Wandhana Wahyu J
S1 Keperawatan 1B
Agama Islam mempunyai pengertian yang lebih luas dari pengertian agama pada
umumnya. Di sini, kata Islam berasal dari Bahasa Arab yang mempunyai bermacam-
macam arti, diantaranya sebagai berikut:
a. Salam yang artinya selamat, aman sentosa dan sejahtera, yaitu aturan hidup
yang dapat menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Kata salam terdapat
dalam al-Qur‟an Surah al-An‟am ayat 54; Surah al-A‟raf ayat 46; dan surah an-
Nahl ayat 32.
b. Aslama yang artinya menyerah atau masuk Islam, yaitu agama yang mengajarkan
penyerahan diri kepada Allah, tunduk dan taat kepada hukum Allah tanpa tawar-
menawar. Kata aslama terdapat dalam al-Qur‟an surah al-Baqarah ayat 112;
surah alImran ayat 20 dan 83; surah an-Nisa ayat125; dan surah alAn‟am ayat 14
Adapun kata Islam menurut istilah (terminologi) adalah mengacu kepada agama
yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia.
Dilihat dari segi misi ajarannya, Islam adalah agama sepanjang sejarah manusia
sejak Nabi Adam As hingga Muhammad SAW., atau masa sekarang. Islam adalah agama
dari seluruh nabi dan rasul yang pernah diutus oleh Allah SWT. Islam merupakan agama
bagi Adam As., Nabi Ibrahim, Nabi Ya‟qub, Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman, Nabi
Isa As., dan rasul terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW. Hal demikian ditegaskan dari
ayat-ayat yang terdapat di dalam al-Qur‟an.9
Untuk itu manusia diberi kesadaran moral yang harus selalu dirawat kalau
manusia tidak ingin terjatuh kedalam kedudukan yang sangat rendah. juga harus
dijalankan hanya dengan hati yang ikhlas dengan mengharapkan ridho dari Allah SWT
semata dengan terus melakukan ikhtiar secara optimal sedangkan mengenai hasil
sepenuhnya hanya milik Allah SWT.
Melalui sebuah pendidikan yang tepat, manusia akan menjadi makhluk yang
dapat mengerti bagaimana seharusnya yang dilakukan sebagai seorang makhluk Tuhan.
Manusia dapat mengembangkan pola pikirnya untuk dapat mempelajari tanda-tanda
kebesaran Tuhan.
manusia disebut dalam urutan yang sama dengan makhluk yang lain dan
habitatnya. Manusia mempunyai kedudukan yang setara dengan makhluk hidup yang
lain. Manusia memang merupakan penguasa alam, tetapi manusia itu juga ciptaan Allah,
artinya ia rapuh dan bergantung kepada Allah. Mungkin saat ini banyak orang
berpendapat bahwa untuk dapat menjaga atau menata alam, maka saat ini manusia
harus memiliki otoritas terlebih dahulu. Namun yang dibicarakan adalah mengenai
menjaga alam dan bukan hanya sekedar manusia mengelola alam yang mengandalkan
pada wewenang sebagai penguasa. Manusia yang ingin menata alam dalam rangka
menyelamatkan alam, harus terlebih dahulu menyadari bahwa sebelum manusia yang
menata alam, sudah ada Tuhan yang lebih dahulu menata. Tuhan menatanya dengan
adil, sehingga penataan tersebut memperlihatkan irama yang teratur. Kita manusia yang
ditata Allah, ternyata merupakan bagian dari alam, maka dari itu dalam Mazmur 104
digambarkan bahwa habitat itu menentukan.
Dengan demikian, kita sebagai ciptaan yang diberi mandat Allah, untuk menjaga
alam hendaknya berkomitmen untuk merawat alam ciptaan-Nya, untuk menciptakan
kedamaian dan menjaga generasi masa mendatang. Kekuasaan yang diberikan Allah
kepada manusia adalah kuasa sebagai penatalayan yang bertanggungjawab, termasuk
penggunaan atau pemanfaatan sumber daya yang ada. Suatu hal yang mustahil jika
Allah menciptakan bumi dan menyerahkan kepada manusia hanya untuk dihancurkan
atau dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan sekarang dengan mengorbankan
kesejahteraan atau “mengkhianati anak cucu kita” di masa mendatang.
D. Hubungan Manusia Dengan Hati Nurani
Hati nurani adalah suatu proses kognitif yang menghasilkan perasaan dan pengaitan
secara rasional berdasarkan pandangan moral atau sistem nilai seseorang. Hati nurani berbeda
dengan emosi atau pikiran yang muncul akibat persepsi indrawi atau refleks secara langsung,
seperti misalnya tanggapan sistem saraf simpatis. Dalam bahasa awam, hati nurani sering
digambarkan sebagai sesuatu yang berujung pada perasaan menyesal ketika seseorang
melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan nilai moral mereka. Nilai moral seorang
individu serta ketidaksesuaiannya dengan penafsiran pemikiran moral keluarga, sosial, budaya,
maupun sejarah, dipelajari dalam studi relativisme budaya dalam bidang dan praktik psikologi.
Sejauh mana peran hati nurani dalam menggerakkan penilaian moral seseorang sebelum
bertindak dan apakah penilaian moral tersebut memang atau sebaiknya didasarkan pada akal
budi, telah memercik perdebatan yang sengit antara filsafat Barat melawan teori-teori
romantisme dan gerakan reaksioner lainnya setelah berakhirnya Abad Pertengahan.
Pandangan keagamaan tentang hati nurani umumnya mengatakan bahwa hati nurani
terkait dengan suatu moralitas yang melekat dalam diri semua manusia, melekat dengan sebuah
alam semesta yang baik, atau melekat kepada pengada yang bersifat ketuhanan. Berbagai sifat
agama, yaitu sifat ritualistis, mitis, doktrinal, institusional, dan material, mungkin tidak selalu
sejalan dengan pertimbangan pengalaman, emosional, spiritual, atau kontemplatif mengenai
asal mula dan cara kerja hati nurani. [1] Pandangan sekuler atau ilmiah umumnya menyatakan
bahwa hati nurani mungkin ditentukan secara genetis, sementara subjek-subjek hati nurani
kemungkinan dipelajari atau merupakan hasil imprinting sebagai bagian dari budaya.[2]
Metafora yang biasanya digunakan untuk hati nurani adalah "suara hati", [3] sementara
Sokrates bergantung kepada sesuatu yang disebut oleh orang-orang Yunani Kuno dengan nama
"suara daimonik", yakni semacam suara hati yang menjauhkan diri (ἀποτρεπτικός, apotreptikos)
dari kesalahan dan hanya terdengar saat ia akan membuat kesalahan. [4] Hati nurani,
sebagaimana digambarkan dalam artikel di bawah ini, adalah sebuah konsep dalam hukum
nasional dan internasional,[5] semakin sering dianggap sebagai konsep yang berlaku di seluruh
dunia,[6] serta telah mendorong banyak tindakan terkenal yang dilakukan demi kebaikan
bersama.[7] Hati nurani juga merupakan topik bahasan dalam berbagai karya sastra, musik, dan
film.[8]