Anda di halaman 1dari 32

Laporan Kasus Internsip

Cedera Kepala

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Program Internsip Dokter Indonesia Angkatan I Tahun 2021
Pada Rumah Sakit Umum Daerah dr. H. Yulidin Away
Tapaktuan

Disusun Oleh:
dr. M. Rizki Ramadhan

Pembimbing:
dr. Dian Prasetyo Wibisono, Sp. BS

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


ANGKATAN I TAHUN 2021
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. H. YULIDIN AWAY
TAPAKTUAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis
syukuri, keluarga yang mencintai dan teman-teman yang penuh semangat, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi
kasus ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar
Muhammad Saw, atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.

Adapun tugas presentasi laporan kasus berjudul “Cedera Kepala”. Diajukan


Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Program Internsip Dokter Indonesia
Angkatan I Tahun 2021 Pada RSUD dr. H. Yulidin Away – Tapaktuan. Penulis
mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi tingginya kepada dr.
Dian Prasetyo Wibisono, Sp.BS yang telah meluangkan waktunya untuk
memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman
akan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan
pembelajaran dan bekal di masa mendatang.

Tapaktuan, Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................2
BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................20

BAB IV ANALISA KASUS…………………………………………………….25

BAB V KESIMPULAN…………………………………………………………27

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera Kepala merupakan trauma yang paling sering ditemukan di


Instalasi Gawat Darurat (IGD). Banyak sekali pasien cedera kepala berat
mengalami kematian sebelum mereka sampai ke rumah sakit yang dituju. 1
Sebanyak 3,4% kasus trauma kepala terjadi dengan berbagai presentasi dengan
angka insidensi sebesar 450 kasus dalam 100.000 populasi tiap tahunnya.2 Cedera
kepala sering berkaitan dengan Traumatic Brain Injury (TBI). TBI adalah suatu
kelainan yang dialami otak akibat dari tekanan baik secara langsung maupun tidak
langsung. TBI terjadi sebanyak 20 s.d. 40 kasus dalam 100.000 populasi tiap
tahunnya. Hal tersebut juga merupakan penyebab terbanyak kematian pada orang
dewasa muda pada rentang usia 15 s.d. 24 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, TBI
lebih sering terjadi pada laki-laki, dibandingkan perempuan.1,2

Menurut RISKESDAS tahun 2018, angka kejadian cedera yang


mengakibatkan gangguan aktivitas di Indonesia meningkat menjadi 9,2%
dibandingkan 5 tahun sebelumnya yaitu 8,2%. Cedera kepala menempati posisi 3
besar cedera yang sering terjadi di Indonesia. Cedera yang dialami sering terjadi
ketika seseorang berada di jalan raya (31,4%), dengan cara mengendarai sepeda
motor (72,7%). Survey membuktikan bahwasanya orang Indonesia sebanyak
42,4% jarang memakai helm dan 23,9% nya tidak memakai helm sama sekali saat
mengendarai sepeda motor di jalan raya.3

Gejala yang ditimbulkan biasanya penurunan kesadaran, adanya


peningkatan tekanan intrakranal, dan dapat disertai ataupun tidak disertai dengan
perdarahan, baik intrakranial ataupun ekstrakranial. Penanganan trauma kepala
harus dilaksanakan dengan cepat dan tepat mengingat angka kematian dan
kecacatan kasus ini sangat besar, sehingga tenaga medis harus memiliki
pengetahuan dan skill yang mumpuni agar dapat menyelesaikan kasus ini dengan
baik.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Cedera kepala adalah trauma (ruda paksa) tumpul ataupun tajam yang
mengenai scalp, tengkorak ataupun otak.5 Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala dalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadarandan dapat
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.6

Cedera kepala akut atau dapat disebut dengan cedera kepala primer adalah
cedera yang terjadi pada kepala dan segera mengakibatkan kerusakan batang otak,
kontusio hemisfer otak, cedera aksonal diffus dan laserasi pada bagian korteks.2

2.2. Epidemiologi
Angka kejadian cedera kepala ini tergolong besar di seluruh dunia. Pada
tahun 2016, angka kejadian trauma kepala ini sekitar 27 juta kasus baru dengan
insidence rate sebanyak 369 kasus terjadi dalam 100.000 populasi. Angka ini
meningkat sebanyak 3,6% dibandingkan tahun 1990. Masih di tahun yang sama,
prevalensi kejadian trauma kepala di seluruh dunia mencapai 55,5 juta individu
yang berarti menunjukkan kenaikan sebesar 8,4% dibandingkan tahun 1990.7

Menurut RISKESDAS tahun 2018, angka kejadian cedera yang


mengakibatkan gangguan aktivitas di Indonesia meningkat menjadi 9,2%
dibandingkan 5 tahun sebelumnya yaitu 8,2%. Lokasi organ cedera yang paling
banyak terjadi di Indonesia adalah cedera ekstremitas bawah (67,9%), cedera
ekstremitas atas (32,7%) dan cedera kepala (11,9%). Cedera kepala menempati
posisi 3 besar cedera yang sering terjadi di Indonesia. Cedera yang dialami sering
terjadi ketika seseorang berada di jalan raya (31,4%), dengan cara mengendarai
sepeda motor (72,7%). Survey membuktikan bahwasanya orang Indonesia
sebanyak 42,4% jarang memakai helm dan 23,9% nya tidak memakai helm sama
sekali saat mengendarai sepeda motor di jalan raya.3

2
3

2.3. Patofisiologi
Trauma kepala dapat melukai bagian organ meliputi scalp, basis cranii,
lapisan meninges, otak, sistem ventrikel, dan kompartemen intrakranial. Jika
trauma melukai scalp, maka akan terjadi perdarahan hebat yang menyebabkan
syok hipovolemik dan berakhir menjadi kematian. Seperti yang telah kita ketahui,
scalp ini terdiri dari berbagai macam komponen arteri-vena. Pasien-pasien seperti
ini sangat berisiko untuk terjadinya komplikasi saat dibawa dari tempat kejadian
menuju ke IGD setempat. Sementara itu, basis cranii memiliki struktur yang
irreguler, sehingga ketika trauma tumpul terjadi posisi otak ikut berpindah seiring
dengan akselerasi dan deselerasi akibat trauma sebelumnya. Akibatnya, otak akan
mengalami cedera dan dapat mengganggu struktur dibawahnya yaitu batang otak
dan serebellum.1,2,8

Lapisan Meningeal terdiri dari duramater, arachnoid dan piamater. Lapisan


duramater sangat dekat dengan sinus venosus yang mengalirkan darah melewati
sinus sigmoid dan sinus transversus bilateral. Trauma yang mengenai duramater
akan menyebabkan perdarahan massif yang berasal dari sinus venosus. Selain itu
terdapat arteri meningeal media yang terletak antara duramater dan kranium yang
apabila terdapat laserasi maka akan meyebabkan perdarahan yang disebut dengan
Epidural Hematoma. Lapisan selanjutnya ada lapisan arachnoid dan terdapat celah
antara duramater dan arachnoid yang memungkinkan akumulasi darah apabila
bridging vein yang ada di permukaan otak mengalami trauma. Akumulasi darah
pada area tersebut dinamakan Subdural Hemoragik. Lapisan terakhir yaitu
piamater dimana celah antara piamater dan arachnoid disebut dengan
subarachnoid space. Subarachnoid space berisikan cairan serebrospinal (CSS)
sebagai bantalan pelindung otak dan medula spinalis. Perdarahan pada area ini
dapat disertai dengan kontusio otak dan cedera pembuluh darah besar pada basis
otak. 1,2,8

Sistem ventrikular otak sistem yang berfungsi mengalirkan CSS. CSS ini
terus dihasilkan dan diabsorbsi oleh otak. Jika, CSS tersebut bercampur dengan
darah (karena suatu trauma/cedera) maka akan mengganggu proses absorbsinya,
sehingga TIK meningkat. 1,2,8
Kompartemen intrakranial dibagi menjadi dua bagian oleh tentorium
serebelli: supratentorial dan infratentorial kompartemen. Batang otak terletak di
4

tentorial notch bersamaan dengan nervus III (okulomotorius). Jika terjadi herniasi
di bagian temporal yang diakibatkan trauma kepala maka nervus III akan
terkompresi sehingga terjadi dilatasi pupil ipsilateral. Selain itu, pada area
tentorial notch terdapat bagian medial dari lobus temporal (disebut juga dengan
uncus). Apabila terjadi herniasi, maka akan menekan traktus piramidalis yang
menyebabkan hemiparesis kontralateral. Jadi, keadaan pupil ipsilateral dan
hemiparesis kontralateral dapat menjadi tanda adanya herniasi dari uncus
tersebut.1,2,8

Patofisiologi cedera kepala memiliki 3 mekanisme yang saling berkaitan.


Mekanismenya adalah peningkatan tekanan intrakranial (TIK), monroe-kellie
doctrine dan cerebral blood flow (CBF). Penjelasannya akan dijelaskan dalam
tulisan berikut.

a. Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)


Berdasarkan penjelasan sebelumnya, trauma kepala dapat menyebabkan
peningkatan TIK. Peningkatan TIK ini menyebabkan gangguan perfusi
darah ke otak sehingga pasien dapat mengalami keadaan iskemia.
Normalnya TIK adalah 10 mmHg. Jika terdapat pajanan rudapaksa tumpul
yang tekanannya lebih besar dari 20 mmHg maka besar kemungkinan
pasien tersebut memiliki prognostik yang buruk. 1,2,8

b. Monroe Kellie Doctrine


Monroe Kellie Doctrine ini adalah sebuah hipotesis yang menjelaskan
bahwasanya jumlah volume otak, CSS dan volume darah di intraserebral
adalah konstan. Hal tersebut dikarenakan kranium adalah sebuah ruangan
yang kaku yang tidak dapat meluas. Pada keadaan terkompensasi,
peningkatan volume otak yang disebabkan adanya hematoma dapat
digantikan dengan pengeluaran CSS dan darah vena keluar dari kavitas
otak, sehingga TIK tidak meningkat. Keadaan terkompensasi ini dapat
terjadi pada keadaan awal atau segera setelah terjadinya trauma.
Selanjutnya, keadaan menjadi tidak terkompensasi akibat volume
hematoma yang terus meningkat sehingga TIK pun akan meningkat
pula.1,2,8
5

Gambar 1. Monroe Kellie Doctrine

c. Cerebral Blood Flow (CBF)


CBF mengalami penurunan pada pasien cedera kepala, apalagi cedera kepala
berat. Cedera kepala berat dapat menyebabkan penurunan CBF beberapa jam
setelah paparan trauma. CBF dapat kembali normal dalam hitungan hari bahkan
minggu pasca paparan trauma. Metabolisme demand otak akan terganggu dengan
penurunan CBF ini sehingga pasien akan mengalami iskemia otak regional atau
bahkan iskemia otak global. Secara klinis, CBF sangat berkaitan dengan Mean
Arterial Pressure (MAP). MAP sebesar 50 s.d. 150 mmHg berfungsi sebagai
autoregulasi untuk mempertahankan CBF yang konstan. Rumusnya adalah
Cerebral Perfusion Presure (CPP) = MAP – TIK. Jika MAP terlalu rendah maka
akan menyebabkan iskemia bahkan infark otak. Sementara itu, jika MAP terlalu
tinggi maka akan menyebabkan brain swelling disertai dengan peningkatan
TIK.1,2,8

2.4. Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala dapat didasarkan pada tingkatan berat-ringannya cedera
dengan Glassgow Coma Scale (GCS), sifat cedera, morfologi dan waktu kejadian.
6

a. Glassgow Coma Scale (GCS)


Klasifikasi berdasarkan GCS sebagai berikut:
- Cedera Kepala Minor : GCS 15 tanpa loss of conciousness (LOC)
- Cedera Kepala Ringan : GCS 15 – 13 dengan LOC
- Cedera Kepala Sedang : GCS 12 – 9
- Cedera Kepala Berat : GCS 8 – 3
b. Sifat Cedera
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan sifat cedera sebagai berikut:
- Trauma Kepala Tumpul (Blunt Head Trauma)
- Trauma Kepala Tajam (Penetrating Head Trauma)
Trauma yang disebabkan benda tajam dibedakan menjadi 2 jenis yaitu
trauma dengan kecepatan tinggi dan trauma dengan kecepatan rendah.
Penusukan dengan benda tajam merupakan jenis trauma dengan
kecepatan rendah, sementara Penembakan merupakan jenis trauma
dengan kecepatan tinggi.

c. Morfologi
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan morfologi ini dibagi menjadi 2 yaitu
fraktur tengkorak dan adanya lesi di intrakranial. Pembagiannya dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
7

Tabel 1. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan morfologi

1. Epidural Hematoma
Epidural hematoma terjadi pada 1% trauma kepala, Insiden tertinggi
terjadi pada usia 20-30 tahun, jarang terjadi pada usia dibawah 2 tahun atau
lebih dari 60 tahun, (disebabkan dura yang melekat erat pada tabula interna
skull). Fraktur terjadi pada 85% pasien dewasa. Kecelakaan lalulintas
merupakan penyebab terbanyak (30-70%), penyebab lain akibat terjatuh dan
korban kekerasan.

Lokasi tersering pada daerah temporal, kemudian frontal, occipital dan


fossa posterior. 2-5% terjadi bilateral. Epidural hematoma terjadi akibat
robekan arteri meningea media atau cabang-cabangnya akibat fraktur pada
daerah temporoparietal. Akumulasi darah melepaskan perlekatan duramater
dari dinding tabula interna yang kemudian terisi hematoma.Kemungkinan lain
pada awal duramater terlepas dari dinding tabula interna kemudian ruang yang
terbentuk terisi oleh hematoma. Sumber perdarahan terbanyak bersumber dari
perdarahan arteri: arteri meningea media (85%), dapat juga berasal dari vena
meningea media, sinus duramater atau dari vena diploe.9

2. Subdural Hematoma
SDH dapat disebabkan karena kecelakaan lalulintas, terjatuh, atau
korban pemukulan pada derah kepala. SDH akut terjadi pada pasien 1229%
pasien dengan cidera kepala berat dan berkisar 11% dari semua pasien dengan
diagnosis trauma kepala. Kerusakan akibat trauma biasanya lebih tinggi pada
subdural hematoma akut di banding pada epidural hematom, di mana lesi yang
timbul menyebabkan angka mortalitas lebih tinggi. Sering terdapat lesi pada
otak, yang tidak terjadi pada EDH. Gejala terjadi akibat penekanan pada
struktur otak dibawahnya yang menyebabkan pergeseran garis tengah, lesi
intracerebral dan edema cerebri.9
8

3. Intacerebral Hematoma
Perdarahan intraserebral traumatik terjadi pada 8% pasien dengan
trauma kepala dan 13-35% pada trauma kepala berat. Sering terjadi multiple
dengan lokasi terbanyak pada lobus frontal and temporal, namun dapat pula
terjadi pada kedua hemisfer. Jarang terjadi pada daerah cerebellum,
kadangkadang perdarahan intracerebral terjadi beberapa hari setelah trauma.
Jika bentuk hematoma berbatas tegas, single, pada pasien dengan riwayat
trauma, kemungkinan penyebab lain akibat nontrauma seperti hipertensi serta
rupture aneurisma dapat terjadi. Kontusio serebri merupakan perdarahan
dengan diameter < 1 cm. Mekanisme terjadinya akibat proses akselerasi
deselerasi pada kepala saat terjadi trauma, menyebabkan terjadi pergeseran
cerebra pada tulang yang prominen (temporal, frontal, dan occipital) pada
bagian koup dan kontrakoup.9

- Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dibagi menjadi 2 yaitu fraktur basis cranii dan
calvaria. Fraktur basis cranii dibagi 2 pembagian menjadi ada/tidaknya
kebocoran CSS dan ada/tidaknya paresis nervus VII (nervus fasialis).
Sementara itu, fraktur calvaria dibagi menjadi 2 juga yaitu
linear/stellata dan fraktur depresi/non depresi.

- Lesi intrakranial
Lesi intrakranial dibagi menjadi 2 yaitu lesi diffus dan focal. Lesi focal
dibagi menjadi intrakranial hemoragik, epidural hematom dan subdural
hematom. Sementara, lesi difus seperti multipel kontusio,
hipoksia/iskemia dan cedera aksonal.

d. Waktu kejadian
Berdasarkan waktu kejadian, cedera kepala dibagi menjadi 2 jenis yaitu
cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Berikut ini penjelasan
mengenai kedua jenis tersebut. 2

- Cedera Kepala Primer


Cedera kepala primer adalah cedera yang terjadi pada kepala dan
segera mengakibatkan kerusakan batang otak, kontusio hemisfer otak,
cedera aksonal diffus dan laserasi pada bagian korteks. 2
9

- Cedera Kepala Sekunder


Cedera kepala sekunder adalah cedera yang terjadi pada kepala
beberapa saat setelah kejadian dan biasanya sulit untuk dicegah. Cedera
kepala sekunder disebabkan oleh keadaan hipoksia, hipotensi, TIK
meningkat, CPP yang menurun dan pireksia yang tidak segera ditangani. 2

2.5. Manifestasi Klinis


Beberapa kriteria berikut (New Orleans Criteria, Canadian CT Head Rule,
dan American College of Physician Guideline) menunjukkan gejala adanya cedera
kepala menuju ke TBI, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan imaging berupa CT
Scan Kepala. CT Scan kepala tentunya harus dilakukan apabila pasien mengalami
penurunan GCS, tepatnya dibawah 15 (Canadian CT Head Rule, dan American
10

College of Physician Guideline) atau pasien dengan GCS 15 tetapi memiliki satu

9
gejala yang akan ditunjukkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 2. New Orleans Criteria dan Canadian CT Head Rule

Tabel 3. American College of Emergency Physician Guidelines


2.6. Diagnosis dan Penatalaksanaan
Penentuan diagnosis tentunya harus didahului dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Cedera kepala merupakan situasi emergency
sehingga hal utama yang harus dilakukan adalah assessment cepat dan tindakan
cepat terutama dalam hal mempertahankan jalan napas (AirwayBreathing-
Circullation-Dissability-Exposure) dibandingkan dengan mendahulukan
penegakkan diagnosisnya. 1,2

a. Anamnesis
11

Anamnesis pada keadaan cedera kepala tidak seperti anemnesis pada


penyakit lainnya. Namun, ada beberapa hal yang harus perlu diketahui

seperti: 1,2
- Mekanisme cedera
- Adanya LOC atau amnesia
- Tingkat kesadaran saat kejadian dan saat dalam perjalanan menuju ke
Rumah Sakit

- Bukti adanya kejang


- Adanya hipoksia atau hipotensi
- Riwayat penyakit sebelumnya (misalkan alergi obat-obatan tertentu)
- Riwayat pengobatan sebelumnya, terutama apakah pasien
menggunakan antikoagulan

- Riwayat penggunaan obat-obatan terlarang dan konsumsi alkohol

b. Pemeriksaaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada cedera kepala pada awalnya


adalah menilai survey primer (ABCDE) dan sekunder. Berikut ini
halhal yang harus dilakukan segera: 1,2

- Immobilisasi leher
- Resusitasi
- Cek GCS pasien (berguna menentukan derajat cedera kepala)
- Cek ukuran pupil pasien dan responnya
- Periksa apakah ada tanda-tanda lateralisasi
- Perhatikan tanda-tanda fraktur basis cranii meliputi edema periorbita
billateral (racoon eye), battle’s sign, rhinorea/otorhea,
dan hemotimpanum (perdarahan telinga)
- Pemeriksaan fisik neurologis lengkap

c. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut


Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala harus dilakukan
dengan hati-hati, cermat dan cepat. Dalam hitungan jam, jika pasien
terlambat ditangani maka akan terjadi secondary brain injury, berbagai
kecacatan dan bahkan kematian. Penatalaksanaan cedera kepala berbeda
12

tergantung derajat keparahannya. Berikut ini beberapa algoritma


penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk keselamatan pasien. 1,2

1. Algoritma Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan


Hal pertama yang harus dilakukan adalah survey primer (ABCDE) dan
resusitasi. Survey primer dilakukan bersamaan dengan menanyakan
kepada pasien meliputi identitasnya (untuk melihat apakah pasien
mengalami disorientasi ataupun amnesia retrogade). Selain itu, dapat juga
ditanyakan orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian bagaimana
mekanisme cederanya terjadi, berapa lama kejadian cedera nya terjadi,
apakah pasien sempat muntah, apakah pasien sempat kehilangan
kesadarannya, dan sebagainya. Jika ABCDE stabil dan resusitasi telah
dilaksanakan maka dilanjutkan dengan survey sekunder dengan melakukan
pemeriksaan fisik dari kepala hingga kaki, fokus utamanya pada
pemeriksaan fisik neurologis. Jangan lupa pasien dipasangkan collar neck
untuk immobilisasi leher dan mencegah cedera cervikal. 1,2

Lakukan CT Scan kepala dan berisiko tinggi untuk dilakukan intervensi


bedah saraf apabila pasien dengan cedera kepala ringan menunjukkan ciri-
ciri sebagai berikut: 1,2

- GCS pasien kurang dari 15 selama 2 jam setelah kecelakaan terjadi


- Fraktur terbuka atau depresi kranium
- Fraktur basis cranii
- Lebih dari 2 kali episode muntah
- Usia pasien > 65 tahun
- Riwayat penggunaan antikoagulan

Pasien dengan penurunan kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia


retrogade lebih dari 30 menit, mekanisme cedera yang sangat berbahaya
seperti pejalan kaki yang ditabrak mobil atau jatuh dari lantai 5 sebuah
gedung, sakit kepala berat, kejang, defisit memori jangka pendek,
intoksikasi obat atau alkohol, kelainan pembekuan darah dan defisit
neurologi harus dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala segera. 1,2
13

Jika pasien tidak mengalami gejala apapun (asimtomatik), sadar penuh,


tidak ditemukan keabnormalan neurologis maka pasien dapat diobservasi
selama beberapa jam (idealnya 24 jam) kemudian dapat dipulangkan.
Beritahu pasien jika mengalami sakit kepala hebat, defisit neurologis
ataupun perubahan status mental maka pasien harus dibawa kembali ke
IGD untuk dilakukan pemeriksaan ulang. Berikan pasien lembar
pemulangan yang berisikan gejala-gejala yang apabila timbul pada pasien
maka pasien harus dibawa kembali ke IGD. 1,2

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Cedera Kepala Ringan


14

Gambar 3. Form Discharge Planning Pasien Cedera Kepala Ringan


15

2. Algoritma Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang

Gambar 4. Algoritma Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang

Sebanyak 15% pasien dengan cedera kepala sedang ditemukan di


IGD dibandingkan dengan cedera kepala lainnya. Pasien dengan cedera
kepala sedang biasanya mendengar saat pemeriksa berkata sesuatu tapi
dalam keadaan somnolen sampai dengan sopor dengan defisit
neurologisbfokal. 1,2

Sama seperti algoritme penatalaksanaan cedera kepala ringan dan


semua pasien dengan cedera kepala sedang harus dilakukan CT Scan
16

kepala. Pasien juga harus dilakukan rawat inap. Dalam waktu 12 hingga 24
jam pertama harus dilakukan pemeriksaan imaging berupa CT Scan
kepala. Jika hasil CT Scan awal menunjukkan hasil yang abnormal, maka
pasien akan akan direncanakan untuk dilakukan CT scan ulang 1x24 jam
setelahnya. 1,2

Posisikan kepala pasien 20-30 derajat (Revise Trendelenburg)


untuk menurunkan TIK. Pemasangan collar neck tetap dilakukan. Jika
pasien mengalami dilatasi pupil (peningkatan TIK akut) maka dapat
diberikan obat diuretik osmotik berupa mannitol 20% dengan dosis
20mg/kgBB. Perhatikan efek samping penggunaan mannitol berupa
hipotensi dan hipovolemia. 1,2

Lakukan pemeriksaan analisa gas darah untuk menjaga ventilasi


agar tetap adekuat (jika diperlukan). Jika ventilasi tidak adekuat, lakukan
intubasi. Jika pasien tidak mengalami perbaikan, maka segera lakukan CT
Scan kepala ulang dan lakukan algoritma penatalaksanaan cedera kepala
berat1,2

3. Algoritma Penatalaksanaan Cedera Kepala Berat


Pasien yang mengalami cedera kepala berat dapat mengalami kematian
sebesar 75%. Hal tersebut dikarenakan adanya hipoksia pada keadaan
hipotensi otak yang mengalami cedera kepala berat. Hal utama yang harus
dicapai pada pasien ini adalah kestabilan sistem kardiopulmoner. 1,2

- Survery Primer
Airway dan Breathing. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
pasien dengan cedera kepala berat cenderung mengalami hipoksia.
Oleh karena itu, lakukan intubasi endotrakeal segera apalagi pada
pasien dengan keadaan koma. Berikan oksigen kepada pasien dengan
pemantauan dengan menggunakan pulse oxymetri dengan saturasi
oksigen >98%. Pasang ventilator dan atur PCO2 agar sampai pada 35
mmHg. 1,2

Circullation. Pasien dengan cedera kepala berat mengalami hipotensi.


Oleh karena itu, pemberian cairan isotonis ataupun produk darah yang
adekuat sangat dianjurkan untuk mencapai target tekanan darah sistolik
17

> 100 mmHg. Pemeriksaan neurologis sebaiknya tidak dilakukan


apabila pasien masih belum terkoreksi hipotensinya. Hal ini akan
menyebabkan hasil pemeriksaan yang bias, karena pasien dengan
hipotensi juga tidak responsif terhadap rangsangan. 1,2

Pemeriksaan Neurologis. Lakukan pemeriksaan GCS, pupil dan


tandatanda defisit neurologis. Cari tau apakah pasien mengalami
intoksikasi obat-obatan atau alkohol. Berikan rangsangan nyeri pada
supraorbita, jika pasien memberikan respons maka prognosisnya baik,
1,2
jika sebaliknya maka prognosis pasien akan menjadi buruk.
Anestesi, Analgetik (Opiod) dan Sedatif (Midazolam). Gunakan
obatobatan yang bekerja secara cepat (short-acting) agar progres
penyakit pasien masih dapat dikenali. 1,2

- Survey Sekunder
Lakukan pemeriksaan serial (GCS, pupil dan defisit neurologis).
Herniasi uncus ditandai dengan dilatasi pupil dan hilangnya respon
cahaya pupil. 1,2

- Prosedur Diagnostik menggunakan CT Scan


Pasien dengan kontusio subfrontal/temporal intraparenkim, pasien
dengan riwayat antikoagulan, usia > 65 tahun, dan pasien dengan
perdarahan intrakranial (ICH) > 10 ml midline shift harus dilakukan
CT Scan tiap 24 jam. Penemuan CT Scan yang krusial adalah adanya
darah di intrakranial, kontusio, dan hilangnya sisterna basalis. Midline
shift lebih dari 5 mm merupakan indikasi tindakan operatif untuk
mengevakuasi darah atau kontusio. 1,2
18

Gambar 5. Algoritma Penatalaksanaan Cedera Kepala Berat

- Pemberian Cairan Intravena (IV)


Cairan Ringer Lactat atau Normal Saline (NaCl 0.9%) dapat digunakan
pada pasien cedera kepala berat. Pastikan pasien tidak mengalami
hipernatremia yang akan menyebabkan edema otak. Jangan gunakan
cairan dextrose karena akan menyebabkan hiperglikemia dan
memperburuk cederanya. 1,2

- Koreksi Antikoagulan
Monitor International Normalized Ratio (INR) pada pasien yang
menggunakan antikoagulan. 1,2

- Hiperventilasi
Hiperventilasi dapat menurunkan TIK pada pasien dengan intrakranial
hematoma. Pertahankan PCO2 pada kisaran 35 s.d. 45 mmHg1,2

- Mannitol 20%
Mannitol berfungsi sebagai agen untuk menurunkan TIK. Indikasi
pemberian mannitol apabila pasien mengalami dilatasi pupil,
hemiparesis atau penurunan kesadaran selama observasi. Berikan
1gram/kgBB lebih dari 5 menit dan transportasikan pasien menuju ke
ruang operasi atau ruang radiologi. Pastikan pasien dalam keadaan
normovolemia. 1,2
19

- Pemberian Cairan Hipertonik


- Barbiturat
- Antikonvulsan
Antikonvulsan dapat diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan
kejang. Perlu diingat, pemberian antikonvulsan dapat menghambat
kesembuhan cedera otak yang dialami pasien, sehingga antikonvulsan
hanya diberikan jika benar-benar diperlukan. Fenitoin (loading dose: 1
gr IV dengan kecepatan 50mg/menit, maintanance dose: 100mg/8 jam)
dan fosfenitoin sering diberikan pada fase akut. Pemberian
antikonvulsan ini berfungsi untuk mencegah terjadinya cedera otak
sekunder. 1,2

- Tindakan operatif
20
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : an. S
Usia : 10 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Tapaktuan
Tanggal Masuk : 05 Maret 2020
Tangga Periksa : 05 Maret 2020

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Luka lecet dan bengkak di dahi kanan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUDYA dengan keluhan kepala terasa
sakit, luka lecet dan bengkak di dahi kanan post terjatuh dari sepeda
kurang lebih 1 jam SMRS. Awalnya pasien sedang mengendarai sepeda
tiba-tiba tersandung batu lalu terjatuh dengan kepala menghadap kebawah
mengenai tanah pada halaman rumah. Riwayat muntah, pusing, kejang
dan penurunan kesadaran tidak ada. Kedua anggota gerak baik atas
maupun bawah dalam batas normal. BAB dan BAK dalam batas normal.
Riwayat penyakit dahulu :
Pasien tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.
Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada keluarga yang mengalami hal yang sama dengan pasien.
Riwayat alergi :
Pasien disangkal adanya obat atau makanan tertentu.
Riwayat pengobatan :
Tidak ada mengkonsumsi obat dalam jangka waktu lama.

20
21

3.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status pasien :
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : kompos mentis; GCS : E4M6V5
Tanda vital :
- Nadi : 100 x/menit
- Pernafasan : 22 x/menit
- Suhu axilla : 36.7°C
- Berat badan : 37kg
- Tinggi badan : 131 cm

b. Pemeriksaan fisik umum :


1. Kepala dan leher
- Kepala : normochepali, deformitas (-), tampak luka lecet pada dahi
kanan dengan ukuran sekitar 4x3 cm dan bengkak pada dahi kanan.
- Mata : konjungtiva palpebra anemis (-/-) sklera iterus (-/-), pupil
isokor diameter 2 mm/2 mm, reflek pupil (+/+)
- Telinga : Bentuk telinga kanan/kiri normal, infeksi telinga (-/-)
- Hidung : deviasi (-), deformitas os nasal (-), sadle nose (-)
- Mulut : Simetris (+), sianosis
- Leher ; massa (-), tidak terdapat pembesaran KGB

2. Thorak
- Inspeksi : tampak pergerakkan dinding dada simetris, retraksi (-),
iktus kordis tidak tampak.
- Palpasi : teraba pergerakkan dinding dada simetris.
- Auskultasi :
Paru : suara napas terdengar vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing
(-/-)
Jantung : suara jantung BJ 1>BJ II reguler tunggal, murmur (-/-),
gallop (-/-)

3. Abdomen
- Inspeksi : kulit tampak normal, dinding abdomen tampak distensi,
tidak terdapat darm contour dan darm steifung.
- Auskultasi : terdengan bising usus pada semua lapangan abdomen
- Palpasi : dinding perut soepel, nyeri tekan (-) pada seluruh area
abdomen.
- Perkusi : Timpani pada seluruh lapangan abdomen
22

4. Urogenital
- Suprapubis : massa (-)

5. Anal
- Anus (+)

6.Ekstremitas
- Inspeksi : edema (-/-), deformitas (-/-)
- Palpasi : nyeri tekan (-) motorik baik.

3.4 Pemeriksaan Penunjang :


a. Laboratorium :
Pemeriksaan 05-03-2021 Nilai Rujukan Satuan
Darah Rutin
Hemoglobin 13.3 12-16 g/dl
Hematokrit 37.9 37-47 %
Eritrosit 4.58 3.8-5.8 106/mm2
Leukosit 13.0 5.0-11.0 103/mm2
Trombosit 364 150-450 103/mm2
Hitung Jenis
Eosinofil 0 0-6 %
Basofil 0 0-1 %
Netrofil 51 37-80 %
Limfosit 22 20-40 %
Monosit 8 2-8 %
Faal Hemostasis
Cloating Time 12’ Detik
Bleeding Time 3’ Detik
Diabetes
GDS 107 <200 Mg/dl
23

b. Radiodiagnostik
CT-Scan Kepala Non Kontras

Kesan : Cefal Hematoma a/r Frontal Dextra

3.5 Diagnosa kerja :


Cedera Kepala Ringan
Vulnus Excoriatum ar Frontal Dextra

3.6 Rencana Terapi


1. Medikamentosa :
- IVFD RL 20gtt/i
- Inj Cefotiam 1gr/12 jam
- Inj Ranitidin 1 amp/12 jam
24

- Inj Ketoprofen 1 amp/8jam


2. Planning :
- Rawat luka

3.7 Prognosis
- Dubia ad bonam
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang ke IGD RSUDYA dengan keluhan kepala terasa sakit, luka
lecet dan bengkak di dahi kanan post terjatuh dari sepeda kurang lebih 1 jam
SMRS. Awalnya pasien sedang mengendarai sepeda tiba-tiba tersandung batu lalu
terjatuh dengan kepala menghadap kebawah mengenai tanah pada halaman rumah.
Riwayat muntah, pusing, kejang dan penurunan kesadaran tidak ada. Kedua
anggota gerak baik atas maupun bawah dalam batas normal. BAB dan BAK
dalam batas normal.
Cedera kepala adalah trauma (ruda paksa) tumpul ataupun tajam yang
mengenai scalp, tengkorak ataupun otak.5 Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala dalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadarandan dapat
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.6
Pasien dalam keadaan sadar saat berada di IGD RSUDYA. Klasifikasi
cedera kepala dapat didasarkan pada tingkatan berat-ringannya cedera dengan
Glassgow Coma Scale (GCS). Pasien dengan GCS 15 diklasifikasikan ke dalam
cedera kepala minor tanpa loss of conciousness (LOC).
Riwayat muntah, pusing, kejang dan penurunan kesadaran tidak ada
dialami pasien. Hal pertama yang harus dilakukan adalah survey primer (ABCDE)
dan resusitasi. Survey primer dilakukan bersamaan dengan menanyakan kepada
pasien meliputi identitasnya (untuk melihat apakah pasien mengalami disorientasi
ataupun amnesia retrogade). Selain itu, dapat juga ditanyakan orang-orang yang
berada di sekitar tempat kejadian bagaimana mekanisme cederanya terjadi, berapa
lama kejadian cedera nya terjadi, apakah pasien sempat muntah, apakah pasien
sempat kehilangan kesadarannya, dan sebagainya. Jika ABCDE stabil dan
resusitasi telah dilaksanakan maka dilanjutkan dengan survey sekunder dengan
melakukan pemeriksaan fisik dari kepala hingga kaki, fokus utamanya pada
pemeriksaan fisik neurologis. Jangan lupa pasien dipasangkan collar neck untuk
immobilisasi leher dan mencegah cedera cervikal. 1,2

Pasien dilakukan pemeriksaan penunjang radiologi berupa CT-Scan


kepala. CT-Scan Kepala perlu dilakukan pada pasien dengan cedera kepala untuk
mengevaluasi apakah terdapat perdarahan di intracranial dan juga untuk
mengetahui kelainan lainnya. Pada pasien dengan cedera kepala ringan dapat

25
26

dilakukan CT Scan apa bila terdapat ciri-ciri GCS pasien kurang dari 15 selama 2
jam setelah kecelakaan terjadi, Fraktur terbuka atau depresi kranium , Fraktur
basis cranii, Lebih dari 2 kali episode muntah , Usia pasien > 65 tahun dan
Riwayat penggunaan antikoagulan. Jika pasien tidak mengalami gejala apapun
(asimtomatik), sadar penuh, tidak ditemukan keabnormalan neurologis maka
pasien dapat diobservasi selama beberapa jam (idealnya 24 jam) kemudian dapat
dipulangkan. Beritahu pasien jika mengalami sakit kepala hebat, defisit neurologis
ataupun perubahan status mental maka pasien harus dibawa kembali ke IGD untuk
dilakukan pemeriksaan ulang. Berikan pasien lembar pemulangan yang berisikan
gejala-gejala yang apabila timbul pada pasien maka pasien harus dibawa kembali
ke IGD. 1,2
BAB V
KESIMPULAN

Cedera kepala akut merupakan cedera yang terjadi pada kepala dan segera
mengakibatkan kerusakan batang otak, kontusio hemisfer otak, cedera aksonal
diffus dan laserasi pada bagian korteks. Di Indonesia sendiri kejadian cedera
kepala masuk 3 besar paling banyak terjadi. Pengelompokkan cedera kepala yang
sering digunakan adalah pengelompokkan berdasarkan GCS pasien, sehingga
tatalaksananya pun dapat disesuaikan.

Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala akut diawali dengan survey


primer, resusitasi dan survey sekunder. Dilanjutkan dengan CT Scan hampir pada
semua jenis cedera kepala. Pada cedera kepala ringan dilanjutkan dengan
observasi. Pemberian obat-obatan seperti mannitol dapat diberikan pada cedera
kepala sedang. Sementarai itu, untuk cedera kepala berat dapat dilakukan
pemberian cairan normal salin, mannitol, koreksi antikoagulan, hiperventilasi,
antikonvulsan, barbiturat, dan tindakan operatif.

27
28

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support Tenth


Edition. Tenth. Chicago: The Committee on Trauma; 2018.

2. Williams, NS et all. Bailey and Love’s Short Practice of Surgery 25th


Edition. 25th ed. United Kingdom: Edward Arnold; 2008.

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar Tahun


2018.; 2018.

4. Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Reanimasi Jawa Tengah. Jurnal


Anestesiologi Indonesia. J Anestesiol Indones. 2010;II(Pengelolaan Trauma
Susunan Saraf Pusat):52.

5. Kellerman R. Conn’s Current Therapy. New York: Elsevier; 2019.


6. Sastrodiningrat. Neurosurgery Lecture Notes. Medan: USU Press; 2012.
7. Global Burden of Disease. Global, Regional and Nasional Burden of
Traumatic Brain Injury and Spinal Cord Injury 1990-2016: A Systematic
Analysis of The Global Burden of Disease Study 2016. Lancet. 2019.

8. Moran B. Farquharson’s Textbook of Operative General Surgery Tenth


Edition. United Kingdom: CRC Press; 2015.

9. Cydulka R, Cline DM, Ma JO, Fitch M, Joing SA WV. Tintinalli’s


Emergency Medicine Manual 8th Edition. 8th ed. New York: McGraw Hill
Education; 2018.

Anda mungkin juga menyukai