0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
25 tayangan2 halaman
Thomas Matulessy, yang lebih dikenal sebagai Kapitan Pattimura, adalah seorang pemimpin perlawanan Maluku melawan kolonialisme Belanda pada abad ke-19. Ia memimpin pasukannya merebut benteng Belanda Duurstede pada 1817, namun akhirnya ditangkap dan dihukum mati gantung oleh pengadilan kolonial Belanda pada akhir tahun itu. Pemerintah Indonesia kemudian menganugerahinya gelar Pahlawan Per
Deskripsi Asli:
Tugas Bahasa Indonesia
Sejarah Pattimura
Pahlawan Dari Maluku
Thomas Matulessy, yang lebih dikenal sebagai Kapitan Pattimura, adalah seorang pemimpin perlawanan Maluku melawan kolonialisme Belanda pada abad ke-19. Ia memimpin pasukannya merebut benteng Belanda Duurstede pada 1817, namun akhirnya ditangkap dan dihukum mati gantung oleh pengadilan kolonial Belanda pada akhir tahun itu. Pemerintah Indonesia kemudian menganugerahinya gelar Pahlawan Per
Thomas Matulessy, yang lebih dikenal sebagai Kapitan Pattimura, adalah seorang pemimpin perlawanan Maluku melawan kolonialisme Belanda pada abad ke-19. Ia memimpin pasukannya merebut benteng Belanda Duurstede pada 1817, namun akhirnya ditangkap dan dihukum mati gantung oleh pengadilan kolonial Belanda pada akhir tahun itu. Pemerintah Indonesia kemudian menganugerahinya gelar Pahlawan Per
Thomas Matulessy lahir di Haria, pulau Saparua, Maluku, 8 Juni 1783 –
meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), juga dikenal dengan nama Kapitan Pattimura, atau Pattimura. Mengenai profil Pattimura, Beliau memiliki nama asli Thomas Matulessy ada juga yang mengatakan nama aslinya adalah Ahmad Lussy. Adapun dalam buku biografi Pattimura versi pemerintah yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, “Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan”. Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda meneterapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam pratiknya pemindahn dinas militer ini dipaksakan. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura. Pada tanggal 16 Mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg. Pertempuran lainnya yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur. Belanda mengadakan sayembara untuk menangkap Kapitan Pattimura. Bagi yang bisa menangkap Kapitan Pattimura akan mendapat hadiah 1000 gulden. Kapitan Pattimura belum tertangkap juga. Belanda kemudian mengadakan serangan besar-besaran tanggal 15 Oktober 1817. Akhirnya, devide et impera alias politik pecah-belah pun diterapkan. Belanda berhasil memengaruhi tokoh-tokoh rakyat yang dirasa tidak suka kepada Pattimura, termasuk Pati Akoon dan Dominggus Thomas Tuwanakotta. Pada bulan November 1817, Kapitan Pattimura ditangkap Belanda sewaktu berada di sebuah rumah di Siri Sori,Maluku Tengah, pada 11 November 1817. . Pengadilan kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung kepada Patimura. Sehari sebelum hukuman itu dijalankan, Belanda masih membujuk untuk bekerja sama, tetapi ia tetap menolak. Pada tanggal 16 Desember 1817 Kapitan Pattimura dihukum gantung dilaksanakan di depan benteng Victoria di Ambon. Untuk menghormati jasa-jasanya pemerintah Republik Indonesia menetapkan Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia pada 6 November 1973.