Anda di halaman 1dari 33

Insan Kamil dan Pluralisme |1

INSAN KAMIL DAN PLURALISME


DI INDONESIA
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Agama Islam

Dosen Pembimbing:
Dra. Hj. Rahmah Alwi, M.Ag
OLEH:
Zulfitrawati

K21114008

Herman

K21114009

Irmayanti

K21114010

Sutamara Lasurdi Noor

K21114011

Nurhaswi

K21114012

Putri Mutmainnah

K21114013

Endah Pangesti Suprayitno

K21114014

Rezki Fitriani Hamsah

K21114015

ILMU GIZI
FAKLUTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2014

Insan Kamil dan Pluralisme |2

Kata Pengantar
Assalamualaikum. Wr. Wb
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT. Karena atas idzin beliaulah kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Tak lupa pula kami hanturkan salam dan shalawat kepada
idola kita, nabi dan rasul umat manusia, Muhammad SAW. Karena berkat beliaulah kita
mampu terbebas dari zona gelapnya kehidupan menjadi zona terangnya kehidupan seperti saat
ini.
Kami sadar, makalah yang kami buat ini, jauh dari kata sempurna. Namun, semoga
melalui pembuatan makalah ini, kami bisa membantu sekaligus menambah pemahaman
kawan-kawan pembaca mengenai apa itu Insan Kamil dan apa itu Pluralitas.
Mohon maaf jika ada kesalahan pengetikan, karena kami bukan manusia yang
sempurna, karena yang namanya sempurna hanya milik Allah SWT.
Makassar, 27 Oktober 2014
Hormat kami, aaaa

Penulis

Insan Kamil dan Pluralisme |3

DAFTAR ISI

SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
o LATAR BELAKANG
o RUMUSAN MASALAH
o TUJUAN
BAB II : PEMBAHASAN
o INSAN KAMIL
o PLURALITAS
BAB III : PENUTUP
o KESIMPULAN
o SARAN
DAFTAR PUSTAKA

.1
.2
.3
.4
.4
.4
.4
.5
.5
.19
.33
.33
.33
.34

Insan Kamil dan Pluralisme |4

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam ilmu tasawuf terdapat konsep yang disebut dengan insan kamil. Insan
kamil diartikan sebagai manusia sempurna atau manusia paripurna. Menurut ahli
tasawuf falsafi Ibnu arabi dan Abd al-Jilli, insan kamil yang paling sempurna adalah
Nabi Muhammad SAW.
Khalayak biasanya mengartikan "insan kamil" sebagai manusia sempurna,
Sebagai aktualisasi dan contoh yang pernah ada hidup di permukaan bumi ini adalah
sosok Rasulullah Muhammad Saw. Tapi sayang sosok Nabi yang agung ini hanya dilihat
dan diikuti dari segi fisik dan ketubuhan beliau saja. Artinya Beliau hanya dilihat secara
partial saja, padahal kita mau membicarakan kesempurnaan beliau. Lalu berduyunduyunlah "pakar" Islam dari masa ke masa menulis, menganjurkan, bahkan menjadi
perintah yang hampir mendekati taraf "wajib", kepada umat Islam untuk mengikuti
contoh "perilaku" Nabi Muhammad.
Sesungguhnya orang-orang mumin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orangorang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah,
hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati. (al-Baqarah:62).

B. RUMUSAN MASALAH
1) Bagaimana Insan Kamil dalam Pandangan Islam ?
2) Bagaimana Konsep Insan Kamil dalam Perspektif Ibnu Arabi ?
3) Bagaimana Pluralitas dalam Pandangan Islam ?

C. TUJUAN
1) Untuk mengetahui Insan Kamil dalam Pandangan Islam.
2) Untuk mengetahui Konsep Insan Kamil dalam Perspektif Ibnu Arabi.
3) Untuk mengetahui Pluralitas dalam Pandangan Islam.

Insan Kamil dan Pluralisme |5

BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP INSAN KAMIL


Pembicaraan mengenai insan kamil adalah pembicaraan yang menjadi titik tolak dalam
pembicaaraan tentang ciptaan-ciptaaan Allah Swt khususnya dalam dunia tasawuf dan filsafat
Islam. Karena itu pembicaraan mengenai insal kamil pada khazanah irfan adalah sisi batin
dari manusia.
Ada dua karya besar yang berbicara mengenai insan kamil, yaitu al-Insan al-Kamil fi
Marifah al-Awakhir wa al-Awail karya Syekh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1366-1430
M) dan al-Insan al-Kamil karya Azizuddin Nasafi.
Dalam dunia tasawuf, eksistensi selain Allah adalah eksistensi yang relatif atau nisbi.
Pasalnya, segala sesuatu selain Allah Swt adalah pancaran dari diri Allah Swt. Disebutkan
juga dalam dunia tasawuf bahwa alam semesta ini atau segala yang berkaitan diciptakan oleh
Allah Swt. tidak lain adalah menifestasi dari Allah Swt. La maujudan illallah dan la
mahbuban illallah dan la maqshudan illallah.
Allah mengambarkan semua ini sebagai tanda-Nya atau ayat-Nya seperti dikatakan
dalam ayat, Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri. (QS 41:53)
Mengapa Allah mengatakan semua ini sebagai tanda bagi diri-Nya ? Bukanlah hal ini
adalah riil-Nya. Namun, ia hanyalah dapat mengantarkan kita kepada pemahaman sesuatu
yang diisyaratkan-Nya dan sesuatu di balik dari semua ini tidak lain adalah Allah Azza wa
Jalla.
Karena itu, dalam keyakinan para arif dan sufi, apa yang muncul dari alam ini adalah
wujud yang tidak nyata, hanya sebagai sebuah isyarat saja. Bahkan diri dan eksistensi kita
bukan disebabkan oleh dirinya, melainkan oleh sesuatu yang lain itu. Dari sinilah
pembicaraan mengenai insan kamil itu muncul.
Pembicaraan mengenai insan kamil ini menjadi sesuatu penting disebabkan, pertama,
orang hanya dapat mengenai hakikat Allah yang sejati melalui pemahamannya terhadap insan
kamil. Yang sebelumnya mungkin manusia mengenal Allah melalui bentuk dari tanda-tandaNya atau ciptaan-ciptaan-Nya, bukan melalui hakikat yang diisyaratkan-Nya. Hal ini
disebabkan bahwa makrifat kita belum sempurna.
Para sufi pun mengkritisi para filosof, yang berbasis pemahaman akal, dengan
mengatakan bagaimana mungkin Anda memahami cahaya Allah dengan cahaya lilin,
bagaimana mungkin pemahaman makhluk ini digandengkan dengan Tuhan. Bagaimana Anda

Insan Kamil dan Pluralisme |6

akan memahami cahaya matahari yang luar biasa melalui cahaya lilin ? Anda harus membuka
jendela rumah Anda dan di situ Anda akan menemukan cahaya matahari yang sesungguhnya.
Anda harus mengangkat pemahaman Anda dari akal ini dan membuka pintu hati Anda.
Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Ali as, Bagaimana mungkin engkau
menyembah Tuhan yang tidak engkau saksikan ? Imam Ali berkata, Bagaimana mungkin
aku menyembah Dia sementara aku belum menyaksikan-Nya ?
Dalam hal ini, Imam Ali sudah mencapai derajat kesempurnaannya. Derajat kedekatan
kita ditentukan
Kita mengenali hakikat kita yang sesungguhnya. Kemana kita akan berjalan atau kita
memiliki tujuan dalam perjalanan hidup kita ? Tujuan yang paling mendasar dari hidup kita
adalah Allah Swt. Bagaimana kita mampu berjalan menuju Allah ?
Posisi insan kamil ini adalah orang-orang yang sudah melakukan proses perjalanan itu
sehingga ia mampu mengikuti-Nya. Kita selalu berdoa, Bimbinglah kami ke jalan yang
lurus. Jalan siapa itu ? Adalah jalan orang-orang yang Kami beri kenikmatan dan mereka
tidak berada dalam kesesatan.
Kita mampu melihat realitas diri Muhammad, diri para nabi para rasul dan kekasih
Allah dengan makna yang benar. Apakah pandangan mereka salah ? Dikarenakan pandangan
mereka (orang awam) selama ini adalah pandangan dalam bentuk fisiknya.
Pembicaraan mengenai insan kamil ini menjadi penting. Pertama, adalah hakikat
penciptaan manusia; kedua, tentang khalifah dan hakikat insan kamil; dan ketiga,
ketergantungan seluruh semesta terhadap insan kamil dalam perjalanan menuju Allah Swt.

a. Hakikat Penciptaaan Manusia


Bahwa Allah Swt pada hadis Qudsi berfirman, Aku adalah pembendaharaan yang
tersembunyi dan cinta untuk dikenal, maka Aku ciptakanlah beragam ciptaan.
Allah mengisyaratkan tentang diri-Nya dengan kata Dia (Yang Tersembunyi), dalam
ketunggalan-Nya, karena kecintaan diri-Nya untuk dikenal. Ibarat manusia yang selalu
bercermin terhadap dirinya disebabkan manusia mencintai dirinya atau sebagai dorongan
cinta terhadap dirinya dan beragam pengetahuaan manusia tentang dirinya itu muncul.
Keberagaman pengetahuan yang muncul dari diri-Nya inilah memunculkan keberagaman hal.
Allah Swt ketika memahami diri-Nya, munculnya pengetahuan tentang diri-Nya, baru dari
pengetahuan inilah, muncul alam semesta ini. Maka Allah mengatakan, Maka Aku ciptakan
beragam ciptaaan, baru fase atau proses ketiga muncul.
Setiap kemunculan dari diri Allah itu, maka muncullah persepsi nama Allah yang indah
dan mengantarkan pada kesempurnaan. Dalam ayat disebutkan, Katakanlah: Serulah Allah
atau serulah ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul
husna (nama-nama yang terbaik) (QS 17: 110) Karena itu, beragam nama di sini, setiap nama

Insan Kamil dan Pluralisme |7

ini memanifestasikannya ke alam semesta. Setiap alam ini menunjukkan gambaran atau
manifestasi nama Allah Swt.

b. Hakikat Manusia Dalam Matsnawi Rumi


Karena itu, sementara dalam bentuk engkau adalah mikrokosmos, pada hakikatnya
engkau adalah makrokosmos. Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah, padahal ranting
itu tumbuh justru demi buah. Kalau bukan karena mengharap dan menginginkan tubuh,
betapa pekebun itu akan menanam pohon. Jadi sekalipun tampaknya pohon itulah yang
melahirkan buah (Tapi) pada hakikatnya (justru) pohon itulah yang lahir dari buah. (alMastnawi 4:30)
Maulana Jalaluddin Rumi al-Balkhi adalah seorang arif besar. Beliau lebih dikenal
dengan Maulawi Rumi, dan merupakan sastrawan Persia abad ke tujuh Hijriah. Salah satu
karya masterpiece-nya adalah Matsnawi, yang isinya membahas tentang banyak hal. Dalam
buku Menapak Jalan Spiritual, Murtadha Muthahhari mengatakan, Matsnawi merupakan
samudra filsafat dan irfan, yang sarat dan penuh dengan berbagai hal yang pelik yang bersifat
spiritual, sosial dan irfan.
Pembahasan tentang hakikat manusia adalah salah satu bahasan khusus yang dibahas
oleh Rumi dalam Matsnawinya. Memahami hakikat manusia sangatlah sulit bagi sebagian
dari kita. Padahal itu merupakan hakikat dirinya. Imam Khomeini pernah mengatakan
Menjadi ulama itu gampang tapi menjadi manusia itu amatlah sulit. Dengan mengetahui
esensi manusia akan mengantarkan seseorang kepada pengetahuan akan Tuhan.
Allah mengungkapkan tanda keagungan dan kekuaasaan-Nya melalui alam dan dalam
diri manusia. Sehingga kalau kita mengetahuinya dengan baik maka hidup kita pun akan baik.
Allah berfirman : Akan Kami perlihatkan kepada mereka ayat-ayat (Tanda-tanda Kekuasaan)
kami di ufuk (tepi langit) dan pada diri mereka sendiri. Sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
al-Quran ini sebenarnya (dari Allah). Tidakkah cukup bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas
tiap-tiap sesuatu. (QS. Al-Ankabut : 53)
Manusia adalah makhluk yang unik. Hingga kini fisiknya saja masih diteliti dan masih
banyak rahasia yang belum terpecahkan. Telebih lagi dari sisi jiwanya. Yang merupakan inti
dari segala hal. Dalam hadis banyak disebutkan tentang keutamaan marifatun nafs ini
(pengetahuan tentang hakikat diri). Misalnya, Imam Ali berkata, Barang siapa yang
mengetahui hakikat dirinya, maka dia telah mencapai puncak setiap makrifah dan ilmu.,
Janganlah kalian bodoh dengan tidak mengetahui hakikat diri kalian, karena kalau kalian
bodoh dengan itu berarti kalian bodoh dengan segala hal., Cukuplah pengetahuan seseorang
itu kalau mengetahui hakikat dirinya dan cukuplah kebodohannya kalau tidak tahu akan
hakikat dirinya.
Maulawi Rumi adalah termasuk orang yang mengetahui hakikat dirinya, sehingga dia
mencapai puncak makrifat dan keyakinan. Sebagaimana yang diutarakan dalam bait-bait

Insan Kamil dan Pluralisme |8

syairnya. Dalam bait pertama dia mengatakan : Karena itu, sementara dalam bentuk engkau
adalah mikrokosmos, pada hakikatnya engkau adalah makrokosmos.
Dari segi fisiknya, manusia adalah bagian dari makrokosmos, karena kita hidup di alam.
Kita membutuhkan makan, kita membutuhkan air, kita perlu sayuran, kita pun perlu untuk
makan daging. Apakah kebutuhan kita akan semua itu secara fitri dan tidak bisa dilepaskan
sampai kapan pun ? Atau makanan hanyalah sebagai penunjang saja agar kita bisa bertahan
hidup ? Dan alam diciptakan sebagai penunjang dalam hidup manusia ?
Rumi mengatakan bahwa dalam hakikatnya manusia, (bukan fisiknya) adalah
makrokosmos. Kita adalah alam lain yang lebih besar dari alam ini. Sebagaimana
perkataannya Imam Ali, Apakah kalian mengira kalian, hanya tubuh kecil ini,padahal kalian
adalah alam yang sangat besar.Aneh memang manusia itu lebih banyak meneliti hal-hal
diluar dirinya sedangkan hakikat dirinya sendiri tidak pernah diteliti, tidak pernah mencoba
meneropong kedalam jiwanya. Selanjutnya Maulawi Rumi menjelaskan lebih jauh dengan
sebuah perumpamaan :
Tampaknya ranting itu tempat tumbuhnya buah padahal ranting itu tumbuh justru demi
buah.
Beliau umpamakan bahwa manusia itu ibarat buah, dan buah merupakan hasil akhir dan
harapan petani penanam buah. Sedangkan alam ibarat ranting, ranting tercipta demi buah,
ranting hanyalah sebagai wasilah untuk tumbuhnya buah. Jadi yang paling penting itu adalah
buahnya bukan ranting atau pun pohon.
Sebagaimana sering disebutkan dalam Al-Quran bahwa alam diciptakan merupakan
tanda dari kasih sayang Allah akan manusia. Agar manusia bisa memanfaatkannya untuk lebih
mendekatkan dirinya kepada Allah. Jadi inti dari itu semua adalah alam diciptakan untuk
manusia, yang harus dijadikan sebagai perantara untuk mencapai ridha Allah.
Tapi sayang berapa banyak dari manusia ini yang menjadikan alam, materi, kekayaan
sebagai tujuan bukannya sebagai perantara penghantar kepada Tuhan.
Dan akibat dari itu adalah penyimpangan dan keserakahan untuk mendapatkan
kekayaan dengan menggunakan segala cara. Kita terkadang melebihi binatang untuk
mendapatkan hal yang kita inginkan. Kita banyak melakukan penyelewengan dalam
menggunakan alam. Yang semestinya kita gunakan untuk kemajuan kemanusiaan kita malah
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan demi menguasai alam. Sebagaimana Allah berfirman,
Apabila kami berikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan darinya (tidak
berterima kasih) tapi apabila ia tertimpa kejahatan, ia (berdoa) dengan doa yang panjang.
Tubuh kita hanyalah perantara, karena kita hidup di alam fisik, alam yang senantiasa
bebenturan dengan materi, Rumi melanjutkan : Kalau bukan mengharap dan menginginkan
tubuh betapa pekebun itu akan menanam pohon.
Pohon hanya sebagai perantara sang petani untuk mendapatkan buah, karena buah tidak
mungkin ada tanpa adanya pohon. Begitu juga hakikat manusia itu tidak akan bercahaya tanpa

Insan Kamil dan Pluralisme |9

melalui perantara tubuh kasar ini, tubuh harus mengikuti ruh, dan harus seiring dengan
ruh,jangan sampai tubuh dan tuntutannya (hawa nafsu) yang mengendalikan.
Kalau kita pandang sekilas nampaknya kita bagian dari alam, kita tidak bisa lepas dari
alam, tapi kalau kita teliti dan mencoba menganalisis lebih jauh rahasia-rahasia alam maka
akan nampak dan akan kita ketahui bahwa alam diciptakan untuk kita, alam berasal dari kita,
alam sebagai pemandu dan pengingat kita akan keagungan dan kebesaran sang pencipta,
sepertinya pohon tumbuh untuk melahirkan buah padahal pohon asalnya dari buah. Jadi
sekalipun pohon itu tampaknya yang melahirkan buah (tetapi) pada hakikatnya justru pohon
itulah yang lahir dari buah.
Maulawi belum menerangkan secara rinci akan hakikat manusia, dia baru menerangkan
bahwa kita adalah alam yang lain (makrokosmos lain) dan bukannya bagian dari alam, karena
alam yang ini diciptakan demi cintanya Allah pada manusia sebagai bukti, pengantar dan
pengingat akan kebesaran-Nya.
Hakikat manusia dalam kaca mata Rumi adalah debu, debu yang mengepul ketika kuda
lewat, debu yang mengecap sepatu kuda ketika kaki kuda menginjaknya.
Debu yang diinjak kaki sang kuda akan mengecap kaki kuda karena tidak mungkin jika
debu diinjak kaki kuda menimbulkan tanda dan cap yang lain, bukan kaki kuda. Manusia
seharusnya menjadi khalifah di alam dan bukannya perusak alam. Manusia seharusnya
merupakan Tajalli (Manisfestasi) dari keagungan sifat-sifatNya. Manusia seharusnya menjadi
khalifah dan duta kebesaran-Nya. Adakah manusia yang seperti itu ?
Jelas ada karena hakikat manusia yang sebenarnya adalah mereka, mereka yang sudah
mencapai maqam kedekatan kepada-Nya, merekalah orang-orang yang senantiasa menjaga
bumi, menjaga kelestarian alam dan penghuninya, merekalah yang senantiasa mengingatkan
kita kepada Pencipta alam yaitu Allah, merekalah para Nabi, para Imam dan para aulia Allah.
Kita harus menjadi debu di kaki-Nya. Karena seharusnya setiap individu adalah menjadi
debu di kaki-Nya. Agar kita menjadi hamba-Nya yang berserah diri seperti para wali Allah,
supaya kita menjadi mahkota diatas kepala raja, keagungan di atas keagungan.
Setiap individu adalah debu, Hanya telapak kaki kuda itu menjadi cap kaki-Nya di
atas debu, jadilah debu di kaki-Nya demi cap kaki kuda itu agar engkau dapat menjadi
Laksana mahkota di atas kepala raja.
Namun bagaimanakah caranya untuk mengetahui hakikat diri ini, setelah kita
mengetahui bahwa kita adalah makrokosmos dan alam sebagai wasilah kemudian hakikat kita
adalah debu di kaki-Nya ? Dan bagaimanakah agar supaya hakikat diri ini senantiasa ada dan
terpatri kuat dalam jiwa? Sehingga kita bisa menjadi mahkota di atas kepala raja ?
Karena mungkin saja banyak yang mengetahui hakikat diri tapi sayang hanya sekedar
isapan jempol belaka, karena makrifat ini memiliki standar dan ciri tersendiri yang akan selalu
tampak dalam sikap dan perbuatan kita sehari-hari, kita hanya terbiasa melihat bulan yang ada

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 10

di air. Kita terpaku dan terpana dengan melihat indahnya rembulan yang ada di air padahal
hakikat bulan ada di langit.
Maulawi Rumi dalam perkataannya yang lain, menerangkan tentang cara untuk
mencapai makrifah diri ini, dia mengatakan bahwa untuk mencapai makrifah ini adalah
dengan cara Taskiyatun nafs, membersihkan diri dari debu keegoisan, mensucikan diri dari
lumpur kemaksiatan dan mengosongkan diri dari selain-Nya.
Senantiasa menghiasi diri dengan mengingat-Nya.menerangi jiwa dengan selalu berbuat
baik, dan menanamkan asma-NYA dalam jiwa agar tidak gelap.
Sehingga dengan jelas akan terlihat jalan dan tidak pernah tersandung, jalannya akan
senantiasa lurus dan tidak pernah bengkok karena selalu dalam sinaran-Nya.
Hanya dengan mengosongkan diri dari selain-Nya dan menghiasi jiwa dengan
keagungan-Nya kita bisa tahu siapa diri ktia, apa hakikat diri kita yang sebenarnya. Kita harus
senantiasa berkontemplasi agar tahu hakikat diri kita dengan pasti. Rumi bertutur :
Oh sucikanlah seluruh jiwamu dari debu keegoisan bebaskanlah dirimu dari sifat
mementingkan diri sendiri sehingga kau lihat sendiri hakikat dirimu bersih tanpa noda,
lihatlah dalam lubuk hatimu pengetahuan para nabi tanpa buku, tanpa perantara, tanpa guru.
Itulah sosok Maulawi Rumi, Wali Allah yang telah mengetahui dirinya, telah
mengosongkan dirinya dari selain-Nya, telah sampai kepada kedudukan debu di kaki-Nya.
Sehingga dengan lancar dan gamblang menggambarkan kepada kita cara mengetahui dan
menjadi debu di kaki-Nya. Kita sebagai manusia yang tidak mengetahui kebutuhan jasadi saja
harus kembali merenungi perkataan sang maulawi, agar kita seperti dia, menjadi debu di kakiNya.
Akhirnya Maulawi mengungkapkan kekesalannya dengan mengungkapkan sebuah
cerita, yaitu dia merasa kesal karena tidak pernah bertemu dengan manusia.
Dia hanya selalu bertemu dengan hantu dan hewan-hewan yang menakutkan. Dia ingin
sekali bertemu dengan manusia. Dan ingin selalu mencarinya, walau pun butuh waktu yang
lama. Dia mengungkapkan kekesalannya dengan syairnya :
Kemarin sang tuan jalan-jalan keliling kota, dan lentera di tangannya. Ia berkata, aku
bosan dengan hantu dan hewan, aku rindu bertemu manusia, hatiku jenuh melihat sahabat
patah semangat. Aku ingin melihat singa Tuhan rastam putra zal, mereka berkata : kami telah
mencarinya dalam waktu yang panjang ia tak ditemukan ia Menjawab, Sesuatu yang tak
ditemukan itulah yang senantiasa aku cari.

c. Proses Munculnya Insan Kamil


Munculnya insan kamil dapat ditelusuri melalui dua sisi.Pertama melalui tahap-tahap
tajalli Tuhan pada alam sampai munculnya insan kamil.Kedua melalui maqamat (peringkat-

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 11

peringkat kerohanian) yang dicapai oleh seseorang sampai pada kesadaran tertinggi yang
terdapat pada insan kamil.
Tajalli Tuhan dalam pandangan Ibn Arabi mengambil dua bentuk: pertama tajalli
gaib atau tajalli ti yang berbentuk penciptaan potensi, dan kedua tajalli syuhdi
(penampakan diri secara nyata), yang mengambil bentuk pertama, secara intrinsik hanya
terjadi di dalam esensi Tuhan tersendiri. Oleh karena itu, wujudnya tidak berbeda dengan
esensi Tuhan itu sendiri karena ia tidak lebih dari suatu proses ilmu Tuhan di dalam esensiNya sendiri, sedangkan tajalli dalam bentuk kedua ialah ketika potensi-potensi yang ada di
dalam esensi mengambil bentuk aktual dalam berbagai fenomena alam semesta.[11]
Tajalli ti, menurut Ibn Arabi, terdiri dari dua martabat: pertama martabat ahadiyah dan
kedua martabat wahdiyah. Pada martabat ahadiyah, Tuhan merupakan wujud tunggal lagi
mutlak, yang belum dihubungkan dengan kualitas (sifat) apapun, sehingga ia belum dikenal
oleh siapapun. Esensi Tuhan pada peringkat ini, begitu kata Ibn Arabi, hanya merupakan
totalitas dari potensi (quwwah) yang berada dalam kabut tipis (al-am) yakni awan tipis
yang membatasi langit ahadiyah dan bumi keserbagandaan makhluk, yang identik dengan
nafs ar-Rahmn (nafas Tuhan yang Maha Pengasih).[12]
Wujud Tuhan dalam martabat ahadiyah masih terlepas dari segala kualitas dan pluralitas
apapun: tidak terkait dengan sifat, nama, rupa (rasm), ruang, waktu, syarat, sebab dan
sebagainya. Ia betul-betul transenden atas segala-galanya. Di dalam transendensi-Nya itu, ia
ingin dikenal oleh yang selain dari diri-Nya, maka diciptakan-Nya makhluk. Dari martabat
ahadiyah tajalli Tuhan akan berlanjut pada martabat-martabat di bawahnya sampai pada
martabat dimana Tuhan dapat dikenal oleh makhluk.[13]
Pada martabat wahidiyah Tuhan memanifestasikan diri-Nya secara ilahiah yang unik di
luar batas ruang dan waktu dalam citra sifat-sifat-Nya.Sifat-sifat tersebut terjelma dalam asma
Tuhan. Sifat-sifat dan asma itu merupakan satu kesatuan dengan hakikat alam semesta yang
berupa entitas-entitas laten (ayn sbitah). Bila sifat-sifat dan nama-nama itu dipandang dari
aspek ketuhanan, ia disebut asma ilhiyah (nama-nama ketuhanan), bila dipandang dari aspek
kealaman (makhluk), ia disebut asma kiyniyah (nama-nama kealaman). Aspek kedua, meski
dipandang satu dengan aspek pertama, ia juga merupakan tajalli dari aspek pertama, karena
pada asma kiyniyah itu asma Tuhan mengambil bentuk entitas (ain). Oleh karena itu, setiap
kali asma ilahi muncul, ia senantiasa berpasangan dengan asma kiyniyah sebagai wadah
tajalli-nya.[14] Ibn Arabi menjelaskan

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 12












Tatkala (Allah) menghendaki adanya alam terjadilah dari iradat suci itu suatu hakikat yang
disebut hab (materi prima).Kemudian Allah subhanahu ber-tajalli dengan nur-Nya pada
hab itu, yang oleh ahli pikir disebut al-hayla al-kull (materi universal), yang alam semesta
ini secara potensial dan serasi berada di dalamnya.Segala sesuatu dalam hab itu menerima
(nur) Allah menurut potensi dan kesediaannya masing-masing, seperti sudut-sudut sebuah
rumah menerima sinar lampu, yang lebih dekat kepada nur itu lebih terang dan lebih banyak
menerimanya.Tiada yang lebih banyak menerimanya di dalam hab itu daripada hakikat
Muhammad s.a.w., yang wujudnya dari nur ilahi itu, dari hab dan dari realitas
universal.[15]

Adapun yang pertama kali muncul pada tajalli syuhudi ialah al-jism al-kulli (jasad
universal) sebagai penampakan lahir dari nama Tuhan az-Zhir (Yang Maha Nyata).
Kemudian jasad universal tersebut mengambil bentuk asy-syakl al-kulli (bentuk universal)
sebagai efek dari tajalli Tuhan dengan nama-Nya al-Hakm (Yang Maha Bijaksana).
Selanjutnya Tuhan dengan nama-Nya al-Muhth (Yang Maha Melingkupi), asy-Syakr (Yang
Maha Melipatgandakan pahala), al-Gni (Yang Maha Kaya) dan Al-Muqtadir (Yang Maha
Memberi Kekuasaan) masing-masing menampakkan diri pada arasy (singgasana) Tuhan,
kursi, falak al-brj (falak bintang-bintang), dan falak al-manzil (falak berorbit). Setelah
falak al-manzil, secara berturut-turut muncul langit pertama hingga langit keenam dan langit
dunia. Kemudian muncul pula eter, api, udara, air, tanah, mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan,
malaikat, jin, manusia dan insan kamil. Masing-masing merupakan tajalli dari nama-nama
Tuhan: ar-Rabb (Yang Maha Mengatur), al-Alm (Yang Maha Mengetahui), al-Qhir (Yang
Maha Perkasa), an-Nr (yang bersinar), al-Musawwir (yang membentuk rupa), al-Muhs
(yang mencatat), al-matn (Yang Maha Kokoh), al-Qbid (yang membatasi), al-Hayy (Yang
Maha Hidup), al Muhy (Yang Menghidupkan), al-Mumt (Yang Mematikan), al-Azz (Yang
Maha Mulia), ar-Razzq (Yang Memberi rezki), al-Muill (Yang Menghina), al-Qaw (Yang
Maha Kuat), al-Latf (Yang Maha Halus), al-Jmi (Yang Menghimpunkan), Rfi ad-Darajt
(Yang Maha tinggi derajatnya). Pada peringkat insan kamil itu sempurnalah tajalli Tuhan pada
makhluk, karena pada insan kamil telah termanifestasi segenap sifat dan asma-Nya.[16]
Dari pembahasan di atas kelihatan bahwa hubungan antara tajalli bentuk pertama dan
yang sesudahnya merupakan suatu bentuk peralihan dari sesuatu yang potensial kepada yang
aktual dan ini terjadi secara abadi, karena tajalli ilahi tidak pernah berhenti pada suatu batas

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 13

perhentian.Tujuannya ialah agar Tuhan dapat dikenal lewat nama-nama dan sifat-sifat-Nya
pada alam semesta. Akan tetapi alam semesta ini berada dalam wujud yang terpecah-pecah,
sehingga tidak dapat menampung citra Tuhan secara utuh, hanya pada manusia citra Tuhan
dapat tergambar secara sempurna, yaitu pada insan kamil. Martabat insan kamil ini baru dapat
dicapai setelah melalui beberapa maqm (tingkat-tingkat kerohanian, jamaknya: maqmt).
Dalam perjalanan melalui tingkat-tingkat kerohanian itu sufi akan mengalami beberapa
keadaan batin (hl, jamaknya: ahwl).[17]
Maqmt adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh
para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan
spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia
yang dipandang berhala terbesar dan karena itu kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan
spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan
waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Sedangkan
ahwl sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan.Di antara ahwl yang
sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, takwa, ikhlas, gembira. Meskipun ada
perdebatan di antara para penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa
ahwl dialami secara spontan, berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha
sadar dan perjuangan keras seperti halnya maqmt, melainkan sebagai hadiah berupa kilatankilatan ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut lamaat.[18]
) ( :

Barwa Ahmad Tabanah berkata dalam Muqadimah Ihy Ulumudin karya al-Ghazali:
Seperempat bagian yang menyelamatkan (maqmt) dalam bab khauf (takut), raj
(berharap), sabar, syukur, kefakiran, zuhud, tauhid, tawakal, cinta, rindu, mesra, dan rida.[19]
Al-Kalabadzi menyebutkan 10 maqmt yaitu: tobat, zuhud, sabar, kefakiran, rendah
hati, tawakal, rida, cinta dan makrifat.[20] Tahap-tahap puncak yang dicapai oleh sufi dalam
perjalanan spiritualnya itu ialah ketika ia mencapai maqm makrifat dan mahabbah. Makrifat
dimulai dengan mengenal dan menyadari jati diri. Dengan mengenal dan menyadari jati diri,
niscaya sufi akan kenal dan sadar terhadap Tuhannya. Kesadaran akan eksistensi Tuhan
berarti mengenal Tuhan sebagai wujud hakiki yang mutlak, sedangkan wujud yang selain-Nya
adalah wujud bayangan yang bersifat nisbi. Wujud bayangan, sebenarnya hanya image belaka,
sehingga yang benar-benar ada ialah wujud Tuhan.[21]

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 14

Setelah menempuh segala maqm sampailah sufi kepada keadaan fan dan
baq.Dalam keadaan demikian, insan kembali kepada wujud asalnya, yakni wujud mutlak.
Fan adalah sirnanya kesadaran manusia terhadap segala alam fenomena, dan bahkan
terhadap nama-nama dan sifat-sifat Tuhan (fan an sift al-haqq), sehingga yang betul-betul
ada secara hakiki dan abadi (baq) di dalam kesadarannya ialah wujud mutlak. Untuk sampai
kepada keadaan demikian, sufi secara gradual, harus menempuh enam tingkat fan yang
mendahuluinya, yaitu:
1) Fan an al-Mukhlaft (sirna dari segala dosa). Pada tahap ini sufi memandang
bahwa semua tindakan yang bertentangan dengan kaidah moral sebenarnya berasal
dari Tuhan juga. Dengan demikian, ia mulai mengarah kepada wujud tunggal yang
menjadi sumber segala-galanya. Dalam tahap ini sufi berada dalam hadrah an-nr almahd (hadirat cahaya murni). Jika seseorang masih memandang tindakannya sebagai
miliknya yang hakiki, ini menandakan ia masih berada pada hadrah az-zulmah almahd (hadirat kegelapan murni).
2) Fan an afl al-ibd (sirna dari tindakan-tindakan hamba). Pada tahap sufi
menyadari bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan
dari balik tabir alam semesta. Dengan demikian sufi menyadari adanya satu agen
mutlak dalam alam ini, yakni Tuhan.
3) Fan an sift al-makhlqn (sirna dari sifat-sifat makhluk). Pada tahap ini sufi
menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin (contingent) tidak lain
adalah milik Allah. Dengan demikian, sufi menghayati segala sesuatu dengan
kesadaran ketuhanan, ia melihat dengan penglihatan Tuhan, mendengar dengan
pendengaran Tuhan, dan seterusnya.
4) Fan an kull az-zt (sirna dari personalitas diri). Pada tahap ini sufi menyadari noneksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar ada di balik dirinya ialah zat yang
tidak bisa sirna selama-lamanya.
5) Fan an kull al-alam (sirna dari segenap alam). Pada tahap ini sufi menyadari
bahwa segenap aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal, yang benarbenar ada hanya realitas yang mendasari fenomena.
6) Fan an kull m siw l-lh (sirna dari segala sesuatu yang selain Allah). Pada tahap
ini sufi menyadari bahwa zat yang betul-betul ada hanya zat Allah.[22]
Ketika sufi mencapai fan tahap keenam ia menyadari bahwa yang benar-benar ada
adalah wujud mutlak yang mujarrad dari segenap kualitas nama dan sifat seperti permulaan
keberadaan-Nya. Inilah perjalanan panjang sufi menuju ke asal. Kesadaran puncak mistis
seperti inilah yang dicapai insan kamil.

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 15

d. Kedudukan Insan Kamil


Insan kamil jika dilihat dari segi fisik biologisnya tidak berbeda dengan manusia
lainnya. Namun dari segi mental spiritual ia memiliki kualitas-kualitas yang jauh lebih tinggi
dan sempurna dibanding manusia lain. Karena kualitas dan kesempurnaan itulah Tuhan
menjadikan insan kamil sebagai khalifah-Nya.Yang dimaksud dengan khalifah bukan sematamata jabatan pemerintahan lahir dalam suatu wilayah negara (al-khilfah az-zhiriyyah) tetapi
lebih dikhususkan pada khalifah sebagai wakil Allah (al-khilfah al-manawiyyah) dengan
manifestasi nama-nama dan sifat-Nya sehingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.
Dalam pandangan Ibn Arabi, kedua bentuk khalifah diatas sama-sama mempunyai
urgensi dalam eternalisasi eksistensi alam semesta. Namun demikian, khilfah manawiyyah
menempati posisi paling asasi. Di satu sisi, ia merupakan fokus kesadaran diri Tuhan,
sementara disisi lain, ia merupakan sebab muncul dan lestarinya alam semesta. Posisi
demikian berlainan dengan khilfah zhiriyyah, yang fungsinya tidak lebih dari melestarikan
masyarakat dan negara, dengan menciptakan keadilan, ketentraman, dan kemakmuran dalam
masyarakat.Dengan demikian, tugas khilfah zhiriyyah ini merupakan penunjang tugas
khilfah manawiyyah. Ini bukan berarti khilfah zhiriyyah tersebut dapat diabaikan, karena
tanpa dia niscaya akan terjadi kegoncangan pada khilfah manawiyyah.[23]
Kedudukan khalifah pertama kali ditempati oleh Adam a.s. karena pada dirinya
termanifestasi nama-nama dan sifat Tuhan. Bahkan jabatan yang diduduki oleh Adam a.s. itu
(sebenarnya) tidak terlepas dari rekayasa Tuhan, seperti disebutkan dalam Alquran surat alBaqarah: 30.






Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesunggguhnya Aku hendak
menjadikan khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?
Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Qs. alBaqarah: 30).[24]
Jadi, keunggulan Adam a.s. yang menyebabkan ia diangkat oleh Tuhan sebagai khalifah
di sini bukan karena kesalehannya, tetapi karena dirinya dapat memanifestasikan asma dan
sifat-sifat Tuhan. Diakui bahwa malaikat adalah makhluk Tuhan yang senantiasa berada

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 16

dalam kesalehan, tetapi ia tidak dapat menyandang jabatan khalifah, karena dirinya tidak
mampu menerima tajalli ilahi secara sempurna, ia hanya dapat memanifestasikan salah satu
dari sifat dasar Tuhan: sifat jaml (maha indah) ataupun sifat jall (maha perkasa). Hal
demikian berlainan dengan Adam a.s., pada diri Adam termanifestasi sifat-sifat jaml, seperti
kasih sayang, santun dan pemurah; dan juga sifat jall, seperti perkasa, menjatuhkan hukuman
atas yang bersalah, dan bangga. Oleh sebab itu ketika Tuhan memerintahkan segenap malaikat
bersujud kepada Adam, maka semuanya bersujud kecuali Iblis. Ia menolak untuk melakukan
sujud karena kesombongannya, sehingga ia termasuk golongan kafir.[25] Alasan iblis tidak
mau sujud karena ia merasa dirinya lebih baik daripada Adam, ia dijadikan dari api sedangkan
Adam dari tanah.[26]
Iblis, kata Ibn Arabi, adalah suatu makhluk yang paling banyak dipengaruhi oleh daya
ilusi (al-quwah al-wahmiyah), sehingga ia terhalang dari kebenaran karena daya ilusi tersebut.
Maka ketika mendapat perintah dari Tuhan agar melakukan sujud kepada Adam, ia tidak
mematuhinya. Iblis disebut juga jin, yakni suatu kelompok alam gaib yang rendah (al-malkt
as-sufliyah), yang pada mulanya hidup bersama-sama malaikat-malaikat langit yang suci,
tetapi tidak dapat mencapai kebenaran mutlak karena terhalang oleh kebenaran nisbi, maka ia
pun termasuk golongan kafir.[27]
Di sisi lain, insan kamil dipandang sebagai orang yang mendapat pengetahuan esoterik
yang dikenal dengan pengetahuan rahasia (ilm al-asrr), ilmu ladunni atau pengetahuan
gaib.Pengetahuan esoterik, pada dasarnya identik dengan pengetahuan Tuhan sendiri.Oleh
karena itu orang yang bisa mencapainya hanyalah orang yang telah menyadari kesatuan
esensialnya dengan Tuhan, dalam hal fan dan baq. Jika seseorang telah dapat
mengosongkan aql dan qalbnya dari egoisme, keakuan, keangkuhan, dengan keikhlasan total
dan kemudian berusaha keras, dengan menyiapkan diri menjadi murid memohon Allah
mengajarkan kepadanya kebenaran, dan dengan aktif ia mengikuti aql dan qalbnya
merangkaikan berbagai realitas yang hadir dalam berbagai dimensinya, maka Tuhan hadir
membukakan pintu kebenaran dan ia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran itu, dan
ketika ia keluar, maka ia menjadi dan menyatu dengan kebenaran yang telah dimasukinya.[28]
Pengetahuan esoterik adalah karunia (mawhibat) dari Tuhan, setelah seseorang menempuh
penyucian diri (tazkiyah an-nafs).
Insan kamil juga dipandang sebagai wali tertinggi, atau disebut juga qutb (poros).
Dalam struktur hierarki spiritual sufi, quthb adalah pemegang pimpinan tertinggi dari para
wali. Ia hanya satu orang dalam setiap zaman. Qutb bisa pula disebut gaws (penolong), yang
termasuk orang yang paling dekat dengan Tuhan, quthb dikitari oleh dua orang imam yang

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 17

bertugas sebagai wazirnya.Di samping itu, ada pula empat orang awtd (pilar-pilar), yang
bertugas sebagai penjaga empat penjuru bumi, masing-masing dari empat orang awtd itu
berdomisili di arah timur, barat, utara, dan selatan dari kabah. Selain itu, terdapat tujuh orang
abdl (pengganti-pengganti), yang bertugas mengurus tujuh benua; dua belas orang nuqab
(pemimpin-pemimpin), yang mengatur perjalanan dua belas bintang; dan masih ada delapan
orang nujab (orang-orang yang mulia), hawriyn (para penolong), dan rajbiyn (wali-wali
yang hanya muncul pada bulan Rajab).[29]
Dari kajian di atas dapat dipahami bahwa insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang
berkedudukan sebagai khalifah dan sebagai wali tertinggi (qutb). Sebagai wadah tajalli Tuhan
ia merupakan sebab tercipta dan lestarinya alam, dalam kedudukannya sebagai khalifah ia
adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk memanifestasikan kemakmuran, keadilan, dan
kedamaian, dan dalam kedudukannya sebagai quthb, ia adalah sumber pengetahuan esoterik
yang tidak pernah kering.
e. Kedudukan Norma dalam Insan Kamil
Taklif syarak merupakan norma-norma keagamaan untuk menata kehidupan manusia
dalam hubungannya dengan Tuhan, sesamanya dan dengan makhluk lain. Kalau aturan-aturan
ini dilanggar atau tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya niscaya akan terjadi kekacauan
dalam kehidupan manusia. Pada aspek aksiologis, Tuhan merupakan wujud yang maha baik,
yang menyukai kebaikan, dan ingin menyebarkan kebaikan. Karena itu, ia memanifestasikan
diri-Nya dengan norma, hukum, atau wahyu. Jadi wahyu juga merupakan salah satu wadah
tajalli-Nya. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa syariat yang merupakan aktualisasi
dari wahyu itu mengandung nilai-nilai keilahian.[30]
Untuk mencapai martabat insan kamil, sufi harus mematuhi aturan-aturan formal
keagamaan, yang bersumber dari kitab suci Alquran dan sunnah Nabi Muhammad saw.
Pengetahuan dan tindakan yang tidak didukung oleh kitab suci dan sunnah Nabi saw.
merupakan pengetahuan dan tindakan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya, bahkan menyesatkan. Oleh sebab itu, jika seseorang memperoleh ilham, dia
harus mempertimbangkannya lebih dahulu atas kriteria kandungan Alquran dan sunnah; jika
ilham yang diperolehnya itu sesuai dengan kandungan Alquran dan sunnah, menandakan
ilham yang didapatnya itu datang dari Allah dan dia boleh melaksanakannya; tetapi kalau
ilham itu tidak sesuai dengan kandungan Alquran dan sunnah dia tidak boleh
mengamalkannya, karena boleh jadi ilham yang demikian bersumber dari bisikan iblis yang
menyusup ke dalam lubuk hatinya.[31]

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 18

Semakin tinggi martabat spiritual sufi bertambah sulit pula jalan yang ditempuh dalam
suluknya. Jalan berliku menanjak, petir menyambar, hujan mengguyur dalam gelap gulita
malam sementara tujuan belum tercapai ditambah godaan setan dari yang kasar sampai yang
halus menghanyutkan, sufi yang sudah kebal dengan rayuan setan kelas teri tentu diburu oleh
setan kelas kakap bahkan the big bos juga turun tangan. Dikisahkan pada suatu ketika Syekh
Abd al-Qadir al-Jilny melihat cahaya terang, di dalamnya terdapat penampakan yang
memanggil: Hai Abd al-Qadir, aku tuhanmu, aku halalkan untukmu segala yang diharamkan!
Dia menjawab: Aku berlindung dengan Allah dari setan yang dirajam, pergilah hai terkutuk!
Padamlah cahaya terang itu, setan yang mengaku tuhan itu berkata: Engkau telah selamat
dariku dengan hukum Tuhanmu dan kepahamanmu dalam mempertahankan martabat
spiritual. Padahal aku telah menyesatkan tujuh puluh ahli suluk dengan metode ini. Dia
menjawab: hanya milik Tuhanku segala keutamaan dan anugerah. Syekh ditanya: Dengan
apa engkau mengerti bahwa penampakan itu setan? Dia menjawab: Dengan ucapannya
telah kuhalalkan, untukmu segala yang diharamkan, maka aku segera mengerti sesungguhnya
Allah tidak memerintahkan dengan kejahatan.[32]
Abu Bakar al-Makky berkata: Para salik (penempuh spiritual) harus melakukan
syariah, thariqat, dan haqiqah. Syariah adalah perintah-perintah yang diperintahkan Allah dan
larangan-larangan yang dilarang Allah.Thariqah adalah melakukan dan mengamalkan
syariah.Haqiqah adalah memandang bahwa esensi dan penggerak perbuatan adalah Allah.
Pernyataan hanya kepada-Mu aku menyembah merupakan dimensi syariah dengan
memandang perbuatan lahir yang dilakukan hamba, dan pernyataan hanya kepada-Mu aku
memohon pertolongan merupakan dimensi haqiqah karena hamba memfankan daya
upayanya dengan menyadari segala perbuatan tidak akan terlaksana tanpa bantuan dan
kekuatan Allah.[33]
Insan kamil sebagai manusia sempurna tentu mematuhi norma taklif yang dibebankan
Allah. Tata laku lahir berupa norma taklif dirancang Allah untuk kebaikan manusia. Alquran
surat al-Bayyinah: 5 menjelaskan:





Artinya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Qs.
al-Bayyinah: 5)[34]

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 19

Pada aspek fikih bersuci atau tahrah merupakan syarat untuk melakukan berbagai ritual
ibadah. Bisa dibayangkan apabila tidak wudu, mandi wajib, apalagi jarang mandi karena
menjalani laku garingan tentu tubuh akan kotor, gatal dan ibadahpun menjadi tidak nyaman.
Puasa Ramadhan yang berupa kewajiban bagi orang-orang beriman juga memiliki efek positif
untuk kesehatan manusia. Demikian pula awmir (perintah-perintah) lain selalu menyimpan
kemaslahatan lahir batin manusia. Pada sisi lain nawhy (larangan-larangan) secara akurat
merusak fisik, moral dan tatanan sosial. Pencurian, korupsi, zina, penganiayaan terhadap
makhluk hidup dan perilaku melanggar norma yang lain tentu merusak tatanan individual
maupun kolektif.

B. PLURALITAS
Bersamaan dengan meninggalnya Gus Dur, isu pluralisme kembali menjadi
perbincangan.Presiden SBY pun secara khusus memberikan gelar Bapak Pluralisme untuk
Gus Dur.Padahal MUI sendiri dalam fatwanya No.7/MUNAS VII/MUI/11/2005 telah dengan
jelas-jelas menyebutkan bahwa pluralisme adalah paham yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam, dan umat Islam haram mengikuti paham tersebut. Bagaimana sesungguhnya
pluralisme itu dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya ?
Pluralisme didefinisikan sebagai paham yang mengakui adanya pemikiran beragam
-agama, kebudayaan, peradaban, dan lain-lain.Kadang-kadang pluralisme juga diartikan
sebagai paham yang menyatakan, bahwa kekuasaan negara harus diserahkan kepada beberapa
golongan (kelompok), dan tidak boleh dimonopoli hanya oleh satu golongan.Merujuk pada
definisi kedua ini, Ernest Gellner menyebut model masyarakat yang menjunjung tinggi
hukum dan hak-hak individu sebagai masyarakat sipil (civil society).Gellner juga menyatakan
bahwa civil society merupakan ide yang menggambarkan suatu masyarakat yang terdiri dari
lembaga-lembaga otonom yang mampu mengimbangi kekuasaan negara.
Kemunculan ide pluralisme terutama pluralisme agama- didasarkan pada sebuah
keinginan untuk melenyapkan truth claim yang dianggap sebagai pemicu munculnya
ekstrimitas, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan
antar umat agama atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan
mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap
agamanya paling benar (lenyapnya truth claim). Adapun dilihat dari cara menghapus truth
claim, kaum pluralis terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama berusaha
menghapus identitas agama-agama, dan menyerukan terbentuknya agama universal yang
mesti dianut seluruh umat manusia. Menurut mereka, cara yang paling tepat untuk menghapus
truth claim adalah mencairkan identitas agama-agama, dan mendirikan apa yang disebut

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 20

dengan agama universal (global religion). Sedangkan kelompok kedua menggagas adanya
kesatuan dalam hal-hal transenden (unity of transenden). Dengan kata lain, identitas agamaagama masih dipertahankan, namun semua agama harus dipandang memiliki aspek gnosis
yang sama. Menurut kelompok kedua ini, semua agama pada dasarnya menyembah Tuhan
yang sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Gagasan kelompok kedua ini
bertumpu pada ajaran filsafat perennial yang memandang semua agama menyembah Realitas
Mutlak yang sama, dengan cara penyembahan yang berbeda-beda.
Inilah gagasan-gagasan penting seputar ide pluralisme agama yang saat ini
dipropagandakan di dunia Islam melalui berbagai cara dan media, misalnya dialog lintas
agama, doa bersama, dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh
kebijakan pemerintah yang harus mengacu kepada HAM dan asas demokrasi.Negara
memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga Negara untuk beragama, pindah agama
(murtad), bahkan mendirikan agama baru.Setiap orang wajib menjunjung tinggi prinsip
kebebasan berfikir dan beragama, seperti yang dicetuskan oleh para penggagas paham
pluralisme.
Argumentasi Para Penggagas Pluralisme Agama dan Koreksinya.Meskipun ide
pluralisme baik yang beraliran agama global maupun kesatuan transenden ditujukan
untuk meredam konflik akibat adanya keragaman agama, dan truth claim, namun ide ini
ujung-ujungnya malah menambah jumlah agama baru dengan truth claim yang baru
pula.Wajar saja jika ide ini mendapat tantangan keras dari agama beserta pemeluknya,
terutama Islam dan kaum Muslim.Oleh karena itu, para pengusung gagasan pluralisme
berusaha dengan keras mencari pembenaran dalam teks-teks agama agar paham ini
(pluralisme) bisa diterima oleh kaum Muslim. Adapun alasan-alasan yang sering mereka
ketengahkan untuk membenarkan ide pluralisme tersebut adalah sebagai berikut:
A. Surat al-Hujurat Ayat 13
Allah swt telah berfirman;

Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan,
dan

Kami

menjadikan

kalian

berbangsa-bangsa

dan

bersuku-suku

agar

saling

mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling
bertaqwa di sisi Allah. (al-Hujurat:13).
Menurut kaum pluralis, ayat ini menunjukkan adanya pengakuan Islam terhadap ide
pluralisme.
Koreksi:

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 21

Pada dasarnya, ayat ini sama sekali tidak berhubungan dengan ide pluralisme agama
yang diajarkan oleh kaum pluralis. Ayat ini hanya menjelaskan keberagaman (pluralitas) suku
dan bangsa. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Islam mengakui klaim-klaim
kebenaran (truth claim) dari agama-agama, isme-isme, dan peradaban-peradaban selain
Islam. Ayat ini juga tidak mungkin dipahami, bahwa Islam mengakui keyakinan kaum pluralis
yang menyatakan, bahwa semua agama yang ada di dunia ini menyembah Satu Tuhan, seperti
Tuhan yang disembah oleh kaum Muslim. Ayat ini juga tidak mungkin diartikan, bahwa Islam
telah memerintahkan umatnya untuk melepaskan diri dari identitas agama Islam, dan
memeluk agama global (pluralisme). Ayat ini hanya menerangkan, bahwa Islam mengakui
adanya pluralitas (keragaman) suku dan bangsa, serta identitas-identitas agama selain Islam;
dan sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme.
Agar kita bisa memahami makna ayat tersebut di atas, ada baiknya kita simak kembali
penjelasan para mufassir yang memiliki kredibilitas ilmu dan ketaqwaan.
Dalam kitab Shafwaat al-Tafaasir, Ali al-Shabuniy menyatakan, Pada dasarnya, umat
manusia diciptakan Allah swt dengan asal-usul yang sama, yakni keturunan Nabi Adam as.
Tendensinya, agar manusia tidak membangga-banggkan nenek moyang mereka.Kemudian
Allah swt menjadikan mereka bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, agar mereka saling
mengenal dan bersatu, bukan untuk bermusuhan dan berselisih.Mujahid berkata, Agar
manusia mengetahui nasabnya; sehingga bisa dikatakan bahwa si fulan bin fulan dari kabilah
anu. Syekh Zadah berkata, Hikmah dijadikannya kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa
agar satu dengan yang lain mengetahui nasabnya. Sehingga, mereka tidak menasabkan kepada
yang lain.Akan tetapi semua itu tidak ada yang lebih agung dan mulia, kecuali keimanan
dan ketaqwaannya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, Barangsiapa menempuhnya ia akan
menjadi manusia paling mulia, yakni, bertaqwalah kepada Allah.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa surat Hujurat ayat 13 hanya
menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya pluralitas (keragaman) suku, bangsa, agama, dan
lain-lain. Adanya keragaman suku, bangsa, bahasa, dan agama merupakan perkara
alami.Hanya saja, Islam tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama adalah sama-sama
benarnya. Islam juga tidak pernah mengajarkan bahwa semua agama menyembah Tuhan yang
sama, meskipun cara penyembahannya berbeda-beda. Bahkan, Islam menolak klaim
kebenaran yang dikemukakan oleh penganut-penganut agama selain Islam, dan menyeru
seluruh umat manusia untuk masuk ke dalam Islam, jika mereka ingin selamat dari siksa api
neraka.

Perhatikan

ayat-ayat

berikut

ini;


( )
( )( )

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 22

)
( )
(
Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka
membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu.Engkau berada di atas jalan
yang benar. Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian
kerjakan. Rabb akan memutuskan apa yang kami perselisihkan di hari akhir. Apa mereka tidak
tahu bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan bumi. Semua itu ada di dalam
pengetahuanNya , semua itu mudah bagi Allah. Mereka menyembah selain Allah tanpa
keterangan yang diturunkan Allah, tanpa dasar ilmu.Mereka adalah orang-orang dzalim yang
tidak mempunyai pembela. (al-Hajj:67-71).
Ayat ini dengan tegas menyatakan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas
(keragaman) agama.Hanya saja, Islam tidak pernah mengakui kebenaran (truth claim) agamaagama selain Islam.Tidak hanya itu saja, ayat ini juga menegaskan bahwa agama-agama
selain Islam itu sesungguhnya menyembah kepada selain Allah swt. Lalu, bagaimana bisa
dinyatakan, bahwa Islam mengakui ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama
adalah sama-sama benarnya, dan menyembah kepada Tuhan yang sama?
Di ayat yang lain, al-Quran juga menegaskan bahwa agama yang diridloi di sisi Allah
swt hanyalah agama Islam.


Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam. (Ali Imron:19).


Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi. (Ali
Imron:85).
Pada tempat yang lain, Allah swt menolak klaim kebenaran semua agama selain Islam,
baik Yahudi dan Nashrani, Zoroaster, dan lain sebagainya.Al-Quran telah menyatakan
masalah ini dengan sangat jelas.


Dan diantara manusia ada yang mendewa-dewakan selain daripada Allah, dan
mencintainya sebagaimana mencintai Rabb, lain dengan orang yang beriman, mereka lebih
mencintai Allah.Kalau orang lalim itu tahu waktu melihat adzab Allah niscaya mereka sadar
sesungguhnya semua kekuatan itu milik Allah, dan Allah amat pedih siksaNya.(alBaqarah:165).

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 23





Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putera Allah dan orang Nasrani berkata: Al
Masih itu putera Allah.Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka
meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.Dila`nati Allah-lah mereka; bagaimana
mereka sampai berpaling? (al-Taubah:30)

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya
disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia.

Maha

Suci

Allah

dari

apa

yang

mereka

persekutukan.

(al-Taubah:31)



Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: Kami ini adalah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya. Katakanlah: Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosadosamu? (Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah
manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya.Dia mengampuni bagi siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah
kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali
(segala sesuatu). (al-Maidah:18)

Sungguh telah kafir, mereka yang mengatakan, Tuhan itu ialah Isa al-Masih putera
Maryam.(al-Maidah:72)
Ayat-ayat di atas dan masih banyak ayat yang lain menyatakan dengan sangat jelas
(qathiy), bahwa Islam telah menolak truth claim semua agama selain Islam. Islam juga
menyatakan dengan tegas, bahwa konsepsi Ketuhanan Islam berbeda dengan agama selain
Islam yang ada pada saat ini, alias tidak sama. Sedangkan agama Yahudi dan Nashraniy
sebelum disimpangkan oleh penganutnya, dahulunya masih memiliki konsepsi ketuhanan
yang sama dengan agama Islam, yakni tauhid. Hanya saja, karena keculasan para
penganutnya, akhirnya dua agama menyimpang jauh dari konsepsi tauhid. Dari sini bisa

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 24

dipahami, bahwa Islam tidak sama dengan agama yang lain yang ada pada saat ini, baik dari
sisi cara penyembahan (bentuk empirik), maupun konsepsi ketuhanannya (aspek gnosis).
Fakta nash telah menunjukkan kesimpulan ini dengan sangat jelas. Oleh karena itu,
menyamakan Islam dengan agama selain Islam jelas-jelas keliru dan menyesatkan, bahkan
terkesan dipaksakan.
Seandainya ide pluralisme agama ini memang diakui di dalam Islam, berarti, tidak ada
satupun orang yang masuk ke neraka dan kekal di dalamnya. Padahal, al-Quran telah
menjelaskan dengan sangat jelas, bahwa orang Yahudi, Nashrani, dan kaum Musyrik, tidak
mungkin masuk ke surganya Allah, akan tetapi mereka kekal di dalam neraka. Perhatikan ayat
berikut ini.



Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali
orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani. Demikian itu (hanya) angan-angan
mereka yang kosong belaka. Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah
orang yang benar. (al-Baqarah:111)
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa surat al-Hujurat ayat 13 bukanlah
pembenar bagi ide pluralisme agama. Ayat tersebut hanya berbicara pada konteks pluralitas
suku, bangsa, dan agama, dan sama sekali tidak berbicara pada konteks gagasan pluralisme,
seperti yang diklaim para pengusung ide pluralisme. Bahkan, nash-nash al-Quran jelas-jelas
telah menyatakan pertentangan Islam dengan ide pluralisme.
Demikianlah, Islam sama sekali tidak mengakui kebenaran ide pluralisme, baik ide
agama global maupun kesatuan transenden. Islam hanya mengakui adanya pluralitas agama
dan keyakinan, serta mengakui adanya identitas agama-agama selain Islam. Islam tidak
memaksa pemeluk agama lain untuk masuk Islam. Mereka dibiarkan memeluk keyakinan dan
agama mereka.Hanya saja, pengakuan Islam terhadap pluralitas agama tidak boleh dipahami
bahwa Islam juga mengakui kebenaran (truth claim) agama selain Islam.
Adapun untuk memecahkan masalah pluralitas agama dan keyakinan, Islam memiliki
sikap dan pandangan yang jelas; yakni mengakui identitas agama-agama selain Islam, dan
membiarkan pemeluknya tetap dalam agama dan keyakinannya. Islam tidak akan
melenyapkan identitas agama-agama selain Islam, seperti gagasan kelompok pluralis pertama
(global religion).
Akhirnya, pluralisme adalah paham sesat yang bertentangan aqidah Islam.Siapapun
yang mengakui kebenaran agama selain Islam, atau menyakini bahwa orang Yahudi dan
Nashrani masuk ke surga, maka dia telah murtad dari Islam.
B. Islam Tidak Memaksa Manusia untuk Masuk ke Dalam Agama Islam

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 25

Ayat lain yang sering digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme adalah ayat;



Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat
kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (alBaqarah:256)
Surat al-Baqarah ayat 256 ini sering dieksploitasi untuk membenarkan ide pluralisme.
Mereka menyatakan, Islam tidak memaksa pemeluk agama lain untuk masuk ke dalam Islam,
bahkan mereka dibiarkan tetap dalam agama mereka. Ini menunjukkan, bahwa Islam
mengakui kebenaran agama selain Islam (pluralisme), tidak hanya sekedar mengakui
pluralitas (keragaman) agama.
Koreksi:
Sesungguhnya, ayat ini tidak bisa digunakan dalil untuk membenarkan ide pluralisme.
Ayat ini hanya berbicara pada konteks tidak ada pemaksaan bagi penganut agama lain untuk
masuk Islam. Sebab, telah tampak kebenaran Islam melalui hujjah dan dalil yang nyata. Oleh
karena itu, Islam tidak akan memaksa penganut agama lain untuk masuk Islam. Ayat ini sama
sekali tidak menunjukkan, bahwa Islam membenarkan keyakinan dan ajaran agama selain
Islam. Bahkan, ayat ini telah menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa kebenaran itu ada di
dalam agama Islam, sedangkan agama yang lain jelas-jelas bathilnya. Hanya saja, kaum
Muslim tidak diperbolehkan memaksa penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan
al-diin pada ayat di atas (al-Baqarah:256) adalah al-mutaqid wa al-millah (keyakinan dan
agama). Sedangkan kandungan isi ayat ini, seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Katsir
dalam Tafsir Ibnu Katsir, adalah; sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh memaksa orang
kafir untuk masuk Islam. Sebab, kebenaran Islam telah terbukti berdasarkan hujjah yang
terang dan gamblang; sehingga, tidak perlu lagi memaksa para penganut agama lain untuk
masuk ke dalam Islam.
Ayat ini tidak berhubungan sama sekali dengan ide pluralisme yang diusung oleh kaum
pluralis. Bahkan, ayat ini menyatakan dengan jelas, bahwa Islam adalah agama yang paling
benar, sekaligus menolak truth claim agama-agama selain Islam. Tidak adanya pemaksaan
atas penganut agama lain untuk masuk Islam hanya menunjukkan bahwa Islam mengakui
identitas agama mereka. Akan tetapi, Islam tidak mengakui sama sekali truth claim agama

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 26

mereka. Bahkan, kaum Muslim diperintahkan untuk mengajak orang-orang kafir masuk ke
dalam

agama

Islam

dengan

hujjah

dan

hikmah.



Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu
dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu.Engkau berada di atas jalan yang benar. (alHajj:67)
C. Surat al-Maidah : 69 dan Surat al-Baqarah: 62
Dua ayat ini juga sering digunakan dalil oleh kaum pluralis untuk membenarkan paham
pluralisme. Mereka menyatakan, bahwa dua ayat ini menyatakan dengan sangat jelas, bahwa
Islam mengakui kebenaran agama-agama selain Islam, bahkan mereka juga memiliki kans
yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt. Dua ayat tersebut adalah:



Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan


orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(al-Maidah:69)





Sesungguhnya orang-orang mumin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang
Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian
dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. (al-Baqarah:62).
Sesungguhnya, ayat ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan penganut agama lain
yang ada pada saat ini. Sebab, topik yang diperbincangkan ayat tersebut adalah umat-umat
terdahulu sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa
umat-umat terdahulu, baik Yahudi, Nashrani, Shabiun, yang taat kepada ajaran agamadan
Rasulnya, maka mereka akan mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Akan tetapi, ayat di atas
tidak menunjukkan pengertian, bahwa Islam mengakui truth claim agama-agama lain yang
ada pada saat ini, baik Yahudi, Nashrani, Zoroaster, dan sebagainya. Dua ayat di atas tidak
menunjukkan pengertian, bahwa pemeluk agama lain yang ada pada saat ini juga memiliki

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 27

kans yang sama untuk masuk ke dalam surganya Allah swt, seperti halnya pemeluk agama
Islam. Sebab, nash-nash al-Quran dan Sunnah dengan jelas menyatakan, bahwa setelah
diutusnya Mohammad saw, seluruh manusia diperintahkan untuk meninggalkan agama
mereka. Bahkan, Islam telah menjelaskan kesesatan dan kekafiran semua agama yang ada
pada saat ini; baik agama Yahudi, Nashrani, maupun agama kaum Musyrik (Budha, Hindu,
Konghucu,

dan

lain-lain).

Untuk menafsirkan surat al-baqarah ayat 62, ada baiknya kita simak penuturan ahli tafsir
berikut ini:
Menurut al-Sudiy, ayat ini (al-Baqarah: 62) turun berkenaan dengan shahabatshahabatnya (pendeta-pendeta) Salman al-Farisi; tatkala ia menceritakan kepada Nabi saw
kebaikan-kebaikan mereka. Salman ra bercerita kepada Nabi saw, Mereka mengerjakan
sholat, berpuasa, dan beriman kepada kenabian Anda, dan bersaksi bahwa Anda akan diutus
oleh Allah swt sebagai seorang Nabi. Tatkala Salman selesai memuji para shahabatnya, Nabi
saw bersabda, Ya Salman, mereka termasuk ke dalam penduduk neraka. Selanjutnya, Allah
swt menurunkan ayat ini. Lalu hal ini menjadi keimanan orang-orang Yahudi; yaitu, siapa saja
yang berpegang teguh terhadap Taurat, serta perilaku Musa as hingga datangnya Isa as (maka
ia selamat). Ketika Isa as telah diangkat menjadi Nabi, maka siapa saja yang tetap berpegang
teguh kepada Taurat dan mengambil perilaku Musa as, namun tidak memeluk agama Isa as,
dan tidak mau mengikuti Isa as, maka ia akan binasa. Demikian pula orang Nashraniy. Siapa
saja yang berpegang teguh kepada Injil dan syariatnya Isa as hingga datangnya Mohammad
saw, maka ia adalah orang Mukmin yang amal perbuatannya diterima oleh Allah swt. Namun,
setelah Mohammad saw datang, siapa saja yang tidak mengikuti Nabi Mohammad saw, dan
tetap beribadah seperti perilakunya Isa as dan Injil, makaia akan mengalami kebinasaan.
Imam Ibnu Katsir menyatakan, Setelah ayat ini diturunkan, selanjutnya Allah swt
menurunkan surat, Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi.[Ali
Imron:85]. Ibnu Abbas menyatakan, Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satupun jalan
(agama, kepercayaan, dll), ataupun perbuatan yang diterima di sisi Allah, kecuali jika jalan
dan perbuatan itu berjalan sesuai dengan syariatnya Mohammad saw. Adapun, umat
terdahulu sebelum nabi Mohammad diutus, maka selama mereka mengikuti ajaran nabi-nabi
pada zamanya dengan konsisten, maka mereka mendapatkan petunjuk dan memperoleh jalan
keselamatan. Inilah pengertian surat al-Baqarah:62; dan surat al-Maidah:59.
Dari uraian di atas jelaslah, dua ayat di atas ditujukan kepada umat-umat terdahulu
sebelum diutusnya Nabi Mohammad saw. Topiknya sangat jelas, bahwa umat-umat terdahulu
yang mengikuti agama nabinya dengan konsisten pada zaman itu; semisal umat Yahudi yang
konsisten mengikuti kitab Taurat, menyakini dan menjalankan isinya, maka mereka akan

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 28

mendapatkan pahala di sisi Allah swt. Adapun setelah Nabi Mohammad saw diutus di muka
bumi ini, maka tidak ada satupun agama selain Islamyang mampu menyelamatkan
pemeluknya dari kekafiran, kecuali jika mereka mau memeluk Islam. Ayat ini sama sekali
tidak menunjukkan, bahwa ahlul kitab dan kaum musyrik setelah diutusnya Mohammad saw
terkategori muslim, dan berhak memperoleh pahala dari Allah swt.
Selain itu, pemelintiran makna yang dilakukan oleh kelompok pluralis terhadap ayatayat itu [al-Baqarah:62 dan al-Maidah:69], tentu saja akan bertolak belakang dengan sabda
Rasulullah saw. Rasulullah saw bersabda, Demi Dzat yang jiwa Mohammad ada di
tanganNya, tidaklah seseorang dari manusia yang mendengar aku, Yahudi, dan Nashrani,
kemudian mati, sedangkan ia tidak beriman dengan apa yang diturunkan kepadaku, kecuali ia
menjadi penghuni neraka. [HR. Muslim dan Ahmad]
Rasulullah saw bersabda, Tidak ada nabi, di antara aku dan ia, yakni Isa as,
sesungguhnya ia adalah tamu. Bila kalian melihatnya, maka kalian akan mengenalnya sebagai
seorang laki-laki yang mendatangi sekelompok kaum yang berwarna merah dan putih, seakan
kepalanya turun hujan, bila ia tidak menurunkan hujan, maka akan basah, Dan ia akan
memerangi manusia atas Islam, menghancurkan salib, membunuhi babi, mengambil jizyah,
saat itu Allah menghancurkan seluruh agama kecuali Islam, sedangkan Isa as menghancurkan
Dajjal. Dan ia berada di muka bumi selama 40 tahun, kemudian wafat dan kaum muslimin
mensholatkannya. (HR. Abu Dawud)
Al-Quran sendiri telah memberikan predikat Ahli Kitab Yahudi dan Nashranisebagai
orang-orang musyrik. Allah swt berfirman: Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan. (al-Taubah:31). Redaksi sebelumnya dinyatakan, bahwa orang-orang Yahudi
berkata, Uzair adalah putera Allah dan orang Nashrani berkata, Al Masih putera Tuhan.
Ayat ini menjelaskan kepada kita, bahwa orang-orang Yahudi dan Nashrani terkategori
kaum musyrik, bukan Muslim.Lantas, bagaimana bisa disimpulkan; kaum Yahudi dan
Nashrani yang ada sekarang ini terkategori Muslim dan berhak mendapatkan pahala dari
Allah swt, sementara itu mereka telah kafir dan musyrik? Bukankah Allah swt telah berfirman
di dalam al-Quran:
Oleh karena itu, siapa yang mempersekutukan Allah, maka ia tidak diperkenankan oleh
Allah masuk surga, dan tempat kembalinya adalah neraka.(al-Maidah:72).
Sungguh telah kafir mereka yang mengatakan bahwa Tuhan itu ketiga dari yang ke
tiga, padahal Tuhan itu hanya satu.Jika mereka belum berhenti berkata demikian, tentulah
mereka yang kafir itu, akan mendapat siksa yang sangat pedih. (al-Maidah:73)
Sesungguhnya agama yang diridloi di sisi Allah hanyalah Islam.(Ali Imron:19)

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 29

Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akherat termasuk orang-orang yang merugi. (Ali
Imron:85).
Dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa surat al-Baqarah ayat 62 dan surat
al-Maidah ayat 59 sama sekali tidak berhubungan dengan paham pluralisme.
D. Ayat Tentang Kalimatun Sawa
Para pengusung ide pluralisme juga menggunakan ayat-ayat al-Quran yang berbicara
tentang kalimatun sawa.




Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan
sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada
mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).
(Ali Imron:64])
Para pengusung gagasan pluralisme mengatakan, bahwa agama Yahudi, Kristen, dan
Islam merupakan agama langit yang memiliki prinsip-prinsip ketuhanan dan berasal dari
Tuhan yang sama. Lebih jauh mereka juga menyatakan, bahwa umat Islam, Yahudi, dan
Kristen berasal dari keturunan Ibrahim as; sehingga ketiga pemeluk agama besar itu memiliki
akar kesejarahan dan nasab yang sama. Mereka pun menyimpulkan, bahwa tidak ada
perbedaan antara Islam, Yahudi, dan Nashraniy dalam masalah ketuhanan.Semua menyembah
kepada Allah, dan sama-sama berpegang kepada kalimat sawa. Dengan kata lain, Islam pun
pada dasarnya mengakui kebenaran konsep ketuhanan agama Yahudi dan Kristen sekarang
ini. Akhirnya, agama Yahudi, Kristen, dan Islam adalah sama-sama benarnya dan sama-sama
punya kans masuk ke surganya Allah swt. Sesungguhnya, penafsiran kaum pluralis tersebut,
benar-benar telah menyimpang jauh dari makna sebenarnya.
Untuk mengetahui makna hakiki dari frase kalimat sawa, kita dapat merujuk kepada
ulama tafsir yang lebih kredibel dan netral dari kepentingan barat, diantaranya adalah Imam
Ibnu Katsir.
Menurut Ibnu Katsir, frase kalimat di dalam surat Ali Imron ayat 64 tersebut dipakai
untuk menyatakan kalimat sempurna yang dapat dipahami maknanya. Kalimat sempurna itu
adalah sawaa bainanaa wa bainakum (yang sama, yang tidak ada perbedaan antara kami
dengan kalian). Frase ini merupakan sifat yang menjelaskan kata kalimat yang memiliki

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 30

makna dan pengertian tertentu.Adapun makna hakiki yang dituju oleh frase kalimatun
sawaa sawaa bainanaa wa bainakum adalah kalimat tauhid, yaitu allaa nabudu illaa AlAllah (hendaknya kita tidak menyembah selain Allah). Inilah makna sesungguhnya dari
kalimat sawa, yaitu kalimat Tauhid; yang menyatakan bahwa tidak ada sesembahan (ilah)
yang berhak untuk disembah kecuali Allah swt; bukan patung, rahib, api, dan sebagainya.
Kalimat ini (kalimat tauhid) adalah kalimat yang dibawa dan diajarkan oleh seluruh Rasul
yang diutus oleh Allah swt, termasuk di dalamnya Musa as dan Isa as. Allah swt berfirman:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu. (al-Nahl:36)

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami
wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka
sembahlah olehmu sekalian akan Aku. (al-Anbiyaa:25)
Dari sini dapat disimpulkan, bahwa surat Ali Imron ayat 64 di atas sama sekali tidak
menyerukan kesatuan agama, atau pembenaran Islam atas truth claim agama-agama selain
Islam. Sebaliknya, ayat tersebut justru berisikan ajakan kepada ahlul kitab (baik Yahudi dan
Nashraniy) untuk kembali mentauhidkan Allah swt, sebagaimana yang telah diajarkan
pertama kali oleh Musa as dan Isa as.Sebab, kaum Yahudi dan Nashrani telah menyimpang
jauh dari konsepsi Tauhid.Mereka telah menjadikan ahbar (pendeta-pendeta) dan ruhban
(rahib-rahib) sebagai sesembahan selain Allah swt.Hal ini telah dijelaskan di dalam al-Quran
dengan sangat jelas. Allah swt berfirman:

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain
Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya
disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (al-Taubah:31)
Walaupun ayat ini tidak menyatakan, bahwa ahbar itu ditujukan khusus untuk kaum
Yahudi, dan ruhban untuk kaum Nashrani, akan tetapi konsensus pengguna bahasa Arab telah
memahami, bahwa dua kata tersebut khusus untuk orang Yahudi dan Nashrani.

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 31

Dari sinilah bisa dipahami, bahwa ayat ini merupakan seruan kepada orang Yahudi dan
Nashrani agar mereka kembali ke jalan Tauhid, setelah mereka menyimpang jauh dari jalan
tersebut (tauhid); yaitu ketika orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah, dan
tatkala orang Nashrani mengatakan bahwa Isa as adalah putera Tuhan. Surat Ali Imron di atas
tidak lain tidak bukan adalah ajakan agar orang Yahudi dan Nashraniy meninggalkan
kemusyrikannya dan kembali menyembah kepada Allah swt semata, dan mengikuti ajaran
Mohammad saw.
Demikianlah, ayat ini sama sekali tidak berbicara pada konteks kesatuan dan kesamaan
agama seperti yang dinyatakan oleh kaum pluralis. Ayat ini sama sekali juga tidak
menunjukkan, bahwa Islam mengakui gagasan pluralisme yang dijajakan di negeri kaum
Muslim. Sebaliknya, ayat ini merupakan ajakan dan seruan kepada ahlul kitab agar mereka
kembali kepada jalan yang lurus, yakni agama Tauhid seperti yang telah diajarkan oleh Musa
dan Isa as.WaLlh alam bi al-shawb (Syamsuddin Ramadhan - Lajnah Tsaqafiyyah HTI).

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 32

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Insan Kamil merupakan manusia yang telah memiliki gelar kesempurnaan. Dan salah
satu manusia yang sempurna itu adalah milik nabi Muhammad SAW.
Pluralitas hampir sama dengan toleransi. Ada banyak kaum yang melegalkan pluralitas,
namun dimata islam pluralitas itu adalah pemahaman yang jelek.
B.

SARAN

Berusahalah menjadi Insan Kamil. Paling tidak cara sederhananya, cukup mengikuti
syariat yang diajarkan oleh Allah melalui firmannya dan Rasulullah melalui As-Sunnah nya.
Pluralitas jangan kita anggap sepele, karena melalui pluralitas, terkadang kita ummat
islam terjerumus kedalam hal-hal yang menyesatkan

I n s a n K a m i l d a n P l u r a l i s m e | 33

DAFTAR PUSTAKA

Miftah. (2014). Konsep Insan Kamil dalam Perspektif Ibnu Arabi. [Online]. Tersedia :
http://alhassanain.org/indonesian/?com=content&id=911. [27 Oktober 2014]

Majalah Syiar terbitan Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta

Anda mungkin juga menyukai