Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MANUSIA MENURUT ISLAM DARI ASPEK PENYEBUTAN NAMA

Disusun oleh:

Kelompok III

MUHAMMAD ASNAWI ( 2161201203 )

FAJRUL ISLAM ( 2161201205 0

RENDI AFANDI ( 2161201210 )

Kelas 1A3 Manajemen

UNIVERSITAS MUSLIM MAROS


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya sehingga makalah ini berhasil diselesaikan. Judul makalah kami
adalah “MANUSIA MENURUT ISLAM DARI ASPEK PENYEBUTAN NAMA”.
Diharapkan tulisan ini bermanfaat untuk menambah informasi mengenai hubungan
antara manusia dengan agama.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk lebih
menyempurnakan makalah ini. Akhir kata kami ucapkan semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat.

Maros, 12 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………


DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………...

PEMBAHASAN ………………………………………………………………………….
A. Manusia dan Agama
1. Beragama sebagai Kebutuhan Fitri ……………………………………
2. Maksud dan Tujuan Hidup Manusia ………………………………….
3. Pengertian Agama dan Asal-Usul Agama ……………………………...
4. Agama-Agama Besar di Dunia ………………………………………….
B. Manusia Dalam Islam………………………………………
1. Penyebutan Manusia dalam Al-Qur’an…………………………………

KESIMPULAN …………………………………………………………………………..
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………....
PEMBAHASAN

A. Manusia dan Agama


1. Beragama sebagai Kebutuhan Fitri
Manusia terdiri dari dimensi fisik dan non-fisik yang bersifat potensial. Dimensi
non-fisik ini terdiri dari berbagai domein rohaniyyah yang saling berkaitan,
yaitu jiwa (psyche), fikiran (ratio), dan rasa (sense). Yang dimaksud dengan
rasa di sini adalah kesadaran manusia akan kepatutan (sense of ethic),
keindahan (sense of aesthetic), dan kebertuhanan (sense of theistic).
Rasa kebertuhanan (sense of theistic) adalah perasaan pada diri
seseorang yang menimbulkan keyakinan akan adanya sesuatu yang maha
kuasa di luar dirinya (transcendence) yang menentukan segala nasib yang ada.
Perasaan ini mendorongnya pada keyakinan akan adanya Tuhan atau sesuatu
yang perlu dipertuhankan yang menentukan segala gerak kehidupan di alam ini.
Keyakinan akan adanya Tuhan dicapai oleh manusia melalui tiga pendekatan,
yaitu :
a. Material experience of humanity. Argumen membuktikan adanya Tuhan melalui
kajian terhadap fenomena alam semesta.
b. Inner experience of humanity. Argumen membuktikan adanya Tuhan melalui
kesadaran bathiniyyah dirinya.
c. Spiritual experience of humanity. Argumen membuktikan Tuhan
didasarkan pada wahyu yang diturunkan oleh Tuhan melalui Rasul-Nya.
Keyakinan akan adanya Tuhan ini menimbulkan suatu kecenderungan
pada manusia untuk berhubungan dengan-Nya dan kerinduan untuk
mendapatkan perlindungan dan pertolongan-Nya. Oleh ka re na i tu ,
man u sia me mb u tu h kan su a tu sa ra n a yan g da p a t me n ya l u rkan
kecenderungan dan kerinduan ini. Dalam hal ini, agama merupakan
sarana yang paling representatif untuk kepentingan ini. Dalam
menyalurkan dan mengembangkan fitrah keberagamaan ini, manusia
secara individual mengadopsi salah satu agama yang telah
terlembagakan, baik melalui proses pewarisan orang tua atau pilihan sendiri
secara sadar. Meskipun demikian, ada juga segolongan manusia yang
mengingkari fitrah keagamaan ini dengan menolak segala ajaran agama
dan menafikan adanya Tuhan.
Manusia dalam pandangan islam, selalu dikaitkan dengan suatu kisah
tersendiri. Didalamnya, manusia tidak semata mata digambarkan sebagai hewan
tingkat tinggi yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki, dan pandai bicara .
Lebih dari itu, menurut Al-Quran, manusia lebih luhur dan gaib dari apa yang dapat
didefinisikan oleh kata-kata tersebut.
Dalam Al-Quran, manusia berulang kali diangkat derajatnya, berulang kali
pula direndahkan. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi, dan
bahkan para malaikat; tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti
dibandingkan dengan dengan setan terkutuk dan binatang jahanam sekalipun.
Manusia dihargai sebagai makhluk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa
juga mereka merosot menjadi yang paling rendah dari segala yang rendah. Oleh
karena itu, makhluk manusia sendirilah yang harus menetapkan sikap dan
menentukan nasib akhir mereka sendiri.
Segi-segi Positif Manusia:
1. Manusia adalah khalifah tuhan di bumi.
2. Dibandingkan dengan semua makahluk yang lain manusia mempunyai
kapasitas intelegensial yang paling tinggi.
3. Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Dengan kata lain,
manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh di dasar sanubari mereka. Jadi,
segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan muncul ketika manusia
menyimpang dari fitrah mereka sendiri.
4. Manusia, dalam fitrahnya, memiliki sekumpulan unsur surgawi yang luhur,
yang berbeda dengan unsure-unsur badani yang ada pada binatang,
tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa. Unsur-unsur itu merupakan suatu
senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan non-rasa (materi),
antara jiwa dan raga.
5. Penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti; bukan
suatu kebetulan. Karenanya, manusia merupakan makhluk pilihan.
6. Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh
Tuhan, diberkahi dengan risalah yang diturunkan melalui para nabi, dan
dikaruniai rasa tanggung jawab. Mereka diperintahkan untuk mencari nafkah
di muka bumi dengan inisiatif dan jerih payah mereka sendiri, merekapun
bebas memilih kesejahteraan atau kesengsaraan bagi dirinya.
7. Manusia dikaruniai pembawaan yang mulia dan martabat. Tuhan, pada
kenyataanya, telah menganugerahi manusia dengan keunggulan atas
makhluk lain. Manusia akan menghargai dirinya sendiri hanya jika mereka
mampu merasakan kemuliaan dan martabat tersebut, serta mau melepaskan
diri mereka dari kepicikan segala jenis kerendahan budi, penghambaan, dan
hawa nafsu.
8. Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik
dari yang jahat dan yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka.
9. Jiwa manusia tidak akan pernah damai, kecuali dengan mengingat allah.
Keinginan mereka tidak terbatas, mereka tidak pernah puas dengan apa yang
telah mereka peroleh. Dilain pihak, mereka lebih berhasrat untuk ditinggikan
ke arah perhubungan dengan Tuhan yang maha abadi.
10. Segala bentuk karunia duniawi diciptakan untuk kepentingan manusia. Jadi,
manusia berhak memanfaatkan itu semua dengan cara yang sah.
11. Tuhan menciptakan manusia agar mereka menyembahnya; dan tunduk patuh
kepadanya menjadi tanggung jawab utama mereka.
12. Manusia tidak dapat memahami dirinya, kecuali dalam sujudnya kepada
tuhan dan dengan mengingatnya. Bila mereka melupakan Tuhan, mereka pun
akan melupakan dirinya. Dalam keadaan demikian, mereka tidak akan tahu
siapa diri mereka, untuk apa mereka ada, dan apa yang harus mereka
perbuat.
13. Setiap realitas yang tersembunyi akan dihadapkan kepada manusia semesta
setelah mereka meninggal dan selubung ruh mereka disingkapkan.
14. Manusia tidaklah semata-mata tersentuh oleh motivasi-motivasi duniawi saja.
Dengan kata lain, kebutuhan bendawi bukanlah satu-satunya stimulus
baginya; lebih dari itu, mereka selalu berupaya untuk meraih cita-cita dan
aspirasi-aspirasi yang lebih luhur dalam hidup mereka. Dalam banyak hal,
manusia tidak mengejar satupun tujuan kecuali mengharap keridhoan Allah.
Kesimpulannya, Al-Quran menggambarkan manusia sebagai suatu makhluk
pilihan tuhan, sebagai khalifahnya di muka bumi, serta sebagi makhluk yang semi-
samawi dan semi-duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan,
bebas, terpercaya, rasa tanggung jawab terhadap dirinya maupun alam semesta;
serta karunia keunggulan atas alam semesta, langit, dan bumi. Manusia dipusakai
dengan kecenderungan ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan mereka
dimulai dari kelemahan dan ketidak mampuan, yang kemudian bergerak ke arah
kekuatan, tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan mereka, kecuali jika
mereka dekat dengan Tuhan dan mengingatnya. Kapasitas mereka tidak terbatas,
baik dalam kemampuan belajar maupun dalam menerapkan ilmu. Mereka memiliki
suatu keluhuran dan martabat naluriah. Motivasi dan pendorong mereka, dalam
banyak hall, tidak bersifat kebendaan. Akhirnya, mereka dapat secara leluasa
memanfaatkan rahmat dan karunia yang dilimpahkan kepada mereka, namun pada
saat yang sama mereka harus menunaikan kewajiban mereka kepada Tuhan.
Segi-segi Negatif Manusia:
Di dalam Al-Quran, manusia juga banyak dicela. Mereka dinyatakan sebagai
luar biasa keji dan bodoh. Al-Quran suci menggambarkan mereka dengan cercaan-
cercaan seperti berikut ini:
… sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh. (QS 33:72)
… Manusia benar-benar sangat mengingkari nikmat. (QS 22:66)
… adalah manusia itu sangat kikir. (QS 17:100)
… manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah. (QS 18:54)

2. Maksud dan Tujuan Hidup Manusia


Adapun maksud dan tujuan hidup manusia, yang berillahikan kepada Allah
dan bernabikan kepada Nabi Muhammad, tidak ada lain, melainkan; melakukan
’amal’ ibadah terhadap Allah dengan khusu’dalam arti kata yang sesempurnanya,
dengan cara dan laku yang di contohkan oleh junjungan nabi kita Nabi Rosulullah
SAW.
Kita yakin dengan penuh–penuh, bahwa tidak ada contoh yang paling mulia,
paling utama, paling tinggi dan paling luhur harkat derajatnya, melainkan contoh dan
tauladan dari pada penghulu besar kita itu tentang keindahan budi pekerti (akhlak) ,
kekuatan ruhani (batin) dan keutamaan perjalanan. Itu tidak seorangpun yang dapat
menolaknya, walau lawan dan musuh islam sekalipun.
Berkenaan dengan perkataan'Ibadah', baiklah disini kita terangkan dengan
singkat akan arti dan maksud perkataan ini. Adapun hal ‘ibadah ini–sepanjang garis-
garis besarnya—bolehlah dibagi menjadi dua bagian : (1) ‘Ibadah Khususiyah, yang
mengenai keperluan manusia seorang diri, dan (2) ‘Ibadah Umumiyah, yang
bersangkutan dengan keperluan manusia menghadapi sekalian alam diluar dirinya.
Bagian yang pertama seringkali disebut juga bagian,anniyah (individu), dan
bagian kedua dinamakan orang nahniyah (universal).
Maka kewajiban tiap–tiap manusia beribadah atau bakti kepada Allah itu,
termaktub di dalam berpuluh–puluh ayat Al–Quran dan ternyata didalam segenap
sunah Rosulullah SAW. Antara lain disebutkan di dalam Kitabullah yang suci itu :
Hai sekalian bangsa manusia! Baktilah kepada Robbmu, (Robb) yang
menjadikan kamu dan menjadikan orang–orang sebelum kamu, agar supaya kamu
bertakwa . (Al–Baqarah-21)
Dan lagi :
,, Dan tidaklah diperintahkan kepada manusia,melainkan agar supaya berbakti
kepada Robb yang esa: tiada Robb ( lain ), melainkan dia……………….. (At –
Taubah-31)
Di dalam zaman sekarang ini kita alami ini sungguh sangat perlu manusia
tahu, sadar dan insyaf akan kewajibannya, Bakti ’’Jika ia tidak bakti kepada Allah,
tentulah ia akan bakti kepada selain dan diluar dari pada Allah.’’ Maka mudah sekali
manusia jatuh dalam kekufuran, hanya karena tidak tahu kepada siapa ia wajib
bakti.
Selain dari pada itu, perbuatan Bakti itu pun harus pula dilakukan dengan
khusu’ dan dengan hati yang suci serta ikhlas, seperti yang diajarkan didalam Al-
Quran:
,, Tiadalah diperintahkan kepada manusia, melainkan bagi berbuat bakti kepada
Allah, dengan ikhlas dan setia hati…..”( Al-Bayinah-5 )
Dan lagi :
,,Bahwasanya kami (Allah) menurunkan kitab ini (Al-Quran) dengan kebenaran,
maka berbaktilah kepada Allah denga ikhlas dan tulus hati”,ingatlah bahwa
sesungguhnya bakti yang ikhlas itu hanya bagi Allah semata …… (Az–Zumar : 2-3)
Lagi pula, perbuatan bakti atau ibadah itu tidak boleh dilakukan sekehendak
kita, yang mudah terhinggapi penyakit segan dan bosen, tetapi bakti sampai kepada
akhir hayat kita, bakti yang diperbuat sampai kepada nafas yang penghabisan
seperti yang dinyatakan di dalam Al-Quran Surat Al-Hijr ayat 99 :
,, Baktilah kepada Robbmu,hingga datang kepadamu yang diyakini (ajal)
Selain dari pada itu , Bakti kepada Allah yang esa itu Bakti yang diajarkan
oleh Agama (Din) islam, bukanlah Bakti yang setengah–setengah, yang tanggung–
tanggung, Bakti menurut sesuka nafsu manusia, melainkan ialah Bakti yang penuh–
penuh, Bakti yang genap-lengkap, enteng atau beratnya, seperti yang dimaktubkan
di dalam Al–Quran :
,,Hai sekalian orang–orang yang beriman ! masuklah kepada Agama (Din) islam
segenapnya (kaffah). (Al–Baqarah : 208)
Mengingat keterangan di atas cukuplah kiranya sekadar untuk memberi
gambaran, apakah ‘ibadah atau Bakti itu. Berhubung dengan pembagian ‘ibadah
tersebut, maka kewajiban bakti kita itu pun terbagi pula atas dua bagian, yang tidak
boleh ditinggalkan salah satunya, melainkan kedua kewajiban itu harus berlaku
bersama-sama.
(a) Al – Hadits ‘ alal – Qadim’
Dengan perkataan ini dimaksudkan kewajiban manusia kepada Allah yang
langsung, Kewajiban Makhluk kepada Khaliq, yang tiada sangkutan atau hubungan
dengan makhluk di luarnya. Jadi yang termasuk bagian kewajiban Hadist terhadap
kepada Qadim itu pada khususnya ialah kewajiban Ruh manusia terhadap kepada
Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kewajiban ini timbul dari pada ajaran yang terkandung dalam kalimat
tauhid : La ilaha illallah. Dan oleh karena itu maka bagian ini sering kali juga disebut
bagian Rububiyah”atau ilahiyah”, yang artinya, ke-esaan.”
(b) Al – Hadist ‘alal – Hadist
Selain dari pada kewajiban (a) yang tidak terbatas dan tidak dapat diukur
oleh manusia atau makhluk yang mana pun juga (absolute), pun ada pula kewajiban
kita sebagai makhluk kepada makhluk lainnya (relative). Kewajiban ini ada
hubungannya, ada sangkutannya, ada peraturannya, dan ada pula ketentuan–
ketentuan yang tetap.
Berbedaan dengan wajib (a) yang mengurung sekalian bakti yang khusus,
maka bagian (b) ini mengandung Bakti yang ‘umum sifatnya, karena bakti ini
dilakukan di dalam dan diantara pergaulan hidup bersama. Menurut aliran sifat hidup
bersama, bagian ini pun boleh pula dipecah-pecah lagi menjadi berbagai–bagai
tingkat atau lapisan, misalnya:
::Dalam pergaulan antara laki-laki dengan laki-laki, antara perempuan dengan
perempuan antara laki-laki dengan perempuan, di dalam perikatan rumah tangga
dan diluarnya.
::Dalam pergaulan berkampung dan bernegeri yang berkenaan dengan maslahat
umum / sosial
::Dalam urusan pembagian rizki (ekonomi) antara seorang dengan seorang lainnya,
antara segolongan dengan golongan lainnya, seagama dan berbedaan agamanya.
::Dalam hidup bersama, yang mengenai cara–cara melakukan dan mengatur
sesuatu negeri (politik)
Maka semuanya itu oleh Allah SWT dengan risalah disampaikan kepada
sekalian makhluknya dan Rosulullah (utusan Allah), inilah yang wajib menyampaikan
lebih jauh kepada sekalian ummat, serta memberi contoh dan tauladan akan bukti
amal yang dimaksudkan di dalam amanat–amanat Allah itu.

3. Pengertian Agama dan Asal-Usul Agama


Sesuai dengan asal muasal katanya (sansekerta: agama, igama, dan
ugama) maka makna agama dapat diutarakan sebagai berikut: agama artinya
peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia dengan raja; igama artinya
peraturan, tata cara, upacara hubungan dengan dewa-dewa; ugama artinya
peraturan, tata cara, hubungan antar manusia; yang merupakan perubahan arti pergi
menjadi jalan yang juga terdapat dalam pengertian agama lainnya. Bagi orang
Eropa, religion hanyalah mengatur hubungan tetap (vertikal) antara manusia dengan
Tuhan saja.
Menurut ajaran Islam, istilah din yang tercantum dalam Al-Qur’an
mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan
manusia dengan manusia dalam masyarakat termasuk dirinya sendiri, dan alam
lingkungan hidupnya (horisontal).
"… Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu jadi agama(din)
bagimu …" (QS 5:3)
"Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia …" (QS
3:112)
Persamaan istilah agama tidak dapat dijadikan alasan untuk menyebutkan
bahwa semua agama adalah sama, karena adanya perbedaan makna atas istilah
agama tersebut, yang berbeda atas sistem, ruang lingkupnya, dan klasifikasinya.
Agama adalah suatu sistem ajaran tentang Tuhan, di mana penganut-
penganutnya melakukan tindakan-tindakan ritual, moral atau sosial atas dasar
aturan-aturan-Nya. Oleh karena itu, umumnya suatu agama mencakup aspek-aspek
sebagai berikut :
a. Aspek kredial, yaitu ajaran tentang doktrin-doktrin ketuhanan yang harus
diyakini.
b. Aspek ritual, yaitu ajaran tentang tata-cara berhubungan dengan Tuhan,
untuk minta perlindungan dan pertolongan-Nya atau untuk
menunjukkan kesetiaan dan penghambaan.
c. Aspek moral, yaitu ajaran tentang aturan berperilaku dan bertindak yang
benar dan baik bagi individu dalam kehidupan.
d. Aspek sosial, yaitu ajaran tentang aturan hidup bermasyarakat.
Dalam keempat aspek ini, tiap-tiap agama memiliki penekanan yang
berbeda-beda.
Melihat asal-usul terbentuk dan berkembangnya suatu agama sebagai
sebuah lembaga kepercayaan dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis, yaitu :
a. Agama yang muncul dan berkembang dari perkembangan budaya suatu
masyarakat. Pada awalnya seringkali muncul sebagai reaksi pada lingkungan
alam tempat sekelompok manusia hidup. Pada agama sejenis ini, sistem
kepercayaan serta ritus-ritus dan aturan-aturan perilaku seringkali terkait
dengan keadaan lingkungan alamnya, seperti pemujaan terhadap gunung
yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya Tuhan. Agama sejenis ini
dapat disebut dengan Agama Budaya atau Agama Bumi (dalam bahasa Arab
disebut Ardli), seperti Hindu, Shinto atau agama-agama primitif dan
tradisional.
b. Agama yang disampaikan oleh orang-orang yang mengaku mendapat
wahyu dari Tuhan. Oleh karna itu, mereka mengklaim bahwa ajaran-ajaran
yang mereka sebarkan berasal dari Tuhan. Dalam agama ini, pendiri
(penyebar pertama) agama tidak menjadi sentral ajaran, tapi hanya berfungsi
sebagai penyampai kepada ummat manusia. Agama sejenis ini disebut
agama wahyu atau agama langit (dalam bahasa Arab langit disebut (samawi),
yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam.
c. Agama yang berkembang dari pemikiran seorang filosof besar. Dia tidak
mengaku dan mengklaim bahwa dirinya mendapatkan wahyu dari Tuhan,
tetapi dia memiliki pemikiran-pemikiran yang mengagumkan tentang konsep-
konsep kehidupan sehingga banyak orang yang mengikuti pandangan hidupnya
dan kemudian melembaga sehingga menjadi kepercayaan dan ideologi
bersama suatu masyarakat. Agama semacam ini dapat dinamakan
sebagai agama filsafat. Dalam kelompok ini dapat dimasukkan agama-
agama seperti Konfusianisme (Konghucu), Taoisme, Zoroaster atau Budha.
Karena agama merupakan kepentingan mutlak setiap orang dan setiap
orang terlibat dengan agama yang dipeluknya maka tidaklah mudah untuk membuat
suatu defenisi yang mencakup semua agama, namun secara umum dapat
didefenisikan sebagai berikut: agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang
dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan-Nya melalui upacara,
penyembahan dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau
berdasarkan ajaran agama itu.

4. Agama-Agama Besar di Dunia


Di antara sekian banyak agama-agama yang ada di permukaan bumi,
ada beberapa agama yang dianggap besar karena banyak penganutnya dan
sistematis ajaran-ajarannya, yaitu : Agama Kristen, Agama Katolik, Agama
Islam, Agama Hindu, Agama Budha, Agama Kong Hu Chu, Agama Shinto,
Agama Yahudi, Agama Zoroaster, dll.
Di antara agama-agama tersebut ada yang bersifat kebangsaan
(nasional) dan ada yang bersifat mendunia (mondial). Yang bersifat
kebangsaan adalah agama yang identik dengan suatu bangsa atau ras
tertentu dan bangsa penganutnya mengklaim bahwa agama tersebut sebagai
miliknya saja, sedangkan bangsa atau ras lain tidak harus menjadi pengikut dan
penganutnya, seperti Yahudi bagi bangsa Yahudi dan Hindu bagi bangsa India
atau Kong Hu Chu bagi bangsa Cina, Shinto bagi orang Jepang. Sedangkan agama
mondial adalah agama yang mengklaim sebagai agama untuk seluruh
bangsa. Oleh karena itu, ajaran-ajarannya disebarkan kepada seluruh bangsa
di dunia. Agama sejenis ini disebut agama mesianis, seperti agama Islam, agama
Kristen dan Budha.

B. Manusia dan Islam


1. Penyebutan Manusia dalam Al-Qur’an
Manusia perlu memahami hakikat dirinya untuk mewujudkan
eksistensinya. Dengan demikian Ibnu Khaldun berpendapat bahwa manusia
merupakan makhluk yang mampu berpikir sehingga melahirkan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Melalui kemampuan berpikir yang dimiliki, manusia bisa mencari
makna hidup dan membangun kehidupan, dan melalui proses ini lahirlah
peradaban manusia.

Penyebutan manusia dalam al-Qur’an menggunakan beberapa term


antara lain bashar,ins, insa>n, na>s, dan bani adam. Di mana masing-masing
memiliki arti sendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun
demikian perbedaan arti tersebut tidak berpengaruh pada objek yang dimaksud
yakni semua term tersebut diarahkan pada penyebutan manusia.
1. Bashar, kata ini disebutkan al-Qur’an kurang lebih dalam 23 surat, yang
berkaitan tentang penciptaan manusia, kemanusiaan para nabi, serta ketidak
mungkinan basyar dalam berkomunikasi dengan Allah secara langsung.
Kata ini memiliki arti penampakan sesuatu dengan baik dan indah, dari
akar kata yang sama, lahir kata basharah yang berarti kulit. Dari sini
menunjukkan bahwa kata ini digunakan untuk merujuk pada aspek lahir atau
fisik manusia.
Kata bashar juga diartikan mula>samah (persentuhan kulit antara
perempuan dan laki-laki),secara etimologis dapat disimpulkan bahwa
manusia adalah makhluk yang memiliki sifat bologis juga keterbatasan, seperti
minum, makan, seks, keamanan dan lain sebagainya. Kata ini ditunjukkan
untuk semua manusia tanpa terkecuali baik itu nabi ataupun bukan.
2. Ins, kata ini disebut dalam al-Qur’an bersamaan dengan kata jinn atau jann
kurang lebih dalam 17 surat. Kata ini juga serupa dengan insiyy yang memiliki
bentuk jamak “ana>siya”. Dilihat dari penyebutannya yang bersamaan dengan
kata jinn, ins mengarah pada makna jinak yaitu dapat ditangkap dan dilihat
karena memang diperlihatkan, kebalikan dari jinn yang dalam bahasa berarti
samar, tidak dapat ditangkap dan tertutup. Dimana tentunya pengertian ini
dipahami dari sudut pandang dunia manusia.
Dan di antara keduanya memiliki kesamaan yang juga dijelaskan dalam
al-Qur’an, yaitu sama-sama menjadi makhluk ciptaan Allah yang diperintah
untuk menyembah Nya (QS. Al-Dzariyat: 56), sama-sama dikirimkan utusan
kepada mereka dari kalangan masing-masing (QS. Al-An’am: 13), sama-sama
diberi potensi kemampuan untuk bisa melampaui batas dari dunia masing-
masing ke dunia yang lain (QS. Al-Rahman: 39), sama-sama mungkin menjadi
musuh nabi SAW (QS. Al- An’am: 112), sama-sama mendapat tantangan
untuk membuat perumpamaan terhadap al-Qur’an (Q.S. Al-Isra’: 88).
Disebutkannya dua jenis makhluk tersebut mengindikasikan adanya hubungan
antara keduanya yakni hubungan saling memengaruhi, yang lebih sering
ditekankan bahwa jin sering memengaruhi manusia dan sebaliknya manusia
menjadikan jin sebagai tempat perlindungan atau tempat minta pertolongan
(QS. Al-Jinn: 6; QS. Al-A’raf: 38, dan QS. Al-An’am: 112).
3. Al-Insa>n dari kata al-ins disebut kurang lebih sebanyak 73 kali, yang secara
etimologi bisa diartikan lemah lembut, harmonis, tampak dan pelupa. Kata ini
digunakaan dalam al-Qur’an mengarah pada totalitas manusia sebagai makhluk
dari segi jasmani dan rohaninya, harmonisasi dari dua segi tersebut yang
membuat manusia menjadi makhluk yang istimewa dibanding makhluk
lainnya.

Semua konteks kata al-insa>n mengarah pada sifat-sifat spiritual dan


psikologis, dan dapat dikelompokan menjadi 3 keterkaitan. Pertama, terkait
keistimewaannya sebagai khalifah dan amanah yang dipikul, dimana wujud
manusia yang berbeda dengan hewan, dan merupakan makhluk yang diberi
ilmu (QS. Al-‘Alaq: 4-5) kemudian mengembangkan pengetahuan dan daya
nalarnya. Amanah yang dimaksud adalah perjuangan menciptakan tatanan
sosial yang bermoral di dunia ini, karena manusia diberi kebebasan
berkehendak dalam semua tindakannya, namun tetap mendapat konsekuesi dari
semua perbuatannya sebagai bentuk tanggung jawab.
Kedua, terkait predisposisi negatif dalam diri manusia, dalam al-Qur’an
disebutkan bahwa manusia cenderung pada beberapa sifat negatif seperti bodoh
(QS. Al-Ahzab: 72), bakhil (QS. Al-Isra’: 100), dzalim dan kufur (QS.
Ibrahim: 34, Al-Hajj: 26, Al-Zukhruf: 15), resah, gelisah, dan segan membantu
(QS. Al-Ma’arij: 19), tergesa-gesa (QS. Al-Isra’: 11; QS. Al-Anbiya’: 37),
berbuat dosa (QS. Al-Alaq: 6 dan Al-Qiyamah: 5), banyak mendebat dan
membantah (QS. Yasin: 77, Al-Kahfi: 54), meragukan hari kiamat (QS.
Maryam: 66), dan tidak berterima kasih (QS. Al-Adiyat: 6).
Ketiga, terkait penciptaan manusia yaitu asal usul manusia dinisbatkan
pada konsep bashar dan insa>n sekaligus. Manusia sebagai insa>n maupun
bashar diciptakan dari tanah liat, menurut Qardhawi, manusia merupakan
gabungan antara tanah dan ruh ilahi, yang pertama unsur material (bashar) dan
kedua unsur rohani (insa>n). Keduanya harus bergabung dan seimbang. Dan
Abbas Mahmud al-Aqqad berpendapat bahwa seorang mukmin dilarang
mengurangi hak-hak tubuh untuk memenuhi hak roh dan sebaliknya juga
dilarang mengurangi hak-hak roh untuk memenuhi hak tubuh.
4. Na>s, kata ini merupakan yang paling sering digunakan dalam al-Qur’an yaitu
sekitar 40 kali, berbeda dengan 3 kata sebelumnya yang lebih menjelaskan
konsep tentang manusia kata na>s lebih mengarah pada realisasi aktual
manusia dari konsep tersebut. Manusia berada dalam ruang dan waktu yang
aktual, dan secara faktual kepada na>s ini titah-titah dari Allah diarahkan

seperti menyembah (QS. Al-Baqarah: 21), bertakwa ( QS. Al-Nisa’: 1),


memakan yang halal dan tay>ib (QS. Al-Baqarah: 168) dan lain sebagainya.
Banyak kata na>s mengarah pada arti sebagai makhluk sosial, hal
tersebut bisa dilihat dari ayat-ayat yang menunjukan pada kelompok sosial
beserta karakteristiknya seperti sebagian besar manusia memiliki kualitas
rendah dalam segi ilmu (QS. Al-A’raf: 187, Al-Qhasas: 68, Yusuf: 21, Ar-
Ruum: 6,30, Saba’: 28,36, Al-Jaatsiyah: 26, Al-Mu’min:77) dan masih banyak
lagi.
5. Bani Adam, berarti anak-cucu Adam atau keturunan nabi Adam as, dan dalam
bahasa Adam mempunyai arti permukaan bagian dalam dari kulit dan yang
menjadikan sesuatu bisa dikenali. Adam adalah wujud bashar yang sudah
menjadi insa>n, Adam dan pasangannya dimunculkan dalam kehidupan dunia,
dan kata bani Adam ditujukan pada manusia keturunan nabi Adam hingga hari
kiamat.
Di dalam al-Qur’an bani Adam disebut sekitar tujuh kali, istilah ini
digunakan untuk mengingatkan asal-usulnya yang terkait dengan cerita nabi
Adam yan pernah dijerumuskan setan dalam melanggar larangan Allah (QS.
Al-A’raf: 27), peringatan untuk memegang nikmat yang telah dianugerahkan
(QS. Al-Isra’: 70), janji primodial bahwa tidak akan menyembah setan (QS.
Yaasiiin: 60, Al-A’raf: 172).

C. Hubungan Manusia dengan Agama


Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai pencipta
alam semesta. Allah sendiri yang mencipta dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah
kepada-Nya, juga menurunkan panduan agar dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut
diturunkan Allah melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga Muhammad
SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul tersebut hanya menerima Allah sebagai Tuhan mereka dan
Islam sebagai panduan kehidupan mereka.
Beribadah diartikan secara luas meliputi seluruh hal dalam kehidupan yang
ditujukan hanya kepada Allah. Kita meyakini bahwa hanya Islamlah panduan bagi manusia
menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Islam telah mengatur berbagai perihal dalam
kehidupan manusia. Islam merupakan sistem hidup, bukan sekedar agama yang mengatur
ibadah ritual belaka.
Sayangnya, pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak memahami hal ini.
Mereka memahami ajaran Islam sebagaimana para penganut agama lain memahami ajaran
agama mereka masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya berlaku di tempat-tempat
ibadah dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal
tersebut biasanya disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya gerakan pembaruan di
Eropa yang fikenal sebagai Renaissance dan Humanisme, sebagai reaksi masyarakat yang
dikekang oleh kaum gereja pada masa abad pertengahan atau Dark Ages, kaum gereja
mendirikan mahkamah inkuisisi yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan,
cendikiawan, serta pembaharu.
Setelah itu, pada masa Renaissance, masyarakat menilai bahwa Tuhan hanya
berkuasa di gereja , sedangkan di luar itu masyarakat dan rajalah yang berkuasa. Paham
dikotomis ini kemudian dibawa ke Asia melalui penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-
bangsa Eropa; Kedua, masih adanya ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan
syariat-syariat Islam, tidak dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal
selama tidak melanggar Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat
selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan
masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat Islam dan
menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari syariat Islam.
Paham dikotomis melalui sekularisme tersebut antara lain dipengaruhi terutama oleh
pemikiran August Comte melalui bukunya Course de la Philosophie Positive (1842)
mengemukakan bahwa sepanjang sejarah pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap:
(1) tahap teologik, (2) tahap metafisik, dan (3) tahap positif; pemikiran tersebut melahirkan
filsafat positivisme yang mempengaruhi ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, melalui
sekularisme. Namun teori tersebut tidaklah benar, sebab perkembangan pemikiran manusia
tidaklah demikian, seperti pada zaman modern ini (tahap ketiga), manusia masih tetap
percaya pada Tuhan dan metafisika, bahkan kembali kepada spiritualisme.
Sejarah umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan mengenyampingkan
agama dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis dan
malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada agama,
karena: (1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali pada agama sebagai
pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2) harapan manusia pada otak manusia untuk
memecahkan segala masalah di masa lalu tidak terwujud.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada tingkat kesejahteraan
yang lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada kehidupan
manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk dapat mengendalikan hal tersebut diperlukan
agama, untuk diarahkan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai
pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah
Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan
akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta dan
ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan
akherat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia
akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan
bahagia.
KESIMPULAN

Manusia terdiri dari dimensi fisik dan non-fisik yang bersifat potensial. Dimensi non-
fisik ini terdiri dari berbagai domein rohaniyyah yang saling berkaitan, yaitu jiwa
(psyche), fikiran (ratio), dan rasa (sense). Yang dimaksud dengan rasa di sini adalah
kesadaran manusia akan kepatutan (sense of ethic), keindahan (sense of aesthetic), dan
kebertuhanan (sense of theistic).
Sesuai dengan asal muasal katanya (sansekerta: agama,igama, dan ugama) maka
makna agama dapat diutarakan sebagai berikut: agama artinya peraturan, tata cara, upacara
hubungan manusia dengan raja; igama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan dengan
dewa-dewa; ugama artinya peraturan, tata cara, hubungan antar manusia; yang merupakan
perubahan arti pergi menjadi jalan yang juga terdapat dalam pengertian agama lainnya. Bagi
orang Eropa, religion hanyalah mengatur hubungan tetap (vertikal) antara manusia dengan
Tuhan saja.
Menurut ajaran Islam, istilah din yang tercantum dalam Al-Qur’an mengandung
pengertian hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan
manusia dalam masyarakat termasuk dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya
(horisontal).
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai pencipta
alam semesta. Allah sendiri yang mencipta dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah
kepada-Nya, juga menurunkan panduan agar dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut
diturunkan Allah melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga Muhammad
SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul tersebut hanya menerima Allah sebagai Tuhan mereka dan
Islam sebagai panduan kehidupan mereka.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya.


Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Ali, Mohammad Daud. 1998. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Anwar, Saepul. 2009. Islam Tuntutan dan Pedoman Hidup

Anda mungkin juga menyukai