Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

(COB)

1. Definisi Cedera Otak Berat


Cidera kepala adalah cidera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak.
Cidera kepala adalah gangguan neurologic yang paling sering terjadi dan gangguan
neurologik yang serius di antara gangguan neurologik dan merupakan proporsi epidemik
sebagai akibat kecelakaan di jalan raya (Smeltzer & Bare 2002). Cidera otak berat atau COB
adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada otak secara langsung
maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (Price, 1995). Cedera otak berat merupaka
keadaan dimana struktur lapisan otak mengalami cedera berkaitan dengan edema,
hyperemia, hipoksia dimana pasien tidak dapat mengikuti perintah, dengan GCS < 8 dan
tidak dapat membuka mata.
2. Etiologi
Cidera kepala paling sering akibat dari trauma. Mekanisme terjadinya cidera kepala
berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut Nurarif dan Kusuma
(2013) yaitu sebagai berikut:
a. Akselerasi
Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang diam
kemudian dipukul atau dilempari batu.
b. Deselerasi
Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala yang terbentur
benda padat.
c. Akselerasi-deselerasi
Terjadi pada kcelakaan bermotor dengan kekerasan fisik antara tubuh dan kendaraan
yang berjalan
d. Coup-counter coup
Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam ruang intracranial dan
menyebabkan cedera pada area yang berlawanan dengan yang terbentur dan area yang
pertama terbentur
e. Rotasional
Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan
meregang dan robeknya pembuluh darah dan neuron yang memfiksasi otak dengan
bagian dalam tengkorak

3. Tanda dan gejala


Menurut Mansjoer (2008) tanda dan gejala dan beratnya cidera kepala dapat
diklasifikasikan berdasarkan skor GCS yang dikelompokkan menjadi tiga yaitu :
a. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS = 14-15
Klien sadar, menuruti perintah tetapi disorientasi, tidak kehilangan kesadaran, tidak ada
intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing,
klien dapat menderita laserasi, dan hematoma kulit kepala.
b. Cidera kepala sedang dengan nilai GCS = 9-13
Klien dapat atau bisa juga tidak dapat menuruti perintah, namun tidak memberi respon
yang sesuai dengan pernyataan yang diberikan, amnesia pasca trauma, muntah, tanda
kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau
rinorea cairan serebro spinal), dan kejang.
c. Cidera kepala berat dengan nilai GCS ≤ 8.
Penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologis fokal, cidera kepala penetrasi
atau teraba fraktur depresi cranium, kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam, disertai
kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania dan edema serebral. Perdarahan
intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya pembuluh darah pada jaringan otak.
Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat
terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).

4. Patofisiologi
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu
cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder.Cedera otak primer adalah cedera yang
terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali
membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses
penyembuhan yang optimal. Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin
karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi
karena terjatuh, dipukul, kecelakaan dan trauma saat lahir yang bisa mengakibatkan
terjadinya gangguan pada seluruh sistem dalam tubuh.
Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan sesudah atau
berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak
ada pada area cedera. Cidera kepala terjadi karena beberapa hal diantanya, bila trauma
ekstrakranial akan dapat menyebabkan adanya leserasi pada kulit kepala selanjutnya bisa
perdarahan karena mengenai pembuluh darah. Karena perdarahan yang terjadi terus-
menerus dapat menyebabkan hipoksia, hiperemi peningkatan volume darah pada area
peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasiarterial, semua menimbulkan
peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK), adapun,
hipotensi namun bila trauma mengenai tulang kepala akan menyebabkanrobekan dan terjadi
perdarahan juga. Cidera kepala intrakranial dapat mengakibatkan laserasi, perdarahan dan
kerusakan jaringan otak bahkan bisa terjadi kerusakan susunan syaraf kranial terutama
motorik yang mengakibatkan terjadinya gangguan dalam mobilitas.

5. Klasifikasi
Berdasarkan jenis luka, cidera otak dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Cidera kepala tertutup: biasa disebut sebagai blunt trauma terjadi apabila benturan hebat
pada objek yang keras atau benda yang bergerak dengan kecepatan tinggi menabrak
kepala. Lapisan dura masih utuh, tidak ada bagian otak yang muncul keluar.
b. Cidera kepala terbuka: tulang tengkorak terbuka, menyebabkan isi kepala nampak dari
luar seperti skull, meningens, atau jaringan otak termasuk dura. Tereksposenya isi kepala
ini meningkatkan resiko terjadinya infeksi.

6. Komplikasi
a. Peningkatan tekanan intra cranial
b. Infeksi
c. Gagal nafas
d. Herniasi otak
7. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari cidera otak secara umum antara lain:
 Penurunan kesadaran
 Keabnormalan pada sistem pernafasan
 Penurunan reflek pupil, reflek kornea
 Penurunan fungsi neurologis secara cepat
 Perubahan TTV (peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan darah, bradikardi,
takikardi,hipotermi, atau hipertermi)
 Pusing, vertigo
 Mual dan muntah
 Perubahan pada perilaku, kognitif, maupun fisik
 Amnesia
 Kejang

8. Pemeriksaan Penunjang
a.CT Scan: untuk melihat adanya dan letak perdarahan, massa, lesi pada saraf, perubahan
kepadatan jaringan, kejadian iskemik, atau fraktur.
b. Lumbal pungsi: untuk mengetahui adanya perdarahan atau PTIK melalui analisa
CSF. Pada kasus subdural hematom kronis CSF berwarna kuning dengan kandungan
protein rendah).
c. EEG: menganalisa gelombang otak. Pada kasus contusion akan ditemukan gelombang
theta dan delta dengan amplitude yang tinggi.
d. X-Ray: untuk mengetahui aliran darah di otak atau adanya fraktur pada tulang
tengkorak.
e. MRI: untuk mengetahui adanya massa di otak atau perubahan struktur dalam otak
A. Pathway COB + ICH

Trauma kepala

Terputusnya kontinuitas Kerusakan sel


Risiko otak
jaringan tulang, jaringan kulit, Gangguan
infeksi
otot, dan laserasi pembuluh suplai darah
darah Meningkatkan
Perubahan sirkulasi cairan Iskemia rangsangan
serebrospinal Nyeri
akut simpatis
Cairan serebrospinal di lapisan
Hipoksia
subdural Meningkatkan
Subdural hygroma tahanan vaskuler
Ketidakefektifan
sistemik dan
Edema serebri perfusi jaringan
tekanan darah
Mual otak
muntah Menurunkan
Peningkatan TIK
tekanan
Risiko kekurangan pembuluh darah
Mesensefalon pulmonal
tertekan volume cairan

Peningkatan
Pandangan
Gangguan kabur tekanan
kesadaran Penurunan hidrostatik
fungsi
Kebocoran cairan
Imobilisasi kapiler
Risiko cidera

Penumpukan Oedem paru


sekret Risiko Defisit
gangguan perawatan
integritas kulit diri Difusi O2
terhambat
Ketidakfektifan
bersihan jalan Ketidakefektifan
nafas pola nafas
Konsep Asuhan Keperawatan
1. pengkajian
b. Identitas Klien: untuk mengkaji status klien (nama, umur, jenis kelamin, agama,
pendidikan, alamat, pekerjaan, status perkawinan)
c. Riwayat kesehatan: diagnosa medis, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah dialami, alergi, imunisasi,
kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang digunakan, riwayat penyakit keluarga
d. Genogram
e. Pengkajian Keperawatan (11 pola Gordon)
f. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum, tanda vital
2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata, telinga,
hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas, kulit dan kuku, dan
keadaan lokal.
Perlu dilakukan pengkajian yang lebih menyeluruh dan mendalam dari berbagai
aspekuntuk mengetahui permasalahan yang ada pada klien dengan cidera otak berat
dan trauma pada abdomen, sehingga dapat ditemukan masalah-masalah yang ada
pada klien. Prinsip umum yang dapat dilakukan untuk mengkaji permasalahan pada
pasien yaitu dengan B6:
a. Breathing : Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi
maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas
berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinankarena aspirasi), cenderung
terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. Trauma tumpul pada
abdomen dapat menimbulkan munculnya pembengkakan organ intraabdomen
sehingga terjadi kompresi diafragma yang dapat menimbulkan frekuensi
pernapasan meningkat.
b. Blood:Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi
rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi
menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan
bradikardia, disritmia). Kerusakan jaringan vaskuler pada abdomen dapat
menyebabkan terjadinya perdarahan masif sehingga terjadi potensial
komplikasi perdarahan intraabdomen.
c. Brain :Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya
gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,
amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,
baal pada ekstrimitas.
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan
pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
1. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori)
2. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia
3. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
4. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagusmenyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah
satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
7. Pemeriksaan GCS

2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan penurunan aliran darah ke otak
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
c. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
3. Rencana keperawatan
1) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan aliran darah ke
otak
Tujuan:
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi
motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
INTERVENSI RASIONAL
Tentukan faktor-faktor yg Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan
menyebabkan koma/penurunan dalam pemulihannya setelah serangan awal,
perfusi jaringan otak dan potensial menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan
peningkatan TIK.
intensif.

Pantau /catat status neurologis Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial


secara teratur dan bandingkan peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan
dengan nilai standar GCS. lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor
Evaluasi keadaan pupil, ukuran, (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak
kesamaan antara kiri dan masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh
kanan, reaksi terhadap cahaya. keseimbangan antara persarafan simpatis dan
parasimpatis. Respon terhadap cahaya
mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf
kranial optikus (II) dan okulomotor (III).
Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh
penurunan TD diastolik (nadi yang membesar)
Pantau tanda-tanda vital: TD, merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika
nadi, frekuensi nafas, suhu. diikuti oleh penurunan kesadaran.
Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan
kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat
mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi
oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil)
yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh
yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.
Pantau intake dan out put, Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan
turgor kulit dan membran diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan
mukosa. pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh
darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif
terhadap tekanan serebral.
Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi
fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk
mempertahankan atau menurunkan TIK.
Turunkan stimulasi eksternal Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak
dan berikan kenyamanan, dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
seperti lingkungan yang tenang. Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga
akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko
Bantu pasien untuk terjadinya peningkatan TIK.
menghindari /membatasi batuk,
muntah, mengejan. Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan
Tinggikan kepala pasien 15-45 edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran
derajad sesuai indikasi/yang vaskuler TD dan TIK.
dapat ditoleransi. Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat
meningkatkan vasodilatasi dan volume darah
Batasi pemberian cairan sesuai serebral yang meningkatkan TIK.
indikasi. Diuretik digunakan pada fase akut untuk
menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema
Berikan oksigen tambahan otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, yang
sesuai indikasi. selanjutnya menurunkan edema jaringan.
Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah
Berikan obat sesuai indikasi, terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk
misal: diuretik, steroid, menghilangkan nyeri . Sedatif digunakan untuk
antikonvulsan, analgetik, mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik
sedatif, antipiretik. menurunkan atau mengendalikan demam yang
mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme
serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap
oksigen.

2) Gangguan pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera
pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi
trakeobronkhial.
Tujuan:
 mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:

 bebas sianosis, GDA dalam batas normal


INTERVENSI RASIONAL
Pantau frekuensi, irama, Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi
kedalaman pernapasan. pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan
Catat ketidakteraturan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat
pernapasan. menandakan perlunya ventilasi mekanis.
Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi
Pantau dan catat penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan
kompetensi reflek refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan
gag/menelan dan napas buatan atau intubasi.
kemampuan pasien untuk
melindungi jalan napas Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan
sendiri. Pasang jalan napas menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang
sesuai indikasi. menyumbat jalan napas.
Angkat kepala tempat tidur Mencegah/menurunkan atelektasis.
sesuai aturannya, posisi
miirng sesuai indikasi.
Anjurkan pasien untuk Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma
melakukan napas dalam atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat
yang efektif bila pasien membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan
sadar. pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan
Lakukan penghisapan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan
dengan ekstra hati-hati, atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan
jangan lebih dari 10-15 vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh
detik. Catat karakter, cukup besar pada perfusi jaringan.
warna dan kekeruhan dari Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti
sekret. atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang
membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau
menandakan terjadinya infeksi paru.

Auskultasi suara napas, Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan


perhatikan daerah asam basa dan kebutuhan akan terapi.
hipoventilasi dan adanya Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-
suara tambahan yang tidak tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi
normal misal: ronkhi, atau bronkopneumoni.
wheezing, krekel. Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan
Pantau analisa gas darah, membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat
tekanan oksimetri pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi
Lakukan ronsen thoraks mekanik.
ulang. Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini
seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk
Berikan oksigen. memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan
menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.

Lakukan fisioterapi dada


jika ada indikasi.

Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan
kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan
steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.

Kriteria evaluasi:

Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.

INTERVENSI RASIONAL
Berikan perawatan aseptik dan Cara pertama untuk menghindari terjadinya
antiseptik, pertahankan tehnik cuci infeksi nosokomial.
tangan yang baik.

Observasi daerah kulit yang Deteksi dini perkembangan infeksi


mengalami kerusakan, daerah yang memungkinkan untuk melakukan tindakan
terpasang alat invasi, catat dengan segera dan pencegahan terhadap
karakteristik dari drainase dan adanya komplikasi selanjutnya.
inflamasi. Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis
Pantau suhu tubuh secara teratur, catat yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau
adanya demam, menggigil, diaforesis tindakan dengan segera.
dan perubahan fungsi mental
(penurunan kesadaran). Peningkatan mobilisasi dan pembersihan
Anjurkan untuk melakukan napas sekresi paru untuk menurunkan resiko
dalam, latihan pengeluaran sekret paru terjadinya pneumonia, atelektasis.
secara terus menerus. Observasi
karakteristik sputum. Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien
Berikan antibiotik sesuai indikasi yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau
setelah dilakukan pembedahan untuk
menurunkan resiko terjadinya infeksi
nosokomial.
Daftar Pustaka
Titin karisma,2O16.lpcob. https://id.scribd.com/doc/313967785/LP-COB-fix-doc di unduh
pada tanggal 22.maret.2O21 pukul 12.15
Zakarialutfi.lpcobnew. https://www.academia.edu/31022283/LP_COB_NEW di unduh
pada tanggal 22.maret.2O21 pukul 13.22
Putraeka. 2O16.lpcob. https://id.scribd.com/doc/313412295/LP-COB di unduh pada
tanggal 22.maret.2O21 pukul 13.57

Anda mungkin juga menyukai