Anda di halaman 1dari 12

Kesempurnaan Tertinggi 

Manusia

Ditulis oleh teosophy di/pada Desember 4, 2009

Oleh: Mohammad Adlany

Ibnu Sina mendefinisikan kesempurnaan manusia sebagai berikut, “Seorang


yang memiliki ilmu yang telah sampai pada tingkatan kesucian sedemikian
sehingga terlepas dari segala pengaruh materi dan keterikatan raganya. Dia
berjalan dengan ikhlas ke alam tertinggi malakuti dan merasakan kelezatan-
kelezatan yang lebih tinggi.”

Selanjutnya dia menyatakan, “Namun, jangan menyangka bahwa kelezatan-


kelezatan semacam itu tidak mungkin dirasakan di alam materi atau selama
jiwa tetap berada di tubuh, ketahuilah bahwa mereka yang telah sampai
pada alam suci non-materi, alam akal, alam malakuti, dan telah
menyaksikan alam jabarut, sesungguhnya mereka telah menyaksikan
Jamaliyah Ilahi dan mengecap tingkatan tertinggi kelezatan. Meskipun
mereka masih bersama dengan badan-jasmani namun hati mereka tidak
disibukkan olehnya dan tuntutan duniawi tidak mempengaruhinya,
penyaksian-penyaksian mereka terhadap Jamaliyah Ilahi telah membuatnya
berpaling dari segala pengaruh duniawi.”[1]

Apabila cahaya alam malakut memancar kepada wali Allah, maka ia akan
memusnahkan seluruh akar pengaruh duniawi dan akan mengubah selera
manusia terhadap dunia ini menjadi pahit serta mengarahkannya keharibaan
Ilahi. Tentunya, mereka juga memanfaatkan aspek-aspek dunia, akan tetapi
bukan karena kebergantungannya padanya, melainkan karena dunia
merupakan landasan gerak ke arah alam yang lebih tinggi.

Manusia, Makhluk Pencari Kesempurnaan

Jika kita  amati berbagai motif yang ada dalam jiwa dan kecenderungan-
kecenderungannya, kita akan menemukan bahwa kebanyakan motif utama
tersebut adalah keinginan meraih kesempurnaan. Kita tidak akan
menemukan seorang pun yang menyukai kekurangan pada dirinya. Manusia
senantiasa berusaha keras mungkin untuk menghilangkan berbagai cela dan
cacat dirinya sampai ia dapat mencapai kesempurnaan yang diinginkan.
Sebelum menghilangkan segala kekurangannya itu, ia berusaha sedapat
mungkin untuk menutupinya dari pandangan orang lain. Apabila motif ini
berjalan sesuai dengan nalurinya yang sehat, ia akan meningkatkan
kesempurnaannya, baik yang bersifat materi maupun maknawi. Namun, bila
motif ini menyimpang dari jalannya yang normal –lantaran faktor-faktor dan
kondisi tertentu– justru akan melahirkan berbagai sifat buruk seperti
congkak, sombong, riya’, dll. 

Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa ingin sempurna merupakan


faktor yang kuat di dalam jiwa setiap manusia. Akan tetapi, biasanya faktor
itu terefleksikan dalam sikap nyata yang dapat menarik perhatian. Kalau
saja direnungkan sejenak, kita akan dapat mengetahui bahwa sesungguhnya
dasar dan sumber berbagai sikap lahiriah itu adalah cinta kepada
kesempurnaan. 

Akal, Tangga Pertama Kesempurnaan Manusia

Sesungguhnya proses perkembangan dan kesempurnaan pada tumbuhan itu


bersifat niscaya dan terpaksa karena tunduk kepada terpenuhinya berbagai
faktor dan kon-disi di luar diri mereka. Sebuah pohon tidak tumbuh dengan
kehendaknya sendiri, ia tidak menghasilkan buah-buahan sesuai dengan
kehendaknya, karena tumbuhan  tidak memiliki perasaan dan kehendak.
Berbeda dengan binatang; ia mempunyai kehendak dan ikhtiar dalam
menempuh kesempurnaannya, akan tetapi kehendak dan ikhtiarnya itu
timbul dari naluri hewani semata, dimana proses dan aktivitasnya terbatas
hanya pada kebutuhan-kebutuhan alamiahnya saja dan atas dasar perasaan
yang sempit dan terbatas dengan kadar indra hewaninya.

Adapun manusia, di samping memiliki segala kelebihan yang dimiliki


tumbuhan dan binatang, ia pun memiliki dua keistimewaan lainnya yang
bersifat ruhani. Dari satu sisi, keinginan fitriyahnya tidak dibatasi oleh
kebutuhan-kebutuhan alami dan material, dan dari sisi lain ia memiliki
kekuatan akal yang dapat memperluas pengetahuannya sampai pada
dimensi-dimensi yang tak terbatas. keistimewaan semacam inilah yang
membuat kehendak manusia itu dapat melampaui batasan-batasan materi
yang sempit, bahkan dapat terus bergerak ke satu tujuan yang tak terbatas.

Sebagaimana kesempurnaan yang dimiliki oleh tumbuhan itu bisa


berkembang dengan perantara potensinya yang khas, juga kesempurnaan
yang dimiliki oleh binatang itu dapat dicapai dengan kehendaknya yang
muncul dari naluri dan pengetahuannya yang bersifat indrawi, demikian pula
halnya dengan manusia. Kesempurnaan khas manusia pada haki-katnya
terletak pada kesempurnaan ruh  yang dapat dicapai melalui kehendaknya
dan arahan-arahan akalnya yang sehat, yaitu akal yang telah mengenal
berbagai tujuan dan pandangan yang benar. Ketika ia dihadapkan pada
berbagai pilihan, akalnya akan memilih  sesuatu yang lebih utama dan lebih
penting.

Dari sini dapat kita ketahui bahwa perbuatan manusia itu sebenarnya
dibentuk oleh kehendak yang muncul dari kecenderungan-kecenderngan dan
keinginan-keinginan yang hanya dimiliki oleh manusia dan atas dasar
pengarahan akal.  Adapun perbuatan yang dilakukan karena motif hewani
semata-mata adalah perbuatan yang –tentunya- bersifat hewani pula,
sebagaimana gerak yang timbul dari kekuatan mekanik dalam tubuh
manusia merupakan sebuah gerak fisik semata-mata.

Keburukan dalam Kehidupan Manusia

Pada masalah ini ada beberapa hal yang perlu dibahas, yaitu:

1. Apakah keburukan terdapat di alam?


2. Apabila keburukan terdapat di alam, bagaimana hal ini bisa terpancar
dari Allah yang merupakan Sumber Kebaikan?
3. Apabila terdapat keburukan di alam, lalu apakah perannya dalam
mekanisme kehidupan manusia?

Pembahasan pertama, keburukan mutlak sama sekali tidak terdapat di alam,


melainkan apa yang bisa dikenali dan disebutkan sebagai keburukan adalah
peristiwa yang merupakan kemestian alami dari dunia materi ini, realitas di
alam ini saling berbenturan dimana kadangkala keberadaan yang satu
menuntut ketiadaan yang lainnya, meskipun keberadaan keduanya akan
membawa ribuan pengaruh yang bermanfaat, dan mungkin bisa dikatakan
bahwa dengan ketiadaan keduanya akan begitu banyak kerugian yang akan
dirasakan oleh manusia.

Sebagai contoh, api meskipun kadangkala mampu melahap rumah dan


fasilitas hidup lainnya, akan tetapi kita mengetahui bahwa kehidupan
manusia tidak akan bisa bertahan tanpa adanya api, karena api merupakan
kebutuhan prinsipil dalam kehidupan manusia. Jadi, kita tidak bisa
mengatakan api sebagai sesuatu yang buruk secara mutlak, meskipun
banyak kejadian-kejadian yang menghikayatkan bahwa api mampu melahap
dan membakar bahkan kadangkala lebih dari satu kota dalam satu waktu
sekaligus.

Demikian pula halnya dengan air, tanah, angin, dan …, bisa jadi merupakan
sumber peristiwa-peristiwa yang mengerikan, akan tetapi tidak satupun dari
realitas alam ini yang buruk mutlak.

Penjelasan kedua, dengan melihat penjelasan pertama maka jawaban untuk


persoalan kedua akan menjadi jelas. Tuhan mewujudkan api, tanah, air, dan
sumber-sumber alam lainnya tidak lain sebagai rahmat dan kemuliaan-Nya,
sedemikian hingga apabila unsur-unsur alam tersebut tidak tercipta, maka
realitas yang bernama alam dunia tidak akan pernah terwujud secara
eksternal.

Penjelasan ketiga, Allah swt telah menciptakan alam dunia ini sedemikian
rupa dimana dasar penciptaannya terletak pada adanya saling benturan dan
pertempuran.

Dunia ini begitu sempit dan kecil, dan Allah menciptakan dunia ini sebagai
kehidupan yang sulit bagi manusia untuk memberikan pemahaman
kepadanya bahwa dunia ini bukanlah tempat kehidupan abadi, sebagaimana
sabda Amirul Mukminin Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah, “Sesungguhnya
Aku menciptakanmu untuk akhirat bukan untuk dunia”
Sesungguhnya manusialah yang harus belajar dari adanya konflik-konflik,
dan memerangi seluruh kesulitan dan berdiri tegak dalam menghadapi
benturan-benturan yang menghadangnya, harus senantiasa tinggal pada
batas garis yang lurus dan membentuk dirinya dengan usaha untuk tetap
bertahan. Tidak seharusnya dia menyerah pada gelombang badai yang
menyerang dari dalam dan dari luar manusia, dan pertahanan laksana
gunung agung dalam kepribadian manusialah yang seharusnya menampar
gelombang tersebut untuk mengembalikannya pada kedudukannya semua
dan dia semantiasa tegak dan berdiri di atas kakinya dan menambah
kekuatan dan keagungannya.

Dia harus bersyukur dan memuji Allah swt yang telah memberikan taufik-
Nya dengan segala kelebihan-kelebihannya dan mengetahui kedudukannya
dan tidak menyerah pada gelombang yang hangar bingar yang
menampakkan diri pada permukaan eksternal dalam mekanisme
keberadaannya, melainkan dia mengetahui kedalaman samudra yang sangat
tenang dan menyerahkan ketenangan hatinya kepadanya dan dia akan
mengubah dirinya menjadi lebih agung dari samudera dan lebih kokoh dari
gunung-gunung, bahkan tinggi dari langit-langit. Dan konflik-konflik inilah
yang akan membuat dan membentuk manusia semakin kuat dan memiliki
peran sebagai pembentuk yang abadi.

Konklusi Mengenal Diri

Dalam mekanisme penciptaan, setiap maujud senantiasa berhadapan


dengan hidayah dan petunjuk yang beragam dimana kelanjutannya adalah
gerak menuju ke arah tujuan dan maksud yang telah tertentu. Gerak dan
petunjuk ini, begitu cermatnya sehingga setiap ilmuwan yang mempunyai
spesialisasi dalam sebuah bidang khusus, dengan pandangannya yang
cermat terhadap tema-tema spesialisasinya akan mampu menganalisa garis
geraknya, dan dia akan mengamatinya dengan sangat teliti dari tahapan
awal hingga tujuan terakhir, kemudian akan menyimpulkan dengan baik
bahwa hidayah takwini Ilahi, melingkupi setiap detik dari langkah-
langkahnya dan memenuhi seluruh partiel-partikel wujudnya.
Tiga masalah penting, gerak, hidayah, dan spesifikasi telah ditentukan untuk
seluruh maujud dan makhluk-makhluk dunia penciptaan. Almarhum Alamah
Thabathabai[2] sepakat bahwa setiap gerak dari yang kecil hingga yang
sangat besar dari mekanisme eksistensi, apabila diperhadapkan dengan titik
tujuannya seakan telah terdapat garis yang terlukis disana, dan setiap
manusia yang berfikir, mampu mengantisipasi dari permulaan setiap maujud
hingga batas garis akhirnya. Sebagaimana yang telah kami katakan
sebelumnya, Allah swt telah menciptakan mekanisme mendetail ini dalam
bentuk kecil maupun besar, dan hidayah itu sendiri bertanggung jawab
terhadap lingkaran wujud.

Al-Quran dalam penjelasannya mengenai masalah ini berfirman, “Dan yang


menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk”[3] dan juga
berfirman, “Musa berkata: “Tuhan Kami ialah (tuhan) yang telah
memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian
memberinya petunjuk”[4], dan Dia juga menciptakan paling baiknya
bentuk, lalu Dia memberikan hidayah kepada seluruhnya dalam garis yang
teratur. Ustadz Allamah Thabathabai dalam tafsir Al-Mizan, menjabarkan
tema yang sama di bawah ayat tersebut dengan mengatakan bahwa dunia
penciptaan merupakan paling baiknya mekanisme dan berada dalam
kepengaturan Ilahi, tidak ada sesuatupun yang akan terwujud tanpa adanya
tujuan dan maksud dan setiap gerak akan berjalan ke arah kesempurnaan
dengan perhitungan yang khusus, sebagaimana yang difirmankan dalam al-
Quran, “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun
tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis
edarnya”.[5]

Ya, ini merupakan kaidah yang berlaku di antara seluruh eksistensi dan
manusia pun tidak terkecualikan dari kaidah agung ini, bahkan bisa
dikatakan bahwa mekanisme struktur manusia memiliki kelebihan yang
menakjubkan dimana hal ini telah disusun dan dibentuk untuk bergerak ke
derajat dan tujuan tertinggi, sebuah tujuan yang tak ada satu eksistensi
yang mampu bergerak ke arahnya kecuali eksistensi manusia yang luar
biasa ini.
Banyak hadits dan ayat-ayat yang memperkenalkan bahwa tujuan dan
maksud penciptaan manusia berada pada tingkatan paling tinggi dan paling
menakjubkan dari segala keberadaan, sebuah tujuan yang sesuai dengan
kualitas penciptaan manusia. Pada hari penciptaannya, malaikat
diperintahkan untuk bersujud kepadanya, seakan para malaikat pada
permulaannya hanya memperhatikan dimensi kemateriannya, mereka
melihat manusia tidak layak untuk diciptakan, oleh karena itu mereka
berkata kepada Allah, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?”[6]. Mereka tidak memperhatikan dimensi malakuti
manusia yang “Dan Aku tiupkan ke dalamnya ruh”, dan mereka tidak
mengetahui bahwa manusia adalah sebuah eksistensi yang dalam
penciptaannya terdapat interfensi dari alam materi hingga alam malakut,
dari asfalus-safilin hingga a’la ‘aliyyin dan aspek malakutinya bersumber dari
ruh Ilahi.

Manusia merupakan percampuran dari seluruh hakikat alam yang berlainan,


mulai dari tahapan materi pertama hingga derajat tertinggi malakuti berbaur
di dalam dirinya, yaitu dia berjalan dari materi pertama hingga tingkatan
tumbuhan, dan dari alam hewan hingga kesempurnaan insani, semuanya
menyatu  dalam wujudnya dan dia mengetahui seluruh informasi alam.
Sementara eksistensi-eksistensi lain tidaklah demikian.

Dengan alasan inilah, sehingga manusia mampu menjadi pengajar para


malaikat dan kita melihat bahwa al-Quran menjelaskan tentang kelemahan
malaikat serta pengakuan mereka terhadap ketidaktahuan mereka, dan para
malaikat mengatakan, “Mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada
yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;
sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”[7],
dengan demikian mereka berkewajiban bersujud di hadapan manusia, dan
malaikat yang menemukan kebersatuan dengan jiwa manusia mendapatkan
ilmu pengetahuan dan kesempurnaan yang begitu banyak. Manusia yang
berada dalam tingkatan pertumbuhannya pun melakukan hubungannya
dengan malaikat non-materi dan bisa jadi malah akan bisa melampauinya.
Meskipun manusia memiliki kedudukan tinggi dan agung, akan tetapi
perjalanan geraknya tidak pernah tanpa penghalang, para setan duduk
manis untuk menggoda manusia dan mendorongnya ke arah jurang yang
terjal. Dia berusaha dengan usaha penuh untuk menghancurkan dan
menggagalkan manusia. Oleh karena itu, manusia dalam sepanjang
kehidupannya, berada dalam sebuah medan perlawanan yang riil, dan
tentunya dalam pergumulan dan perlawanan inilah akan tersedia media bagi
pertumbuhan manusia, karena jika hanya ada gerak satu arah dan tidak ada
gerak ke arah yang berlawanan serta perjalanan yang bertentangan, maka
pertumbuhan dan kesempurnaan tidak akan pernah terwujud.

Dengan alasan inilah sehingga Tuhan senantiasa mengingatkan kepada


manusia dari makar dan tipuan musuh dan penggoda manusia ini, dan
menyarankan kepada mereka untuk memusatkan kekuatan dan
konsentrasinya dalam geraknya menuju mekanisme alam malakuti dan alam
suci Ilahi. Hindarkan diri kalian dari pengaruh materialisme. Jangan jual diri
kalian dengan kelezatan-kelezatan inderawi. Letakkan seluruh fakultas dan
kecenderungan kalian untuk mencapai kesempurnaan, dan dalam perjalanan
ini jangan sekali-sekali berhenti pada satu derajat.

Allah Swt mendorong manusia untuk melintasi perjalanan ini dan memberi
janji-janji yang agung kepada mereka, dan berfirman, “Dan tiadalah
kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui”[8].

Pada ayat yang lain Alllah Swt berfirman, “Tak seorangpun mengetahui


berbagai nikmat yang menanti, yang indah dipandang sebagai Balasan bagi
mereka, atas apa yang mereka kerjakan”[9].

Jika sebagian dari kelezatan-kelezatan batin, lebih penting dan lebih


diprioritaskan dari syahwat, perut, dan seluruh instink, maka yakin bahwa
kelezatan-kelezatan malakuti pasti tidak akan bisa dikomparasikan dengan
kelezatan-kelezatan material. Para psikolog modern pun membahas
sebagian dari masalah ini dan mengatakan bahwa antara kelezatan-
kelezatan jasmani dan jiwa terdapat perbedaan yang sangat tajam. Di
antaranya adalah bahwa kelezatan-kelezatan jasmani, berkaitan dengan
anggota-anggota badan tertentu, misalnya berhubungan dengan
penglihatan, pendengaran atau penciuman, akan tetapi kelezatan-kelezatan
ruh tidak seperti ini, kelezatan jenis ini lebih bersifat mencakup dan meliputi
seluruh wujud manusia. Seperti kelezatan seorang ilmuwan setelah
menemukan masalah-masalah ilmiah.

Selain itu, kelezatan jasmani, membutuhkan penggerak dari luar, seperti


pemandangan yang indah, suara yang merdu, dan …, akan tetapi kelezatan
ruh, muncul dari persepsi internal manusia, seperti pemahaman masalah
ilmiah atau perasaan menang. Yang lainnya adalah, kelezatan-kelezatan
inderawi seperti perasa, pendengaran, dan penglihatan tidak akan bertahan
lama dan akan cepat mengalami kerusakan, akan tetapi kelezatan ruh
bertahan lama. Sebagaimana sakit-sakit jasmani yang bisa disembuhkan,
akan tetapi penyakit ruh tidak dengan mudah bisa disembuhkan.
Sebagaimana dikatakan bahwa luka yang disebabkan oleh lidah lebih dalam
dari luka yang disebabkan oleh pedang.

Jadi, menjadi jelas bahwa selain kelezatan-kelezatan jasmani, terdapat


kelezatan-kelezatan lain yang lebih kuat, yang tak lain adalah kelezatan-
kelezatan ruh dan jiwa. Sekarang bisa diketahui bahwa apabila kelezatan-
kelezatan akal ini dimanfaatkan, maka hasilnya sama sekali tidak bisa
dikomparasikan dengan kelezatan-kelezatan jasmani dan khayalan. Adalah
sama sekali tidak benar pernyataan para materialistis yang mengatakan
bahwa orang yang tidak terpenuhi kebutuhan makan, tidur, dan instinknya
maka dia adalah orang yang malang dan tidak beruntung.

Apakah kelezatan maknawi, spiritual, dan Ilahi yang dimiliki oleh para
malaikat bisa dibandingkan dengan kelezatan-kelezatan rendah binatang?
Apakah persepsi dari tingkatan syuhud, sifat, dan asma Tuhan bisa
diperhadapkan dengan rasa segenggam gula, sepotong roti, atau
pemandangan yang indah? Tidak sama sekali. Karena perbedaan keduanya
terletak dari tingkatan hewan hingga manusia sempurna yang lebih
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari para malaikat. Apabila seseorang
kebingungan dalam batasan ini, maka dia telah keluar dari fitrah insani.

Pada dasarnya harus dikatakan bahwa perbedaan antara kelezatan yang


satu dengan yang lainnya tergantung pada kelebihan yang dimiliki oleh
masing-masing. Kelezatan yang dihasilkan dari mengunyah segenggam gula
atau sepotong makanan yang lezat, sama sekali tidak bisa dibandingkan
dengan kelezatan yang dihasilkan dari penemuan atas sebuah masalah-
masalah ilmiah atau penyaksian malakuti, syuhud, atau interaksi dengan
asma dan sifat-sifat Ilahi.

Oleh karena itu, manusia sempurna yang telah terbimbing, terhidayahi dan
bergerak secara lurus dan istiqomah, tidak lain sebagaimana yang telah
diisyarahkan oleh Ibnu Sina dalam bab ke delapan kitab Isyarat, yang
mengatakan, “Kesempurnaan mutlak manusia terletak pada pancaran
manifestasi suci Tuhan di dalam dirinya dan dia tetap dalam kesempurnaan
kemuliaan dan kelezatan Ilahi dengan kebersamaan Tuhan”.[10]

Catatan

Ilmu dan pengetahuan yang tanpa diiringi dengan pengamalan atasnya tidak
akan terlalu bermanfaat bagi manusia. Manusia yang menyimpan banyak
ilmu dan telah menjadi sebuah perpustakaan luas yang menyimpan ratusan
ilmu dan pengetahuan, apabila seluruh ilmu itu belum menyatu dengan
hakikat manusia, maka ratusan ilmu itu tidak akan mampu menjaga
manusia dari kesalahan dan kekeliruan. Pemilik ilmu-ilmu ini tak ubahnya
seperti masyarakat awam, kepribadiannya bukan kepribadian orang yang
berilmu, karena ilmu-ilmu itu tidak menyatu dengan jiwanya, ilmu-ilmu itu
hanya merupakan kumpulan formulasi yang tersimpan dan terkumpul di
dalam benak dan ingatannya.

Ketika seorang alim memanfaatkan ilmunya dan menjadikan ilmu itu sebagai
makanan wujudnya sehingga menyatu dengan hakikat jiwanya, maka
sesungguhnya ia telah membentuk dirinya sebagai pribadi yang berilmu.
Maka seluruh gerak dan diam orang semacam ini menunjukkan pada
keilmuannya, dan makan, tidur, berjalan, bercakap, dan seluruh
perilakunya, berbeda dengan orang awam. Hakikat wujudnya adalah ilmu,
sebagaimana yang dikatakan oleh para filosof, “Jiwa manusia telah menyatu
dan meliputi seluruh indera lahiriah dan indera batiniah yang dimilikinya,
jiwanya telah mencakup alam akal, alam khayal, dan alam materi dan
mampu mengontrol seluruh kecenderungan-kecenderungan wujudnya.
Sekarang karena ia telah menjadi menusia hakiki, maka kelezatan akal tidak
hanya dirasakan pada wilayah indera tertentu, tetapi kelezatan akal ini telah
meliputi seluruh wujudnya. Dengan demikian, wujud manusia ini telah
menyatu dengan ilmu, akal, dan seluruh kesempurnaan. Pada tahapan ini,
sosok manusia sempurna ini akan terlindung dari segala keburukan dunia ini
dan tidak akan terjebak dengan kemewahan dan tipu dayanya. Dia
menjalani kehidupannya dengan tenang, bahagia, dan tidak merasakan
sedikitpun kekhawatiran.

Ibnu Sina dalam kitab Isyarat mengatakan, “Jiwanya telah disibukkan


dengan alam suci malakuti dan seakan-akan ia tidak berada di alam materi
lagi dan pengaruh-pengaruh duniawi telah menghilang darinya”. Kemudian
ibnu Sina melanjutkan, “Dia memiliki wajah yang riang, lapang, dan
senantiasa tersenyum, karena hatinya telah tertambat pada Tuhan dan dia
melihat segala sesuatu sebagai manifestasi Tuhan”. Tentu saja apa yang
dikatakan oleh filosof agung ini merupakan sebuah hikayat yang
berhubungan dengan alam non-materi dan mustahil terkait dengan alam
materi ini. Apa yang mungkin dicapai di alam materi ini, hanyalah
gambaran-gambaran dari hakikat, makrifat-makrifat, dan realitas-realitas
alam tinggi non-materi yang didapat dari manusia yang telah melakukan
perjalanan spiritual (seir suluk). Mereka yang telah memilih alam materi
sebagai tempat tinggalnya dan tidak terlepas dari pengaruhnya, tidak akan
mampu melihat manifestasi dan tajalii Tuhan di balik benda-benda yang ada
di alam ini. Penyaksian manifestasi Ilahi ini menuntut kesucian jiwa dari
segala pengaruh materi. Realitas Suci tak berhingga itu hanya dapat
“ditampung” dalam hati mukmin yang telah disucikan dari segala realitas
wujud selain Wajah Suci Tuhan.

[1] . Syarh al-Isyarat wa at-Tanbihat, Khawjah Nashiruddin Thusi, jilid 3,


hal. 353.

[2] . Rujuklah: Al-Mizan, jilid 14, hal. 166-167.

[3] . Qs. Al-A’la: 3.


[4] . Qs. Thahaa: 50.

[5] . Qs. Yasiin: 40.

[6] . Qs. Al-Baqarah: 30.

[7] . Qs. Al-Baqarah: 32.

[8] . Qs. Al-Ankabut: 64.

[9] . Qs. As-Sajdah: 17.

[10] . Syarh al-Isyarat wa at-Tanbihat, jilid 3, hal. 345.

Anda mungkin juga menyukai