Cedera Kepala
Disusun Oleh:
dr. M. Rizki Ramadhan
Pembimbing:
dr. Dian Prasetyo Wibisono, Sp. BS
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis
syukuri, keluarga yang mencintai dan teman-teman yang penuh semangat, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi
kasus ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar
Muhammad Saw, atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman
akan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan
pembelajaran dan bekal di masa mendatang.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB V KESIMPULAN…………………………………………………………27
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Cedera kepala adalah trauma (ruda paksa) tumpul ataupun tajam yang
mengenai scalp, tengkorak ataupun otak.5 Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala dalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadarandan dapat
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.6
Cedera kepala akut atau dapat disebut dengan cedera kepala primer adalah
cedera yang terjadi pada kepala dan segera mengakibatkan kerusakan batang otak,
kontusio hemisfer otak, cedera aksonal diffus dan laserasi pada bagian korteks.2
2.2. Epidemiologi
Angka kejadian cedera kepala ini tergolong besar di seluruh dunia. Pada
tahun 2016, angka kejadian trauma kepala ini sekitar 27 juta kasus baru dengan
insidence rate sebanyak 369 kasus terjadi dalam 100.000 populasi. Angka ini
meningkat sebanyak 3,6% dibandingkan tahun 1990. Masih di tahun yang sama,
prevalensi kejadian trauma kepala di seluruh dunia mencapai 55,5 juta individu
yang berarti menunjukkan kenaikan sebesar 8,4% dibandingkan tahun 1990.7
2
3
2.3. Patofisiologi
Trauma kepala dapat melukai bagian organ meliputi scalp, basis cranii,
lapisan meninges, otak, sistem ventrikel, dan kompartemen intrakranial. Jika
trauma melukai scalp, maka akan terjadi perdarahan hebat yang menyebabkan
syok hipovolemik dan berakhir menjadi kematian. Seperti yang telah kita ketahui,
scalp ini terdiri dari berbagai macam komponen arteri-vena. Pasien-pasien seperti
ini sangat berisiko untuk terjadinya komplikasi saat dibawa dari tempat kejadian
menuju ke IGD setempat. Sementara itu, basis cranii memiliki struktur yang
irreguler, sehingga ketika trauma tumpul terjadi posisi otak ikut berpindah seiring
dengan akselerasi dan deselerasi akibat trauma sebelumnya. Akibatnya, otak akan
mengalami cedera dan dapat mengganggu struktur dibawahnya yaitu batang otak
dan serebellum.1,2,8
Sistem ventrikular otak sistem yang berfungsi mengalirkan CSS. CSS ini
terus dihasilkan dan diabsorbsi oleh otak. Jika, CSS tersebut bercampur dengan
darah (karena suatu trauma/cedera) maka akan mengganggu proses absorbsinya,
sehingga TIK meningkat. 1,2,8
Kompartemen intrakranial dibagi menjadi dua bagian oleh tentorium
serebelli: supratentorial dan infratentorial kompartemen. Batang otak terletak di
4
tentorial notch bersamaan dengan nervus III (okulomotorius). Jika terjadi herniasi
di bagian temporal yang diakibatkan trauma kepala maka nervus III akan
terkompresi sehingga terjadi dilatasi pupil ipsilateral. Selain itu, pada area
tentorial notch terdapat bagian medial dari lobus temporal (disebut juga dengan
uncus). Apabila terjadi herniasi, maka akan menekan traktus piramidalis yang
menyebabkan hemiparesis kontralateral. Jadi, keadaan pupil ipsilateral dan
hemiparesis kontralateral dapat menjadi tanda adanya herniasi dari uncus
tersebut.1,2,8
2.4. Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala dapat didasarkan pada tingkatan berat-ringannya cedera
dengan Glassgow Coma Scale (GCS), sifat cedera, morfologi dan waktu kejadian.
6
c. Morfologi
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan morfologi ini dibagi menjadi 2 yaitu
fraktur tengkorak dan adanya lesi di intrakranial. Pembagiannya dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
7
1. Epidural Hematoma
Epidural hematoma terjadi pada 1% trauma kepala, Insiden tertinggi
terjadi pada usia 20-30 tahun, jarang terjadi pada usia dibawah 2 tahun atau
lebih dari 60 tahun, (disebabkan dura yang melekat erat pada tabula interna
skull). Fraktur terjadi pada 85% pasien dewasa. Kecelakaan lalulintas
merupakan penyebab terbanyak (30-70%), penyebab lain akibat terjatuh dan
korban kekerasan.
2. Subdural Hematoma
SDH dapat disebabkan karena kecelakaan lalulintas, terjatuh, atau
korban pemukulan pada derah kepala. SDH akut terjadi pada pasien 1229%
pasien dengan cidera kepala berat dan berkisar 11% dari semua pasien dengan
diagnosis trauma kepala. Kerusakan akibat trauma biasanya lebih tinggi pada
subdural hematoma akut di banding pada epidural hematom, di mana lesi yang
timbul menyebabkan angka mortalitas lebih tinggi. Sering terdapat lesi pada
otak, yang tidak terjadi pada EDH. Gejala terjadi akibat penekanan pada
struktur otak dibawahnya yang menyebabkan pergeseran garis tengah, lesi
intracerebral dan edema cerebri.9
8
3. Intacerebral Hematoma
Perdarahan intraserebral traumatik terjadi pada 8% pasien dengan
trauma kepala dan 13-35% pada trauma kepala berat. Sering terjadi multiple
dengan lokasi terbanyak pada lobus frontal and temporal, namun dapat pula
terjadi pada kedua hemisfer. Jarang terjadi pada daerah cerebellum,
kadangkadang perdarahan intracerebral terjadi beberapa hari setelah trauma.
Jika bentuk hematoma berbatas tegas, single, pada pasien dengan riwayat
trauma, kemungkinan penyebab lain akibat nontrauma seperti hipertensi serta
rupture aneurisma dapat terjadi. Kontusio serebri merupakan perdarahan
dengan diameter < 1 cm. Mekanisme terjadinya akibat proses akselerasi
deselerasi pada kepala saat terjadi trauma, menyebabkan terjadi pergeseran
cerebra pada tulang yang prominen (temporal, frontal, dan occipital) pada
bagian koup dan kontrakoup.9
- Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dibagi menjadi 2 yaitu fraktur basis cranii dan
calvaria. Fraktur basis cranii dibagi 2 pembagian menjadi ada/tidaknya
kebocoran CSS dan ada/tidaknya paresis nervus VII (nervus fasialis).
Sementara itu, fraktur calvaria dibagi menjadi 2 juga yaitu
linear/stellata dan fraktur depresi/non depresi.
- Lesi intrakranial
Lesi intrakranial dibagi menjadi 2 yaitu lesi diffus dan focal. Lesi focal
dibagi menjadi intrakranial hemoragik, epidural hematom dan subdural
hematom. Sementara, lesi difus seperti multipel kontusio,
hipoksia/iskemia dan cedera aksonal.
d. Waktu kejadian
Berdasarkan waktu kejadian, cedera kepala dibagi menjadi 2 jenis yaitu
cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Berikut ini penjelasan
mengenai kedua jenis tersebut. 2
College of Physician Guideline) atau pasien dengan GCS 15 tetapi memiliki satu
9
gejala yang akan ditunjukkan dalam tabel berikut ini.
a. Anamnesis
11
seperti: 1,2
- Mekanisme cedera
- Adanya LOC atau amnesia
- Tingkat kesadaran saat kejadian dan saat dalam perjalanan menuju ke
Rumah Sakit
b. Pemeriksaaan Fisik
- Immobilisasi leher
- Resusitasi
- Cek GCS pasien (berguna menentukan derajat cedera kepala)
- Cek ukuran pupil pasien dan responnya
- Periksa apakah ada tanda-tanda lateralisasi
- Perhatikan tanda-tanda fraktur basis cranii meliputi edema periorbita
billateral (racoon eye), battle’s sign, rhinorea/otorhea,
dan hemotimpanum (perdarahan telinga)
- Pemeriksaan fisik neurologis lengkap
kepala. Pasien juga harus dilakukan rawat inap. Dalam waktu 12 hingga 24
jam pertama harus dilakukan pemeriksaan imaging berupa CT Scan
kepala. Jika hasil CT Scan awal menunjukkan hasil yang abnormal, maka
pasien akan akan direncanakan untuk dilakukan CT scan ulang 1x24 jam
setelahnya. 1,2
- Survery Primer
Airway dan Breathing. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
pasien dengan cedera kepala berat cenderung mengalami hipoksia.
Oleh karena itu, lakukan intubasi endotrakeal segera apalagi pada
pasien dengan keadaan koma. Berikan oksigen kepada pasien dengan
pemantauan dengan menggunakan pulse oxymetri dengan saturasi
oksigen >98%. Pasang ventilator dan atur PCO2 agar sampai pada 35
mmHg. 1,2
- Survey Sekunder
Lakukan pemeriksaan serial (GCS, pupil dan defisit neurologis).
Herniasi uncus ditandai dengan dilatasi pupil dan hilangnya respon
cahaya pupil. 1,2
- Koreksi Antikoagulan
Monitor International Normalized Ratio (INR) pada pasien yang
menggunakan antikoagulan. 1,2
- Hiperventilasi
Hiperventilasi dapat menurunkan TIK pada pasien dengan intrakranial
hematoma. Pertahankan PCO2 pada kisaran 35 s.d. 45 mmHg1,2
- Mannitol 20%
Mannitol berfungsi sebagai agen untuk menurunkan TIK. Indikasi
pemberian mannitol apabila pasien mengalami dilatasi pupil,
hemiparesis atau penurunan kesadaran selama observasi. Berikan
1gram/kgBB lebih dari 5 menit dan transportasikan pasien menuju ke
ruang operasi atau ruang radiologi. Pastikan pasien dalam keadaan
normovolemia. 1,2
19
- Tindakan operatif
20
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Luka lecet dan bengkak di dahi kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUDYA dengan keluhan kepala terasa
sakit, luka lecet dan bengkak di dahi kanan post terjatuh dari sepeda
kurang lebih 1 jam SMRS. Awalnya pasien sedang mengendarai sepeda
tiba-tiba tersandung batu lalu terjatuh dengan kepala menghadap kebawah
mengenai tanah pada halaman rumah. Riwayat muntah, pusing, kejang
dan penurunan kesadaran tidak ada. Kedua anggota gerak baik atas
maupun bawah dalam batas normal. BAB dan BAK dalam batas normal.
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada keluarga yang mengalami hal yang sama dengan pasien.
Riwayat alergi :
Pasien disangkal adanya obat atau makanan tertentu.
Riwayat pengobatan :
Tidak ada mengkonsumsi obat dalam jangka waktu lama.
20
21
2. Thorak
- Inspeksi : tampak pergerakkan dinding dada simetris, retraksi (-),
iktus kordis tidak tampak.
- Palpasi : teraba pergerakkan dinding dada simetris.
- Auskultasi :
Paru : suara napas terdengar vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
Jantung : suara jantung BJ 1>BJ II reguler tunggal, murmur (-/-),
gallop (-/-)
3. Abdomen
- Inspeksi : kulit tampak normal, dinding abdomen tampak distensi,
tidak terdapat darm contour dan darm steifung.
- Auskultasi : terdengan bising usus pada semua lapangan abdomen
- Palpasi : dinding perut soepel, nyeri tekan (-) pada seluruh area
abdomen.
- Perkusi : Timpani pada seluruh lapangan abdomen
22
4. Urogenital
- Suprapubis : massa (-)
5. Anal
- Anus (+)
6.Ekstremitas
- Inspeksi : edema (-/-), deformitas (-/-)
- Palpasi : nyeri tekan (-) motorik baik.
b. Radiodiagnostik
CT-Scan Kepala Non Kontras
3.7 Prognosis
- Dubia ad bonam
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien datang ke IGD RSUDYA dengan keluhan kepala terasa sakit, luka
lecet dan bengkak di dahi kanan post terjatuh dari sepeda kurang lebih 1 jam
SMRS. Awalnya pasien sedang mengendarai sepeda tiba-tiba tersandung batu lalu
terjatuh dengan kepala menghadap kebawah mengenai tanah pada halaman rumah.
Riwayat muntah, pusing, kejang dan penurunan kesadaran tidak ada. Kedua
anggota gerak baik atas maupun bawah dalam batas normal. BAB dan BAK
dalam batas normal.
Cedera kepala adalah trauma (ruda paksa) tumpul ataupun tajam yang
mengenai scalp, tengkorak ataupun otak.5 Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala dalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadarandan dapat
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.6
Pasien dalam keadaan sadar saat berada di IGD RSUDYA. Klasifikasi
cedera kepala dapat didasarkan pada tingkatan berat-ringannya cedera dengan
Glassgow Coma Scale (GCS). Pasien dengan GCS 15 diklasifikasikan ke dalam
cedera kepala minor tanpa loss of conciousness (LOC).
Riwayat muntah, pusing, kejang dan penurunan kesadaran tidak ada
dialami pasien. Hal pertama yang harus dilakukan adalah survey primer (ABCDE)
dan resusitasi. Survey primer dilakukan bersamaan dengan menanyakan kepada
pasien meliputi identitasnya (untuk melihat apakah pasien mengalami disorientasi
ataupun amnesia retrogade). Selain itu, dapat juga ditanyakan orang-orang yang
berada di sekitar tempat kejadian bagaimana mekanisme cederanya terjadi, berapa
lama kejadian cedera nya terjadi, apakah pasien sempat muntah, apakah pasien
sempat kehilangan kesadarannya, dan sebagainya. Jika ABCDE stabil dan
resusitasi telah dilaksanakan maka dilanjutkan dengan survey sekunder dengan
melakukan pemeriksaan fisik dari kepala hingga kaki, fokus utamanya pada
pemeriksaan fisik neurologis. Jangan lupa pasien dipasangkan collar neck untuk
immobilisasi leher dan mencegah cedera cervikal. 1,2
25
26
dilakukan CT Scan apa bila terdapat ciri-ciri GCS pasien kurang dari 15 selama 2
jam setelah kecelakaan terjadi, Fraktur terbuka atau depresi kranium , Fraktur
basis cranii, Lebih dari 2 kali episode muntah , Usia pasien > 65 tahun dan
Riwayat penggunaan antikoagulan. Jika pasien tidak mengalami gejala apapun
(asimtomatik), sadar penuh, tidak ditemukan keabnormalan neurologis maka
pasien dapat diobservasi selama beberapa jam (idealnya 24 jam) kemudian dapat
dipulangkan. Beritahu pasien jika mengalami sakit kepala hebat, defisit neurologis
ataupun perubahan status mental maka pasien harus dibawa kembali ke IGD untuk
dilakukan pemeriksaan ulang. Berikan pasien lembar pemulangan yang berisikan
gejala-gejala yang apabila timbul pada pasien maka pasien harus dibawa kembali
ke IGD. 1,2
BAB V
KESIMPULAN
Cedera kepala akut merupakan cedera yang terjadi pada kepala dan segera
mengakibatkan kerusakan batang otak, kontusio hemisfer otak, cedera aksonal
diffus dan laserasi pada bagian korteks. Di Indonesia sendiri kejadian cedera
kepala masuk 3 besar paling banyak terjadi. Pengelompokkan cedera kepala yang
sering digunakan adalah pengelompokkan berdasarkan GCS pasien, sehingga
tatalaksananya pun dapat disesuaikan.
27
28
DAFTAR PUSTAKA