Insani
Faktor paling besar penyebab kesalahan dalam perjalanan manusia saat ini
adalah ketidakjelasan dan ketiadaan perhatian terhadap hakikat manusia.
Persoalan ini telah menyebabkan manusia meninggalkan fitrah yang benar
dan terjerumus ke lembah kesesatan. Dalam keadaan seperti ini, kesalahan,
kesesatan, dan keburukan telah termanifestasi dalam bentuk tujuan yang
tinggi, sedangkan tujuan asli dan hakiki mereka telah terlupakan. Dalam
keadaan ini, hawa nafsu dan khayalan kosong diposisikan sebagai arah dan
tujuan yang sebenarnya.
Ulama sejati yang akan duduk sebagai pemimpin kafilah manusia dan
memperkenalkan dirinya sebagai pemimpin masyarakat adalah penting bagi
mereka untuk terlebih dahulu berpikir tentang hakikat manusia dan
berusaha menentukan identitas hakiki manusia untuk mengetahui poin-poin
kesempurnaan yang layak untuk mereka.
Manusia yang sifat dasarnya adalah bersumber dari malaikat dan ruh
Ilahi, “Dan telah Aku tiupkan ke dalamnya ruh-Ku”[1], untuk apa
mengarahkan dirinya pada suatu realitas yang bukan tujuan suci
penciptaannya? Manusia yang Tuhan menyebut kedudukannya dengan
firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya, kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang
serendah-rendahnya”[2], tidak seharusnya menjadikan tempat tinggal
abadinya di asfalus-safilin (paling rendahnya kedudukan), melainkan tempat
terendah tersebut (baca: alam materi) harus dianggap sebagai batu
loncatan menuju ke langit suci makrifat dan derajat tertinggi.
Manusia yang kalbunya tidak dapat dipenuhi dan dipuaskan oleh realitas
apapun, sehingga apabila planet bumi ini diserahkan kepadanya, ia tetap
akan memikirkan untuk menguasai planet-planet lainnya, dan apabila telah
menguasai seluruh alam, masih tetap memiliki keinginan untuk menguasai
apa yang berada di luar alam, apakah dia akan merasa beruntung dan
bahagia dengan hanya mengenyangkan perut dan syahwatnya? Tidak, sama
sekali tidak demikian, apabila dia memiliki kapasitas wujud yang tidak
terbatas, maka dia hanya layak untuk sesuatu yang juga tidak terbatas, dan
kesempurnaan hakikat yang tak terbatas ini menuntut kehadiran realitas
kesempurnaan yang tidak terbatas pula.
Dalam keadaan ini, karena kita belum menjadi manusia sempurna adalah
logis apabila segala gerak dan langkah kita sebagaimana gerak dan langkah
para manusia sempurna tersebut, dan kita bergerak dan berjalan di bawah
hidayah dan bimbingan mereka.
Hal ini persis seperti keadaan orang buta yang melakukan perjalanannya
dengan meletakkan tangannya pada genggaman orang yang tidak buta.
Sudah pasti orang buta tersebut akan melangkah sebagaimana orang yang
tidak buta, dia akan aman dari bahaya kebutaan, karena meskipun dia buta,
akan tetapi gerak dan langkahnya bukan gerak dan langkah orang buta.
Dalam lingkup tujuan yang sangat agung dan berharga inilah kemudian
tercipta maktab suci Ilahi untuk memberikan bimbingan dan mengarahkan
keinginan mulia manusia, dan mengingatkan bahwa apabila keinginan hakiki
manusia tidak diiringi dengan hidayah khusus dengan perantara para
teladan suci dan manusia sempurna, maka kesempurnaan tertinggi dan
tujuan suci penciptaan manusia tidak akan pernah tergapai dan terwujud.
Tentu saja puncak kesempurnaan ini tidak dapat dengan mudah diperoleh
karena menuntut penjagaan ketat dan kehati-hatian sempurna. Almarhum
Allamah dalam risalahnya al-Wilayah menukilkan bahwa gurunya, almarhum
Ayatullah Sayyid Ali Qadhi Thabathabai, mengatakan bahwa para pertapa
India yang hanya memakan sebutir kacang dalam setiap minggunya, tidak
tidur pada hari-hari tertentu, berdiri di atas satu kaki dengan merentangkan
kedua tangan dalam sehari semalam, atau hal ajaib lainnya, pada dasarnya
mereka telah lari dari amanah dan tanggung jawab yang besar dan beralih
pada hal-hal yang mudah. Tanggung jawab yang besar dan perbuatan yang
mulia adalah dalam waktu selama 70 tahun sama sekali tidak berbohong,
ghibah, riya, memandang perempuan non-mahram, dan lain-lain. Sebagian
dari murid almarhum Ayatullah Ogho Rahim Arbab menukilkan bahwa beliau
berkata, sejak umur lima belas tahun hingga sekarang, aku tidak pernah
satu kali pun memandang perempuan non mahram.
Dan karena manusia tidak mengetahui bahwa kecintaan atas materi tidak
terhitung sebagai kesempurnaan dirinya, tidak bisa memuaskan fitrahnya,
dan tidak bisa menjadi solusi bagi tuntutan potensi-potensinya, oleh karena
itu dia sama sekali tak merasakan ketersiksaan sedikitpun. Dia hanya
berpikir pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tabiat dan badannya dan
dia tidak mengenal kebutuhan ruhani yang lebih tinggi dari itu. Orang-orang
semacam ini tidak akan mendapatkan kesempurnaan hakiki, bersamaan
dengan itu ia tak pula merasakan sakit dan kekurangan. Penyebab dari
masalah ini adalah hati mereka sibuk, larut dan tenggelaman dalam lautan
dunia materi. Al-Quran menamakan orang-orang semacam ini dengan
orang-orang yang buta dan tuli dan saking tuli dan butanya sehingga dia
tidak mengetahui penyakit yang diderita di dalam dirinya sendiri.
Akan tetapi ketika mereka melihat jarak yang begitu jauh dan penuh bahaya
disertai dengan segala ketegangan dan ketakutan yang terjadi di alam
akhirat, memahami bahwa dia tidak memiliki kendaraan dan alat untuk
bergerak dan melihat betapa banyak nikmat-nikmat tak terbatas yang
tercecer akan tetapi dia tidak mampu mengumpulkan dan
memanfaatkannya, dan dia tidak mempersiapkan tempat tinggal dan
kediaman abadi untuk dirinya, keadaan ini persis seperti seorang anak yang
lahir dari ibu dan tidak memiliki mata, telinga, tangan, kaki, hidung, dan
mata untuk melihat, mendengar, berjalan, bernapas, dan makan.
Demikian juga akan sampai pada suatu tempat dimana mereka akan
memperoleh balasan atas segala amal dan perbuatan sebagaimana
manusia-manusia lainnya, dalam salah satu ayat-Nya berfirman, “Dan kamu
tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan yang telah kamu
kerjakan”[9], akan tetapi pada kelanjutan ayat tersebut Tuhan
berfirman, “Kecuali hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).”[10]
Imam Ali As dalam salah satu khutbahnya, mengatakan, “Ya Allah! Mata
manakah yang akan mampu bertahan ketika berhadapan dengan pancaran
cahaya dan kodrat-Mu, dan akal manakah yang mampu menggapai kodrat
dan cahaya-Mu, kecuali mata yang telah tersibak dari tabir dan hijab yang
membutakan.”[11]
Pada bagian yang lain, dari munajat yang sama, beliau bersabda, “Ya Allah!
Sampaikanlah kami kepada cahaya kemuliaan dan cahaya menakjubkan
yang Engkau miliki, sehingga kami mampu mengenal-Mu dan memalingkan
wajah dari selain-Mu.”
Hal ini sama artinya ketika kita menganggap alam eksistensi ini hanya
sebatas alam materi – sebagaimana yang diungkapkan oleh kaum materialis
– karena dengan anggapan seperti ini berarti proses menyempurna yang
ada pada alam eksistensi sama sekali tidak bermakna.
Dengan ungkapan lain, partikel atom alam ini tetap konstan dan permanen,
akan tetapi kadangkala mereka saling berbaur dalam bentuk yang
sederhana, dimana dalam keadaan ini akan muncul eksistensi yang
sederhana pula seperti in-organik dan tumbuhan; terkadang pula, atom-
atom ini berkomposisi dengan sangat rumit dimana akan menghasilkan
spesis hewan.
Jadi perbedaan antara katak dengan batu, bunga, dan tumbuhan hanya
terletak pada komposisi partikel atom atau unsur-unsurnya dalam bentuk
yang lebih rumit, dan apabila kemudian terwujud manusia, hal ini terjadi
pula dengan cara yang sama yaitu karena pengaruh penggabungan unsur-
unsur dan partikel-partikel atom alam ini sedemikian mendetail dan lebih
rumit dari makhluk lainnya, dengan ini terbentuklah eksistensi yang
menakjubkan berupa manusia, akan tetapi tetap saja berada dalam lingkup
unsur-unsur pertama materi dan tidak keluar darinya, dan apabila seluruh
maujud yang terdapat di alam ini dikembalikan semula dalam bentuk atom-
atom, maka jumlah atom-atom tersebut niscaya akan tetap dan konstan,
tidak terkurangi dan tidak pula bertambah.
Dari penjelasan di atas, secara pasti bisa dikatakan bahwa perspektif ini
tidak sesuai dengan proses kesempurnaan maujud-maujud, dan bahkan
pernyataan mereka tentang kesempurnaan dalam bentuk di atas tidak
diterima oleh aliran filsafat manapun, karena perubahan dari satu materi ke
materi yang lain tidak bisa dikatakan sebagai sebuah proses kesempurnaan,
melainkan hanya sebuah rangkaian penjumlahan dan pembagian dimana
pada satu kondisi akan menggabung dan pada kondisi lain akan memisah.
Dengan ibarat lain, sekedar perubahan kondisi tidak bisa dikatakan sebagai
kenaikan derajat sebuah maujud. Suatu gerak akan bisa dikatakan sebagai
gerak ke arah kesempurnaan ketika ada hasil pada setiap lintasan
perjalanan yang dilaluinya, dimana hasil itu sebelumnya tidak dimiliki dan
sekarang mengalami pertambahan.
[14] . Ibid.