melebihi agama-agama lain. karena Akal dan wahyu adalah suatu yang sangat urgen untuk
manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada
sang kholiq, akal pun harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekrti yang
sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda rasulullah
SAW. Tidak hanaya itu dengan akal juga manusia bisa menjadi ciptaan pilihan yang allah
amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan wahyu yang dimana
wahyu adalah pemberian allah yang sangat luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan
yang lurus.
Namun dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid, karena ketauhitan
sang pencipta tak akan terukur dalam menemukan titik ahir, begitu pula dengan wahyu sang Esa,
karena wahyu diberikan kepada orang-orang terpilih dan semata-mata untuk menunjukkan
kebesaran Allah. Maka dalam menangani anatara wahyu dana akal harus slalu mengingat bahwa
semua itu karna allah semata. Dan tidak akan terjadi jika allah tak mengijinkannya. Hal tersebut
dilakukan untuk mencegah kemusyrikan terhadap allah karena kesombongannya.
Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql ()العـقـل, yang
dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh()عـقـلوه
dalam 1 ayat, ta’qiluun ( )تعـقـــلون24 ayat, na’qil ( )نعـقـل1 ayat, ya’qiluha ( )يعـقـــلها1 ayat
dan ya’qiluun ( )يعـقـلون22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti. Maka dapat
diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia yang memiliki fungsi untuk membedakan yang
salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas.
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut
kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut
pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah.
Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan
Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: sutu daya yang hanya dimiliki manusia dan
oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.[3]
2. Fungsi Akal
Akal banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
1. Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebatilan.
2. Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika permasalahan datang.
3. Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang benar.
Dan masih banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin
penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan setiap manusia
yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan dikerjakan tersebut. Dan Akal
adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal
iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang menjadi sumber
keyakinan pada tuhan.
3. Kekuatan Akal
Tak seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti, seperti
contoh:
a. Mengetahui tuhan dan sifat-sifatnya.
b. Mengetahui adanya hidup akhirat.
c. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan
berbuat baik, sedang kesngsaran tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
d. Mengetahui wajibnya manusia mengenal tuhan.
e. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia mnjauhi perbuatan jahat
untuk kebahagiannya di akhirat.
f. Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
DAFTAR PUSTAKA
BERANDA
ARTIKEL
TEBAR ASY-SYARIAH
DAFTAR AGEN
Dalam Islam, akal memiliki posisi yang sangat mulia. Meski demikian, bukan berarti akal diberi
kebebasan tanpa batas dalam memahami agama. Islam memiliki aturan untuk menempatkan akal
sebagaimana mestinya. Bagaimanapun, akal yang sehat akan selalu cocok dengan syariat
Allah subhanahu wa ta’ala, dalam permasalahan apa pun.
Akal adalah nikmat besar yang Allah subhanahu wa ta’ala titipkan dalam jasmani manusia. Nikmat yang
bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat
menakjubkan. (al-‘Aql wa Manzilatuhu fil Islam, hlm. 5)
Oleh karenanya, dalam banyak ayat, Allah subhanahu wa ta’ala memberi semangat untuk berakal (yakni
menggunakan akalnya), di antaranya,
س َّخ ٰ َر ۢتُ بِأَمۡ ِر ۚ ِٓۦه إِنَّ فِي ٰ َذلِ َك
َ س َو ۡٱلقَ َم ۖ َر َوٱلنُّ ُجو ُ@م ُم
َ ۡس َّخ َر لَ ُك ُم ٱلَّ ۡي َل َوٱلنَّ َها َر َوٱلشَّم َ َو
١٢ ون َ ُت لِّقَ ۡو ٖم يَ ۡعقِل ٖ َأَل ٓ ٰي
“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan
(untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi kaum yang memahami(nya).” (an-Nahl: 12)
انوَ ۡ
ن ص
ِ رُ ي ۡ َ
غ وَ انٞ و
َ نۡ ص
ِ يل
@
ٞ خِ َ نوَ عٞ ر ۡ َ
ز و
َ ب
ٖ َ ٰ ت م ۡن أَ ۡعٞ َّت َو َج ٰنٞ مت ٰ ََجو ٰ َرَٞوفِي ٱأۡل َ ۡرض قِطَع
ن
ٖ ِّ ِ ُّ ِ
ٰ
ت لِّقَ ۡو ٖم ٖ َض فِي ٱأۡل ُ ُك ۚ ِل إِنَّ فِي َذلِ َك أَل ٓ ٰي ٖ ض َها َعلَ ٰى بَ ۡع َ ض ُل بَ ۡعِّ َٓاء ٰ َو ِح ٖد َونُف
ٖ يُ ۡسقَ ٰى بِ َم
٤ ون َ ُيَ ۡعقِل
“Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan
pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan
sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (ar-Ra’d: 4)
Sebaliknya Allah subhanahu wa ta’ala mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya,
١٠ س ِعي ِر
َّ ب ٱل ۡ ََوقَالُوْ@ا لَ ۡو ُكنَّا نَ ۡس َم ُع أَ ۡو نَ ۡعقِ ُل َما ُكنَّا فِ ٓي أ
ِ ص ٰ َح
“Dan mereka berkata, ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya tidaklah kami
termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (al-Mulk: 10)
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “(Maknanya yaitu) tidak berakal dan tidak punya tamyiz (daya
pemilah)… Bagaimanapun (hal itu) tidak terpuji dari sisi itu, sehingga tidaklah terdapat dalam kitab
Allah subhanahu wa ta’ala serta dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pujian dan
sanjungan bagi yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah subhanahu wa
ta’ala telah memuji amal, akal, dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat, serta mencela keadaan
yang sebaliknya di beberapa tempat….” (al-Istiqamah, 2/157)
Kita pun dapat melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan terhadap
akal, seperti:
Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan
seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu
mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun
menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid
yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut.
Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak
mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang
mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 201)
Al-Imam az-Zuhri rahimahullah mengatakan, “Risalah datang dari Allah subhanahu wa ta’ala, kewajiban
Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah hlm. 201)
Orang yang menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan melakukan
kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya mazhab filasafat dan ahli kalam yang ingin memuliakan akal
dan mengangkatnya—demikian perkataan mereka—belum dan sama sekali tidak akan mencapai
sepersepuluh dari sepersepuluh apa yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal—ini jika kita tidak
mengatakan mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia memaksakan
akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana. (Minhajul Istidlal, dinukil
dari al-‘Aqlaniyyun hlm. 21)
Akal yang Terpuji dan yang Tercela
Menengok penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang terpuji, yaitu
ketika pada tempatnya. Terkadang juga tercela yaitu ketika bukan pada tempatnya. Adapun pendapat
akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil
syariat.
Akal yang tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim rahimahullah yang menyebutkan bahwa
pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
1. Pendapat akal yang menyelisihi nash al-Qur’an atau as-Sunnah.
2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap
menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.
3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat
dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut
filsafat.
4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya as-Sunnah.
5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekadar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan
prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104—106, al-Intishar, hlm. 21, 24, al-‘Aql wa Manzilatuhu)
Jadi, manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita, kemudian ternyata hasilnya adalah
salah satu dari lima yang tersebut di atas maka yakinlah bahwa itu pendapat yang tercela dan salah. Ia
harus ditinggalkan dan menundukkan akal di hadapan kepada syariat.
Akal yang Sehat Tidak Akan Menyelisihi Syariat
Disebutkan dalam kaidah ahlul kalam—ringkasnya—bahwa tatkala bertentangan antara akal dan wahyu
maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hlm. 172—173)
Dengan prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang sahih, dahulu ataupun sekarang. Tentu
kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat berbahaya. Untuk mengetahui batilnya
pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita merujuk kepada lima hal yang
disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah di atas.
Lebih rinci para ulama seperti Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, “Sesuatu yang diketahui dengan
jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bertentangan dengan syariat sama sekali. Bahkan dalil naqli yang
sahih tidak akan bertentangan dengan akal yang lurus, sama sekali. Saya telah memerhatikan hal itu
pada kebanyakan hal yang diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash
yang sahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan akal.
Bahkan diketahui dengan akal kebenaran, kebalikan dari hal tersebut yang sesuai dengan syariat. Kita
tahu bahwa para rasul tidak memberikan kabar dengan sesuatu yang mustahil menurut akal tapi
(terkadang) mengabarkan sesuatu yang membuat akal terkesima. Para rasul itu tidak mengabarkan
sesuatu yang diketahui oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu
untuk menjangkaunya.
Karena itu wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim terhadap
nash-nash wahyu, demikian pula bagi mereka yang berjalan di atas jalan mereka serta meniti jejak
mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu hadits pun di muka bumi yang bertentangan dengan
akal kecuali hadits itu lemah atau palsu.
Wajib bagi mereka untuk menyelisihi kaidah kelompok Mu’tazilah, kapan terjadi pertentangan antara akal
dan syariat menurut mereka maka wajib untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah membenarkan
syariat dalam segala apa yang ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yang
dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan semua yang dikabarkan
oleh akal.” (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155, 138)
Ketika Dalil Bertentangan dengan Akal
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya sahih dan akalnya
sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya sahih.
Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak
memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang
dibahas dengan benar. Adapun dalil, maka pasti benarnya.
Hal ini berangkat dari ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali
kepada dalil. Demikian pula anjuran para sahabat yang berpengalaman dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin al-Khaththab, “Wahai
manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat ath-Thabarani, lihat Marwiyyat Ghazwah al-
Hudaibiyyah, hlm. 177, 301)
Beliau mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan pendapatnya, walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya melihat ternyata
maslahat dari keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu besar dan tidak terjangkau oleh
pikirannya.
Oleh karenanya, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal,
maka yang diambil adalah dalil naqli yang sahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki,
tempatkan di mana Allah subhanahu wa ta’ala meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.”
(Mukhtashar as-Shawa’iq, hlm. 82—83 dinukil dari Mauqif al-Madrasah al-‘Aqliyyah, 1/61—63)
Abul Muzhaffar as-Sam’ani rahimahullah ketika menerangkan akidah Ahlus Sunnah berkata, “Adapun
para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan mereka dan mencari
agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak, mereka hadapkan kepada Kitab dan
Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada
Allah subhanahu wa ta’ala di mana Allah subhanahu wa ta’ala perlihatkan hal itu dan memberi mereka
taufik-Nya. Namun jika tidak sesuai dengan keduanya, maka mereka meninggalkannya serta mengambil
al-Kitab dan as-Sunnah kemudian menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya
keduanya (al-Kitab dan as-Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat
manusia kadang benar kadang salah.” (al-Intishar li Ahlil Hadits hlm. 99)
Apabila Akal Didahulukan
Jika akal didahulukan, maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:
ٍ َوقَالُوْ@ا لَ ۡواَل نُ ِّز َل ٰ َه َذا ۡٱلقُ ۡر َءانُ َعلَ ٰى َر ُج ٖل ِّم َن ۡٱلقَ ۡريَت َۡي ِن َع ِظ
٣١ يم
“Dan mereka berkata, ‘Mengapa al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri
(Makkah dan Thaif) ini?’.” (az-Zukhruf: 31)
3. Tidak mengambil faedah dari rasul sedikit pun karena mereka tidak merujuk kepadanya pada
perkara-perkara ketuhanan.
Adanya rasul menurut mereka, seperti tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih jelek karena mereka
tidak mengambil manfaat sedikit pun justru butuh untuk menolaknya.
DISUSUN OLEH :
DHIYA URAHMAN 140401040
DOSEN PEMIMBING
MAIMUNSYAH, LcMA
KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu memberi kepada kita pengatahuan, dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat
memberikan kepuasan kepada keinginan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib,
akan kebenaran.
Bagi manusia, berfilsafat itu berarti mengatur hidupnya seinsaf-insafnya, senetral-
netralnya dengan perasaan tanggung jawab, yakni tanggung jawab terhadap dasar hidup yang
sedalam-dalamnya, baik Tuhan, alam, atau pun kebenaran. Filsafat hendaknya mengilhamkan
keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang
menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan, ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi
kepada cita mulia kemanusiaan.
Dalam mempelajari Filsafat banyak sekali Manfaat yang bisa kita ambil dan kita petik
guna untuk menjalani hidup yang sebaik-baiknya. diantaranya Fiillsafat membantu kita unntuk
berfikir lebih Kritis dalam hal apapun. Didalam Filsafat dakwah juga banyak sekali hal-hal yang
dikaji dan dipelajari secara kritis dan mendalam. Sebagai mana ilmu lain filsafat juga memiliki
berbagai macam cabang-cabangya. Mempelajari filsafat adalah salah satu hal yang menarik dan
banyak diminati oleh orang-orang, terutama mereka yang ingin mecari kebenaran. Oleh karna itu
penulis menyusun makalah ini guna untuk mengenal dan mempelajari filsafat, objek kajian serta
manfaat mempelajari filsafat Dakwah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Pengertian Filsafat Dakwah?
2. Jelaskan Objek kajian Filsafat Dakwah (Formal & Material)?
3. Manfaat mempelajari Filsafat Dakwah?
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN FILSAFAT
Secara garis besar Filsafat dapat dikatakan sebuah pandangan hidup seseorang atau
sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan.
Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan
segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan
segala hubungan. Filsafat mengambil peran penting karena dalam filsafat kita bisa menjumpai
pandangan-pandangan tentang apa saja (kompleksitas, mendiskusikan dan menguji kesahihan
dan akuntabilitas pemikiran serta gagasan-gagasan yang bisa dipertanggung jawabkan secara
ilmiah dan intelektual). Selanjutnya Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi yaitu
pegertian filsafat secara Bahasa dan pengertian filsafat secara istilah.
Ciri-ciri Berfikir filsafat adalah berfikir segala sesuatu yang ada, berfikir yang
konsepsional mendasar dan menyentuh esensi yang difikirkan. Ciri-cirinya yaitu
a) Metodis, menggunakan metode cara yang lazim digunakan oleh para filosof dalam proses
beerfikir filsafat.
b) Sistematis, yaitu dalam berfikir masing-masing unsur berkaitan satu sama lain secara teratur
dalam satu keseluruhan.
c) Koheren, yaitu dalam berfikir unsur-unsur tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan
satu sama lain, namun juga membuat uraian yang logi.
d) Rasional, yaitu harus berdasarka pada kaiadah berfikir yang benar (logis)
e) Konprehensif, yaitu berfikir secara menyeluhruh.
f) Radikal, yaitu berfikir secara mendalam samapai pada akar persoalannya
g) Universal, yaitu muatan kebenarannya sampai pada tingkat umum universal (secara
keseluruhan)
h) Bebas, yaitu samapai kebatas-batas yang berada diluar pemikiran, yakni bebas dari prasangka-
prasangka sosial, historis, kultural, religius (pemikiran filsafat ini dibarat).
i) Bertanggung jawab, yaitu seorang yang berfilsafat adalah orang yang berfikir sekaligus
bertanggung jawab terhadap hasil pemikirannya paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.
Filsafat sangat dibutuhkan manusia untuk mengatasi segala persoalan yang muncul dalam
kehidupan, termasuk persoalan-persoalan dakwah. Dengan filsafat, seluruh pertanyaan hidup
mengenai arti, isi dan makna dari segala sesuatu yang dilihat dan dialami dapat ditemukan
jawabannya. Hal ini telah di implementasikan Nabi Muhammad SAW dalam aktivitas
dakwahnya.
Objek kajian dakwah adalah setiap bentuk dari proses merealisasikan ajaran Islam pada
kehidupan manusia melalui strategi, metode, dan sistem yang relevan dengan
mempertimbangkan aspek religio-politik-kultural-sosio dan psikologis umat manusia.
Setelah mendalami masalah objek kajian filsafat dan objek kajian dakwah, sekarang kita
dapat mengintegrasikan antara keduanya yaitu objek kajian filsafat dakwah. Objek studi filsafat
dakwah adalah pemikiran mendalam dan radikal, logis dan sistematis tentang proses usaha
merealisasikan ajaran Islam dalam kehidupan umat manusia dengan melalui strategi, metode,
dan sistem yang relevan dengan mempertimbangkan dimensi religio-politik-kultural-sosio-
psikologis umat manusia.
Tujuan filsafat dakwah adalah memberikan pemahaman yang bersifat universal tentang
suatu ajaran islam secara mendalam, mendasar dan radikal sampai keakar-akarnya, sehingga
akhirnya dapat membawa pada kebenaran yang hakiki, kebenaran hakiki tersebut
terimplementasikan dalam sikap keseharian sebagai orang islam. Dengan demikian filsafat
dakwah juga memberikan kontribusi keilmuan dengan mempertajam metodologi dan pendekatan
sehingga para da’I mampu melihat realitas umat secara tajam dan santun.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Filsafat dakwah adalah filsafat khusus yang berkaitan dengan dakwah sebagai relasi dan
aktualisasi imani manusia dengan agama Islam, Allah dan alam (lingkungan, dunia).
Secara ringkas ruang lingkup filsafat dakwah paling tidak meliputi empat hal yang selalu
punya kaitan erat. Yaitu:
Manusia sebagai pelaku (subyek) dakwah dan manusia sebagai penerima (obyek) dakwah.
Agama Islam sebagai pesan atau materi yang harus disampaikan, diimani serta diwujudkan dalam
realitas (diamalkan) di masyarakat.
Allah yang menciptakan manusia dan alam, sebagai Rab yang memelihara alam dan menurunkan
agama Islam serta menentukan terjadinya proses dakwah. Dan
Lingkungan, yaitu alam (bumi dan sekitarnya) tempat terjadinya proses dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Yuyun Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakartra: Yayasan Obor Indonesia dan Leknas
LIPI, 1982)
H. A. Mustafa. 1997: Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung.
A. Heri Hermawan, M Ag, Yaya Sunarya, M,pd. 2011: Filsafat Islam, Insan Mandiri, Bandung.
FILSAFAT DAKWAH
A. Pendahuluan Jauh sebelum dakwah popular di kalangan umat Muslim sekarang ini, di era
Rasulullah kegiatan dakwah dilakukan guna menyebarkan ajaran dan syiar Islam ke masyarakat
Jahiliyah. Pada mulanya, dakwah sering dilakukan dengan tujuan penyebaran dan perluasan
kekuasaan agama Islam di muka bumi. Kemudian pasca Nabi wafat, orientasi dakwah secara
perlahan mulai bergeser. Dari perjuangan menjadi penguatan akan hal-hal yang sudah diketahui
dan perlu dipertegas lagi pengetahuan umat akan ajaran-ajaran Islam. Oleh karenanya, materi
dan kegiatan dakwah yang berlangsung sekarang ini, banyak yang menuai dengan hal-hal seputar
bagaimana caranya mendapatkan hubungan yang harmonis antara kita dengan Sang Khaliq,
sehingga dapat meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Begitu pun dengan hal-hal imanen
(duniawi) lainnya. Bagaimana dakwah dalam menegakkan rasa kemanusiaan di antara sesama;
mendapatkan kebebasan dalam hidup; menyebarkan persamaan di antara umat Muslim;
menguatkan rasa persaudaraan; bagaimana mendapatkan kesejahteraan, keadilan sehingga kita
bisa bahagia. Dari delapan cakupan di atas itulah yang menjadi kajian dalam ranah dakwah
konteks kekinian. Karena boleh dibilang itulah core (inti) capaian akhir dari dakwah sekarang
ini. Dengan menekankan pada dua sifat, yaitu bagaimana menegakkan hablum minanallah
(hubungan vertikal), dan mengembangkan hablum minannas (hubungan horizontal). Mengingat
pentingnya manusia dalam meraih yang delapan tadi, maka dalam paparan-paparan berikutnya
dalam membahas filsafat dakwah, akan diuraikan sepintas tiap bagiannya.
1. Transenden Kebanyakan orang memahami transenden ini sebagai bentuk pengakuan, bahwa
ada sesuatu zat adikodrati yang sumbernya berada di luar diri manusia, yang tiada lain sebagai
jalan untuk memahami dan mengetahui luar jangkauan manusia. Maka, dengan memakai sudut
pandang transenden ini, kita harus memahami al-Qur’an sebagai suatu sistem gagasan yang
otonom dan sempurna. Meskipun setiap pernyataan isi al-Qur’an mengacu pada peristiwa aktual
bersifat transcendental.1 Seperti dalam menjelaskan kebesaran dan kehebatan Allah SWT. yang
tidak akan mampu manusia untuk menandinginya. Sementara di balik, itu manusia seolah-olah
tidak ada keraguan denganya, dan langsung meyakininya. Kita mengenal Tuhan tidak secara
langsung. Kita mengenal Tuhan melalui alam yang tidak sempurna itu. Pengenalan kita terhadap
sifat-sifat Tuhan pun tidak secara langsung dan tidak sempurna. Kita sukar dalam mengartikan
kata sempurna, karena kita sendiri tidak sempurna. Sifat-sifat dunia kita terapkan pada Tuhan,
sifat-sifat itu sempurna pada Tuhan sedangkan pada kita tidak. Dalam mengartikan ‘ada’ dalam
alam akan diada-adakan, sedangkan ‘ada’ pada Tuhan tidak diada-adakan. Jadi manusia dan
alam adanya diadakan, sedangkan Tuhan ada sendiri. Tuhan itulah yang dimaksud dengan
transenden. Dan Tuhan mengatasi makhlukNya.2 Hematnya kita selaku manusia dan hamba
yang lemah harus betul-betul mempercayai bahwa memang ada sesuatu zat transenden yang
keberadaannya di luar diri manusia, yang salah satu jalannya seperti yang telah dikatakan
Koentowijoyo, yaitu dengan cara memahami isi dan maksud yang terkandung dalam al-Qur’an.
Karena dengan demikian, kita akan merasa dekat dan memahami-Nya serta mempercayai
keberadaannya. Selain itu, dalam rangka mengimani-Nya, kita bisa juga dengan mentafakuri
semua isi alam ini sebagai hasil ciptaan-Nya. Inilah salah satu manfaat dan juga tujuan kita,
dengan mempercayai hal-hal yang transenden. Dengan kata lain, kita bisa menghindarkan diri
dari sikap sombong terhadap sesama dan Tuhan.
2. Humanisme Hal kedua yang menjadi fokus dakwah sekarang ini mengembangkan dan
menjadikannya serba manusia. Artinya derajat dan harkat manusia dimunculkan diperdengarkan
pada orang lain. Sehingga rasa kasih sayang dan kesadaran bersama menyatu dalam kehidupan.
Humanisme diyakini sebagai suatu proses pemanusiaan atau memanusiakan manusia.
Maksudnya adalah menempatkan dan memperlakukan manusia dengan selayaknya sesuai
dengan ketentuan yang ada.
12
Koentowijoyo, Paradigma Islam Intrepretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 29.
Poedjawiyatna, Filsafat Tingkah Laku-Etika, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 25.
Konsep Islam dalam hal kemanusiaan sangat memberikan kebebasan terhadap manusia untuk
bersaudara dan bergaul dengan manusia yang lainnya. Di dalam Islam, manusia digambarkan
sebagai makhluk yang merdeka, dan karena hakikat kemerdekaannya itulah manusia menduduki
tempat yang terhormat. Banyak sekali ayat al-Qur’an yang menyerukan agar manusia
menemukan esensi dirinya, memikirkan kedudukannya dalam struktur realitas. Dengan demikian
mampu menempatkan dirinya sesuai dengan proporsi dirinya. Dalam konsep al-Qur’an, posisi
dan kadar manusia itu sangat penting. Begitu pentingnya posisi itu dapat dilihat dalam predikat
yang diberikan Tuhan sebagai khalifahtullah (hamba atau wakil Allah) di muka bumi. Predikat
ini memberikan gambaran kepada manusia untuk mengatur dunia ini. Sebuah tugas yang maha
berat, sehingga ada juga makhluk-makhluk lain enggan memikulnya. Islam itu sendiri adalah
agama yang humanisme, yaitu sebuah agama yang sangat mementingkan manusia sebagai tujuan
sentral. Dengan demikian dapat dikatakan kalau humanisme Islam adalah humanisme teosentrik,
artinya ia merupakan sebuah agama yang memusatkan dirinya pada Tuhan (keimanan), yang
kemudian mengarahkan perjuangannya untuk kemuliaan peradaan manusia. Berbeda dengan
pandangan agama Kristen atau Barat, yang memandang manusia sebagai makhluk yang rendah,
dungu, dan pendosa yang ajali. Dengan adanya aturan-aturan Allah yang terkumpul di dalam
nash al-Qur’an, sebetulnya Ia (Allah) pernah memperlakukan manusia secara humanis, sekaligus
mengajarkan kepada manusia. Bagaimana mereka seharusnya memperlakukan sesamanya yang
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada? Oleh karena itu, kita yang diperlakukan oleh Allah
secara humanis, maka selayaknyalah kita mentaati peraturan yang telah dibuat-Nya. Kita sebagai
manusia serta komunitas yang berada di bawah tataran hukum, maka kita harus mentaati
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Maka kehidupan kita akan berjalan secara dinamis
dan harmonis.