tidak lain adalah Sang Penciptanya sendiri.
Dalam sebuah hadits mulia dikatakan, jiwa mukmin adalah ‘rumah’ Tuhan,
maka janganlah kalian menerima selain Tuhan di dalam rumah ini.
Kesempurnaan yang layak untuk manusia adalah tidak melepaskan diri dari
mengingat Tuhannya dan mencintai-Nya dengan setulus hati.

4. Para nabi, pembimbing kesempurnaan

Karena Tuhan mengajak manusia ke arah kesempurnaan-Nya dan


menjaminnya keamanan, ketenangan, dan kehancuran dunia serta juga
memberikan kemudahan untuk menggapai realitas alam malakuti, maka Dia
menciptakan teladan-teladan suci berupa Nabi, Rasul, dan Ahlulbait dan
mengajak seluruh manusia untuk berjalan bersama mereka dan meniti jalan
yang mereka lalui, teladan-teladan suci tersebut diletakkan sebagai contoh
dari kalangan manusia yang telah mampu mencapai derajat dan kedudukan
manusia yang paling tinggi.

Dalam keadaan ini, karena kita belum menjadi manusia sempurna adalah
logis apabila segala gerak dan langkah kita sebagaimana gerak dan langkah
para manusia sempurna tersebut, dan kita bergerak dan berjalan di bawah
hidayah dan bimbingan mereka.

Hal ini persis seperti keadaan orang buta yang melakukan perjalanannya
dengan meletakkan tangannya pada genggaman orang yang tidak buta.
Sudah pasti orang buta tersebut akan melangkah sebagaimana orang yang
tidak buta, dia akan aman dari bahaya kebutaan, karena meskipun dia buta,
akan tetapi gerak dan langkahnya bukan gerak dan langkah orang buta.

Dalam lingkup tujuan yang sangat agung dan berharga inilah kemudian
tercipta maktab suci Ilahi untuk memberikan bimbingan dan mengarahkan
keinginan mulia manusia, dan mengingatkan bahwa apabila keinginan hakiki
manusia tidak diiringi dengan hidayah khusus dengan perantara para
teladan suci dan manusia sempurna, maka kesempurnaan tertinggi dan
tujuan suci penciptaan manusia tidak akan pernah tergapai dan terwujud.

5. Dosa, penghalang kesempurnaaan


Almarhum Allamah Thabathabai ra sepakat bahwa melakukan maksiat dan
dosa sekecil apapun, akan mampu menjadi penghalang bagi perjalanan
memasuki medan makrifat Ilahi, dan mengetahui kewajiban berkenaan
dengan perintah-perintah suci Ilahi adalah syarat awal menuju
kesempurnaan dan langkah awal seorang pesuluk.

Tentu saja puncak kesempurnaan ini tidak dapat dengan mudah diperoleh
karena menuntut penjagaan ketat dan kehati-hatian sempurna. Almarhum
Allamah dalam risalahnya al-Wilayah menukilkan bahwa gurunya, almarhum
Ayatullah Sayyid Ali Qadhi Thabathabai, mengatakan bahwa para pertapa
India yang hanya memakan sebutir kacang dalam setiap minggunya, tidak
tidur pada hari-hari tertentu, berdiri di atas satu kaki dengan merentangkan
kedua tangan dalam sehari semalam, atau hal ajaib lainnya, pada dasarnya
mereka telah lari dari amanah dan tanggung jawab yang besar dan beralih
pada hal-hal yang mudah. Tanggung jawab yang besar dan perbuatan yang
mulia adalah dalam waktu selama 70 tahun sama sekali tidak berbohong,
ghibah, riya, memandang perempuan non-mahram, dan lain-lain. Sebagian
dari murid almarhum Ayatullah Ogho Rahim Arbab menukilkan bahwa beliau
berkata, sejak umur lima belas tahun hingga sekarang, aku tidak pernah
satu kali pun memandang perempuan non mahram.

Jadi, kemestian pengamalan seluruh kewajiban dan perintah Ilahi


merupakan syarat pertama untuk memasuki wilayah suci Ilahi dan secara
bertahap dia akan mengalami perluasan kapasitas wujudnya.

Amirul Mukminin Ali as dalam kitab Nahjul Balaghah mengatakan, kalbu dan


jiwa manusia merupakan wadah-wadah dan terbaiknya wadah adalah yang
memiliki kapasitas yang terbanyak.

Program-program yang telah difirmankan oleh Tuhan untuk manusia dan


tertuang di dalam agama suci Islam mengatakan bahwa badan materi
merupakan sebuah eksistensi yang tidak abadi dan fana, maka jadikanlah
badan-badan tersebut menjadi realitas ruhani dan Ilahi (yakni jiwa melesak
ke alam tinggi malakuti), karena tidak mengikuti aturan-aturan Ilahi hanya
akan menjadikan ruh menjadi realitas materi (yakni jiwa akan turun ke alam
terendah materi).
Kebodohan dan kejahilan yang tidak memberikan manfaat sedikitpun, lantas
berperan dan berusaha dalam membumi hanguskan program-program Ilahi
dan meletakkan segala sesuatu untuk berkhidmat kepada alam materi dan
dunia, dan kejahilan ini dengan seluruh usahanya berupaya untuk
menyimpangkan agama Islam supaya manusia-manusia malang terjebak
dan terkubur dalam sifat dan prilaku hewan. Mereka menganggap bahwa
tolok ukur kebahagiaan dan kesempurnaan manusia terletak pada motivasi-
motivasi dalam memenuhi tuntutan syahwat dan perut, dan mereka tidak
mengetahui sesuatu lebih dari hal itu.

6. Penyakit tanpa rasa sakit

Penyakit-penyakit tubuh terbagi menjadi dua kelompok, sebagian penyakit


tubuh diikuti dengan rasa sakit yang tidak menyenangkan seperti penyakit
pada sistem pencernaan atau infeksi-infeksi pada sistem-sistem organ yang
diikuti dengan rasa sakit yang luar biasa pada anggota badan.

Akan tetapi terdapat jenis penyakit lain yang mampu mengalami


perkembangan sangat pesat di dalam tubuh manusia akan tetapi sama
sekali tidak diikuti dengan rasa sakit, dan penderita penyakit semacam ini
biasanya tidak mengetahui adanya kerusakan di dalam tubuhnya, seperti
kejang yang terjadi pada pembuluh kapiler atau pengentalan darah yang
timbulkan oleh sedimen bahan-bahan seperti lemak yang akan menekan
jantung, hal ini secara bertahap dan tanpa diketahui oleh manusia akan
mampu menghentikan detak jantung secara tiba-tiba dan hal ini berarti
berakhirnya sebuah kehidupan.

Penyakit-penyakit ruh yang muncul karena tidak adanya kesempurnaan


spiritual pun memiliki keadaan seperti tersebut di atas. Manusia tidak pernah
merasakan adanya aib dan kekurangan di dalam dirinya karena dia telah
terkekang dalam mekanisme materi.

Dan karena manusia tidak mengetahui bahwa kecintaan atas materi tidak
terhitung sebagai kesempurnaan dirinya, tidak bisa memuaskan fitrahnya,
dan tidak bisa menjadi solusi bagi tuntutan potensi-potensinya, oleh karena
itu dia sama sekali tak merasakan ketersiksaan sedikitpun. Dia hanya
berpikir pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tabiat dan badannya dan
dia tidak mengenal kebutuhan ruhani yang lebih tinggi dari itu. Orang-orang
semacam ini tidak akan mendapatkan kesempurnaan hakiki, bersamaan
dengan itu ia tak pula merasakan sakit dan kekurangan. Penyebab dari
masalah ini adalah hati mereka sibuk, larut dan tenggelaman dalam lautan
dunia materi. Al-Quran menamakan orang-orang semacam ini dengan
orang-orang yang buta dan tuli dan saking tuli dan butanya sehingga dia
tidak mengetahui penyakit yang diderita di dalam dirinya sendiri.

Akan tetapi ketika mereka melihat jarak yang begitu jauh dan penuh bahaya
disertai dengan segala ketegangan dan ketakutan yang terjadi di alam
akhirat, memahami bahwa dia tidak memiliki kendaraan dan alat untuk
bergerak dan melihat betapa banyak nikmat-nikmat tak terbatas yang
tercecer akan tetapi dia tidak mampu mengumpulkan dan
memanfaatkannya, dan dia tidak mempersiapkan tempat tinggal dan
kediaman abadi untuk dirinya, keadaan ini persis seperti seorang anak yang
lahir dari ibu dan tidak memiliki mata, telinga, tangan, kaki, hidung, dan
mata untuk melihat, mendengar, berjalan, bernapas, dan makan.

Sebenarnya harus diketahui bahwa seluruh perintah dan aturan-aturan suci


Tuhan hanyalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan spiritual manusia di
alam akhirat dan mempersiapkan kediaman abadinya.

7. Tahap akhir kesempurnaan

Gerak manusia adalah ke arah realitas tak terbatas. Allamah Thabathabai ra


dalam risalahnya al-Wilayah mengutarakan isyarah-isyarah yang
diungkapkan oleh al-Quran dan hadits tentang tingkatan dan derajat akhir
manusia ini.     Pada risalah itu disinggung tentang lima tingkatan dan
menentukan garis lintasan manusia:

1. Hukum-hukum agama dan syariat suci Islam memiliki dimensi lahir


dan batin;
2. Mekanisme batin alam tidak berdasar pada mekanisme alam natural
ini karena dia memiliki mekanisme tersendiri yang khusus dan
tertentu;
3. Tidak ada sedikitpun keraguan bahwa para Nabi memiliki hubungan
dan keterkaitan dengan batin alam ini;
4. Pintu ke arah batin alam tersebut terbuka pula untuk umat manusia
dan terdapat kemungkinan untuk melakukan hubungan dengan
tingkatan dan derajat alam tersebut;
5. Apa yang dicapai manusia dalam perjalanan suci ini adalah menggapai
puncak kesempurnaan wujud.

Allamah Thabathabai ra pada masing-masing poin tersebut menyertakan


juga sanad-sanad al-Quran dan hadits, bisa dikatakan bahwa risalah ini
merupakan hasil karya yang sangat berharga pada kurun ini.

Almarhum Allamah pada poin keempat dari risalah tersebut mengatakan,


“Sesungguhnya jalan paling dekat dan paling bermanfaat untuk bergerak ke
arah kesempurnaan mutlak adalah perjalanan jiwa (seir anfusi)”[4], dengan
makna bahwa pada lintasan ini, manusia sama sekali tidak akan bergelut
dengan defenisi-defenisi dan pemikiran. Yang akan dihadapi hanyalah
hakikat-hakikat wujud yang bisa ditemukan dalam jiwa manusia dimana hal
ini akan menambah keluasan wujudnya. Pada topik ini, Allamah
menyandarkannya pada salah satu ayat yang berbunyi, “… Tiadalah orang
yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah
mendapat petunjuk …”.[5]

Sedangkan pada poin kelima, beliau mengatakan,[6] “Manusia akan sampai


pada suatu realitas dimana Tuhan akan menyingkap tabir dari mata-mata
mereka dan meletakkan mereka pada golongan muqarribin (orang-orang
yang didekatkan pada-Nya), Tuhan berfirman, “Tahukah kamu apakah
‘Illiyyin itu? (yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh malaikat-
malaikat yang didekatkan (kepada Allah)”[7], dimana pada posisi ini mereka
akan ‘menyaksikan’ alam-alam keberadaan yang tertinggi dimana
merupakan sebuah lembaran dimana keberadaan dan segala sesuatu yang
terjadi di alam itu telah tertulis dan terjaga dengan rapi. Juga manusia akan
mengalami penyempurnaan hingga sampai pada sebuah derajat yang jauh
dari jangkauan dan pengaruh setan, karena setan berkata, “Demi
kekuasaan-Mu aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-
hamba-Mu yang mukhlas (orang yang disucikan dan diikhlaskan) di antara
mereka”[8].

Demikian juga akan sampai pada suatu tempat dimana mereka akan
memperoleh balasan atas segala amal dan perbuatan sebagaimana
manusia-manusia lainnya, dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “Dan kamu
tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan yang telah kamu
kerjakan”[9], akan tetapi pada kelanjutan ayat tersebut Tuhan
berfirman, “Kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).”[10]

Imam Ali As dalam salah satu khutbahnya, mengatakan, “Ya Allah! Mata
manakah yang akan mampu bertahan ketika berhadapan dengan pancaran
cahaya dan kodrat-Mu, dan akal manakah yang mampu menggapai kodrat
dan cahaya-Mu, kecuali mata yang telah tersibak dari tabir dan hijab yang
membutakan.”[11]

Imam Ali As dalam munajat Sya’baniyah juga menganjurkan kepada kita


untuk memanjatkan doa kepada Allah Swt sebagai berikut, “Ya Allah!
Terangkanlah mata hati kami untuk memandang kemuliaan-Mu supaya
terbuka hijab-hijab yang ada di antara kami sehingga kami akan sampai
kepada keagungan-Mu dan ruh-ruh kami bergantung pada seluruh
kemuliaan suci-Mu.”

Pada bagian yang lain, dari munajat yang sama, beliau bersabda, “Ya Allah!
Sampaikanlah kami kepada cahaya kemuliaan dan cahaya menakjubkan
yang Engkau miliki, sehingga kami mampu mengenal-Mu dan memalingkan
wajah dari selain-Mu.”

Allamah Thabathabai ra pada akhir risalahnya menyatakan, “Apabila kita


berpikir dan bertadabbur dengan baik pada ayat-ayat al-Quran dan hadits-
hadits, maka akan kita temukan bahwa ternyata kita masih belum
mendapatkan informasi sempurna tentang wilayah suci Ilahi dan apa yang
akan mereka gapai dari kesempurnaan-kesempurnaan Ilahi tersebut, tak
satupun ibarat dan ungkapan yang bisa digunakan untuk menceritakan
secara utuh tentang maqam, derajat dan kedudukannya sama sekali.”[12]

Manusia merupakan satu-satunya eksistensi yang memiliki potensi dan


kapasitas yang mampu meletakkan seluruh alam ini di dalam jiwa dan
kalbunya, dan – sebagaimana yang telah kami katakan – apabila Allah
menyebut seluruh alam dengan sebutan mikrokosmos dan dalam al-Quran
memperkenalkan dunia dengan sebutan “sedikit” akan tetapi pada ayat
lainnya menyebutnya sebagai sebuah “komoditi”, dan mendefinisikannya
sebagai sesuatu yang tidak berharga dan kecil, bukan disebabkan karena
dunia ini memang tidak berharga dan kecil, melainkan karena kedudukan
manusia yang besar, agung, dan sangat berharga, dan kapasitasnya yang
sedemikian besar sehingga kalbunya merupakan arsy Ar-Rahman dan
‘rumah’ Tuhan, dimana pada salah satu hadits dikatakan, “Kalbu para
mukmin merupakan tempat suci Tuhan” dan seluruh alam ini tidak berharga
ketika berdampingan dengan realitas yang bisa menampung arsy Ilahi atau
tempat suci Tuhan.”[13]

Dari sinilah Amirul Mukminin Ali as mengatakan, “Perdagangan yang tidak


beruntung adalah manusia yang menganggap dirinya memiliki nilai tertentu
dan terbatas lalu dia menjual dirinya dengan nilai tersebut”[14].
Perdagangan seperti ini hanya akan menghasilkan penyesalan tak terbatas.
Betapa indahnya, apabila manusia mengetahui citra, hakikat, dan nilai
dirinya, dan melakukan amal dan perbuatan sedemikian sehingga dia
mampu menyibakkan tabir yang menutupinya dan menggapai
kesempurnaan dirinya dengan penuh kebahagiaan.

8. Pendidikan akhlak dalam Islam

Kata pendidikan mempunyai makna menghasilkan dan menambah.


Sedangkan kata pertumbuhan memiliki makna menjadi sesuat yang lebih
baik, berkembang, dan berproses menuju posisi yang lebih sempurna.

Jelaslah bahwa yang dimaksud dengan pembinaan – dalam proses


pengajaran dan pendidikan – seorang manusia bukan berarti mengarahkan
pertumbuhan badan dan menaikkan berat badannya, melainkan yang
dimaksud adalah menyelamatkan manusia dari keterjebakan dalam dunia
materi dan memberikan pemahaman akan arah dan tujuan yang lebih tinggi,
lebih mulia, lebih agung, dan lebih sempurna dari sekedar memuaskan
instink dan syahwat semacam makan, tidur, berpakaian dan kebutuhan
jasmani lainnya.

Jelaslah bahwa di atas mekanisme jasmani manusia terdapat mekanisme


lain yang berkedudukan lebih tinggi dan lebih suci, dimana struktur dan
pondasi derajat tersebut berada pada salah satu tingkatan wujud yang
terletak lebih tinggi dari alam materi.
Manusia yang berkedudukan tinggi dan suci bukanlah mereka yang lebih
baik dalam hal makan, minum, tidur, dan kelebihan dalam fasilitas-fasilitas
materi lainnya, melainkan apabila mereka hanya mencukupkan pada
persoalan-persoalan ini, berarti mereka malah telah terjerembab dari derajat
insaniah menuju derajat hewaniah, dan kemerosotan manusia yang
semacam ini tidak bisa dianggap sebagai sebuah pertumbuhan atau
kesempurnaan.

Hal ini sama artinya ketika kita menganggap alam eksistensi ini hanya
sebatas alam materi – sebagaimana yang diungkapkan oleh kaum materialis
– karena dengan anggapan seperti ini berarti proses menyempurna yang
ada pada alam eksistensi sama sekali tidak bermakna.

Meskipun mereka telah merasionalisasikan kemunculan makhluk-makhluk


hidup bahkan manusia dan mengatakan apabila di dalam alam natural
ditemukan makhluk hidup, maka sebenarnya unsur-unsur maujud di alam
eksistensi akan terkomposisi dan terwujud dalam bentuk yang lebih rumit
dan lebih mendetail.

Dengan ungkapan lain, partikel atom alam ini tetap konstan dan permanen,
akan tetapi kadangkala mereka saling berbaur dalam bentuk yang
sederhana, dimana dalam keadaan ini akan muncul eksistensi yang
sederhana pula seperti in-organik dan tumbuhan; terkadang pula, atom-
atom ini berkomposisi dengan sangat rumit dimana akan menghasilkan
spesis hewan.

Jadi perbedaan antara katak dengan batu, bunga, dan tumbuhan hanya
terletak pada komposisi partikel atom atau unsur-unsurnya dalam bentuk
yang lebih rumit, dan apabila kemudian terwujud manusia, hal ini terjadi
pula dengan cara yang sama yaitu karena pengaruh penggabungan unsur-
unsur dan partikel-partikel atom alam ini sedemikian mendetail dan lebih
rumit dari makhluk lainnya, dengan ini terbentuklah eksistensi yang
menakjubkan berupa manusia, akan tetapi tetap saja berada dalam lingkup
unsur-unsur pertama materi dan tidak keluar darinya, dan apabila seluruh
maujud yang terdapat di alam ini dikembalikan semula dalam bentuk atom-
atom, maka jumlah atom-atom tersebut niscaya akan tetap dan konstan,
tidak terkurangi dan tidak pula bertambah.
Dari penjelasan di atas, secara pasti bisa dikatakan bahwa perspektif ini
tidak sesuai dengan proses kesempurnaan maujud-maujud, dan bahkan
pernyataan mereka tentang kesempurnaan dalam bentuk di atas tidak
diterima oleh aliran filsafat manapun, karena perubahan dari satu materi ke
materi yang lain tidak bisa dikatakan sebagai sebuah proses kesempurnaan,
melainkan hanya sebuah rangkaian penjumlahan dan pembagian dimana
pada satu kondisi akan menggabung dan pada kondisi lain akan memisah.
Dengan ibarat lain, sekedar perubahan kondisi tidak bisa dikatakan sebagai
kenaikan derajat sebuah maujud. Suatu gerak akan bisa dikatakan sebagai
gerak ke arah kesempurnaan ketika ada hasil pada setiap lintasan
perjalanan yang dilaluinya, dimana hasil itu sebelumnya tidak dimiliki dan
sekarang mengalami pertambahan.

Ibnu Sina menganggap bahwa setiap gerak merupakan kesempurnaan awal,


yaitu langkah pertama untuk mencapai segala yang dikehendaki ialah gerak,
dimana manusia atau setiap maujud akan bergerak dan mengarah pada
tujuan. Bila tujuan yang akan dicapai tidak ada, melainkan antara wujud
awal dan wujud akhirnya adalah sama dan tidak ada satu hal baru yang
dihasilkan, maka aksi-reaksi semacam ini tidak bisa dikatakan sebagai
sebuah proses kesempurnaan.

[1] Qs. Al-Hijr: 29.


[2] . Qs.At-Tiin: 4-5.

[3] . Qs. Ar-Ra’d: 28.

[4] .  Risalah al-Wilayah, Allamah Thabathabai, hal. 37.

[5] . Qs. Al-Maidah: 105.

[6] . Risalah al-Wilayah, hal. 65.

[7] . Qs. Al-Muthaffifin: 19-21.

[8] . Qs. Shaad: 82-83.

[9] . Qs. Ash-Shaaffat: 39.


[10] . Qs. Ash-Shaaffat: 40.

[11].  Biharul Anwar, jilid 25, bab 1, hal. 29

[12] . Risalah al-Wilayah, Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, hal. 75.

[13] . Gurar wa Durar, Imam Ali as, hal. 112.

[14] . Ibid.

Anda mungkin juga menyukai