Anda di halaman 1dari 8

Tinjauan Pustaka

PERANAN PLASMAFERESIS PADA KELAINAN


NEUROLOGI
ROLE OF PLASMAPHARESIS IN NEUROLOGY DISORDER

Meiti Frida*, Hendra Permana*

ABSTRACT
Abnormalities of neuro-immunological diseases are subjects that require further
understanding, mainly from the pathophysiology and management aspects. These are very rare
cases, but they tend to increase the disabilities and result in emergency conditions in neurology.
Various strategies have been developed for management based on the concepts of autoimmunity
and the mechanisms of neuromuscular transmission, so the chance for better prognosis can be
achieved. One of the treatment is plasmapheresis which many clinical studies have examined its
benefit in neurologic disorders. Moreover, there were some published clinical guidelines about the
use of plasmapheresis in autoimmune neurological diseases, such as Guillain Barre syndrome,
myasthenia gravis, and multiple sclerosis.
Keywords: immunology, plasmapheresis  
 
ABSTRAK
Kelainan sistem imunologi pada penyakit neurologi merupakan subjek yang
membutuhkan pemahaman lebih lanjut, baik dari aspek patofisiologi maupun manajemennya.
Kelompok penyakit ini sangat jarang, namun cenderung mengakibatkan kecacatan bahkan
kegawatan di bidang neurologi. Berbagai strategi pengobatan terbaru telah dikembangkan
berdasarkan konsep autoimunitas dan mekanisme transmisi neuromuskuler, sehingga diharapkan
prognosis penyakit menjadi lebih baik. Salah satu pengobatan yang telah dikenal adalah
plasmaferesis dan diteliti manfaatnya pada kelainan neuroimunologi. Selain itu juga telah
diterbitkan panduan klinis (clinical guidelines) penggunaan plasmaferesis pada penyakit neurologi
autoimun, seperti sindrom Guillain Barre, miastenia gravis, dan sklerosis multipel.
Kata kunci : imunologi, plasmaferesis

* Staf Pengajar Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK Universitas Andalas/RS. Dr. M. Djamil, Padang.
Korespondensi: meiti_frida@yahoo.com

PENDAHULUAN
Keterlibatan sistem imun pada kelainan neurologi telah menjadi salah satu subjek
yang membutuhkan pemahaman lebih lanjut, baik dari aspek patofisiologi maupun
manajemen. Walaupun kelompok penyakit ini sangat jarang, namun cenderung
mengakibatkan kecacatan bahkan kegawatan di bidang neurologi.1 Penyakit neurologi
dengan gangguan autoimun merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penderita
dirawat di intensive care unit (ICU).2 Diperkirakan sepertiga pasien neurologi dengan
etiologi non vaskuler yang dirawat di ICU mengalami gangguan autoimun (sindrom
Guillain Barre, miastenia gravis, sklerosis multipel, ensefalomielitis demielinisasi akut).3,4
Meningkatnya pemahaman mengenai dasar mekanisme transmisi neuromuskuler
dan autoimunitas telah mendorong berkembangnya strategi pengobatan yang baru.
Penyakit autoimun saat ini dapat diterapi dengan prognosis yang baik.5 Salah satu
pengobatan yang diperkenalkan adalah plasmaferesis, yang pertama kali dilaporkan oleh
Dau dan kawan-kawan lebih kurang tiga dekade lalu. Selanjutnya, cukup banyak
penelitian yang dilakukan dalam bentuk uji klinik terkontrol pada penyakit neurologi
autoimun, yang dapat menerangkan kepentingan terapeutik plasmaferesis dan penentuan

Neurona Vol. 30 No. 2 Maret 2013

 
Tinjauan Pustaka

panduan klinis (clinical guidelines) penggunaan plasmaferesis pada penyakit neurologi


autoimun.4,5,6
MEKANISME KERJA PLASMAFERESIS
Plasmaferesis merupakan teknik pemurnian darah ekstrakorporal untuk
mengeluarkan partikel dengan berat molekul besar dari plasma. Pengeluaran autoantibodi
sirkulasi, kompleks imun, sitokin, dan mediator inflamasi lainnya dianggap sebagai dasar
mekanisme kerja proses ini. Sitokin merupakan salah satu molekul yang potensial
menyebabkan kerusakan, dan dapat dikeluarkan melalui plasmaferesis.7,8,9
Prinsip plasmaferesis adalah pemisahan plasma dari komponen selular darah.
Proses ini dapat dicapai dengan memakai alat sentrifugasi atau filter darah permeabel.
Selama sentrifugasi kontinu atau intermiten, komponen darah akan terpisah karena
perbedaan densitas. Sedangkan pada ultrafiltrasi membran, pemisahan dilakukan
tergantung berat molekul. Pori membran filter plasma yang dipergunakan berdiameter
sampai 0,2 µm (sekitar 30 kali diameter pori membran hemofilter high flux), sehingga
memungkinkan pengeluaran substansi dengan berat molekul 3×106 Da, yang terdiri dari
imunoglobulin, kompleks imun, faktor komplemen, lipoprotein, dan endotoksin. Laju
produksi filtrat yang besar, akan mengakibatkan hemokonsentrasi yang memicu
pembentukan bekuan pada filter, sehingga prosedur ini membutuhkan akses vena sentral.
Selain itu, pemberian antikoagulan juga dibutuhkan untuk mencegah bekuan dengan dosis
yang lebih tinggi dari prosedur hemodialisis. Seringkali perlu dilakukan heparinisasi
sistemik untuk mencegah koagulasi.8
Sewaktu menggunakan teknik sentrifugasi, aliran darah sistemik minimal secara
umum menurun, dan kondisi ini membutuhkan akses vena perifer untuk melancarkan
aliran darah sistemik. Pada teknik sentrifugasi, antikoagulan sitrat lebih sering digunakan
dibandingkan heparin. Selain itu antikoagulan sitrat biasanya merupakan bagian
terintegrasi pada kebanyakan alat sentrifugasi. Plasmaferesis sentrifugal mengeluarkan
elemen non solid dari darah. Bagaimanapun, dibanding filtrasi membran, potensi
kehilangan elemen selular jauh lebih besar, terutama platelet. Efek bersihan murni
substansi dengan sentrifugasi sebanding dengan volume plasma yang dikeluarkan pada
waktu itu. Dengan teknik filtrasi, diperlukan peningkatan volume dengan koefisien
penyaringan membran untuk protein yang berbeda (rasio antara konsentrasi filtrat protein
dan plasma).7,8
Pada sebagian besar kondisi patologis yang membutuhkan pergantian plasma,
volume plasma diganti 1 sampai 1,5 per prosedur per hari. Durasi pengobatan rutin
mungkin diperpanjang, tergantung diagnosis dan kondisi pasien sendiri. Tidak ada
konsensus mengenai kriteria ideal jumlah plasma yang dikeluarkan selama plasmaferesis.
Kecuali pada sejumlah kasus seperti hemolytic uremic syndrome atau thrombotic
thrombocytic purpura dimana substitusi dilakukan dengan fresh frozen plasma (FFP),
penggantian koloid dapat dilakukan dengan FFP, albumin, albumin dan saline, atau
albumin dan larutan plasma expander. Dalam kegiatan rutin, tekanan onkotik pada pasien
dihitung dengan slide normogram, dan penggantian cairan iso onkotik yang dipakai
terdiri dari albumin manusia dan larutan elektrolit normal.7
Selain teknik filtrasi, teknik imunoadsorpsi merupakan metode baru yang
memungkinkan pengeluaran antibodi sirkulasi yang lebih selektif. Dengan ikatan pada
ligand, pengeluaran fraksi imunoglobulin dapat dilakukan. Setelah adsorpsi, komponen
selular darah dan plasma selanjutnya digabungkan dan dialirkan kembali. Teknik ini telah
dipakai pada beberapa penyakit neurologi, seperti sklerosis multipel dan miastenia
gravis.7,8

Neurona Vol. 30 No. 2 Maret 2013

 
Tinjauan Pustaka

EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI PLASMAFERESIS


Efek samping yang terjadi akibat plasmaferesis berkaitan dengan akses intravena,
pemakaian antikoagulan, atau cairan pengganti yang dipakai. Infus sitrat untuk
antikoagulasi atau bagian dari FFP dapat menyebabkan hipokalsemia atau gangguan
keseimbangan asam-basa (asidosis metabolik akibat pemecahan bikarbonat). Gejala
hipokalsemia mencakup parestesia, kram otot, dan aritmia jantung. Insiden hipokalsemia
bervariasi antara 1,5-9%. Plasmaferesis berulang dengan penggantian albumin dapat
menyebabkan penurunan faktor koagulasi dan imunoglobulin, serta meningkatkan risiko
perdarahan dan infeksi. Efek samping yang berkaitan dengan akses intravena adalah
infeksi dan septikemia, trombosis, serta pneumotoraks. Pada teknik filtrasi, bisa terjadi
hemolisis dan hipotensi. Selain itu, juga bisa terjadi transmisi viral pada penggantian
FFP, walaupun kasus ini sangat jarang.3,8
Kontraindikasi yang mutlak belum pernah dilaporkan dari berbagai studi.
Meskipun demikian, plasmaferesis dapat menyebabkan penurunan faktor koagulasi,
sehingga pasien yang berisiko tinggi untuk terjadi perdarahan tidak dianjurkan untuk
melakukan prosedur ini.3
PENGGUNAAN PLASMAFERESIS PADA PENYAKIT NEUROLOGI
Sindrom Guillain Barre
Sindrom Guillain Barre (SGB) merupakan gangguan saraf perifer berupa
polineuropati demielinisasi inflamasi, dengan manifestasi motorik dan sensorik (neuropati
motorik dan sensorik aksonal akut, serta neuropati motorik aksonal akut). Pada penyakit
ini terjadi proses imun yang menyerang sistem saraf berupa respon imun humoral dan
seluler. Etiologi SGB tersering adalah agen mikrobial Campylobacter jejuni. Sel T
teraktivasi akan bergerak sepanjang sawar darah otak dan mengalami reaktivasi in situ
sewaktu autoantigennya dipresentasikan oleh makrofag bersama dengan molekul major
histocompatibility complex II dan molekul ko-stimulasi lainnya. Autoantibodi akan
melintasi sawar darah otak dan menyerang struktur target secara langsung pada segmen
proksimal atau distal sel saraf dan menyebabkan inflamasi melalui sitotoksisitas dan
aktivasi komplemen (Gambar 1).8,10,11
Indikasi plasmaferesis pada kasus SGB adalah paralisis asenden yang ikut
mengenai ekstremitas atas atau paralisis dengan derajat yang berat, penurunan parameter
fungsional pulmoner atau sekitar 80% dari nilai normal, dan pemakaian respirator. 5
Mekanisme dasar plasmaferesis pada SGB terletak pada proses pengeluaran
autoantibodi sirkulasi, kompleks imun, sitokin, dan mediator inflamasi lainnya dari tubuh.
Beberapa efek lain dari plasmaferesis terhadap sistem imun adalah aktivitas
imunomodulator untuk mengubah rasio antibodi terhadap antigen sehingga dapat
mengubah kompleks imun menjadi lebih larut (soluble) dan mudah disingkirkan dari
tubuh. Selain itu plasmaferesis juga berperan mengeluarkan substansi patogen dengan
berat molekul besar dari ruang ekstravaskuler ke intravaskuler untuk selanjutnya
dieliminasi dari tubuh.12
Plasmaferesis dapat diberikan 1 sesi setiap hari selama 5 hari, dilanjutkan 5 kali
sesi setiap hari. Untuk penggantian plasma yang dibuang diberikan albumin 5% selama 3-
4 sesi awal, selanjutnya setengah volume plasma yang terbuang diganti dengan FFP.
Prosedur dapat dilanjutkan bila pasien masih tergantung dengan respirator. Pemberian
infus IgG (40 g) pada akhir plasmaferesis dapat membantu penyempurnaan
pengobatan.5,7,10,11

Neurona Vol. 30 No. 2 Maret 2013

 
Tinjauan Pustaka

Gambar 1. Respon imun humoral terhadap proses inflamasi pada neuropati10


Plasmaferesis telah diuji pada SGB dan terbukti bermanfaat. Terdapat dua studi
multisenter besar acak terkontrol tidak tersamar mengenai terapi plasmaferesi pada SGB.
Kedua studi tersebut menyimpulkan bahwa plasmaferesis dapat memperbaiki klinis dan
memperpendek masa rawatan pasien. Selain itu plasmaferesis juga bermanfaat jangka
panjang memperbaiki fungsi kekuatan otot setelah 1 tahun. Plasmaferesis dapat diberikan
pada SGB dengan derajat disabilitas yang bervariasi (ringan sampai berat). Terapi ini
paling bermanfaat bila dimulai dalam 7 hari onset, walaupun setelah 30 hari juga masih
memiliki manfaat memperbaiki klinis.5,7,10,11
Miastenia Gravis
Miastenia gravis (MG) merupakan kelainan autoimun yang menyerang
neuromuscular junction, yang ditandai dengan kelemahan motorik yang fluktuatif dan
progresif. Patogenesis penyakit ini adalah adanya autoantibodi sirkulasi yang menyerang
reseptor asetilkolin (Acetylcholine receptor=AchR). Mekanisme yang terjadi adalah
gangguan transmisi neuromuskuler akibat degradasi AchR dan gangguan pada muscle
specific tyrosine kinase (MuSK), dan gangguan ikatan neurotransmiter (Gambar 2).
Gangguan yang progresif tidak hanya akan mengenai otot-otot volunter, tetapi juga
menyerang otot polos saluran nafas dan jantung.3,5,10,12,13
Indikasi plasmaferesis pada MG adalah kelemahan motorik berat yang tidak
berespon terhadap terapi konvensional, pasien MG yang memerlukan terapi pembedahan
(timektomi), krisis miastenik. 4,5,12
Pemakaian plasmaferesis pada MG telah dipelajari, dan diperkirakan bermanfaat
pada krisis miastenik serta pada perioperatif dan post operatif timektomi pada MG.
Eliminasi antibodi terhadap AchR dan faktor humoral patologis lainnya merupakan dasar
penggunaan terapi ini.3,5,10,12
Mekanisme peranan plasmaferesis pada MG antara lain menyingkirkan antibodi
yang menyerang reseptor asetilkolin nikotinik. Diperkirakan eliminasi antibodi sirkulasi
AchR dan faktor humoral lain dapat memperbaiki kembali proses transmisi
neuromuskuler. Besarnya tingkat eliminasi antibodi patogen tergantung pada fraksi

Neurona Vol. 30 No. 2 Maret 2013

 
Tinjauan Pustaka

imunoglobulin di serum. Selain itu, proses penyingkiran secara komplet tidak bisa
dicapai. Hal ini menyebabkan perlunya prosedur yang berulang pada pasien.10,12
Plasmaferesis dapat diberikan sebesar 1,5 sesi per hari selama 5 hari. Untuk
plasma yang terbuang diganti dengan albumin 5%. Parameter penilaian pengobatan antara
lain kekuatan motorik pasien dan perubahan titer antibodi reseptor asetilkolin. Meskipun
demikian, titer antibodi reseptor asetilkolin tidak berkorelasi dengan derajat penyakit,
namun perubahan relatifnya dapat menggambarkan perbaikan klinis.3,5,10,13

Gambar 2. Proses reaksi antibodi terhadap reseptor asetilkolin dan muscle specific tyrosine
kinase (MuSK) pada miastenia gravis, yang mengakibatkan gangguan transmisi
neuromuskuler.12
Beberapa uji klinis plasmaferesis pada MG menunjukkan manfaat klinis untuk
jangka pendek maupun jangka panjang pada krisis miastenik. Namun tingkat
rekomendasi yang dihasilkan lebih rendah jika dibandingkan terapi plasmaferesis untuk
penyakit neurologi lainnya. Suatu studi acak tersamar yang dilakukan pada 87 pasien MG
eksaserbasi akut menyimpulkan terjadi perbaikan skor muskuler dan titer antibodi anti
AchR. Walaupun demikian, hasil yang didapatkan ini tidak berbeda bermakna
dibandingkan dengan terapi imunoglobulin intravena (IVIG).3,5,7,10,12,13
Sklerosis Multipel
Pada sklerosis multipel terjadi inflamasi kronik, demielinisasi, kerusakan aksonal,
dan gliosis. Konsep patogenesis terbaru menyatakan bahwa terjadi aktivasi sistem imun
yang menyerang sistem saraf pusat yang merusak jaringan melalui sitokin inflamasi,
simulasi sel B dan makrofag, serta aktivasi komplemen. Terbentuknya antibodi yang
menyerang myelin basic protein dan oligodendrosit myelin selanjutnya merusak saraf
melalui fiksasi komplemen atau ikatan dengan makrofag.6,10 Berger dkk menemukan
bahwa antibodi pada sampel serum merupakan prediktor klinis sklerosis multipel.5,10
Terapi plasmaferesis untuk sklerosis multipel masih belum memuaskan, terutama
pada kasus progresif kronik. Uji klinis acak tersamar ganda pertama kali dilakukan oleh
Khatri dan kawan-kawan, yang menyimpulkan bahwa plasmaferesis memiliki keuntungan
klinis setelah 5 bulan dibanding kelompok kontrol. Canadian Corporative Multiple
Sclerosis Study group melakukan uji pada 168 pasien sklerosis multipel kronik progresif,
dan menyimpulkan bahwa terapi ini tidak bermanfaat pada kasus progresif kronik,
sehingga tidak direkomendasikan. The Therapeutics and Technology Assessment
Subcomittee of the American Academy of Neurology dan the MS Council for Clinical
Practice Guidelines menyimpulkan bahwa plasmaferesis hanya sedikit atau tidak
memiliki manfaat bermakna sebagai terapi sklerosis multipel progresif.3,5,10,12

Neurona Vol. 30 No. 2 Maret 2013

 
Tinjauan Pustaka

REKOMENDASI
American Academy of Neurology (AAN) telah membuat rekomendasi yang
berbasis bukti (Evidence Based Guideline) mengenai terapi plasmaferesis pada kelainan
neurologi dengan rekomendasi terbaru yang dikeluarkan pada tahun 2011. Beberapa
kesimpulan yang dihasilkan ditampilkan pada Tabel 1.14 Namun terdapat beberapa
perbedaan rekomendasi yang diberikan antara AAN dengan rekomendasi oleh European
Federation of Neurological Society (EFNS) tahun 2010 dan American Society for
Apheresis (ASFA) tahun 2010 (Tabel 2).4,12
Tabel 1. Kesimpulan Dan Rekomendasi AAN (2011) Mengenai Penggunaan Plasmaferesis
pada Kelainan Neurologi14
Penyakit Kesimpulan Tingkat
Polineuropati demielinisasi inflamasi akut/ Sindrom Terbukti efektif Kelas I
Guillain Barre
Polineuropati demielinisasi inflamasi kronik, pengobatan Terbukti efektif KelasI
jangka pendek
Polineuropati dengan gammopati monoklononal oleh
penyebab yang tidak jelas Mungkin efektif Kelas I
- Imunoglobulin A/Imunoglobulin B Mungkin tidak efektif Kelas I
- Imunoglobulin M
Miastenia gravis
- Persiapan preoperatif Bukti tidak cukup Kelas III
- Krisis miastenik Bukti tidak cukup Kelas III
Penyakit SSP demielinisasi fulminan Mungkin efektif Kelas II
Sklerosis multipel kronik atau progresif sekunder Terbukti tidak efektif Kelas I
Sklerosis multipel relaps Mungkin efektif Kelas I
Chorea sydenham Bukti tidak cukup Kelas III
Gangguan obsesif kompulsif akut dan tics pada PANDAS Bukti tidak cukup Kelas III
(Pediatrics autoimmune neuropsychiatric disorders
associated with streptococcal infection)

Tabel 2. Kategori indikasi neurologik untuk plasmaferesis (ASFA, 2010)12


Penyakit Kategori Tingkat rekomendasi
Polineuropati demielinisasi inflamasi akut/Sindrom Guillain Barre I 1A
Poliradikuloneuropati demielinisasi inflamasi kronik I 1B
Miastenia gravis I 1A
Polineuropati paraproteinemik I 1B atau 1C
Ensefalomielitis demielinisasi akut II 2C
Ensefalitis Rasmussen II 2C
Sindrom miastenik Lambert Eaton II 2B
Sklerosis multipel II 1B
Neuromielitis optik (Devic’s disease) II 1C

Sindrom Guillain Barre


Berdasarkan manfaat klinis yang didapatkan dari studi kelas I, plasmaferesis
terbukti efektif sebagai terapi SGB yang berat (terjadi gangguan motorik berat dan
membutuhkan ventilasi mekanik). Untuk SGB yang lebih ringan dengan kecacatan yang
tidak mengganggu, plasmaferesis mungkin cukup efektif berdasarkan studi kelas I
tersebut. AAN merekomendasikan penggunaan plasmaferesis pada SGB yang berat
(Level A), dan menganjurkan pemakaiannya pada derajat ringan (Level B).14 Sedangkan
ASFA memberikan rekomendasi dengan level 1A.12

Neurona Vol. 30 No. 2 Maret 2013

 
Tinjauan Pustaka

Chronic Inflammatory Demyelinating Neuropathy (CIDP)


Dari uji klinis acak, tersamar ganda, pada 18 pasien, plasmaferesis terbukti
memperbaiki klinis dan gambaran elektrofisiologi (kelas I). Plasmaferesis efektif sebagai
terapi CIDP dalam jangka pendek meskipun setelah 1-5 minggu terapi dapat ditemukan
perburukan. ASFA memberikan rekomendasi dengan level 1B.12 Sedangkan AAN
merekomendasikan plasmaferesis sebagai terapi efektif jangka pendek untuk CIDP (Level
A).14
Miastenia Gravis
Sampai saat ini masih belum terdapat data yang mendukung pemakaian
plasmaferesis pada MG. Suatu studi kelas III mendapatkan hasil plasmaferesis dapat
mengurangi angka kekambuhan krisis miastenik dan remisi setelah 5-7 tahun. AAN tidak
merekomendasikan pemakaian plasmaferesis pada krisis miastenik (Level U) maupun
pada MG pre-timektomi (Level U)13 Rekomendasi serupa juga diberikan oleh EFNS,
yang menyatakan tidak terdapat manfaat plasmaferesis jangka panjang pada MG (bukti
kelas I).4 Sedangkan ASFA memberikan rekomendasi dengan level 1A.12
Sklerosis Multipel
Studi kelas I mengenai manfaat plasmaferesis pada MS tidak memperlihatkan
perbaikan klinis pada kasus eksaserbasi sklerosis multipel kronik progresif. Namun pada
analisis sub-grup didapatkan perbaikan yang cepat dan bertahan dalam 1 bulan.
Plasmaferesis mungkin bermanfaat sebagai terapi tambahan pada kasus sklerosis multipel
progresif kronik untuk mengurangi relaps. AAN merekomendasikan plasmaferesis
dipakai sebagai terapi tambahan untuk sklerosis multipel relaps (Level B). Sedangkan
untuk terapi sklerosis multipel kronik progresif, plasmaferesis tidak diberikan (Level
A).14 Rekomendasi dari ASFA mengenai plasmaferesis untuk sklerosis multipel adalah
level 1B.12
KESIMPULAN
Saat ini plasmaferesis telah menjadi salah satu pilihan terapi di bidang neurologi,
terutama pada kasus penyakit neurologi yang melibatkan sistem imun. Perkembangan
teknologi di bidang kedokteran juga ikut menetukan pilihan prosedur plasmaferesis,
dengan beberapa pertimbangan klinis. Komplikasi dan efek samping yang ditemukan
akibat plasmaferesis sebagian besar disebabkan prosedur, dan kondisi ini memerlukan
perhatian khusus. Untuk penyakit neurologi seperti sindrom Guillain Barre, miastenia
gravis, dan sklerosis multipel, telah dikeluarkan panduan klinis oleh American Academy
of Neurology, European Federation of Neurological Society dan American Society for
Apheresis bagi para klinisi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rammohan KW. Overview of immune therapies in neurological diseases. Journal of
Immunology. 2002;2:11-31.
2. Mix E, Goertsches R, Zettl UK. Immunology and neurology. J Neurol. 2007;254(Suppl
2):II/2-II/7.
3. McDaneld LM, Fields JD, Bourdette DN, Bhardwaj A. Immunomodulatory therapies in
neurologic critical care. Neurocrit Care. 2009;12(1):132-143.
4. Skeie GO, Apostolski S, Evoli A, Gilhus NE, Illa I, Harms L, dkk. Guidelines for treatment
of autoimmune neuromuscular transmission disorders. Eur J Neurol. 2010;17:893-902.
5. Kes P, Basic V. Plasmapheresis in neurologic disorders. Acta Clin Croat. 2000;39:237-245.

Neurona Vol. 30 No. 2 Maret 2013

 
Tinjauan Pustaka

6. Bunyan RF, Tang J, Weinshenker B. Acute demyelinating disorders: emergencies and


management. Neurol Clin. 2012;30:285-307.
7. The Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American Academy of
Neurology. Assessment of plasmapheresis. Neurology. 1996;47:840-843.
8. Lehmann HC, Hartung H, Hetzel GR, Stuve O, Kieseier BC. Plasma exchange in
neuroimmunological disorders. Part 1: Rationale and treatment of inflammatory central
nervous system disorders. Arch Neurol. 2006;63:930-935.
9. Ujjan I, Shaikh IA, Memon SH, Memon R, Nizamani GS. Plasmapheresis technique,
complications and indications at the Isra University Hospital Hyderabad. Quartery Medical
Channel. 2011;17(3): 57-59.
10. Lehmann HC, Hartung H, Hetzel GR, Stuve O, Kieseier BC. Plasma exchange in
neuroimmunological disorders. Part 2: treatment of neuromuscular disorders. Arch Neurol.
2006;63:1066-1071.
11. Harm M. Inpatient management of Guillain Barre Syndrome. The Neurohospitalist.
2011;1(2):78-84.
12. Kes P, Basic V, Basic-Jukic N, Demarin V. Therapeutic plasma exchange in the neurologic
intensive care setting recommendation for clinical practice. Acta Clin Croat. 2012;51:137-
153.
13. Mandawat A, Kaminski HJ, Cutter G, Katirji B, Alsheklee A. Comparative analysis of
therapeutic options used for myasthenia gravis. Ann Neurol. 2010;68:797-805.
14. Cortese I, Chaudhry V, So YT, Cantor F, Cornblath DR, Rae-Grant A. Evidence-based
guideline update: plasmapheresis in neurologic disorders. Neurology. 2011;76:294-300.

Neurona Vol. 30 No. 2 Maret 2013

Anda mungkin juga menyukai