Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

MANUSIA DAN AGAMA

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam

Disusun oleh :
Aziza Januar Rahmawati (1000368)
Yuda Sukmana (1001151)
Rizky Subagja (1004557)
Dena Anugrah (1005296)
M. Wildan (1005337)

JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2010
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga makalah ini berhasil diselesaikan. Judul makalah kami adalah
“MANUSIA DAN AGAMA”.
Diharapkan tulisan ini bermanfaat untuk menambah informasi mengenai hubungan
antara manusia dengan agama.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk lebih menyempurnakan
makalah ini. Akhir kata kami ucapkan semoga makalah ini dapat memberikan manfaat.

Bandung, 10 Februari 2011

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………... ii

PEMBAHASAN …………………………………………………………………………. 1
A. Manusia dan Agama ………………………………………………………… 1
1. Beragama sebagai Kebutuhan Fitri ……………………………………. 1
2. Maksud dan Tujuan Hidup Manusia ………………………………….. 4
3. Pengertian Agama dan Asal-Usul Agama ……………………………... 6
4. Agama-Agama Besar di Dunia …………………………………………. 8
B. Agama Islam ………………………………………………………………… 9
1. Islam, Agama Fitrah dari Allah swt …………………………………… 9
2. Nama, Pengertian dan Misi Agama Islam ……………………………... 10
3. ISLAM sebagai Hidiyah (Petunjuk) dalam Kehidupan ………. 12
C. Hubungan Manusia dengan Agama ……………………………………….. 14

KESIMPULAN ………………………………………………………………………….. 17
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….... 18
PEMBAHASAN

A. Manusia dan Agama


1. Beragama sebagai Kebutuhan Fitri
Manusia terdiri dari dimensi fisik dan non-fisik yang bersifat potensial. Dimensi non-
fisik ini terdiri dari berbagai domein rohaniyyah yang saling berkaitan, yaitu jiwa
(psyche), fikiran (ratio), dan rasa (sense). Yang dimaksud dengan rasa di sini adalah
kesadaran manusia akan kepatutan (sense of ethic), keindahan (sense of aesthetic), dan
kebertuhanan (sense of theistic).
Rasa kebertuhanan (sense of theistic) adalah perasaan pada diri seseorang
yang menimbulkan keyakinan akan adanya sesuatu yang maha kuasa di luar dirinya
(transcendence) yang menentukan segala nasib yang ada. Perasaan ini mendorongnya pada
keyakinan akan adanya Tuhan atau sesuatu yang perlu dipertuhankan yang menentukan
segala gerak kehidupan di alam ini.
Keyakinan akan adanya Tuhan dicapai oleh manusia melalui tiga pendekatan, yaitu :
a. Material experience of humanity. Argumen membuktikan adanya Tuhan melalui kajian
terhadap fenomena alam semesta.
b. Inner experience of humanity. Argumen membuktikan adanya Tuhan melalui kesadaran
bathiniyyah dirinya.
c. Spiritual experience of humanity. Argumen membuktikan Tuhan didasarkan
pada wahyu yang diturunkan oleh Tuhan melalui Rasul-Nya. Keyakinan akan
adanya Tuhan ini menimbulkan suatu kecenderungan pada manusia untuk
berhubungan dengan-Nya dan kerinduan untuk mendapatkan perlindungan dan
pertolongan-Nya. Oleh karena itu, manus ia membutuhkan s uatu s arana
yang dapat menyalurkan kecenderungan dan kerinduan ini. Dalam hal ini,
agama merupakan sarana yang paling representatif untuk kepentingan ini.
Dalam menyalurkan dan mengembangkan fitrah keberagamaan ini, manusia
secara individual mengadopsi salah satu agama yang telah terlembagakan, baik
melalui proses pewarisan orang tua atau pilihan sendiri secara sadar. Meskipun
demikian, ada juga segolongan manusia yang mengingkari fitrah keagamaan ini
dengan menolak segala ajaran agama dan menafikan adanya Tuhan.
Manusia dalam pandangan islam, selalu dikaitkan dengan suatu kisah tersendiri.
Didalamnya, manusia tidak semata mata digambarkan sebagai hewan tingkat tinggi yang
berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki, dan pandai bicara . Lebih dari itu, menurut Al-
Quran, manusia lebih luhur dan gaib dari apa yang dapat didefinisikan oleh kata-kata
tersebut.
Dalam Al-Quran, manusia berulang kali diangkat derajatnya, berulang kali pula
direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi, dan bahkan para
malaikat; tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan
dengan setan terkutuk dan binatang jahanam sekalipun. Manusia dihargai sebagai makhluk
yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi yang paling
rendah dari segala yang rendah. Oleh karena itu, makhluk manusia sendirilah yang harus
menetapkan sikap dan menentukan nasib akhir mereka sendiri.
Segi-segi Positif Manusia:
1. Manusia adalah khalifah tuhan di bumi.
2. Dibandingkan dengan semua makahluk yang lain manusia mempunyai kapasitas
intelegensial yang paling tinggi.
3. Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain, manusia
sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Jadi, segala keraguan dan
keingkaran kepada Tuhan muncul ketika manusia menyimpang dari fitrah mereka
sendiri.
4. Manusia, dalam fitrahnya, memiliki sekumpulan unsur surgawi yang luhur, yang
berbeda dengan unsure-unsur badani yang ada pada binatang, tumbuhan, dan benda-
benda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu senyawa antara alam nyata dan
metafisis, antara rasa dan non-rasa (materi), antara jiwa dan raga.
5. Penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti; bukan suatu
kebetulan. Karenanya, manusia merupakan makhluk pilihan.
6. Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan,
diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para nabi, dan dikaruniai rasa
tanggung jawab. Mereka diperintahkan untuk mencari nafkah di muka bumi dengan
inisiatif dan jerih payah mereka sendiri, merekapun bebas memilih kesejahteraan atau
kesengsaraan bagi dirinya.
7. Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat. Tuhan, pada kenyataanya,
telah menganugerahi manusia dengan keunggulan atas makhluk lain. Manusia akan
menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka mampu merasakan kemuliaan dan
martabat tersebut, serta mau melepaskan diri mereka dari kepicikan segala jenis
kerendahan budi, penghambaan, dan hawa nafsu.
8. Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari yang
jahat dan yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka.
9. Jiwa manusia tidak akan pernah damai, kecuali dengan mengingat allah. Keinginan
mereka tidak terbatas, mereka tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka
peroleh. Dilain pihak, mereka lebih berhasrat untuk ditinggikan ke arah perhubungan
dengan Tuhan yang maha abadi.
10. Segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk kepentingan manusia. Jadi, manusia
berhak memanfaatkan itu semua dengan cara yang sah.
11. Tuhan menciptakan manusia agar mereka menyembahnya; dan tunduk patuh
kepadanya menjadi tanggung jawab utama mereka.
12. Manusia tidak dapat memahami dirinya, kecuali dalam sujudnya kepada tuhan dan
dengan mengingatnya. Bila mereka melupakan Tuhan, mereka pun akan melupakan
dirinya. Dalam keadaan demikian, mereka tidak akan tahu siapa diri mereka, untuk
apa mereka ada, dan apa yang harus mereka perbuat.
13. Setiap realitas yang tersembunyi akan dihadapkan kepada manusia semesta setelah
mereka meninggal dan selubung ruh mereka disingkapkan.
14. Manusia tidaklah semata-mata tersentuh oleh motivasi-motivasi duniawi saja. Dengan
kata lain, kebutuhan bendawi bukanlah satu-satunya stimulus baginya; lebih dari itu,
mereka selalu berupaya untuk meraih cita-cita dan aspirasi-aspirasi yang lebih luhur
dalam hidup mereka. Dalam banyak hal, manusia tidak mengejar satupun tujuan
kecuali mengharap keridhoan Allah.
Kesimpulannya, Al-Quran menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk pilihan
tuhan, sebagai khalifahnya di muka bumi, serta sebagi makhluk yang semi-samawi dan semi-
duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa
tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam
semesta, langit, dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan ke arah kebaikan
maupun kejahatan. Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidak mampuan, yang
kemudian bergerak ke arah kekuatan, tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan
mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan mengingatnya. Kapasitas mereka tidak
terbatas, baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki
suatu keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka, dalam banyak hall,
tidak bersifat kebendaan. Akhirnya, mereka dapat secara leluasa memanfaatkan rahmat dan
karunia yang dilimpahkan kepada mereka, namun pada saat yang sama mereka harus
menunaikan kewajiban mereka kepada Tuhan.
Segi-segi Negatif Manusia:
Di dalam Al-Quran, manusia juga banyak dicela. Mereka dinyatakan sebagai luar
biasa keji dan bodoh. Al-Quran suci menggambarkan mereka dengan cercaan-cercaan seperti
berikut ini:
… sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (QS 33:72)
… Manusia benar-benar sangat mengingkari nikmat. (QS 22:66)
… adalah manusia itu sangat kikir. (QS 17:100)
… manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah. (QS 18:54)

2. Maksud dan Tujuan Hidup Manusia


Adapun maksud dan tujuan hidup manusia, yang berillahikan kepada Allah dan
bernabikan kepada Nabi Muhammad, tidak ada lain, melainkan; melakukan ’amal’ ibadah
terhadap Allah dengan khusu’dalam arti kata yang sesempurnanya, dengan cara dan laku
yang di contohkan oleh junjungan nabi kita Nabi Rosulullah SAW.
Kita yakin dengan penuh–penuh, bahwa tidak ada contoh yang paling mulia, paling
utama, paling tinggi dan paling luhur harkat derajatnya, melainkan contoh dan tauladan dari
pada penghulu besar kita itu tentang keindahan budi pekerti (akhlak) , kekuatan ruhani (batin)
dan keutamaan perjalanan. Itu tidak seorangpun yang dapat menolaknya, walau lawan dan
musuh islam sekalipun.
Berkenaan dengan perkataan'Ibadah', baiklah disini kita terangkan dengan singkat
akan arti dan maksud perkataan ini. Adapun hal ‘ibadah ini–sepanjang garis-garis besarnya—
bolehlah dibagi menjadi dua bagian : (1) ‘Ibadah Khususiyah, yang mengenai keperluan
manusia seorang diri, dan (2) ‘Ibadah Umumiyah, yang bersangkutan dengan keperluan
manusia menghadapi sekalian alam diluar dirinya.
Bagian yang pertama seringkali disebut juga bagian,anniyah (individu), dan bagian
kedua dinamakan orang nahniyah (universal).
Maka kewajiban tiap–tiap manusia beribadah atau bakti kepada Allah itu, termaktub
di dalam berpuluh–puluh ayat Al–Quran dan ternyata didalam segenap sunah Rosulullah
SAW. Antara lain disebutkan di dalam Kitabullah yang suci itu :
Hai sekalian bangsa manusia! Baktilah kepada Robbmu, (Robb) yang menjadikan
kamu dan menjadikan orang–orang sebelum kamu, agar supaya kamu bertakwa . (Al–
Baqarah-21)
Dan lagi :
,, Dan tidaklah diperintahkan kepada manusia,melainkan agar supaya berbakti kepada Robb
yang esa: tiada Robb ( lain ), melainkan dia……………….. (At – Taubah-31)
Di dalam zaman sekarang ini kita alami ini sungguh sangat perlu manusia tahu,
sadar dan insyaf akan kewajibannya, Bakti ’’Jika ia tidak bakti kepada Allah, tentulah ia akan
bakti kepada selain dan diluar dari pada Allah.’’ Maka mudah sekali manusia jatuh dalam
kekufuran, hanya karena tidak tahu kepada siapa ia wajib bakti.
Selain dari pada itu, perbuatan Bakti itu pun harus pula dilakukan dengan khusu’ dan
dengan hati yang suci serta ikhlas, seperti yang diajarkan didalam Al-Quran:
,, Tiadalah diperintahkan kepada manusia, melainkan bagi berbuat bakti kepada Allah,
dengan ikhlas dan setia hati…..”( Al-Bayinah-5 )
Dan lagi :
,,Bahwasanya kami (Allah) menurunkan kitab ini (Al-Quran) dengan kebenaran, maka
berbaktilah kepada Allah denga ikhlas dan tulus hati”,ingatlah bahwa sesungguhnya bakti
yang ikhlas itu hanya bagi Allah semata …… (Az–Zumar : 2-3)
Lagi pula, perbuatan bakti atau ibadah itu tidak boleh dilakukan sekehendak kita,
yang mudah terhinggapi penyakit segan dan bosen, tetapi bakti sampai kepada akhir hayat
kita, bakti yang diperbuat sampai kepada nafas yang penghabisan seperti yang dinyatakan di
dalam Al-Quran Surat Al-Hijr ayat 99 :
,, Baktilah kepada Robbmu,hingga datang kepadamu yang diyakini (ajal)
Selain dari pada itu , Bakti kepada Allah yang esa itu Bakti yang diajarkan oleh
Agama (Din) islam, bukanlah Bakti yang setengah–setengah, yang tanggung–tanggung, Bakti
menurut sesuka nafsu manusia, melainkan ialah Bakti yang penuh–penuh, Bakti yang genap-
lengkap, enteng atau beratnya, seperti yang dimaktubkan di dalam Al–Quran :
,,Hai sekalian orang–orang yang beriman ! masuklah kepada Agama (Din) islam
segenapnya (kaffah). (Al–Baqarah : 208)
Mengingat keterangan di atas cukuplah kiranya sekadar untuk memberi gambaran,
apakah ‘ibadah atau Bakti itu. Berhubung dengan pembagian ‘ibadah tersebut, maka
kewajiban bakti kita itu pun terbagi pula atas dua bagian, yang tidak boleh ditinggalkan salah
satunya, melainkan kedua kewajiban itu harus berlaku bersama-sama.
(a) Al – Hadits ‘ alal – Qadim’
Dengan perkataan ini dimaksudkan kewajiban manusia kepada Allah yang langsung,
Kewajiban Makhluk kepada Khaliq, yang tiada sangkutan atau hubungan dengan makhluk di
luarnya. Jadi yang termasuk bagian kewajiban Hadist terhadap kepada Qadim itu pada
khususnya ialah kewajiban Ruh manusia terhadap kepada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kewajiban ini timbul dari pada ajaran yang terkandung dalam kalimat tauhid : La
ilaha illallah. Dan oleh karena itu maka bagian ini sering kali juga disebut bagian
Rububiyah”atau ilahiyah”, yang artinya, ke-esaan.”
(b) Al – Hadist ‘alal – Hadist
Selain dari pada kewajiban (a) yang tidak terbatas dan tidak dapat diukur oleh
manusia atau makhluk yang mana pun juga (absolute), pun ada pula kewajiban kita sebagai
makhluk kepada makhluk lainnya (relative). Kewajiban ini ada hubungannya, ada
sangkutannya, ada peraturannya, dan ada pula ketentuan–ketentuan yang tetap.
Berbedaan dengan wajib (a) yang mengurung sekalian bakti yang khusus, maka
bagian (b) ini mengandung Bakti yang ‘umum sifatnya, karena bakti ini dilakukan di dalam
dan diantara pergaulan hidup bersama. Menurut aliran sifat hidup bersama, bagian ini pun
boleh pula dipecah-pecah lagi menjadi berbagai–bagai tingkat atau lapisan, misalnya:
::Dalam pergaulan antara laki-laki dengan laki-laki, antara perempuan dengan perempuan
antara laki-laki dengan perempuan, di dalam perikatan rumah tangga dan diluarnya.
::Dalam pergaulan berkampung dan bernegeri yang berkenaan dengan maslahat umum /
sosial
::Dalam urusan pembagian rizki (ekonomi) antara seorang dengan seorang lainnya, antara
segolongan dengan golongan lainnya, seagama dan berbedaan agamanya.
::Dalam hidup bersama, yang mengenai cara–cara melakukan dan mengatur sesuatu negeri
(politik)
Maka semuanya itu oleh Allah SWT dengan risalah disampaikan kepada sekalian
makhluknya dan Rosulullah (utusan Allah), inilah yang wajib menyampaikan lebih jauh
kepada sekalian ummat, serta memberi contoh dan tauladan akan bukti amal yang
dimaksudkan di dalam amanat–amanat Allah itu.

3. Pengertian Agama dan Asal-Usul Agama


Sesuai dengan asal muasal katanya (sansekerta: agama, igama, dan ugama) maka
makna agama dapat diutarakan sebagai berikut: agama artinya peraturan, tata cara, upacara
hubungan manusia dengan raja; igama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan dengan
dewa-dewa; ugama artinya peraturan, tata cara, hubungan antar manusia; yang merupakan
perubahan arti pergi menjadi jalan yang juga terdapat dalam pengertian agama lainnya. Bagi
orang Eropa, religion hanyalah mengatur hubungan tetap (vertikal) antara manusia dengan
Tuhan saja.
Menurut ajaran Islam, istilah din yang tercantum dalam Al-Qur’an mengandung
pengertian hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan
manusia dalam masyarakat termasuk dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya
(horisontal).
"… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu jadi agama(din) bagimu …" (QS 5:3)
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang
kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia …" (QS 3:112)
Persamaan istilah agama tidak dapat dijadikan alasan untuk menyebutkan bahwa
semua agama adalah sama, karena adanya perbedaan makna atas istilah agama tersebut, yang
berbeda atas sistem, ruang lingkupnya, dan klasifikasinya.
Agama adalah suatu sistem ajaran tentang Tuhan, di mana penganut-penganutnya
melakukan tindakan-tindakan ritual, moral atau sosial atas dasar aturan-aturan-Nya. Oleh
karena itu, umumnya suatu agama mencakup aspek-aspek sebagai berikut :
a. Aspek kredial, yaitu ajaran tentang doktrin-doktrin ketuhanan yang harus
diyakini.
b. Aspek ritual, yaitu ajaran tentang tata-cara berhubungan dengan Tuhan, untuk minta
perlindungan dan pertolongan-Nya atau untuk menunjukkan kesetiaan dan
penghambaan.
c. Aspek moral, yaitu ajaran tentang aturan berperilaku dan bertindak yang benar
dan baik bagi individu dalam kehidupan.
d. Aspek sosial, yaitu ajaran tentang aturan hidup bermasyarakat.
Dalam keempat aspek ini, tiap-tiap agama memiliki penekanan yang berbeda-
beda.
Melihat asal-usul terbentuk dan berkembangnya suatu agama sebagai sebuah
lembaga kepercayaan dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis, yaitu :
a. Agama yang muncul dan berkembang dari perkembangan budaya suatu masyarakat.
Pada awalnya seringkali muncul sebagai reaksi pada lingkungan alam tempat
sekelompok manusia hidup. Pada agama sejenis ini, sistem kepercayaan serta ritus-
ritus dan aturan-aturan perilaku seringkali terkait dengan keadaan lingkungan
alamnya, seperti pemujaan terhadap gunung yang dianggap sebagai tempat
bersemayamnya Tuhan. Agama sejenis ini dapat disebut dengan Agama Budaya atau
Agama Bumi (dalam bahasa Arab disebut Ardli), seperti Hindu, Shinto atau
agama-agama primitif dan tradisional.
b. Agama yang disampaikan oleh orang-orang yang mengaku mendapat wahyu dari
Tuhan. Oleh karna itu, mereka mengklaim bahwa ajaran-ajaran yang mereka
sebarkan berasal dari Tuhan. Dalam agama ini, pendiri (penyebar pertama) agama
tidak menjadi sentral ajaran, tapi hanya berfungsi sebagai penyampai kepada ummat
manusia. Agama sejenis ini disebut agama wahyu atau agama langit (dalam bahasa
Arab langit disebut (samawi), yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam.
c. Agama yang berkembang dari pemikiran seorang filosof besar. Dia tidak
mengaku dan mengklaim bahwa dirinya mendapatkan wahyu dari Tuhan, tetapi dia
memiliki pemikiran-pemikiran yang mengagumkan tentang konsep-konsep kehidupan
sehingga banyak orang yang mengikuti pandangan hidupnya dan kemudian melembaga
sehingga menjadi kepercayaan dan ideologi bersama suatu masyarakat. Agama
semacam ini dapat dinamakan sebagai agama filsafat. Dalam kelompok ini
dapat dimasukkan agama-agama seperti Konfusianisme (Konghucu), Taoisme,
Zoroaster atau Budha.
Karena agama merupakan kepentingan mutlak setiap orang dan setiap orang terlibat
dengan agama yang dipeluknya maka tidaklah mudah untuk membuat suatu defenisi yang
mencakup semua agama, namun secara umum dapat didefenisikan sebagai berikut: agama
adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan-
Nya melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia
menurut atau berdasarkan ajaran agama itu.

4. Agama-Agama Besar di Dunia


Di antara sekian banyak agama-agama yang ada di permukaan bumi, ada
beberapa agama yang dianggap besar karena banyak penganutnya dan sistematis
ajaran-ajarannya, yaitu : Agama Kristen, Agama Katolik, Agama Islam, Agama
Hindu, Agama Budha, Agama Kong Hu Chu, Agama Shinto, Agama Yahudi, Agama
Zoroaster, dll.
Di antara agama-agama tersebut ada yang bersifat kebangsaan (nasional)
dan ada yang bersifat mendunia (mondial). Yang bersifat kebangsaan adalah agama
yang identik dengan suatu bangsa atau ras tertentu dan bangsa penganutnya mengklaim
bahwa agama tersebut sebagai miliknya saja, sedangkan bangsa atau ras lain tidak harus
menjadi pengikut dan penganutnya, seperti Yahudi bagi bangsa Yahudi dan Hindu bagi
bangsa India atau Kong Hu Chu bagi bangsa Cina, Shinto bagi orang Jepang. Sedangkan
agama mondial adalah agama yang mengklaim sebagai agama untuk seluruh bangsa.
Oleh karena itu, ajaran-ajarannya disebarkan kepada seluruh bangsa di dunia. Agama
sejenis ini disebut agama mesianis, seperti agama Islam, agama Kristen dan Budha.

B. Agama Islam
1. Islam, Agama Fitrah dari Allah swt.
Allah berfirman dalam Al-Quran yang terjemahannya:
"Maka hadapkanlah arah hidupmu secara lurus pada ajaran agama ini (Islam).
Agama yang selaras dengan fitrah munusia yang telah ditetapkan padanya sejak
awal penciptaan". (Q.S. Ar-Rum [30]: 30)
Islam adalah suatu sistem ajaran ketuhanan yang berasal dari Allah swt.
diturunkan kepada ummat manusia dengan wahyu melalui perantaraan Nabi
Muhammad saw. Sebagai agama yang datang dari Tuhan yang menciptakan manusia
sudah tentu ajaran Islam akan selaras dengan fitrah kejadian manusia. Fitrah dalam
arti pembawaan asal manusia secara umum sejak kelahiran (bahkan sejak awal
penciptaan) dengan segala karakteristiknya yang masih bersifat potensial atau masih berupa
kekuatan tersembunyi yang masih perlu dikembangkan dan diarahkan oleh ihtiar manusia
baik fitrah yang berkaitan dengan dimensi fisik atau non fisik, yaitu akal, nafsu, perasaan
dan kesadaran (qalb), dan ruh.
Berbicara masalah keselarasan ajaran Islam dengan fitrah kemanusiaan tidak
berarti bahwa ajaran Islam selalu mewadahi dan mengakomodasi kecenderungan-
kecenderungan yang dibawa oleh sifat dari setiap unsur fitrah tersebut. Hal ini karena
setiap unsur dari fitrah memiliki karakter dan kecenderungan yang berbeda (kearah
yang positif, negatif atau netral). Oleh karena itu, Islam mengarahkan fitrah-fitrah
ini kepada hal-hal yang konstruktif bagi kehidupan manusia, baik individual ataupun
komunal tanpa membunuh potensi yang dimiliki oleh setiap jenis fitrah tersebut.
Dengan arahan ajaran Islam, fitrah kemanusiaan akan membawa manusia ke arah
kebaikan dan keselamatan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Sebagai misal, akal sebagai instrumen untuk berfikir sangat penting dan menentukan
bagi hidup manusia tetapi dalam mengembangkan kemampuan akal manusia memiliki
kecenderungan malas dan kurang minat. Oleh karena itu, ajaran Islam mendorong
manusia agar mau berfikir dan mengembangkan kemampuannya serta
mengaktifkannya sehingga terus hidup dan terus bekerja. Meskipun demikian, akal
manusia memiliki sifat liar tak terkendali. Ajaran Islam membimbing manusia ke arah
mana manusia harus berfikir.
Nafsu adalah unsur pendorong gerak pada manusia sehingga manusia menjadi
dinamik, tanpa nafsu hidup manusia akan slatis. Tapi bersamaan dengan itu, nafsu
memillki potensi membawa manusia pada akibat buruk bagi kehidupan apabila tidak
dikendalikan. Oleh karena itu, ajaran Islam mengendalikan arah perkembangan nafsu
ini, tanpa membunuhnya, dan dalam batas tertentu mengeremnya agar tidak
menjerumuskan manusia pada kebinasaan.

2. Nama, Pengertian dan Misi Agama Islam


a. Islam sebagai Nama Agama (Ad-Din)
Allah berfirman dalam Al-Quran yang terjemahannya :
"Pada hari ini Aku lengkapkan agamamu dan Aku sempurnakan nikmatKu atasmu dan Aku
ridla Islam sebagai agamamu" (Q.S. Al-Maidah [3]: 3)
Islam adalah nama yang ditetapkan Allah swt. secara eksplisit di dalam Al-Quran
untuk sistem ajaran ketuhanan yang disampaikan melalui Nabi Muhammad saw.
kepada ummat manusia. Oleh sebab itu, Islam sebagai suatu sistem ajaran tidak
boleh disebut d e n g a n sebutan lain, baik dinisbatkan kepada nabi
p e m b a w a n y a s e p e r t i MOHAMEDANISM atau kepada bangsa pemeluknya,
misalnya Arabism, karena Islam adalah sistem ajaran yang berasal dari Allah.
Islam adalah sistem ajaran bagi seluruh ummat manusia di dunia, bukan untuk bangsa
atau ras dan suku bangsa tertentu saja.
Orang yang menganut, memeluk dan mengikuti ajaran Islam disebut
MUSLIM. Setelah menjadi seorang muslim, seseorang tidak boleh lagi disebut
KAFIR dan diperlakukan seperti orang kafir. Sabda Nabi saw. "Barangsiapa
mengkafirkan seorang muslim (penganut Islam), ia sendiri telah kafir."

b. Pengertian Islam
Islam secara etimologis (lughawy) berasal dari tiga akar kata salam yang
artinya damai atau kedamaian; salamah yang artinya keselamatan; aslama yang
artinya berserah diri atau tunduk patuh. Oleh karena itu, melihat akar katanya
kata ISLAM dapat mengandung makna-makna sebagai berikut :
1) Memasuki kedamaian dan menciptakan rasa damai dalam kehidupan, diri pribadi dan
masyarakat.
2) Memperoleh keselamatan atau terbebas dari bencana, baik bencana hidup di dunia
atau bencana hidup di akhirat.
3) Berserah diri atau tunduk patuh pada aturan-aturan hidup yang telah ditetapkan oleh
Allah swt., suka atau tidak suka.
Secara terminologis (istilah), ISLAM adalah satu sistem ajaran ketuhanan (agama)
yang berasal dari Allah swt. yang disampaikan kepada ummat manusia melalui
risalah yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, sebutan ISLAM
sebagai nama suatu agama, hanya berlaku secara eksklusif untuk agama yang dianut
oleh pengikut Nabi Muhammad saw.

c. Misi Agama Islam


Selaras dengan arti dan makna etimologisnya, Agama Islam melalui semua ajaran-
ajaran yang disampaikannya mengandung tiga misi, yaitu :
1) Mengajak dan menyuruh manusia untuk tunduk patuh (aslama) pada aturan-
aturan Allah (submission to the will of God) dalam menjalani kehidupannya di
dunia, baik suka atau tidak suka, sehingga dengannya manusia mendapatkan
kebahagiaan hakiki, lahir dan batin, di dunia dan akhirat.
2) Membimbing manusia untuk menemukan kedamaian dan dalam
menciptakan kedamaian, baik dalam kehidupan pribadinya atau dalam
kehidupan sosial bersama orang lain, sehingga dengannya ia mendapatkan
kebahagiaan hakiki, lahir dan batin di dunia.
3) Memberikan jaminan kepada manusia dalam mendapatkan keselamatan dan
terbebas dari bencana hidup baik di dunia atau di akhirat, sehingga ia
mendapatkan kebahagiaan hakiki di akhirat kelak.
Sekalipun sebutan Islam sebagai nama agama, hanya berlaku secara eksklusif bagi
sistem ajaran ketuhanan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw., namun misi dari
ajaran Islam seperti disebutkan di atas ini adalah juga misi dari ajaran ketuhanan yang telah
disampaikan oleh para nabi dan rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad saw. Oleh
karena itu, semua ajaran Allah bagi ummat manusia yang disampaikan oleh semua nabi atau
rasul, pada hakekatnya adalah Islam juga (sekalipun tidak disebut dengan nama Islam).
Dengan demikian, para nabi atau rasul dalam Al-Quran menyebut dirinya muslim dan
menyuruh ummatnya agar menjadi muslim sampai mati. Allah swt. berfirman dalam Al-
Quran yang terjemahannya :
"Dan Ibrahim berwasiat dengannya (yuitu dengan Islam), dan juga Yakub: " Wahai anak-
anakku sesungguhnya Allah telah memilihkan untukmu suatu agama (yang benar),
maka janganlah kalian meninggal kecuali dalam keadaan muslim (dalam tunduk
patuh pada ajaran Allah)". (Q.S. Al-Baqarah [2]: 132)

3. ISLAM sebagai Hidiyah (Petunjuk) dalam Kehidupan


Allah swt. berfirman yang terjemahannya :
"Nanti akan Aku berikan kepadamu petunjuk (dalam menempuh kehidupan). Barang
siapa yang mengikuti petunjuk-Ku tersebut, niscaya mereka tidak akan ditimpa rasa
khawatir dan takut (dalam kehidupan) dan tidak akan bersedih hati." (Q.S. Al-
Baqarah [2]:38).

a. Hidayah Allah untuk Manusia


Hidayah secara etimologis berarti "petunjuk" dan secara terminologis (istilah)
Islam berarti "petunjuk yang diberikan oleh Allah kepada makhluk hidup agar mereka
sanggup menghadapi tantangan kehidupan dan menemukan solusi (pemecahan) bagi
persoalan hidup yang dihadapinya". Oleh karena itu, hidayah merupakan alat bantu
yang diberikan oleh Allah kepada makhluk hidup untuk mempermudah menjalani
kehidupannya.
Ada empat tingkat hidayah yang diberikan oleh Allah swt. kepada manusia, yaitu :
1) Hidayah ghariziyyah (bersifat instinktif), yaitu petunjuk untuk kehidupan
yang diberikan oleh Allah swt. bersamaan dengan kelahiran berupa kemampuan
jadi dalam menghadapi kehidupan, sehingga sanggup untuk bertahan hidup (fungsi
survival).
2) Hidayah hissiyyah (bersifat indrawi), yaitu petunjuk berupa kemampuan indra dalam
menangkap citra lingkungan hidup, sehingga ia dapat menentukan lingkungan mana
yang sesuai dengannya sehingga menemukan kenyamanan dalam menjalani
kehidupan secara fisikal (fungsi adaptif).
Hidayah ke satu dan ke dua ini diberikan juga kepada binatang dengan fungsi
yang sama. Dalam tahap tertentu, pada jenis tertentu dan dalam segi
tertentu, bahkan binatang mendapatkan hidayah ini lebih kuat dan lebih tinggi,
dalam arti instink dan daya indrawi binatang manusia.
3) Hidayah aqliyyah (bersifat intelektual), yaitu petunjuk yang diberikan Allah
swt. berupa kemampuan berfikir dan menalar, yaitu mengolah segala
informasi yang ditangkap melalui indra. Dengan kemampuan ini manusia
memiliki kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga dapat
memanipulasi dan merekayasa lingkungan untuk menciptakan kemudahan,
kesejahteraan dan kenyamanan hidupnya (fungsi developmental, atau
pengembangan hidup).
4) Hidayah diniyyah (berupa ajaran agama), yaitu petunjuk yang diberikan Allah
swt. kepada manusia berupa ajaran-ajaran praktis untuk diterapkan dalam meniti
kehidupan secara individual dan menata kehidupan secara komunal, bersama-
sama orang lain, sehingga manusia mendapatkan kebahagiaan dan kenikmatan
hakiki dan ketenangan batin dalam menjalani kehidupannya.
Hidayah ketiga dan keempat ini hanya diberikan kepada manusia. Dengan
kedua jenis hidayah inilah manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya.
Dengan hidayah aqliyah (kemampuan intelektual), manusia menjadi
berbeda secara signifikan bila dibandingkan dengan binatang (demikian
pula dengan jin dan malaikat). Dan dengan hidayah diniyyah (petunjuk
agama), manusia dapat meningkatkan spiritualitasnya dan mencapai ke tingkat
yang lebih tinggi dari malaikat sekalipun.
Hidayah-hidayah ini merupakan alat bantu bagi manusia untuk mempermudah
menjalani kehidupan sehingga diperoleh kemampuan melanjutkan kehidupan (survival),
penyesuaian diri dengan lingkungan hidup (adaptif), pengembangan kehidupan (devel-
opmental) dan menciptakan kebahagian hakiki, lahir dan bathin dalam kehidupan dalam
kehidupan.
Bagi manusia, hidayah ghariziyyah (instinktif) merupakan alat bantu
sementara, hidayah hissiyyah (indrawi) merupakan alat bantu mediatif (antara),
hidayah aqliyyyah (intelektual) merupakan alat bantu pengembangan, hidayah
diniyyah (agama) merupakan alat bantu penyempurnaan, yaitu mencapai kebahagiaan
hakiki.

b. ISLAM, Satu-satunya Hidayah Diniyyah


Untuk membimbing manusia dalam meneliti dan menata kehidupan, Allah
menurunkan agamanya sebagai pedoman yang harus dijadikan referensi dalam menetapkan
setiap keputusan, dengan jaminan ia akan terbebas dari segala kebingungan dan
kesesatan.
Firman Allah yang terjemahannya :
"Nanti akan Aku berikan kepadamu petunjuk (dalam menempuh kehidupan). Barang siapa
yang mengikuti petunjuk-Ku tersebut, niscaya mereka tidak akan ditimpa rasa khawatir dan
takut (dalam kehidupan) dan tidak akan bersedih hati." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 38
Dan Allah swt. menegaskan bahwa satu-satunya hidayah yang benar yang Ia ridoi itu
adalah agama Islam.
"Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah ISLAM".
"Pada hari ini Aku lengkapkan bagimu agamamu dan Aku sempurnakan nikmat-Ku
kepadamu. Dan Aku rido Islam sebagai agamamu".
Dalam kedudukanya sebagai hidayah bagi kehidupan manusia di dunia, agama Islam.
dapat berperan dan berfungsi bagi manusia yang dapat dikembangkan oleh setiap individu,
sebagai berikut :
1) Pemberi makna bagi perbuatan manusia.
2) Alat kontrol bagi perasaan dan emosi.
3) Pengendali bagi hawa nafsu yang terus berkembang.
4) Pemberi reinforcement (dorongan penguat) terhadap kecenderungan berbuat baik pada
manusia.
5) Penyeimbang bagi kondisi psikis yang berkembang.

C. Hubungan Manusia dengan Agama


Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai pencipta
alam semesta. Allah sendiri yang mencipta dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah
kepada-Nya, juga menurunkan panduan agar dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut
diturunkan Allah melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga Muhammad
SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul tersebut hanya menerima Allah sebagai Tuhan mereka dan
Islam sebagai panduan kehidupan mereka.
Beribadah diartikan secara luas meliputi seluruh hal dalam kehidupan yang
ditujukan hanya kepada Allah. Kita meyakini bahwa hanya Islamlah panduan bagi manusia
menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Islam telah mengatur berbagai perihal dalam
kehidupan manusia. Islam merupakan sistem hidup, bukan sekedar agama yang mengatur
ibadah ritual belaka.
Sayangnya, pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak memahami hal ini.
Mereka memahami ajaran Islam sebagaimana para penganut agama lain memahami ajaran
agama mereka masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya berlaku di tempat-tempat
ibadah dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal
tersebut biasanya disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya gerakan pembaruan di
Eropa yang fikenal sebagai Renaissance dan Humanisme, sebagai reaksi masyarakat yang
dikekang oleh kaum gereja pada masa abad pertengahan atau Dark Ages, kaum gereja
mendirikan mahkamah inkuisisi yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan,
cendikiawan, serta pembaharu.
Setelah itu, pada masa Renaissance, masyarakat menilai bahwa Tuhan hanya
berkuasa di gereja , sedangkan di luar itu masyarakat dan rajalah yang berkuasa. Paham
dikotomis ini kemudian dibawa ke Asia melalui penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-
bangsa Eropa; Kedua, masih adanya ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan
syariat-syariat Islam, tidak dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal
selama tidak melanggar Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat
selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan
masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat Islam dan
menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari syariat Islam.
Paham dikotomis melalui sekularisme tersebut antara lain dipengaruhi terutama oleh
pemikiran August Comte melalui bukunya Course de la Philosophie Positive (1842)
mengemukakan bahwa sepanjang sejarah pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap:
(1) tahap teologik, (2) tahap metafisik, dan (3) tahap positif; pemikiran tersebut melahirkan
filsafat positivisme yang mempengaruhi ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, melalui
sekularisme. Namun teori tersebut tidaklah benar, sebab perkembangan pemikiran manusia
tidaklah demikian, seperti pada zaman modern ini (tahap ketiga), manusia masih tetap
percaya pada Tuhan dan metafisika, bahkan kembali kepada spiritualisme.
Sejarah umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan mengenyampingkan
agama dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis dan
malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada agama,
karena: (1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali pada agama sebagai
pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2) harapan manusia pada otak manusia untuk
memecahkan segala masalah di masa lalu tidak terwujud.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada tingkat kesejahteraan
yang lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada kehidupan
manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk dapat mengendalikan hal tersebut diperlukan
agama, untuk diarahkan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai
pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah
Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan
akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta dan
ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan
akherat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia
akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan
bahagia.
KESIMPULAN

Manusia terdiri dari dimensi fisik dan non-fisik yang bersifat potensial. Dimensi non-
fisik ini terdiri dari berbagai domein rohaniyyah yang saling berkaitan, yaitu jiwa
(psyche), fikiran (ratio), dan rasa (sense). Yang dimaksud dengan rasa di sini adalah
kesadaran manusia akan kepatutan (sense of ethic), keindahan (sense of aesthetic), dan
kebertuhanan (sense of theistic).
Sesuai dengan asal muasal katanya (sansekerta: agama,igama, dan ugama) maka
makna agama dapat diutarakan sebagai berikut: agama artinya peraturan, tata cara, upacara
hubungan manusia dengan raja; igama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan dengan
dewa-dewa; ugama artinya peraturan, tata cara, hubungan antar manusia; yang merupakan
perubahan arti pergi menjadi jalan yang juga terdapat dalam pengertian agama lainnya. Bagi
orang Eropa, religion hanyalah mengatur hubungan tetap (vertikal) antara manusia dengan
Tuhan saja.
Menurut ajaran Islam, istilah din yang tercantum dalam Al-Qur’an mengandung
pengertian hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan
manusia dalam masyarakat termasuk dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya
(horisontal).
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai pencipta
alam semesta. Allah sendiri yang mencipta dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah
kepada-Nya, juga menurunkan panduan agar dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut
diturunkan Allah melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga Muhammad
SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul tersebut hanya menerima Allah sebagai Tuhan mereka dan
Islam sebagai panduan kehidupan mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya.


Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Ali, Mohammad Daud. 1998. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Anwar, Saepul. 2009. Islam Tuntutan dan Pedoman Hidup. Bandung: Value Press.

Anda mungkin juga menyukai