Manusia
Apabila cahaya alam malakut memancar kepada wali Allah, maka ia akan
memusnahkan seluruh akar pengaruh duniawi dan akan mengubah selera
manusia terhadap dunia ini menjadi pahit serta mengarahkannya keharibaan
Ilahi. Tentunya, mereka juga memanfaatkan aspek-aspek dunia, akan tetapi
bukan karena kebergantungannya padanya, melainkan karena dunia
merupakan landasan gerak ke arah alam yang lebih tinggi.
Jika kita amati berbagai motif yang ada dalam jiwa dan kecenderungan-
kecenderungannya, kita akan menemukan bahwa kebanyakan motif utama
tersebut adalah keinginan meraih kesempurnaan. Kita tidak akan
menemukan seorang pun yang menyukai kekurangan pada dirinya. Manusia
senantiasa berusaha keras mungkin untuk menghilangkan berbagai cela dan
cacat dirinya sampai ia dapat mencapai kesempurnaan yang diinginkan.
Sebelum menghilangkan segala kekurangannya itu, ia berusaha sedapat
mungkin untuk menutupinya dari pandangan orang lain. Apabila motif ini
berjalan sesuai dengan nalurinya yang sehat, ia akan meningkatkan
kesempurnaannya, baik yang bersifat materi maupun maknawi. Namun, bila
motif ini menyimpang dari jalannya yang normal –lantaran faktor-faktor dan
kondisi tertentu– justru akan melahirkan berbagai sifat buruk seperti
congkak, sombong, riya’, dll.
Dari sini dapat kita ketahui bahwa perbuatan manusia itu sebenarnya
dibentuk oleh kehendak yang muncul dari kecenderungan-kecenderngan dan
keinginan-keinginan yang hanya dimiliki oleh manusia dan atas dasar
pengarahan akal. Adapun perbuatan yang dilakukan karena motif hewani
semata-mata adalah perbuatan yang –tentunya- bersifat hewani pula,
sebagaimana gerak yang timbul dari kekuatan mekanik dalam tubuh
manusia merupakan sebuah gerak fisik semata-mata.
Pada masalah ini ada beberapa hal yang perlu dibahas, yaitu:
Demikian pula halnya dengan air, tanah, angin, dan …, bisa jadi merupakan
sumber peristiwa-peristiwa yang mengerikan, akan tetapi tidak satupun dari
realitas alam ini yang buruk mutlak.
Penjelasan ketiga, Allah swt telah menciptakan alam dunia ini sedemikian
rupa dimana dasar penciptaannya terletak pada adanya saling benturan dan
pertempuran.
Dunia ini begitu sempit dan kecil, dan Allah menciptakan dunia ini sebagai
kehidupan yang sulit bagi manusia untuk memberikan pemahaman
kepadanya bahwa dunia ini bukanlah tempat kehidupan abadi, sebagaimana
sabda Amirul Mukminin Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah, “Sesungguhnya
Aku menciptakanmu untuk akhirat bukan untuk dunia”
Sesungguhnya manusialah yang harus belajar dari adanya konflik-konflik,
dan memerangi seluruh kesulitan dan berdiri tegak dalam menghadapi
benturan-benturan yang menghadangnya, harus senantiasa tinggal pada
batas garis yang lurus dan membentuk dirinya dengan usaha untuk tetap
bertahan. Tidak seharusnya dia menyerah pada gelombang badai yang
menyerang dari dalam dan dari luar manusia, dan pertahanan laksana
gunung agung dalam kepribadian manusialah yang seharusnya menampar
gelombang tersebut untuk mengembalikannya pada kedudukannya semua
dan dia semantiasa tegak dan berdiri di atas kakinya dan menambah
kekuatan dan keagungannya.
Dia harus bersyukur dan memuji Allah swt yang telah memberikan taufik-
Nya dengan segala kelebihan-kelebihannya dan mengetahui kedudukannya
dan tidak menyerah pada gelombang yang hangar bingar yang
menampakkan diri pada permukaan eksternal dalam mekanisme
keberadaannya, melainkan dia mengetahui kedalaman samudra yang sangat
tenang dan menyerahkan ketenangan hatinya kepadanya dan dia akan
mengubah dirinya menjadi lebih agung dari samudera dan lebih kokoh dari
gunung-gunung, bahkan tinggi dari langit-langit. Dan konflik-konflik inilah
yang akan membuat dan membentuk manusia semakin kuat dan memiliki
peran sebagai pembentuk yang abadi.
Ya, ini merupakan kaidah yang berlaku di antara seluruh eksistensi dan
manusia pun tidak terkecualikan dari kaidah agung ini, bahkan bisa
dikatakan bahwa mekanisme struktur manusia memiliki kelebihan yang
menakjubkan dimana hal ini telah disusun dan dibentuk untuk bergerak ke
derajat dan tujuan tertinggi, sebuah tujuan yang tak ada satu eksistensi
yang mampu bergerak ke arahnya kecuali eksistensi manusia yang luar
biasa ini.
Banyak hadits dan ayat-ayat yang memperkenalkan bahwa tujuan dan
maksud penciptaan manusia berada pada tingkatan paling tinggi dan paling
menakjubkan dari segala keberadaan, sebuah tujuan yang sesuai dengan
kualitas penciptaan manusia. Pada hari penciptaannya, malaikat
diperintahkan untuk bersujud kepadanya, seakan para malaikat pada
permulaannya hanya memperhatikan dimensi kemateriannya, mereka
melihat manusia tidak layak untuk diciptakan, oleh karena itu mereka
berkata kepada Allah, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?”[6]. Mereka tidak memperhatikan dimensi malakuti
manusia yang “Dan Aku tiupkan ke dalamnya ruh”, dan mereka tidak
mengetahui bahwa manusia adalah sebuah eksistensi yang dalam
penciptaannya terdapat interfensi dari alam materi hingga alam malakut,
dari asfalus-safilin hingga a’la ‘aliyyin dan aspek malakutinya bersumber dari
ruh Ilahi.
Allah Swt mendorong manusia untuk melintasi perjalanan ini dan memberi
janji-janji yang agung kepada mereka, dan berfirman, “Dan tiadalah
kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka
mengetahui”[8].
Apakah kelezatan maknawi, spiritual, dan Ilahi yang dimiliki oleh para
malaikat bisa dibandingkan dengan kelezatan-kelezatan rendah binatang?
Apakah persepsi dari tingkatan syuhud, sifat, dan asma Tuhan bisa
diperhadapkan dengan rasa segenggam gula, sepotong roti, atau
pemandangan yang indah? Tidak sama sekali. Karena perbedaan keduanya
terletak dari tingkatan hewan hingga manusia sempurna yang lebih
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari para malaikat. Apabila seseorang
kebingungan dalam batasan ini, maka dia telah keluar dari fitrah insani.
Oleh karena itu, manusia sempurna yang telah terbimbing, terhidayahi dan
bergerak secara lurus dan istiqomah, tidak lain sebagaimana yang telah
diisyarahkan oleh Ibnu Sina dalam bab ke delapan kitab Isyarat, yang
mengatakan, “Kesempurnaan mutlak manusia terletak pada pancaran
manifestasi suci Tuhan di dalam dirinya dan dia tetap dalam kesempurnaan
kemuliaan dan kelezatan Ilahi dengan kebersamaan Tuhan”.[10]
Catatan
Ilmu dan pengetahuan yang tanpa diiringi dengan pengamalan atasnya tidak
akan terlalu bermanfaat bagi manusia. Manusia yang menyimpan banyak
ilmu dan telah menjadi sebuah perpustakaan luas yang menyimpan ratusan
ilmu dan pengetahuan, apabila seluruh ilmu itu belum menyatu dengan
hakikat manusia, maka ratusan ilmu itu tidak akan mampu menjaga
manusia dari kesalahan dan kekeliruan. Pemilik ilmu-ilmu ini tak ubahnya
seperti masyarakat awam, kepribadiannya bukan kepribadian orang yang
berilmu, karena ilmu-ilmu itu tidak menyatu dengan jiwanya, ilmu-ilmu itu
hanya merupakan kumpulan formulasi yang tersimpan dan terkumpul di
dalam benak dan ingatannya.
Ketika seorang alim memanfaatkan ilmunya dan menjadikan ilmu itu sebagai
makanan wujudnya sehingga menyatu dengan hakikat jiwanya, maka
sesungguhnya ia telah membentuk dirinya sebagai pribadi yang berilmu.
Maka seluruh gerak dan diam orang semacam ini menunjukkan pada
keilmuannya, dan makan, tidur, berjalan, bercakap, dan seluruh
perilakunya, berbeda dengan orang awam. Hakikat wujudnya adalah ilmu,
sebagaimana yang dikatakan oleh para filosof, “Jiwa manusia telah menyatu
dan meliputi seluruh indera lahiriah dan indera batiniah yang dimilikinya,
jiwanya telah mencakup alam akal, alam khayal, dan alam materi dan
mampu mengontrol seluruh kecenderungan-kecenderungan wujudnya.
Sekarang karena ia telah menjadi menusia hakiki, maka kelezatan akal tidak
hanya dirasakan pada wilayah indera tertentu, tetapi kelezatan akal ini telah
meliputi seluruh wujudnya. Dengan demikian, wujud manusia ini telah
menyatu dengan ilmu, akal, dan seluruh kesempurnaan. Pada tahapan ini,
sosok manusia sempurna ini akan terlindung dari segala keburukan dunia ini
dan tidak akan terjebak dengan kemewahan dan tipu dayanya. Dia
menjalani kehidupannya dengan tenang, bahagia, dan tidak merasakan
sedikitpun kekhawatiran.