Anda di halaman 1dari 23

BAB III

HAKEKAT PENCIPTAAN DAN EKSKATOLOGI

Tujuan ;
1. Peserta mampu memahami prinsip penciptaan dan kebangkitan
2. Peserta mampu memahami misi dimuka bumi sebagai khalifah fil ard

Salah satu prinsip dasar pandangan dunia yang merupakan pondasi penting
dari keimanan Islam adalah kepercayaan akan adanya kebangkitan dihari akhirat
(kehidupan sesudah mati). Beriman kepadanya karena merupakan suatu persyaratan
hakiki untuk dapat disebut muslim. Mengingkari kepercayaan ini dapat dipandang
sebagai bukan muslim.
Sebelum masuk ke bahasan tentang kehidupan sesudah mati maka masalah
tujuan dari penciptaan harus terlebih dahulu kita selesaikan, apakah yang memiliki
tujuan dalam penciptaan itu Tuhan ataukah Makhlukh? Dan kemanakah
tujuannya?.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut haruslah bersandar pada
landasan-landasan metafisika Islam sehingga konsekwensi-konsekwensi yang
dilahirkan dari pilihan jawaban kita akan dapat terselesaikan dengan tanpa
keraguan. Jawaban ini juga yang akan menjelaskan kepada kita bahwa Tujuan dari
seluruh ciptaan adalah bergerak menuju sesuatu yang sempurna dan Kesempurnaan
Tertinggi adalah Tuhan maka Dia lah yang menjadi tujuan dari seluruh gerak
ciptaan.
Bahasan tujuan penciptaan itulah yang akan menjadi awal untuk selanjutnya
kita masuk dalam pembahasan kehidupan sesudah mati (Eskatologi).
Asal dan sumber dari kepercayaan tentang adanya hari akhirat ini mestilah
dibuktikan melalui argumen-argumen filosofis sehingga tidak ada sedikitpun alasan
yang dapat dikemukakan (oleh mereka yang belum mempercayai wahyu Ilahi)
untuk meragukannya. Kesungguhan beragama terpacu dengan sendirinya bila
kesadaran akan adanya hari akhirat (kehidupan kekal) sebagai sesuatu yang mutlak
atau pasti terjadi. Sehingga oleh para nabi dan rasul kepercayaan kepada
Ekskatologi (Ma’ad) merupakan prinsip kedua setelah Tauhid.
Tema-tema yang membicarakan masalah kehidupan akhirat ini atau kehidupan
sesudah mati dari segi pandangan islam berkenaan dengan maut, kehidupan
sesudah mati, alam barzakh, hari pengadilan besar, hubungan antara dunia sekarang
dan dunia akan datang, manifestasi dan kekekalan perbuatan manusia serta
ganjaran-ganjarannya, kesamaan dan perbedaan antara kehidupan dunia sekarang
dan didunia akan datang, argumen-argumen al-Qur’an dan bukti-bukti tentang
dunia akan datang, keadilan tuhan, kebijaksanaan tuhan.
Sepanjang kehidupan baik didunia ini maupun diakhirat, kebahagiaan kita
sangat tergantung pada keimanannya pada hari tersebut. Karena ia mengingatkan
manusia akan akibat-akibat dari tindakan-tindakannya. Dengan cara ini manusia
menyadari bahwa perbuatan-perbuatan, perilaku, pemikiran-pemikiran, perkataan
dan akhlak manusia mulai dari yang paling besar hingga kepada yang paling kecil,
mempunyai awal dan akhir, sebagaimana mahluk manusia itu sendiri.
Tetapi manusia hendaknya tidak berfikir bahwa semuanya itu berakhir pada
masa kehidupan dunia ini atau periode ini saja. Sebab segalanya itu tetap ada dan
akan dimintai pertanggung jawaban pada hari periode kedua.
Kebahagiaan manusia pada hari itu bergantung pada kepercayaan pada hari
atau periode kedua tersebut. Karena pada hari kedua (periode kedua tersebut)
71
manusia akan diganjar atau dihukum sesuai perbuatan-perbuatannya. Itulah
sebabnya maka menurut islam beriman kepada hari kebangkitan dipandang sebagai
tuntutan yang hakiki bagi kebahagiaan manusia. 

Enigma Kehidupan Manusia


Mengenal segala potensi eksistensi alam penciptaan merupakan sebuah
pekerjaan yang mudah dan gampang serta tidak membutuhkan pengkajian atau
obeservasi serta perenungan yang terlalu banyak, karena seluruh eksistensi telah
bergerak berdasarkan mekanisme takwiniyyah dan setelah melintasi tahapan-
tahapan tertentu akan sampai pada kesempurnaan bentuknya sendiri. Akan tetapi
tidak demikian halnya dengan pengenalan potensi-potensi manusia dan lintasan
kesempurnaannya, yaitu tidaklah gampang bagi manusia untuk bisa  mengenal
potensi-potensi yang dimilikinya dan berusaha untuk mengaktualkannya.
Oleh karena itu, untuk mengenal bentuk kesempurnaan manusia
membutuhkan pengkajian dan observasi, dengan kata lain potensi-potensi manusia
tersebut tidak akan bisa dikenali hanya dengan melalui pengkajian secara inderawi
dan empirik. Untuk menganalisa lintasan kesempurnaan manusia, di sini kita akan
menggunakan dua metode. Pertama adalah dengan metode akal dan argumentasi,
sedangkan yang kedua adalah dengan metode wahyu. Selama akal masih terbuka
ke arah tersebut, maka kita akan melintasi perjalanan ini dari dimensi akal, akan
tetapi kita mengetahui bahwa metode terpercaya dan tanpa terdapat keraguan di
dalamnya adalah dengan melalui wahyu dimana hal tersebut telah kami siratkan
dalam pembahasan terdahulu dalam artikel bertajuk “Mengkaji Filsafat Penciptaan
menurut al-Qur’an.”
Untuk pengkajian dan analisa tema ini dengan metode akal dan argumentasi,
terdapat beberapa persoalan yang harus diutarakan, sebagai berikut:
1. Apakah dalam zat dan kedalaman diri manusia terdapat kecenderungan untuk
menyempurna? Apakah manusia -sebagaimana maujud-maujud lain dari alam
penciptaan- juga melakukan perjalanannya ke arah kesempurnaan?  Dan tema
ini harus dianalisa dari pandangan psikologi.
2. Apa yang diletakkan oleh para filosof dan pemikir dalam kesempurnaan
manusia dan dengan pendapat mereka ini, keyakinan-keyakinan apa yang akan
memasukinya? Manakah yang bisa diterima dan manakah yang bisa diingkari?
3. Apakah dimensi-dimensi dari kesempurnaan bisa dijelaskan? Pada prinsipnya
pengenalan apa yang bisa diperoleh dari kesempurnaan dan potensi-potensi apa
yang bisa diperoleh di dalam internal manusia?
4. Lintasan dan jalan manakah yang harus dilewati supaya bisa memperoleh
kesempurnaan akhir?
5. Apa sajakah faktor-faktor penghambat lintasan kesempurnaan? Dan persoalan-
persoalan apakah yang bisa menghalangi manusia dari perjalanannya menuju
kesempurnaan akhir?
 
Sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya, pengangkatan para nabi juga
merupakan argumen dan dalil lain bagi tema ini dimana tujuan penciptaan manusia
adalah melakukan perjalanan ke arah kesempurnaan, karena Tuhan dengan
pengangkatan para Nabi dan rasul berkehendak supaya para manusia mengarahkan
dirinya ke kesempurnaan mereka yang hakiki.
Pengangkatan para nabi merupakan dalil dan argumentasi paling kuat dan pasti atas
tema ini dimana manusia harus melintasi lintasan hidayah dan mengantarkan
dirinya pada tahapan tinggi kesempurnaan. Sebagaimana Allah Swt dalam salah
72
satu ayat-Nya berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah
tagut itu.“ (Qs. Nahl [16]: 36)
 
Kecenderungan kepada Kesempurnaan dalam Diri Manusia
Benar apabila dikatakan bahwa tabiat manusia adalah sangat rumit dan untuk
mengenalnya secara detail pun merupakan sebuah persoalan yang sangat sulit,
namun untuk menjangkau sebagian dari prinsip-prinsip pembuktiannya tidaklah
sebegitu sulit, dengan syarat kita melepaskan diri dari peran kita dan kita tidak
bermain dengan kata-kata serta tidak berada di bawah pengaruh keberhalaan benak
kita.
Salah satu dari prinsip pembuktian tabiat manusia adalah mencari kesempurnaan
yang akarnya terdapat dalam diri manusia. Manusia secara dzat cenderung untuk
melangkah ke arah kesempurnaan. Oleh karena itu, sejak masa kanak-kanak hingga
tua senantiasa berada dalam usaha dan upayanya untuk menuju pada kondisi-
kondisi yang lebih tinggi dari kondisi yang tengah dijalaninya.
Seorang pelajar yang belajar di kelas satu SD akan berusaha untuk menuju ke kelas
yang lebih tinggi dan ketika dia telah menyelesaikan kelas yang lebih tinggi, sekali
lagi dia akan berusaha untuk menapaki kelas yang di atasnya lagi, demikian hingga
dia menyelesaikan pendidikan tingkat dasarnya lalu beranjak ke SMP. Setelah
menyelesaikan tingkat menengah inipun dia belum puas juga dan berusaha untuk
menjalani tingkatan-tingkatan selanjutnya.
Pedagang-pedagang kecil yang berada di pinggir-pinggir jalan akan berada dalam
gerak usahanya untuk membangun sebuah toko dan dia ingin menjalani
kehidupannya dengan perluasan langkahnya yang ke arah yang lebih besar tersebut.
Seorang penulis pun senantiasa berusaha untuk menghasilkan karya-karyanya yang
lebih berbobot dengan melakukan berbagai pengkajian dan penelitian. Demikian
pula dengan yang dilakukan oleh seorang pelukis yang senantiasa melakukan
eksperimen-eksperimen baru supaya mampu menghasilkan karya-karya besar.
Secara umum setiap manusia yang mempunyai keahlian, pekerjaan dan ketrampilan
senantiasa akan berusaha supaya dia bisa menempatkan dirinya pada tingkatan dan
kedudukan yang lebih tinggi. Di sini kita harus memperhatikan beberapa poin
berikut:
1.   Kesempurnaan yang dipilih oleh manusia tidaklah setara dan sama, melainkan
bergantung pada kondisi ruhani, cara berpkir, kondisi lingkungan dan faktor-faktor
lainnya.
Bisa jadi, untuk seseorang, menimba ilmu merupakan sebuah kesempurnaan,
sementara untuk selain dia kesempurnaan terletak pada kekayaan, sementara untuk
seniman kesempurnaan terletak pada penciptaan karya-karya baru, sementara
seorang penulis baru akan menemukan kesempurnaan dengan tulisan-tulisannya
yang hidup dan berbobot, sedangkan pada yang lainnya mungkin terletak pada
pelayanan pada masyarakat, penghambaan atau ibadah, dan lain-lain.
Oleh karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa setiap individu yang berada dalam
lingkupan kerjanya dan senantiasa berusaha untuk melompat ke arah yang lebih
tinggi, sama sekali tidak melakukan perjalanannya ke arah kesempurnaan.
Melainkan, seorang cendekiawan mempunyai kecenderungan pula untuk
mendapatkan kesempurnaan, karena sebagaimana yang telah dikatakan sebelumnya
mungkin saja pilihan kesempurnaannya tersebut bergantung pada berpuluh-puluh
faktor baik secara personal maupun sosial.

73
2.   Bisa jadi terdapat faktor-faktor dalam kehidupan yang menghalangi manusia
dalam perjalanannya menuju kesempurnaan. Pukulan mental, peristiwa-peristiwa
tak terduga, musibah-musibah yang tak dikehendaki dan sebagainya telah menjadi
penyebab sehingga seorang individu tidak mampu melanjutkan perjalanannya
menuju kesempurnaan.
Misalnya seseorang memiliki tujuan menimba ilmu dan berusaha untuk sampai
pada tingkatan keilmuan yang tinggi, mungkin saja pada pertengahan jalan dia
harus menghadapi berbagai kesulitan yang hal ini menyebabkannya tidak bisa
mengantarkannya pada tujuan yang diinginkannya. Motivasi asasi kebanyakan dari
perubahan lintasan-lintasan perjalanan dan tujuan-tujuan tersembunyi pada poin
ini. 
Terdapat pertanyaan-pertanyaan penting seputar hal ini, dan pertanyaan tersebut
antara lain adalah, apakah kecenderungan untuk menyempurna tak lain adalah
hasrat, tamak, keserakahan dan membuat perbandingan-perbandingan dengan
selainnya? Yaitu apabila manusia tidak puas dengan kondisi keberadaan dirinya
maka dia akan senantiasa berusaha untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik,
apakah hal ini bukan dikarenakan motivasi tamak dan bersaing dengan selainnya?
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan:
Pertama, pada kebanyakan harapan-harapan dan cita-asa yang dipilih oleh manusia
sebagai sebuah kesempurnaan, sama sekali tidak akan ada pengaruh dari motivasi-
motivasi negatif, misalnya seorang ilmuwan yang meletakkan ilmu sebagai sebuah
kesempurnaan dan untuk mencapai tujuannya ini dia rela mengorbankan dirinya
dari kehidupannya yang wajar dan dia juga harus siap sedia dalam menghadapi
berbagai hambatan, dengan kata lain banyak dari prinsip-prinsip tabiat yang dia
kesampingkan, bagaimana bisa dikatakan bahwa dia menanggung segala kesulitan
dan kesusahan ini hanya karena ketamakan dan persaingannya saja, sehingga
misalnya ketika kelak telah menjadi rang yang terkenal dia akan bisa jual mahal.
Kedua, tamak dan membanding-bandingkan dengan yang lain merupakan efek-
efek psikologi yang negatif dimana tidak ada sebuah kesempurnaan pun yang bisa
dijelaskan dengannya, misalnya seseorang yang meletakkan tujuannya pada
pelayanan kepada sesama manusia dan dia bersedia menanggung segala kesulitan
dan kesengsaraan untuk hal ini, maka tidak mungkin bisa dikatakan bahwa hanya
karena motivasi-motivasi negatif tersebut sehingga dia melakukan pelayanan
kepada selainnya.
Ketiga, jika sebagian dari harapan-harapan individu bisa dijelaskan dengan
persaingan dan membanding-bandingkan dengan selainnya, maka tidak ada
masalah jika kita mengatakan bahwa sebagian dari individu memang meletakka
persaingan sebagai sebuah kesempurnaan yang sesuai.
Sekarang, kita akan melakukan analisis secara lebih detail mengenai pencarian
kesempurnaan menurut pendapat dan teori dari sebagian psikolog,
 
a.   Pencarian Kesempurnaan Menurut Yung
Yung adalah salah satu dari psikolog analisis yang menganalisa kepribadian
seseorang.
Berlawanan dengan pendapat Freud sehubungan dengan tabiat manusia, Yung lebih
berpandangan positif dan berkeyainan bahwa manusia akan senantiasa menapaki
jalan kesempurnaannya dalam sepanjang masa dengan segala kehirukpikukan
kehidupan yang dihadapinya. Dia berkeyakinan bahwa gerak ke arah kesempurnaan
telah dimulai sejak bergabungnya nutfah dan dengan berlalunya zaman nutfah ini
akan mengalami perkembangan dan akan terlepas dari dimensi-dimensi kehewanan
74
manusia dan pergerakannya akan bertambah pada dimensi-dimensi keinsanannya.
Dan untuk sampai pada kesempurnaan, dia pun senantiasa berada dalam usaha dan
aktifitasnya. Yung mengetahui bahwa kesempurnaan manusia akan diperoleh ketika
kepribadiannya tekah berkembang dan potensi-potensi dzatinya telah teraktual.
Akan tetapi apakah persoalan ini bisa diterima? Apakah tidak ada hambatan-
hambatan yang menghalangi perjalanan manusia untuk sampai pada
kesempurnaan? Jika terdapat hambatan, lalu apakah hambatan-hambatan tersebut?
Menurut Yung, hambatan-hambatan yang mampu menjadi penghalang bagi
manusia untuk mencapai kesempurnaan antara lain adalah:

1. Kesulitan-kesulitan
Setiap individu dalam kehidupannya mungkin saja memiliki perasaan atau kasih
sayang tak terpuaskan yang secara tak sadar[1] hal ini akan menghepaskannya dan
akan mengakibatkan kesulitan. Kesulitan-kesulitan ini akan menyebabkan
kekacauan keseimbangan kepribadian manusia yang memiliki lintasan menuju
kesempurnaan.
 
2. Persona
Yang maksudnya adalah topeng atau wajah buatan yang dikenakan oleh manusia
dalam perkumpulan dan dalam interaksinya dengan masyarakat. Topeng ini
kadangkala bersifat ikhtiyari (bebas) yang dikenakan oleh seseorang untuk
menghindarkan penampakan dirinya dan kadangkala pula bersifat ijbar (terpaksa
dikenakan) yang dibebankan oleh masyarakat kepadanya. Apabila topeng ini
dikenakan oleh manusia atau masyarakat atas dirinya secara berkelanjutan, maka
hal ini akan menyebabkan hambatan pada lintasan jalan kesempurnaan. Oleh
karena itu, dalam kekacauan dan kontradiksi antara kepribadian hakiki dan
kepribadian lahiriahnya, manusia harus menyeimbangkan dirinya dan tidak
membiarkan kepribadian masyarakat atau kepribadian buatannya mengalahkan
kepribadian hakikinya.
 
3. Bayangan
Yang tak lain adalah dimensi kehewanan tabiat manusia, merupakan majemuk dari
instink-instink negatif dan perasaan tak sesuai dan tak terpuji yang diwariskan oleh
para leluhur manusia dan terkumpul dalam ketaksadaran sebagian manusia.
Bayangan ini membantu perpecahan, pertikiaian, dan kubu-kubuan antara
persoalan-persoalan yang tentu saja merupakan suatu persoalan yang penting untuk
manusia, dengan syarat telah melakukan pemilihan dan tidak meletakkannya
sebagai penghalang jalan kesempurnaan.
Faktor-faktor yang bisa menyebabkan pertumbuhan dan keluarbiasaan kepribadian
atau anasir-anasir yang mendukung lintasan bertahap manusia ke arah
kesempurnaan, menurut Yung di antaranya adalah:
1.  Warisan Leluhur. Apa yang diwarisi oleh manusia dari leluhurnya dalam
sepanjang sejarah dan telah mendapatkan tempat dalam ketaksadaran sebagian
manusia.
2.  Tujuan-tujuan hidup. Manusia tidak pernah merasa cukup dengan eksperimen,
pengalaman dan informasi-informasi yang diperolehnya dari orang-orang terdahulu,
dan mereka senantiasa memperhatikan harapan-harapan, cita-cita, serta impian-
impian yang merupakan penggerak perilaku dan aktivitas-aktivitasnya.
3.  Kekuatan hidup. Hal ini yang akan medorong manusia untuk melakukan
aktivitasnya, dari masa kanak-kanak hingga masa tuanya. Dan semakin seorang
75
manusia ke arah pertengahan usianya, kekuatan ini akan memiliki langkah yang
semakin panjang ke arah kecenderungan dan akan semakin mendekatkan manusia
ke arah kesempurnaan dirinya.
4.  Tanda-tanda rahasia. Salah satu dari karakteristik manusia adalah bahwa ia akan
menampakkan kecenderungan-kecenderungan, tujuan-tujuan dan harapan-
harapannya dengan melalui tanda-tanda rahasia seperti hasil karya sastra,
ketrampilan, lukisan, kata-kata, impian-impian dan sebagainya. Tanda-tanda ini
menyebabkan terpakainya kekuatan hidup dan terlepasnya manusia dari tekanan-
tekanan dn kekhawatiran-kekhawatiran. Menurut pendapat Yung, semakin seorang
manusia berjalan ke arah kesempurnaan, dia akan semakin banyak mempergunakan
tanda-tanda rahasia ini.
5.  Prinsip kontradiksi atau dua kutub. Yung berpendapat bahwa manusia adalah
sebuah maujud yang senantiasa berhadapan dengan persoalan-persoalan
kontradiktif dan saling bertolak belakang satu sama lain, dan dalam kepribadiannya
pun terdapat kecenderungan-kecenderungan yang saling berkontradiksi pula, seperti
sublimasi dan depresi, kesadaran dan ketaksadaran, kecenderungan internal dan
kecenderungan eksternal, kemajuan dan kemunduran, dan sebagainya, dan manusia
dalam menghadapi persoalan-persoalan yang saling kontradiksi ini terpaksa
mengalami kekacauan internal dan tekanan yang tentunya persoalan-persolan ini
dibutuhkan dupaya manusia melakukan gerak dan aktivitas untuk
menghilangkannya dan pada akhirnya menemukan kemajuan.
 
Tanda-tanda Kesempurnaan Menurut Yung
Yung berkeyakinan bahwa manusia untuk mengetahui apakah ia akan mengambil
langkah ke arah kesempurnaan ataukah tidak, dia harus memperhatikan dua poin
berikut, yaitu jika dua tema di bawah ini diperoleh di dalam diri manusia, maka
manusia akan melangkah ke arah kesempurnaan:
 
1.     Manusia melangkahkan kakinya ke arah sublimasi[2] bukan ke arah depresi.[3]
2.      Aksi psikologi manusia, yang antara lain : perasaan biasa, pemikiran,
perasaan kasih sayang dan pandangan internal, yang keseluruhannya harus setara.
 
“Manusia dengan perasaan biasa dalam persoalan-persoalan riil, secara langsung
akan merasakan dunia luar sebagaimana inderanya mengizinkannya, atau akan
mengilustrasikannya dalam ketiadaan persoalan-persoalan tersebut, ketika dengan
pemikiran ia ingin memahami substansi alam dan substansi dirinya, maka ia akan
berargumentasi; ia akan memperoleh nilai segala sesuatu dengan perasaan kasih
sayang, dan akhirnya ia akan mengaksidenkan kondisi-kondisi pasifnya seperti
kegembiraan atau kesedihan, kedekatan atau kebencian, ketakutan, kasih sayang,
kemarahan dan bagian-bagiannya, ia memiliki kecenderungan dengan pandangan
internalnya meskipun dengan mengesampingkan perasaan, pemikiran dan realitas,
ia memahami persoalan dengan cara menemukan dan memahami realitas mereka.
Keempat aktifitas atau aksi psikologi ini senantiasa ada dan pada seluruh individu
memiliki tingkat kekuatan yang tidak sama, bahkan biasanya salah satu dari
keempat aksi ini memiliki kekuatan yang lebih banyak dan memberikan peran yang
lebih berpengaruh dalam kesadaran, oleh karena itulah sehingga hal tersebut kita
namakan sebagai aksi dominan. Tiga aksi lainnya yang kekuatannya paling sedikit
dari yang lainnya, kita aksi lemah. Aksi ini adalah depresi dan memiliki tempat
tersendiri dalam ketaksadaran manusia yang kemudian akan ditampakkan dalam
bentuk khayalan-khayalan serta mimpi-mimpi. Keempat aksi ini jika
76
keseluruhannya memiliki kekuatan dalam tingkat yang sama, maka tidak ada lagi
aksi yang lemah maupun aksi yang kuat, akan tetapi keadaan semacam ini akan
hanya ditemukan dalam diri manusia ketika ia telah mendapatkan aktifitas yang
sempurna, yaitu kepribadian dari sisi perkembangan seluruh potensi-potensi dzati
dan ketenangan hati mereka telah sampai pada batas kesempurnaan, dan ini adalah
sesuatu yang secara prinsip bisa diterima. Gabungan keseimbangan aksi-aksi dan
keterhubungannya dengan kesempurnaan insaniyyah merupakan sebuah tujuan
yang dicari oleh kepribadian dan paling tidak hanya bisa didekati dengan
perbedaan.[4]
Menurut Yung, manusia yang telah memperoleh kesempurnaan adalah manusia
yang kepribadiannya telah berkembang. Manusia seperti ini akan mengenal dirinya
dengan baik, dan akan memberikan perhatian kepada titik-titik lemah dan titik-titik
kuat dalam dirinya dan dia akan berusaha untuk menghilangkan kelemahan serta
kekurangan-kekurangannya. Dan ia tidak akan mengesampingkan satupun dari
dimensi-dimensi kepribadiannya dan tidak akan membiarkan seluruh dimensi-
dimensi kepribadiannya berada di bawah dominasinya.
 
b. Pencarian Kesempurnaan Menurut Adler
Alfred Adler adalah salah satu dari psikolog yang memberikan perhatian terhadap
dimensi sosial manusia, dan dalam psikologinya yang bernama individual psikologi
ia memfokuskan pandangannya pada faktor-faktor psikologi dan sosial secara
bersama-sama.
Salah satu prinsip paling penting yang menjadi basis pemikiran Adler adalah
masalah pencarian kesempurnaan manusia yang dia namakan sebagai pencarian
yang lebih baik. Menurut pendapat Adler kecenderunganlah yang menjadi motivasi
paling asasi dalam diri manusia dimana hal ini muncul dari perasaan lemah yang
dimilikinya, karena manusia sejak masa kanak-kanaknya senantiasa merasakan
dirinya sebagai sosok yang lemah dan tak berdaya, dan ia berusaha untuk mencapai
tingkatan yang lebih tinggi. Tentunya pencarian yang lebih baik ini bukan dalam
arti pendominasian atas lainnya atau adanya tuntutan untuk menjadi pemimpin,
melainkan kemanunggalan pemberian terhadap kepribadian dengan maksud
mengaktualkan potensi-potensi dzati. Pencarian yang lebih baik merupakan faktor
asasi yang menguatkan dimensi sosial manusia dimana seluruh kebutuhan-
kebutuhan manusia pun bersumber dari pencarian yang lebih baik ini.
 
Kebertujuan Perilaku Manusia
Adler berkeyakinan bahwa perilaku manusia terbentuk berdasarkan pada tujuan dan
maksudnya. Yaitu setiap manusia memiliki tujuan akhir dimana dia senantiasa
melakukan perjalanannya ke arah tersebut. Tentu saja tujuan-tujuan tersebut
mungkin saja ada dalam bentuk realitas, khayalan atau imajinasi. Yaitu mungkin
saja bisa terwujud atau mungkin juga tidak bisa terwujud, dan tujuan-tujuan serta
kesempurnaan yang sesuai bagi manusia pada umumnya berakar dari norma-norma
mazhab, aturan-aturan akhlak atau juga berakar dari teori-teori dan pendapat-
pendapat filosofis. Bagaimanapun, tujuan-tujuan ini apapun juga dan dari manapun
juga munculnya akan mendorong manusia untuk bergerak dan berusaha sehingga
mampu mengeluarkan manusia dari kelemahan-kelemahannya dan memperoleh
kesempurnaan wujudnya. Adler berkeyakinan pada hal berikut bahwa seseorang
yang bertujuan bisa melepaskan dirinya dari pengaruh harapan-harapan imajinasi
dan khayalannya lalu berhadapan dengan realitas. Dan pada dasarnya tanda-tanda
keselamatan ruh seseorang adalah bahwa dalam lintasan pencariannya yang lebih
77
baik ia tidak mau menerima setiap tujuan yang tidak sesuai dan ia akan berdiri
tegak dalam menghadapinya.
 
Metode Kehidupan dan Kelayakan Diri
Adler sepakat bahwa meskipun prinsip pencarian yang lebih baik atau dengan
perkataan kita kecenderungan terhadap kesempurnaan bisa ditemukan pada seluruh
manusia, akan tetapi ini bukanlah merupakan sebuah alasan bahwa seluruh manusia
memiliki satu tujuan yang sama dan untuk terhubung dengannya pun bisa
menggunakan satu metode khas yang sama pula, melainkan dikarenakan faktor-
faktor jasmani, psikologi dan sosial, setiap individu manusia meletakkan tujuannya
masing-masing dan mereka pun akan berusaha untuk mendapatkan tujuannya
tersebut dengan cara khasnya sendiri.
Prinsip pencarian yang lebih baik yang bisa dikatakan merupakan induk dari
motivasi-motivasi lainnya, akan menggerakkan manusia ke arah tertentu dan
mendorongnya untuk beraktifitas. Cara dan metode khas yang berbeda dalam setiap
individu ini oleh Adler disebut sebagai “metode kehidupan”. Penyebab dari
perbedaan ini adalah karena di dalam mereka selain terdapat perasaan kerendahan
dan pencarian yang lebih baik yang dimiliki oleh semuanya, terdapat pula tiga
faktor lainnya yaitu faktor jasmani, psikologi dan sosial. Dengan kata lain struktur
badan dan perbuatan anggota-anggotanya, sifat-sifat dan potensi-potensi ruh dan
interaksi-interaksi sosial dalam setiap individu memiliki bentuk yang khas dan
bentuk khasnya ini digunakan untuk menggantikan perasaan rendah diri dan untuk
melakukan pencarian yang lebih baik, yaitu untuk menentukan metode
kehidupannya.
Metode kehidupan yang diambil oleh Napoleon sang penuntut kemenangan-lah
mungkin yang telah menyebabkan kemenangan kecil baginya, bisa jadi pula
tuntutan kebahagiaan dan perbuatan-perbuatan liar yang dilakukan oleh Agha
Muhammad Khan Qacar–lah telah menjadi alasan penyembelihannya, dan mungkin
ketamakan Hitler untuk menguasai dunia telah menyebabkan ketaksempurnaan
jenisnya.
Kandungan yang terdapat pada tujuan setiap manusia dalam pencarian yang lebih
baik senantiasa berbeda dengan tujuan manusia lainnya. Motivasi ini akan
membimbing manusia yang satu pada perolehan informasi lalu mengarahkannya
pada posisi tinggi keilmuan, sedangkan pada satunya lagi akan mendorongnya
untuk menjadi olahragawan sebagai pemenang di bidang misalnya angkat beban,
aerobik, dan lain-lain. Seorang ilmuwan yang melakukan pengkajian dan observasi
dan mempunyai kegemaran dalam menyusun, maka dia akan mengatur bagian-
bagian kehidupan keluarganya, waktu-waktu istirahat dan interaksi-interaksi
dengan teman, kerabat dan aktivitas-aktivitas sosialnya sesuai dengan tujuan
pencarian yang lebih baik dalam bidang keilmuan atau sastranya, seseorang yang
menyukai politik maka dia akan menerapkan metode kehidupannya dalam bentuk
yang lain, dan demikianlah seterusnya.[5]
Menurut pendapat Adler hal lainnya yang menjadi faktor penentu dalam metode
kehidupan setiap individu adalah kelayakan dari individu yang bersangkutan,
karena perilaku manusia tidak hanya muncul dari kebutuhan-kebutuhan instink,
keturunan dan kondisi masyarakat, melainkan di dalam kepribadian manusia
tersembunyi unsur-unsur lain yang bernama kelayakan diri yang menyebabkan
kelayakan dan kecakapan dalam perilaku dan perbuatan manusia, dan factor inilah
yang menjadi penyebab sehingga metode kehidupan individu yang satu berbeda
dengan metode kehidupan individu yang lainnya.
78
 
c. Pencarian kesempurnaan Menurut Goldstain
Goldstain adalah salah satu dari psikolog yang berpendapat bahwa wujud manusia
adalah tunggal universal dan ia juga berkeyakinan bahwa organisme senantiasa
beraktifitas secara tunggal, bukan karena rangkaian dari bagian dan perpecahan
antara sesama, dengan ibarat lain, meskipun ia terdapat pada satu bagian dari wujud
manusia, namun ia tetap akan memberikan pengaruhnya pada seluruh organism
manusia dan akan ditemukan dalam bentuk refleksi.
Menurut pendapatnya motivasi paling asasi dalam organism manusia adalah
pengembangan diri dimana seluruh kebutuhan-kebutuhan manusia bersumber dari
kecenderungan ini.
“Pengembangan diri merupakan kecenderungan pencipta dan pembentuk tabiat
manusia, pada dasarnya hal ini bisa dikatakan sebagai satu-satunya motivasinya.
Seluruh motivasi-motivasi seperti kelaparan, hasrat seksual, keingintahuan,
menuntut kekuasaan dan bagian-bagiannya, seluruhnya berasal dari tujuan dan
sasaran asli kehidupan, yaitu dari kecenderungan alami untuk menghilangkan
ketaksempurnaan dan kekuarangan; dan apa yang berada dalam diri manusia ada
dalam bentuk potensi, seperti bunga yang menguncup akan bisa terbuka, mekar
berkembang dan mengaktual. Manusia yang lapar akan menghilangkan
kekurangannya dengan memakan makanan dan manusia awam yang tak
berpengetahuan pun akan melakukan hal ini dengan menimba ilmu, yaitu
kebutuhannya untuk menghilangkan kekurangan bisa dipenuhi dengan ilmu,
dengan demikian tempat bagi orang yang tak berpendidikan akan diambil alih oleh
orang yang berpendidikan.”[6]
Sekali lagi, motivasi asli aktualisasi manusia muncul dari perasaan kekurangan atau
kecenderungannya untuk menghilangkan kekurangan tersebut. Aktualisasi ini –
yang digunakan untuk memenuhi atau menghilangkan kekurangan- disebut dengan
pengembangan diri. Karena individu manusia saling berbeda dari sisi harapan-
harapan, tujuan-tujuan, potensi-potensi dzat, demikian juga dari sisi kebudayaan
dan sosial, maka bagaimana cara dia mengembangkan diri pun akan saling berbeda.
Salah satu dari poin asasi yang diuraikan oleh Goldstain dalam kaitannya dengan
lintasan ke arah kesempurnaan atau dengan istilahnya pengembangan diri yang
menjadi titik perhatian adalah perkataannya yang menyatakan bahwa untuk
melakukan perkembangannya, organism manusia memilih lingkungan yang
bermanfaat untuk mengarahkannya ke arah kesempurnaan, akan tetapi kadangkala
terjadi, faktor-faktor dan kondisi lingkungan dan eksternal dengan tekanan-tekanan
dan aksi-aksinya akan menjadi penghalang bagi pengembangan diri dan hal ini
akan menghambat manusia untuk terhubung ke tujuannya, di sini harus pula
diperhatikan kondisi dan situasi lingkungan serta kondisi sosial, karena bisa jadi
jalan untuk pengembangan diri telah terhalang atau dengan pembentukan kondisi
yang sesuai akan menyebabkan keterhubungan kepadanya.
 
d. Pencarian Kesempurnaan Menurut Moslow
Moslow pun sebagaimana Goldstain adalah salah seorang pendukung teori
organism yang menganggap wujud manusia adalah tunggal universal dan
pengembangan diri merupakan salah satu dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang
paling asasi.
Pendapat Moslow mengenai tema ini bisa dipahami dari pertanyan-pertanyaan dan
jawaban-jawaban yang diutarakannya.
Tanya: Apa saja yang bisa dikatakan sebagai sesuatu yang baik?
79
Jawab: Segala sesuatu yang sampai pada pertumbuhan, penampakan dan
perkembangan serta memperoleh aktualisasi tabiat pertama manusia dan apa yang
berada dalam potensinya.
Tanya: Apa saja yang  bisa dikatakan sebagai sesuatu yang buruk?
Jawab: Segala sesuatu yang menciptakan penghalang atau hambatan di hadapan
perkembangan alami manusia atau menjadi sebab ketakmampuannya.
Tanya: Apa saja yang memiliki sifat tak baik secara psikologi?
Jawab: Segala sesuatu yang menghambat perjalanan perkembangan, menjadi
problem atau menyimpangkan dan menyesatkan manusia dari lintasannya yang
benar.
Tanya: Apa yang disebut dengan psikologi pengobatan?
Jawab: Segala cara yang digunakan oleh manusia untuk kembali berada pada
lintasan pertumbuhan dan perkembangan diri dan memberikan peluang kepada
kemampuan-kemampuan dan sifat-sifat alaminya untuk sampai pada tahapan
memanifestasi dan berkembang.[7]

Karakteristik dan Sifat Pengembangan Diri


Salah satu dari persoalan yang dianalisa oleh Moslow dalam kaitannya dengan
pengembangan diri adalah memilih sebagian dari hal-hal yang menurutnya teratur
dan telah sampai pada tingkatan pengembangan diri lalu dia menganalisa sifat-sifat
mereka yang berbeda. Untuk tujuan yang dimaksudkannya ini dia memilih orang-
orang seperti Roosevelt, Bethoveen, dan Einstein.
Menurut pandangannya sifat-sifat terpenting yang terdapat pada orang-orang yang
telah sampai pada tingkat pengembangan diri antara lain adalah:
 Orang-orang dari kelompok ini memiliki perhatian kepada realitas dan mereka
akan memberikan pandangan positifnya secara cepat terhadap selainnya.
 Mereka melihat dirinya, orang-orang lain serta alam luar sebagaimana realitas
yang ada, dan bukan memandangnya sesuai dengan keinginan dan seleranya.
 Perilaku mereka jantan dan alami, bisa dikatakan tidak sesuai dengan etika dan
formalitas yang biasa.
 Perhatian mereka mengikuti tema yang menjadi fokus perhatian, dan tidak pada
diri mereka sendiri. Mereka juga tidak terlalu memberikan perhatian pada
masalah internal dan pikiran mereka bekerja pada persoalan-persoalan luar.
 Kadangkala mereka terlihat seperti berada di alam lain, mampu mengambil jarak
dari selainnya, kadangkala pula mereka membuat dirinya sedemikian
membutuhkan kesendirian. Tidak memiliki ketergantungan sempurna dengan
yang lain dan mampu menyibukkan dirinya sendiri.
 Bebas, mandiri dan menyandarkan diri pada dirinya sendiri.
 Kodrat dan kedudukan yang dimiliki oleh orang-orang dan benda-benda bagi
mereka adalah tidak permanen dan tidak senada, melainkan senantiasa
mengalami pembaharuan (Terbitnya matahari meskipun telah beberapa kali tetap
memiliki keindahan seperti ketika pertama kali dilihat)
 Kadangkala seperti urafa yang tenggelam pada dirinya sendiri dan seakan tidak
mengetahui alam luar.
 Tidak membedakan antara dirinya dengan selainnya. Menyukai kebahagiaan dan
keberuntungan sesamanya.
 Kedekatan dan keakraban mereka tertuju pada orang-orang yang terbatas. Kasih
sayang dan keakraban mereka kepada sahabat-sahabat pilihan sangat serius dan
mendalam.
80
 Penilaian mereka lebih mereka tekankan pada segala sesuatu yang berdimensi
demokratik, sedangkan kondisi kekayaan, kedudukan sosial atau keturunan tidak
akan memberikan pengaruh pada penilaian mereka.
 Mereka tidak salah dalam membedakan antara perangkat dan alat untuk sampai
ke tujuan dengan tujuan itu sendiri. Memegang prinsi etika, sebuah prinsip yag
mungkin berbeda dengan yang diterima oleh masyarakat umum.
 Kebercandaan mereka memiliki dimensi filosofi. Lelucon-lelucon konyol dan
emosional tidak akan mampu membuat mereka tertawa. Mereka menghindarkan
diri dari mengucapkan lelucon-lelucon buatan, melainkan mereka akan tertarik
dengan keindahan-keindahan lelucon yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari.
 Memiliki begitu banyak potensi untuk kecakapan dan penemuan-penemuan baru.
 Menampakkan pertahanan dalam menghadapi adab dan kebiasaan-kebiasaan
yang diterima masyarakat, dan pada dasarnya mereka bergerak melawan arus. [8]
 
Pencarian Kesempurnaan Menurut Al-Quran
Pada sebagian dari ayat-ayat al-Quran mengisyarahkan pada pencarian
kesempurnaan. Ayat-ayat tersebut antara lain:
“Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja
dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.“
(Qs. Insyiqaq: 6)
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhan-mu dengan hati yang puas
lagi diridai. Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku, dan
masuklah ke dalam surga-Ku.“ (Qs. Fajr: 27-30)

Pada pembahasan kali ini kita akan mencoba menganalisa beberapa ayat al-Quran
yang di dalamnya telah menyiratkan tentang filsafat, arah, sasaran, maksud, dan
tujuan penciptaan, di antaranya, “Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 30)
“Dan Dia-lah yang menjadikanmu para khalifah di bumi.” (Qs. Al-An’am [6]:
165)
Berdasarkan ayat-ayat di atas yang diturunkan berkaitan dengan penciptaan
manusia, dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah dijadikannya
manusia sebagai khalifah dan penerus Tuhan.
Dan yang dimaksud dengan penerus Tuhan adalah bahwa Tuhan meletakkan
sebagian dari sifat yang dimiliki-Nya dalam diri manusia sebagai sebuah amanah
dimana jika manusia mengaktualkan potensi yang dimilikinya ini, maka mereka
akan bisa meraih tingkatan tertinggi dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
berdasarkan ayat-ayat tersebut, tujuan dari penciptaan tak lain adalah manusia
sempurna.
Pada ayat lain Allah Swt berfirman, “Katakanlah, “Sesungguhnya shalat,
ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs.
Al-An’am [6]: 162)
Berdasarkan ayat di atas, kehidupan, ibadah bahkan kematian seorang manusia
adalah berasal dari Tuhan, oleh karena itu, dalam seluruh keadaan kehidupannya
manusia harus melakukan penghambaan kepada Tuhan.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyyat [56]: 56)
Ayat di atas menunjukkan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk
ibadah dan penghambaan Tuhan, yaitu manusia harus menyerahkan dirinya untuk
melakukan penghambaan kepada Tuhan dan tidak menundukkan kepalanya kecuali
81
di hadapan-Nya. Dengan mencermati ayat di atas, kita akan menemukan beberapa
poin berikut: 
1.       Pada ayat ini, redaksi “… melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
menunjukkan dan menegaskan bahwa “makhluk atau ciptaan adalah penyembah
Tuhan”, dan bukan bermakna bahwa “Dia adalah yang disembah oleh makhluk”,
karena hal ini bisa dilihat dari ayat yang mengatakan “… supaya mereka
menyembah-Ku“, bukannya mengatakan “Akulah yang menjadi sembahan
mereka”.[1]
2.       Yang dimaksud dengan ibadah di sinipun bukanlah ibadah takwiniyyah
(seluruh ciptaan), karena sebagaimana kita ketahui seluruh eksistensi alam
penciptaan ini, masing-masing melakukan ibadah dengan bahasa takwiniyyah
mereka, dalam salah satu ayatnya Allah Swt berfirman,“Bertasbih kepada Allah
apa yang ada di langit-langit dan apa yang ada di bumi” dan jika yang
dimaksud oleh al-Quran dari ibadah adalah ibadah takwiniyyah, maka ayat ini tidak
hanya akan menyebutkan jin dan manusia saja. [2]
Pada tempat lain Dia berfirman, “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan
kami akan kembali kepada-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 156)
Ayat di atas menyatakan bahwa selain manusia berasal dari Tuhan, Dia juga
merupakan tempat tujuan manusia, karena awal manusia adalah dari Tuhan dan
akhirnya pun menuju ke arah-Nya. Sesuai dengan ayat ini dikatakan bahwa tujuan
penciptaan manusia adalah melakukan perjalanan ke arah Tuhan. Dengan
mencermati ayat di atas, kita akan mengetahui bahwa kalimat yang disebutkan di
atas adalah “kembali kepada-Nya” dan bukan “kembali di dalam-Nya” sehingga
hal ini tidak akan mengarahkan kita pada yang dilakukan oleh sebagian para sufi,
dimana mereka meyakini bahwa tujuan penciptaan manusia adalah kefanaan dalam
Tuhan, melainkan kita harus mengatakan bahwa manusia memiliki perjalanan ke
arah-Nya, yaitu perjalanan ke arah kesempurnaan yang tak terbatas. Dengan
gerakan kesempurnaannya inilah manusia harus menarik dirinya ke arah Tuhan.

“Dan Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada
antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu).” (Qs. Al-
Maidah [5]: 18)
“Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah
kembali (semua makhluk).” (Qs. An-Nur: 42, dan Qs. Fathir [35]: 18)
“Dan hanya kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.” (Qs. Fathir [35]: 4,
dan Qs. Al-Hadid [57]: 5)
“Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Qs. As-Syura
[42]: 53)
“… kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan kembali.” (Qs. As-
Sajdah [32]: 11, dan Qs. Al-Jatsiyah [45]: 15)
“Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, ….” (Qs. Al-Maidah [5]:
48, dan Qs. Hud [7]: 4)
“Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja
dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.”
(Qs. Al-Insyiqaq [84]: 6)
Ayat di atas pun menempatkan manusia sebagai pekerja keras yang bergerak dan
berusaha menuju ke arah sumber keberadaan.
Berdasarkan ayat di atas, manusia berada dalam pergerakannya menuju Tuhan, dan
keseluruhan aturan-aturan al-Quran pun merupakan perantara untuk sampai pada
tujuan ini, yaitu perjalanan menuju ke arah Tuhan. Di sini akan muncul sebuah
82
pertanyaan yaitu apa makna dan mafhum dari perjalanan ke arah Tuhan dan
berdekatan dengan-Nya?
Apakah manusia yang terbatas dan tercipta dari tanah ini memang bisa berdekatan
dengan Tuhan yang metafisik dan memiliki wujud mutlak? Dalam menjawab
pertanyaan ini harus dikatakan: dikarenakan hakikat wujud setara dengan
kesempurnaan dan Tuhan pun merupakan wujud murni dan kesempurnaan yang
mutlak, maka setiap eksistensi yang berada dalam tingkatan wujud lebih tinggi,
pasti akan berada dalam posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Oleh karena itu,
dengan memiliki kewujudan yang lebih sempurna melalui iman dan kesadaran diri,
hal ini akan bisa mengantarkan manusia pada posisi yang semakin dekat kepada
Tuhan.
Ringkasnya, manusia dikatakan tengah melakukan perjalanan ke arah Tuhan karena
dia telah melewati tahapan-tahapan wujud, dan wujud yang dimilikinya ini telah
mengantarkannya ke arah keberadaan mutlak. Demikian juga dengan yang
dimaksud dari ibadah dan penghambaan yang juga merupakan tujuan penciptaan,
tak lain adalah supaya manusia dengan pilihan yang telah diputuskannya sendiri,
mau melakukan usahanya untuk membersihkan dan mensucikan dirinya lalu
melintasi tahapan kesempurnaan dan berjalan ke arah kesempurnaan mutlak.
Setiap manusia yang mengaktualkan potensi-potensi keberadaannya bergerak
menuju interaksi dengan Tuhan, maka dalam kondisi ini, ia akan berada dalam
posisi yang lebih dekat dengan Tuhan. Dan kedekatan dengan Tuhan inipun
memiliki tahapan dimana setiap individu yang melakukan perjalanan lebih panjang
dalam lintasannya menuju Tuhan, maka ia pun akan mendapatkan kedekatannya
yang lebih banyak pula dengan Tuhan.
Eksistensi yang ditempatkan di sepanjang kesempurnaan dan berada dalam lintasan
menanjak ke arah yang tak terbatas, dengan setiap langkah positif yang diambilnya
untuk menuju ke arah-Nya, akan menjadi satu langkah untuk lebih ‘dekat’ lagi
kepada-Nya.
Pada surah Hud ayat 118, Allah Swt berfirman, “Jika Tuhanmu menghendaki,
tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa
berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.
Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan mereka.”
Ayat di atas mengatakan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah rahmat, yaitu
manusia diciptakan untuk menerima rahmat Tuhan, sebagaimana firman-Nya,
“Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan mereka.” (Qs. Hud:
119)
Di sini akan muncul pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan rahmat.
Dengan ibarat lain, apa yang dimaksud dengan pernyataan yang mengatakan bahwa
manusia diciptakan untuk rahmat?
Jawabannya adalah bahwa yang dimaksud dengan rahmat tak lain adalah
bimbingan dan hidayah Ilahi yang akan menjadi bagian dari kondisi manusia
supaya mendapatkan kebahagiaan yang hakiki. Dengan perkataan lain, rahmat
adalah hidayah takwiniyyah dan tasyri’iyyah yang menyebabkan pertumbuhan dan
kesempurnaan manusia.
Dengan uraian ini, antara ayat di atas dengan ayat “Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyyat
[56]: 56) tidak ada sedikitpun perbedaan, karena dengan melalui ibadah dan rahmat,
seluruh potensi wujud manusia bisa ditinggikan dan akan memperoleh
kesempurnaan akhir wujud dirinya.

83
Allah Swt berfirman, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, dan ‘Arasy-Nya berada di atas air, agar Dia menguji siapakah di
antara kamu yang lebih baik amalnya, …” (Qs. Hud [11]: 7) “Sesungguhnya
Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar
Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik
perbuatannya.” (Qs. Kahf [18]: 7) “Yang menciptakan mati dan hidup supaya
Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Mulk [67]: 2)
Berdasarkan ayat-ayat di atas, Tuhan menciptakan manusia supaya bisa diketahui
manakah manusia yang baik dan manakah yang buruk. Manakah manusia yang
melakukan perbuatan yang baik dan shaleh serta manakah yang melakukan
perbuatan yang tercela dan tak shaleh.
Menurut ayat-ayat ini, masing-masing manusia yang memiliki perbuatan lebih baik,
berarti dia telah lebih mendekatkan dirinya pada tujuan penciptaan. Pada dasarnya,
ayat-ayat ini menempatkan tujuan penciptaan manusia pada lintasan manusia
menuju ke arah kesempurnaan keberadaannya.
 
Nabi, Imam, dan Tujuan Penciptaan
Pada hadis-hadis Islam dikatakan bahwa Rasulullah Saw merupakan tujuan dari
penciptaan alam, dan Tuhan menciptakan alam ini karena beliau.
Dalam salah satu hadis qudsi Allah Swt berfirman, “Jika engkau tiada, maka
niscaya Aku tidak akan menciptakan gugusan bintang.”[3]
Pada hadis qudsi yang lain, Allah Swt berfirman, “Andai bukan karena Muhammad
(saw), maka Aku tidak akan menciptakan dunia maupun akhirat, demikian juga
Aku tidak akan menciptakan langit, bumi, arsy, singgasana, lauh, qalam, surga dan
neraka. Dan andai bukan karena Muhammad Saw, maka wahai para manusia, Aku
tidak akan menciptakan kalian,”[4] demikian juga pada hadis lainnya Allah Swt
berfirman, “Aku menciptakan benda-benda untukmu dan Aku menciptakanmu
untuk-Ku.”[5]
Syeikh Shaduq Ra meriwayatkan dari Rasulullah Saw yang bersabda kepada Imam
Ali As, “Wahai Ali, seandainya bukan karena kita, maka Allah tidak akan
menciptakan manusia dan juga tidak akan menciptakan surga, neraka, maupun
langit atau bumi”[6]
Dikarenakan Rasulullah Saw dan Imam Ali As merupakan individu-individu
manusia yang paling sempurna, dan tujuan penciptaan pun adalah terwujud dan
tercapainya manusia paling sempurna, maka seakan Rasulullah Saw dan Imam Ali
As merupakan arah, tujuan, dan sasaran penciptaan segala realitas.
Demikian juga sesuai dengan apa yang termaktub dalam surah Al-Dzariyyat ayat
ke 56 dimana Allah Swt berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku”, dimana tujuan dari penciptaan adalah
ibadah, bisa dikatakan bahwa karena tahapan paling tinggi dan paling sempurna
dari ibadah hanya akan terwujud dari Rasulullah saw dan Imam Ali As, maka
kesimpulannya, Rasulullah Saw dan Imam Ali As tergolong sebagai tujuan dan
filsafat penciptaan.
Berdasarkan ayat ke tiga puluh surah al-Baqarah, Allah Swt berfirman,
“Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” pun
bisa dikatakan bahwa Rasulullah saw dan Imam Ali As merupakan tujuan
penciptaan, karena hanya Rasulullah saw dan Imam As As lah yang mampu
mengaktualkan potensi-potensi internalnya dan berahlak dengan ahlak Ilahi serta
layak untuk memegang peran sebagai “khalifatullah”.
84
 
Definisi Ibadah
Ketika dikatakan bahwa tujuan dari penciptaan adalah ibadah, sebagian menyangka
bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah hanyalah melaksanakan amalan-
amalan dan ritual-ritual yang bernama doa seperti shalat, puasa dan bermacam-
macam zikir.
Apakah hakikat ibadan dan penyembahan hanyalah seperti ini? Tentu saja tidak.
Karena doa hanyalah bagian dari ibadah. Berdasarkan pandangan dunia al-Quran,
setiap gerakan dan perbuatan positif yang dilakukan oleh manusia merupakan
ibadah, dengan syarat, gerak dan perbuatan tersebut harus dilakukan berdasarkan
pada motivasi untuk mendekat pada rububiyyah dan dilakukan berlandaskan pada
nilai-nilai kewajiban Ilahi.
Oleh karena itu, definisi dari petani yang pada pertengahan malam menggunakan
tangan-tangan kasarnya untuk mengairi perkebunan dan lahan pertaniannya demi
menyejahterakan kehidupannya dan keluarganyam para pekerja yang bergelimang
dengan suara-suara bising mesin-mesin pabrik dari pagi hingga malam hari, dokter
yang berada di ruang operasi dengan seluruh daya dan konsentrasinya untuk
menyelamatkan jiwa manusia, seorang dosen yang melakukan observasi dan
pengkajian pada tengah malam untuk memecahkan kesulitan pemikiran manusia,
dan sebagainya, jika dilakukan dengan niat dan tujuan Ilahi, maka setiap saat
baginya berada dalam keadaan ibadah.
Ringkasnya, tujuan dari semua amal, perbuatan dan perilaku manusia adalah untuk
Allah Swt, yaitu manusia akan sampai pada tahapan dimana bahkan makan,
munum, tidur,, hidup dan matinya, keseluruhannya adalah untuk Allah Swt,
sebagaimana dalam salah satu firman-Nya, “Katakanlah, “Sesungguhnya salat,
ibadah, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Qs.
Al-An’am [6]: 162)
Gerakan-gerakan dan pikiran-pikiran yang ditekankan sebagai doa dalam Islam
adalah supaya manusia menjaga penghambaannya dan mengarahkan dirinya kepada
Tuhan dengan kesadaran yang dimilikinya. Doa tidaklah sebagaimana yang
dipersangkakan oleh sebagian pihak tenang ketiadaannya interfensi dalam
perbuatan Tuhan, melainkan merupakan perantara dan wasilah untuk memperkuat
kehendak dan cahaya harapan dalam menghilangkan hambatan-hambatan yang
menghalangi jalan pertambahan tingkat manusia, ketika seluruh pintu di hadapan
manusia telah tertutup dan manusia berhadapan dengan jalan buntu dan kehilangan
harapan, maka doa merupakan satu-satunya wasilah untuk kegembiraan dan
kebahagiaan ruh dan berpaling dari kesedihan dan bergerak ke arah jurang yang
mendaki menuju kesempurnaan, Dengan melalui doa, manusia akan mencuci karat-
karat dan pencemaran yang terdaoat di dalam dirinya dan mempersiapkan dirinya
hingga melangkah pada lintasan kesempurnaan.
Hakikat doa merupakan “terbangnya” ruh ke arah Yang Dicintai dan “terbangnya”
hamba ke arah Tuhan, sebuah “penerbangan” dari tingkatan yang sangat rendah
yang tanpa batas ke arah tingkatan yang sangat tinggi yang juga tanpa batas, dan
merupakan “penerbangan” hamba yang rendah ke arah kesempurnaan Ilahi.
Alexis Carel berkaitan dengan masalah ini menuliskan, “Kepada manusia, doa
memberikan kekuatan untuk menanggung kesedihan dan musibah dan ketika kata-
kata rasional tidak lagi mampu untuk memberikan harapan, doa akan memberikan
harapan kepadanya dan memberikan kekuatan dan kodrat untuk berdiri tegak dalam
menghadapi peristiwa-peristiwa besar.”[7]

85
Doa memberikan pengaruh pada sifat-sifat dan karakteristik-karakteristik manusia.
Oleh karena itu, doa harus dilakukan secara kontinyu.[8]
Masyarakat yang membunuh kebutuhannya berdoa, biasanya tidak akan terbebas
dari kerusakan dan kerendahan.[9]
William James dalam masalah doa mengatakan,  “Sebagaimana kita menerima
hakikat-hakikat dan realitas-realitas yang ada pada dunia medis, para ahli medis
mengungkapkan bahwa pada banyak kasus, doa, memberikan pengaruh pada
kesembuhan kondisi pasien. Oleh karena itu, harus diketahui bahwa doa merupakan
salah satu dari perantara yang berpengaruh dalam pengobatan. Dalam banyak kasus
yang dihadapi oleh manusia, doa sangat berpengaruh untuk menyembuhkan
penyakit-penyakit ruh dan hasilnya, akan diikuti dengan kesehatan badan dan
jasmani mereka.[10]
Doa dan shalat bukan merupakan perintah imajiasi atau benak melainkan perolehan
lebih banyak dari kekuatan spiritual atau dengan kata lain, rahmat Ilahi.[11]
Berdasarkan apa yang telah kami katakan, ibadah -yang dalam agama Islam
merupakan filosofi dan tujuan penciptaan- memiliki suatu karakteristik penting
yang sama sekali tidak dipunyai oleh satu agama atau mazhab manapun hingga
sekarang ini selain agama Islam, karakteristik itu adalah meliputi aktivitas-aktivitas
manusia, apakah manusia itu sedang berdoa kepada Tuhannya, melakukan shalat,
dan mensucikan dirinya, maupun sedang sibuk dan melakukan kegiatan di tengah-
tengah masyarakat, di tengah-tengah keluarga, atau menjalin hubungan yang erat
dengan istri, anak-anak, dan kedua orang tua. Sementara ibadah dalam mazhab dan
agama yang lain hanya berkaitan dengan uapcara doa dan menjalin hubungan
dengan Tuhan secara resmi, dan tidak mencakup kegiatan-kegiatan budaya, politik,
ekonomi, keluarga, dan yang sejenisnya.
 
Kedekatan kepada Tuhan (Taqarrub Ilallah)
Posisi tertinggi yang bisa diraih oleh manusia adalah maqam kedekatan kepada
Tuhan atau kedekatan Rububiyyah. Apa yang dimaksud dengan kedekatan
Rububiyyah ini?
Yang dimaksud dengan kedekatan rububiyyah adalah bahwa manusia sampai pada
maqam dimana dia menemukan hubungannya dengan Tuhan.
Kita ketahui bahwa seluruh eksistensi dan maujud-maujud dalam penciptaan
memiliki interaksi dengan-Nya. Seluruh maujud-maujud alam tidaklah bergantung
sebagaimana kebergantungan mereka kepada-Nya.
Dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt berfirman, “Hai manusia, kamulah yang
memerlukan kepada Allah; dan hanya Allah-lah Yang Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.” (Qs. Fathir [35]: 15)
Yang dimaksud dengan kesempurnaan akhir adalah bahwa manusia akan sampai
pada suatu maqam dimana dia memahami kekurangan dan kebergantungannya
kepada Tuhan. Pemahaman ini, bukan merupakan pemahaman yang diperolah
secara hushuli (perolehan) karena pemahaman perolehan ini bisa diperoleh dengan
bantuan dari argumentasi-argumentas filosofi, melainkan yang dimaksud
pemahaman di sini adalah pemahaman hudhuri dan penyaksian irfani (mukasyafah
dan musyahadah).
Artinya bahwa manusia akan menggapai maqam tersebut dimana dia tidak ada
sesuatupun yang akan mampu menarik perhatiannya selain Tuhan, wujudnya
seakan telah memurni dan tidak ada satu perbuatanpun yang dilakukannya selain
untuk mencari keridhaan Ilahi. Manusia yang telah mencapai maqam dan posisi
seperti ini sama sekali tidak akan pernah menganggap adanya kemandirian untuk
86
dirinya dan dia mengarungi kehidupannya salam satu interaksi permanen dan
penyaksian irfani dengan Tuhan. Pada posisi dan maqam seperti ini dimana tidak
ada lagi bekas dari diri dan kedirian baginya, apapun yang ada adalah dari Tuhan.
Imam Ali As berkaitan dengan interaksi pemahaman hudhuri dan penyaksian irfani
bersabda, “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat.”[12] “Aku tidak
melihat sesuatu kecuali aku melihat Tuhan bersamanya.”[13]
Imam Khomeini ra, dalam pembahasan mengenai liqaullah (perjumpaan dengan
Tuhan) dan maqam kedekatan Rububiyyah (kedekatan kepada Tuhan) mengatakan,
“Harus diketahui bahwa apa yang mereka maksud bahwa jalan menuju pertemuan
dengan Tuhan (liqaullah) dan penyaksian keindahan dan keagungan Yang Maha
Benar, ini bukanlah berarti bahwa pengenalan hakiki terhadap dzat Tuhan Yang
Maha Suci adalah merupakan suatu hal yang dibenarkan, atau pada ilmu hudhuri
dan penyaksian spiritual yang obyektif serta pelingkupan menyeluruh atas Zat
Tuhan adalah hal yang memungkinkan, melainkan kemustahilan pencapaian
pengetahuan dan pengenalan hakiki terhadap Zat Suci Tuhan baik dalam lingkup
pengetahuan universal (pengetahuan rasional dan persoalan-persoalan
argumentatif), tafakkur, penyaksian irfani, dan penyingkapan dengan mata batin
adalah kesepakatan seluruh filosof dan urafa. Akan tetapi, mereka yang mengklaim
berada di dalam maqam ini mengatakan bahwa seorang salik akan mencapai
kesucian hati dan menerima manifestasi Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan setelah
mencapai ketakwaan sempurna, menyingkirkan segala keinginan hati kepada segala
sesuatu di seluruh alam, menolak segala tingkatan-tingkatan spiritual, menyirnakan
segala ego dan keakuan, perhatian sempurna dan penerimaan menyeluruh atas
Tuhan, Nama-nama, Sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Zat Suci Tuhan,
dan melakukan riyadhah hati. Dengan demikian, akan terkoyaklah hijab-hijab tebal
antara hamba dengan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, kemudian dia akan fana
dalam Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, lalu dia akan mencapai suatu kemulian,
kesucian, dan keagungan. Puncaknya, dia akan menggapai kesempurnaan zat.
Dalam keadaan seperti ini, tidak ada lagi hijab dan penghalang antara jiwa suci
para salik dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan. Dan kemungkinan sebagian
dari Urafa telah mampu menyirnakan hijab cahaya, yakni hijab Nama-nama dan
Sifat-sifat Tuhan, dan telah menerima manifestasi Zat Suci Tuhan serta
menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat Suci-Nya. Dalam
penyaksiannya ini, dia menyaksikan dirinya berada dalam cakupan dan lingkupan
hakiki Zat Tuhan serta fana dalam Zat-Nya. Lantas dia melihat dengan mata
batinnya bahwa wujudnya dan seluruh makhluk adalah manifestasi-Nya. Dan
apabila di antara Tuhan dan makhluk pertama-Nya -yang bersifat non marteri itu
tidak terdapat hijab dan bahkan telah ditegaskan secara rasional bahwa di antara
makhluk-makhluk non materi itu sendiri tidak terdapat hijab-, maka di antara Tuhan
dan hati salik -yang keberluasan dan keberliputannya sederajat dengan mahluk non
materi dan bahkan memiliki derajat yang paling tinggi- tidak terdapat hijab dan
penghalang.[14] 
Maqam spiritual ini disebut juga maqam fana manusia di dalam Zat Suci Tuhan.
Akan tetapi fana di sini tidak bermakna hulul[15] atau menyatu dengan Zat Ilahi
sebagaimana yang dianggap oleh sebagian kelompok Sufi. Melainkan fana yang
dimaksud adalah sirnanya segala kondisi dan keadaan jiwa manusia yang bersifat
ego, keakuan, dan ananiyyah. Menurut Ayatullah Tehrani, fana itu memiliki dua
bentuk, “Pertama, dia berada dalam lingkup kehidupan alami dan jasmani, tetapi
pada kondisi ini dia berhasil mencapai maqam fana, dan fana ini berada sebelum
kematian. Sebagian orang-orang mukmin yang berhati ikhlas yang meniti jalan
87
menuju Tuhan telah berhasil menggapai maqam fana di dalam kehidupan dunia ini.
Oleh karena itu, maqam fana bagi mereka ini seperti penjelmaan keadaan-keadaan
berbeda. Kedua, fana bagi orang-orang yang tidak berada dalam ruang kehidupan
materi dan dunia. Mereka telah melewati kehidupan barzakh dan kiamat, dan
termasuk orang-orang yang ikhlas dan yang dekat dengan Tuhan serta tinggal
dalam maqam fana pada Zat Suci Ilahi. Mereka meninggalkan badan mereka
sendiri dan tidak lagi dalam keadaan berjasmani, begitu pula telah melewati
kehidupan barzakh dan kiamat serta tidak lagi memiliki keinginan dan ego. Dengan
demikian, mereka telah “masuk” dalam wilayah ketuhanan karena berhasil
meninggalkan segala manisfestasi-manifestasi-Nya. Mereka tidak lagi berada
dalam “bentuk-bentuk” ego kemanusiaan dan tidak terlingkupi dengan manifestasi
suatu Nama-nama dan Sifat-sifat Ilahi tertentu”
Manusia yang telah mencapi maqam fana dalam Tuhan (fana fillah) akan
mempunyai suatu karakterisitk dan kekhususan -yang tidak perlu disampikan pada
kesempatan ini-, akan tetapi kami mencukupkan untuk menutip dua hadis dalam
persoalan ini supaya menjadi jelas tanda-tanda seseorang yang telah mencapai
kedekatan dengan Tuhan.
“Hamba-Ku tidak akan mencapai kedekatan kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih
dicintai di sisi-Ku dari apa-apa yang diwajibkan atasnya dan sesungguhnya dia
pasti dekat kepada-Ku dengan perbuatan nawafil (perbuatan-perbuatan yang sunnah
dan mustahab) sedemikian sehingga Aku mencintainya, dan ketika Aku
mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar
dan Aku menjadi penglihatannya yang dengannya dia melihat dan Aku menjadi
lisannya yang dengannya dia berbicara serta Aku menjadi tangannya yang
dengannya di mengambil, apabila dia berdoa kepada-Ku Aku akan
mengabulkannya dan kalau dia meminta kepada-Ku Aku akan memberikannya.”[17]
Berdasarkan hadis tersebut, manusia yang telah mencapai maqam kedekatan
kepada Tuhan maka keinginan dan kehendaknya dengan izin Tuhan akan berlaku di
alam ini seperti kehendak dan iradah Tuhan Yang Maha Tinggi. Penglihatannya
menjadi penglihatan Tuhan, pendengarannya menjadi pendengaran Tuhan, dan
tangannya menjadi tangan Tuhan. Yakni segala amal dan perbuatannya telah
mendapatkan warna ketuhanan, dengan demikian, dengan izin Tuhan, dia dapat
mengatur dan mengubah sesuatu di alam ini. Dengan ungkapan lain, karena dia
memiliki kekuasaan penuh atas hukum-hukum alam (hukum takwiniyyah) maka dia
adalah penguasa atas kekuatan-kekuatan alam. Lebih dari itu, doanya senantiasa
terkabulkan, yakni apa saja yang diinginkan dari Tuhan niscaya Tuhan akan
mengabulkan segala permintaan dan permohonannya. “Bagi Tuhan terdapat hamba-
hamba yang taat terhadap apa-apa yang Dia inginkan, maka Tuhan pun mengikuti
apa-apa yang mereka kehendaki sedemikian sehingga ketika mereka menyatakan:
jadilah, maka jadilah sesuatu itu.”[18]
 
Alam Eksistensi Mengarah kepada Kesempunaan
Dari pembahasan sebelumnya kita akan sampai pada kesimpulan berikut bahwa
tujuan penciptaan manusia adalah kembali pada manusia itu sendiri, dan bukan
karena penciptaan alam dan eksistensi merupakan motivasi bagi Tuhan sehingga
dengan kemunculan alam dan alam-alam Ia akan sampai pada tujuan-Nya.
Melainkan karena keniscayaan dari kemuliaan tak terbatas Tuhan adalah
penciptaan eksistensi dan alam eksistensi.
Di sini kita akan membahas bahwa hikmah Ilahi meniscayakan eksistensi-eksistensi
di alam penciptaan ini terutama yang bernama manusia akan melakukan perjalanan
88
ke arah kesempurnaan. Terdapat dua argumentasi yang bisa diutarakan untuk
membuktikan bahasan ini, yaitu:
1.   Perangkat penciptaan akan mengarahkan segala eksistensi dan maujud-maujud
ke arah puncak kesempurnaan (hidayah takwiniyyah)
2.   Pengangkatan dan pengutusan para Nabi (hidayah tasyri’iyyah)
Dalam pengamatan terhadap maujud-maujud alam keberadaan -sekecil apapun
pengamatan tersebut- akan menunjukkan bahwa seluruh mereka akan melangkah ke
arah kesempurnaan. Biji-biji gandum atau biji buah-buahan yang tersembunyi di
dalam tanah akan senantiasa melintasi tahapan-tahapan sehingga sampai pada
kesempurnaan akhirnya yaitu menjadi tangkai-tangkai gandum atau buah-buah
yang ranum. Demikian pula sebuah nutfah yang menggumpal di dalam rahim
seorang ibu, sejak awal kemunculan akan bergerak ke arah tujuan akhirnya yaitu
menjadi manusia dalam keadaan yang sempurna.
Apabila kita perhatikan, secara umum setiap maujud-maujud alam penciptaan
berada dalam keadaan bergerak dengan hidayah takwiniyyah ke arah kesempurnaan
jenisnya masing-masing.
Di sini kami akan mengisyarahkan pada beberapa poin:
a. Untuk menganalisa bagaimana alam tabiat melakukan perjalanannya ke arah
kesempurnaan, maka kita harus mengetahui makna dan mafhum dari
kesempurnaan. ita harus pula melihat apa sebenarnya maksud dan tujuan
filosofi Islam dari kesempurnaan.[19]
Dari pandangan filsafat Islam, jika sesuatu dari potensi mencapai tahapan
aktualisasinya, maka kita akan mengatakan bahwa sesuatu tersebut menemukan
kesempurnaannya. Dan gerak substansi yang dikemukakan oleh Mula Sadra
dengan definisi ini pun merupakan penjelas wujud kesempurnaan dalam
sesuatu, karena pada gerak substansi dimana gerakan terjadi pada zat sesuatu,
sesuatu tersebut dalam setiap tahapan dari tahapan-tahapan wujudnya akan
mengubah potensi-potensi dan kemampuan-kemampuannya menjadi teraktual.
Dan sesuatu tersebut pada tahapan barunya akan kehilangan kesempurnaan
yang sebelumnya dia miliki dan akan memperoleh kesempurnaan lainnya. Para
filosof dalam mendefinisikan gerak mengatakan, “Gerak adalah keluarnya
sesuatu dari potensi secara bertahap kepada aktualisasi “
Berdasarkan definisi ini, setiap jenis gerak merupakan gerak yang mengarah
pada kesempurnaan. Hal ini dikarenakan dalam setiap bentuk gerak, potensi-
potensi akan berubah menjadi aktual. Bebijian yang tersembunyi di kedalaman
tanah dan tumbuh hingga menjadi sebatang pohon yang rimbun dengan buah,
setiap saatnya berada dalam keadaan menyempurna. Sebuah apel yang awalnya
berwarna kuning senantiasa akan melakukan gerak menyempurna ke arah
warna merah, supayaa potensi warna merah yang sejak awal telah dimilikinya
sampai pada pengaktualannya. Sel-sel yang berubah menjadi manusia,
geraknya adalah gerak yang menyempurna, karena pada awalnya dia telah
memiliki potensi untuk menjadi manusia, dan ketika telah berubah menjadi
seorang manusia berarti potensi-potensi dan kemampuan-kemampuannya telah
sampai pada tahapan aktual. Bahkan gerak di tempat pun merupakan sebuah
gerakan yang menyempurna, karena benda yang bergerak dan berpindah dari
satu tempat ke tempat lainnya, memiliki potensi ini yang kemudian telah
berubah menjadi aktual. Demikian pula dengan gerak bumi yang merotasi atau
gerakannya mengelilingi matahari, juga merupakan gerakan menyempurna,
karena bumi pada awalnya telah memiliki potensi untuk melakukan gerak rotasi
atau gerak mengelilingi bumi dan ketika gerakan ini terwujud, maka apa yang
89
ditampakkannya adalah potensi dan kemampuannya yang telah berubah
mengaktual.
Oleh karena itu, yang dimaksud dengan menyempurna adalah perubahan
mengaktualnya potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh sesuatu, baik hal ini
akan menambahkan volume pada sesuatu ataupun tidak, sebagaimana yang
persangkaan salah yang dikemukakan oleh sebagian yang mengatakan, jika
sebuah sesuatu telah menemukan penyempurnaannya, maka pasti volumenya
akan bertambah. Sekarang ketika dikatakan, kesempurnaannya bertambah,
maka yang dimaksudkan disini bukanlah kebertambahan dalam dimensi sesuatu
tersebut, melainkan sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya, yang
dimaksud dengan kesempurnaan di sini adalah mengaktualnya potensi-potensi
dan kemampuan-kemampuan.
b. Setiap maujud memiliki potensi dimana berdasarkan potensi tersebutlah ia akan
menyempurna. Sebagai contoh, potensi yang dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan
sama sekali tidak akan pernah dimiliki oleh in-organik. Dari sinilah sehingga
kemudian dikatakan bahwa masing-masing akan menemukan pengaktualan
sifat dan keberadaannya sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Dengan kata
lain, setiap maujud akan bergerak menyempurna berdasarkan sifat dan potensi
yang dimilikinya.Oleh karena itu, kesempurnaan setiap maujud harus dilihat
dari hubungan dan interaksi dengan potensi-potensi yang dimiliki oleh maujud
tersebut dan sama sekali tidak bisa dikatakan bahwa satu bentuk kesempurnaan
tertentu bisa diletakkan untuk seluruh maujud.
c. Kesempurnaan merupakan persoalan yang nisbi. Yaitu suatu sifat mungkin saja
bisa menjadi sebuah kesempurnaan bagi sesuatu, akan tetapi bagi sesuatu
lainnya hal ini merupakan ketaksempurnaannya, misalnya rasa manis, untuk
buah-buahan seperti apel dan buah pear merupakan sebuah kesempurnaan, akan
tetap untuk jeruk nipis hal ini menjadi ketaksempurnaan baginya.
d. Kondisi lingkungan dan faktor-faktor eksernal dzat kadangkala menjadi
penghambat bagi mengaktualnya potensi-potensi internal yang dimiliki oleh
maujud-maujud. Misalnya, air dan udara yang tidak layak dan ketiadaan
perhatian terhadap tumbuh-tumbuhan akan menyebabkan terhambatnya
perwujudan sifat-sifat keberwujudan tumbuhan. Biji-biji gandum yang tertanam
di bawah tanah, jika tidak mendapatkan perawatan yang baik, maka ia akan
menjadi layu dan musnah.
Ringkasnya, di dalam diri setiap eksistensi senantiasa terdapat kekuatan potensi
yang tersembunyi, dimana ia akan melewati tahapan-tahapan berdasarkan gerak
substansinya. Setiap tahapan jika diperbandingkan dengan tahapan sebelumnya
merupakan aktual dan jika diperbandingkan dengan tahapan setelahnya
merupakan potensial.
Setiap eksistensi setelah melewati seluruh lintasan kesempurnaan dan
meninggalkan potensi-potensi dan aktual-aktual yang beragam, pada akhirnya
akan sampai pada kesempurnaan dirinya. Sebagai contoh, buah-buahan seperti
apel dan jeruk yang pada tahapan awalnya merupakan biji-bijian, ia akan
meninggalkan tahapan-tahapan dan bergerak menyempurna dalam kediriannya
yaitu sampai pada jenis buah-buahan yang memiliki rasa, bentuk dan khasiat-
khasiat yang khas.
e. Tujuan akhir penciptaan adalah manusia, sebagaimana yang telah kami
isyaratkan sebelumnya, setiap maujud alam penciptaan memiliki tujuan dan
sasaran dimana sejak awal kemunculannya akan bergerak ke arah tujuan dan
sasarannya tersebut. Bebijian tumbuhan yang berada di dalam kedalaman tanah
90
berada dalam geraknya sehingga setelah melintasi tahapan-tahapan akan sampai
pada aktualisasinya dan misalnya berubah menjadi buah. Atau telur yang
berada di bawah eraman seekor ayam akan melakukan persiapan untuk
mengalami perubahan menjadi seekor anak ayam, sehingga setelah melewati
tahapan ini pun dia akan berubah menjadi seekor ayam dan …
Selain itu, masing-masing dari maujud dan eksistensi ini akan menjadi tujuan
dari maujud-maujud lainnya, yaitu alasan terciptanya suatu maujud adalah
supaya maujud lainnya bisa memanfaatkannya, misalnya tumbuh-tumbuhan
telah tercipta supaya manusia dan binatang bisa memanfaatkannya, atau
binatang-binatang tercipta supaya manusia bisa memanfaatkannya, dengan
ibarat lain, begitu maujud-maujud ini mencapai aktualisasi akhir dari dirinya
dan dipergunakan oleh manusia, maka dia telah sampai pada tujuan akhirnya.
Allah Swt berfirman dalam ayat-ayat-Nya, “Dia-lah yang menciptakan segala
yang ada di bumi untuk kamu. Kemudian Dia (berkehendak) menciptakan
langit, lalu Dia menjadikannya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu.“ (Qs. Al-Baqarah [2]: 29) “Dia-lah yang menjadikan bumi
sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, …” (Qs. Al-Baqarah [2]:
22) “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
dan ‘Arasy-Nya berada di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara
kamu yang lebih baik amalnya, …” (Qs. Hud [7]: 7)
Dengan memperhatikan apa yang telah disebutkan, kita akan sampai pada
kesimpulan bahwa kita memiliki kesempurnaan awal dan kesempurnaan akhir.
Kesempurnaan maujud-maujud merupakan sebuah kesempurnaan awal untuk
kesempurnaan manusia. Bahkan pada manusia sendiri terdapat pula
kesempurnaan-kesempurnaan permulaan atau awal yang kesempurnaan itu
bukan merupakan tujuan akhir, misalnya ilmu dan pengetahuan yang secara
sendirinya merupakan sebuah bentuk kesempurnaan yang harus dipergunakan
untuk mendukung kesempurnaan akhir manusia yang tak lain adalah kedekatan
rububiyyah. Oleh karena itu, seluruh kesempurnaan eksistensi-eksistensi di
alam penciptaan merupakan kesempurnaan awal bagi kesempurnaan akhir yang
tak lain adalah kedekatan rububiyyah.

dengan rahmat-Mu,
kau kuakkan fajar Ketiadaan

luthfe- tuu nagufteye maa mii syunuud


(Matsnawi, I, hlm. 602)

kelembutan - Mu menjawab doa-doa diam kami

Konon, bahkan belum ada ruang maupun waktu apa - pun. Zat - Nya
sendiri. Ia - pun sedih karena kesendirian - Nya. Tapi karena Zat - Nya
adalah Wujud Mutlak Tiada Berbatas. Benar- benar tak ada apa - pun
selain Zat - Nya.

Pembatas dari Zat - Nya adalah ketiadaan mutlak. Dan sungguh


ketiadaan mutlak benar - benar tak punya bahkan potensi apa-pun untuk
membatasi dalam arti apa-pun.
91
Maka Ia menyaksikan ke-Esa-an Wujud - Nya dengan Wujud - Nya
sendiri. Dan bukankah Ia disebut sebagai Yaa Munfarid.

Maka dengan Kelembutan - Nya, didengarlah potensi - potensi yang


maha tersembunyi dalam palung - palung tergelap ketiadaan. Itulah doa-
doa diam kita yang masih merintih - rintih dalam ketiadaan. Dalam
kegelapan.

Siapakah yang merintih, siapakah yang berdoa, siapakah potensi -


potensi itu? Tiada lain adalah Nama - Nama dari diri - Nya sendiri yang
merintih kesakitan, kerna ingin dikenali. Sebagian orang menyebutnya
sebagai a’yaanuts-tsaabit (bakat-bakat yang tetap). Sebagian orang
menyebutnya sebagai Idea. Sebagian orang menyebutnya sebagai
archetype.

Nama-Nama, a’yaanuts-tsaabit, idea, archetype, tidak mempunyai


Wujud Mutlak. Maka, Ia dengan Wujud-Nya mengecup Nama-Nama -
Nya sendiri, kun fayakun. Jadilah, maka jadilah ia.

Maka dikatakan dalam sebuah hadits qudsi, “Aku adalah


perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin dikenali. Karena itu Aku
ciptakan makhluk-makhluk, agar aku dikenali di dalam makhluk-
makhluk tersebut.”1

Maha Suci Zat-Nya dari semua apa yang kita sifatkan! Makhluk - nya
tidaklah ‘ada’ melainkan hanya bak bayangan fatamorgana. Makhluk -
nya, - apakah ruang, waktu dan segala alam yang maujud-, hanyalah
khayalan. Hanyalah Nama - Nama dari Zat yang Satu.

Wahai Yang Maha Sendiri dalam Ke-Tunggalan-Nya, telah


kaudengarkan doa-doa diam kami dalam ketiadaan dan kausentuh kami
dalam ketiadaan dengan Wujud - Mu Yang Maha Cantik. Maka, kini
ke-Cantik-an dan ke-Indah-an Wujud - Mu mengalir, dan dadaku
dipenuhi airmata darah kerinduan atas Wujud - Mu. Wahai Yang Maha
Ada, kaucicipkan manisnya Wujud-Mu pada ‘bayangan ketiadaan’ ini,
maka apatah setrilyun lidahku yang tertekuk mampu mengungkap
manisnya Syukurku, sedangkan Engkau sendirilah Yaa Syakuur.

Maka ada - lah berjuta hikmah yang terlantunkan dari doa Amirul
Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib (k.w.), Allohumma yaa man dala’a
lisaanash-shobaahi bi nuthqi tabaljih. Wa saro’a qitho’al-lailil-
muzhlimi bighoyaahibi talajlujih. Wa atqona sun’al falaqid dawwaari
fiya maqoodiiri tabarrujih, wasya’sya’a dhiyaa`asy-syamsi binuuri
ta`ajjujih. Yaa man dalla ‘ala dzaatihi bidzaatihi,..... (Doa Ash-
Shobah). Diumpamakan dalam doa ini betapa Ia memotong-motong
kegelapan malam (baca ; ketiadaan), dan menggantinya dengan
terangnya matahari (baca; Cahaya Wujud-Nya), membuat segala yang

1
Merujuk pada hadits qudsi yang terkenal, “Kuntu kanzan makhfiyyan ....”
92
ada Gemilang dalam Samudra Wujud-Nya, Samudra Ke-Tunggalan Zat-
Nya.

Subhanallooh, Yaa Allah , dengan Rahmat - Mu telah kaukuakkan fajar


ketiadaan ke dalam Kegemilangan Kesempurnaan Zat-Mu Yang Esa.
Kasihanilah tetesan airmata hambamu, - bayangan ketiadaan yang telah
kaukasihani ini-, dan rahmatilah ia menuju menatap Wajah - Mu Yang
Esa.

Kasihanilah hambamu yang mahamiskin dan mahahina ini, - yang


bahkan tak mempunyai wujudnya sendiri ini-, Duhai Pemilik Segenap
Keindahan dan Kemuliaan. Dengan berkah Sholawat pada Muhammad
dan keluarganya.

93

Anda mungkin juga menyukai