Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FARMAKOGNOSI I

“MONOTERPENOID”

Dosen Pengampu :

Erladys Melindah Rumondor, S.Si, M.Farm

Disusun Oleh Kelompok 2

Elline Dewi Kezia 20101105057 Anggi Wehelmina 20101105026

Tasya Kalalo 20101105063 Gabby Maharani Surentu 2010105069

Ribka Margareth Naray 20101105045 Jeremy Jovie Lumangkun 2010105032

Finasti Ayu Pararak 20101105051 Andi Kifli Wuisan 20101105014

Chelsea Kawatu 20101105002 Ripka Milka Sumanti 20101105008

Pricilia Kesia Ticoalu 20101105039 Keisya V.E Samatara 20101105020

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SAM RATULANGI

MANADO

2021
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Senyawa metabolit sekunder merupakan molekul kecil yang dihasilkan dan organisme.
Senyawa ini bukan merupakan senyawa komponen dasar untuk proses kehidupan. Beberapa
contoh senyawa metabolit sekunder adalah terpenoid, flavonoid, alkaloid, fenilpropanoid.

Terpenoid adalah komponen-komponen tumbuhan yang mempunyai bau dan dapat


diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan. Pada tumbuhan, terpenoid berguna sebagai
hormone pertumbuhan dan sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba.
Sedangkan pada pengobatan. senyawa ini dapat mengendalikan aktivitas bakteri gram positif dan
bakterigram negative, Penelitian mengenai terpenoid telah banyak dilakukan melihat manfaatnya
yang begitu luas khususnya dalam dunia kesehatan. Contoh dari golongan senyawa terpenoid
adalah monoterpen, seskuiterpen, diterpen, triterpen, tetraterpenoid, politerpenoid.

Dalam makalah akan dibahas mengenai salah satu senyawa metabolit sekunder bagian
dari terpenoid yaitu Monoterpen. Monoterpen adalah alkohol primer yang ditemukan dalam
materi tanaman yang berperan dalam pengurangan kolesterol dan merangsang apoptosis.
Monoterpenoid memiliki rumus kimia C10H16, merupakan senyawa essence dan memiliki bau
yang spesifik yang dibangun oleh 2 unit isopren atau dengan jumlah atom karbon 10.
Monoterpen (C10) merupakan komponen utama dari minyak atsiri.

Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dan klasifikasi dari monoterpen?


2. Bagaimana rumus dan struktur dari monoterpen?
3. Bagaimana proses sintesis monoterpen?
4. Bagaimana karakteristik monoterpen?
5. Bagaimana sumber monoterpen?
6. Bagaimana efek farmakologis monoterpen?

Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui pengertian dan klasifikasi monoterpenoid, mengetahui cara sintesis


monoterpen, mengetahui karakteristik monoterpen yaitu sifat fisika dan kimia monoterpen,
mengetahui sumber monoterpen, dan mengetahui efek farmakologis dari senyawa monoterpen.
BAB II

PEMBAHASAN

Definisi dan Klasifikasi Monotepenoid

1. Pengertian Monoterpenoid

Monoterpenoid merupakan senyawa terpenoid yang paling sederhana, terbentuk dari dua
unit isopren dan merupakan dua komponen minyak atsiri yang berupa cairan tak berwarna, tidak
larut dalam air, mudah menguap dan berbau harum. Monoterpen mempunyai titik didih berkisar
antara 140 - 180°C.
Struktur monoterpenoid dapat berupa rantai terbuka dan tertutup atau siklik. Senyawa
monoterpenoid banyak antiseptik, dimanfaatkan ekspektoran, spasmolitik, dan sedatif. Senyawa
monoterpenoid sebagai bahan pemberi aroma makanan dan aroma parfum.

2. Klasifikasi Monoterpenoid

Monoterpenoid dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu

1). Monoterpenoid Asiklik


merupakan senyawa monoterpen yang berbentuk linier atau tidak memiliki cincin. Beberapa
senyawa Asiklik dapat terbentuk melalui reaksi yang berbeda-beda.
Contohnya:

Mircena Geraniol
2). Monoterpenoid Monosiklik
merupakan Unit isoprena dapat membuat hubungan untuk membuat cincin. Ukuran cincin
yang paling umum pada monoterpena adalah cincin heksagonal. Contoh klasik adalah siklisasi
geranil pirofosfat menjadi limonena.

- Senyawa Terpinena, fellandrena, dan terpinolena dapat terbentuk dengan cara yang sama
dengan proses pembentukan limonene tersebut.
- Jika Hidroksilasi senyawa ini diikuti dengan dehidrasi, maka dapat membentuk senyawa
aromatik p-cimena.
- Terpenoid penting yang diturunkan dari terpena monosiklik diantaranya yaitu mentol,
timol, carvacrol dan sebagainya.

3). Monoterpenoid Bisiklik


merupakan senyawa monoterpen yang memiliki dua cincin yang saling
menyatu.Senyawa Geranil pirofosfat (GPP) dapat terbentuk dari dua seri reaksi siklisasi,
sehingga membentuk monoterpena bisiklik. Contoh senyawa bisiklik yaitu pinena yang
merupakan konstituen utama dari resin pinus. Berikut merupakan proses terbentuknya
senyawa pinena.

Rumus Molekul dan Struktur Monoterpenoid

Monoterpena adalah kelompok terpena yang terdiri dari dua unit isoprena dan mempunyai rumus
molekul C10H16. Monoterpena dapat berupa linear (asiklik) atau mengandung cincin.berikut
beberapa contoh struktur monoterpenoid
Monoterpenoid merupakan senyawa "essence" dan memiliki bau yang spesifik yang dibangun
oleh 2 unit isopren atau dengan jumlah atom karbon 10. Lebih dari 1000 jenis senyawa
monoterpenoid telah diisolasi dari tumbuhan tingkat tinggi, binatang laut, serangga dan binatang
jenis vertebrata dan struktur senyawanya telah diketahui. Struktur dari senyawa mono terpenoid
yang telah dikenal merupakan perbedaan dari 38 jenis kerangka yang berbeda, sedangkan prinsip
dasar penyusunannya tetap sebagai penggabungan kepala dan ekor dari 2 unit isopren. struktur
monoterpenoid dapat berupa rantai terbuka dan tertutup atau siklik.

Sintesis Monoterpenoid

Cara memperoleh monoterpene (bagian dari minyak atsiri) dapat dilakukan dengan
beberapa cara yaitu :

1. Metode Penyulingan
● Penyulingan dengan air (water distillation)

Gambar Rangkaian alat destilasi dengan air

(Sumber: https://slidetodoc.com/minyak-atsiri-minyak-atsiri-volatile-oil-minyak-atsiri/ )

Pada metode ini bahan direbus didalam air mendidih dalam satu wadah. Minyak
atsiri akan dibawa oleh uap air yang kemudian didinginkan dengan mengalirkannya
melalui pendingin. Hasil sulingan adalah minyak atsiri yang belum murni. Perlakuan ini
sesuai untuk minyak atsiri yang tidak rusak oleh pemanasan (Guenther, 1987).

Metode destilasi dengan air, bahan yang akan didestilasi langsung di kontak
dengan air mendidih. Bahan tersebut mengapung di atas air atau secara sempurna,
tergantung dari berat jenis dan bahan yang didestilasi. Peristiwa pokok yang terjadi pada
proses ini yaitu difusi minyak atsiri dan air panas melalui membrane tanaman, hidrolisa
terhadap beberapa komponen minyak atsiri dan dekomposisi yang disebabkan oleh panas.
Proses hidrodestilasi bahan dan kecepatan penguapan minyak tidak dipengaruhi oleh sifat
menguapnya komponen minyak atsiri, melainkan lebih banyak oleh derajat kelarutannya
dalam air. Keuntungannya adalah baik untuk menyuling bahan berbentuk tepung dan
bunga-bunga yang mudah menggumpal jika kena panas. Kelemahannya yaitu
pengekstraksi minyak atsiri tidak dapat berlangsung sempurna (Ketaren, 1985).

Bahan yang dibutuhkan merupakan bahan yang kering dan tidak rusak bila
didihkan. Bahan tersebut mengapung di atas air terendam secara sempurna tergantung
bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling. Jadi dengan car aini bahan langsung
berhubungan dengan air mendidih. Beberapa bahan yang disuling dengan metode ini
adalah serbuk dan bunga-bungaan, bahan tersebut akan menggumpal sehingga uap tidak
dapat menembus sel-sel tanaman (Guenther, 1987).

● Penyulingan dengan air dan uap (water and steam distillation)


Gambar Rangkaian alat destilasi dengan air dan uap

(Sumber: https://slidetodoc.com/minyak-atsiri-minyak-atsiri-volatile-oil-minyak-atsiri/ )

Bahan tumbuhan yang akan disuling dengan metode penyulingan air dan uap
ditempatkan dalam suatu tempat di bagian bawah dan tengah berlobang-lobang yang
ditopang di atas dasar alat penyulingan. Ketel diisi dengan air sampai permukaan air
tidak jauh di bawah saringan, uap air akan naik bersama minyak atsiri kemudian dialirkan
melalui pendingin. Hasil sulingannya adalah minyak atsiri yang belum murni (Guenther,
1987).

Ciri khas metode ini adalah selalu dalam keadaan basah, jenuh dan tidak terlalu
panas. Keuntungan menggunakan sistem tersebut adalah karena uap berpenetrasi secara
merata ke dalam jaringan bahan dan suhu dapat dipertahankan sampai suhu 100¬¬0C.
lama penyulingan relative singkat, rendemen minyak lebih besar dan mutunya lebih baik
jika dibandingkan dengan minyak hasil penyulingan dengan air dan bahan yang disuling
tidak dapat menjadi gosong (Ketaren, 1985). Kerugiannya adalah jumlah uap yang
dibutuhkan cukup besar dan waktu penyulingan lebih lama, selain itu akan mengembun
dalam jaringan tanaman sehingga bahan tanaman bertambah basah dan mengalami
resinifikasi (Guenther, 1987).

● Penyulingan dengan uap (steam distillation)


Gambar Rangkaian alat destilasi dengan uap (Skala Industri)

(Sumber: https://slidetodoc.com/minyak-atsiri-minyak-atsiri-volatile-oil-minyak-atsiri/ )

Pada metode ini bahan tumbuhan dialiri uap panas dengan tekanan tinggi. Uap air
selanjutnya dialirkan melalui pendingin dan hasil sulingan adalah minyak atsiri yang
belum murni. Cara ini baik digunakan untuk bahan tumbuhan yang mempunyai titik
didih yang tinggi (Guenther, 1987).

Uap yang digunakan uap jenuh pada tekanan lebih dari 1 atmosfer. Uap
dipisahkan melalui pipa uap bertingkat yang berpori yang terletak di bawah bahan dan
uap bergerak ke atas melalui bahan terletak di atas saringan (Ketaren, 1987).

Sistem destilasi ini baik digunakan untuk mengekstrak minyak dari biji-bijian,
akar dan kayu-kayuan yang umumnya mengandung komponen minyak yang bertitik
didih tinggi. Sistem penyulingan ini tidak baik digunakan terhadap bahan yang
mengandung minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan dan air.

Minyak yang dihasilkan dari destilasi ini baunya akan sedikit berubah dari bau
asli alamiah, terutama minyak atsiri yang berasal dari bunga (Ketaren, 1985).

Pengaruh yang penting selama destilasi berlangsung adalah suhu terhadap minyak
atsiri. Pada dasarnya semua senyawa penyusun minyak atsiri tidak stabil atau peka
terhadap suhu tinggi. Itulah sebabnya untuk memperoleh kualitas minyak atsiri
diupayakan pada suhu pemanasan yang rendah. Namun, bila suhu pemanasan tinggi
maka panas destilasi diusahakan dalam waktu sesingkat mungkin.

2. Ekstraksi dengan Pelarut Menguap


Prinsip dari ekstraksi ini adalah melarutkan minyak asiri dalam bahan dengan pelarut
organik yang mudah menguap. Ekstraksi dengan pelarut organik umumnya digunakan
untuk mengekstraksi minyak asiri yang mudah rusak oleh pemanasan uap dan air, seperti
untuk mengekstrak minyak dari bungabungaan misalnya bunga cempaka, melati, mawar,
“hyacinth”, “tuberose”, “narcissus”, “gardenis”, “lavender”, “lily”, “minose”,
“labdanum”, violet lower”, dan “geranium”.

1. Alat pembuat minyak

Pembuatan minyak asiri dengan pelarut menguap


dilakukan dengan menggunakan ekstraktor. Ekstraktor
yang digunakan untuk mengekstrak minyak asiri dari
bunga terdiri dari tabung ekstraktor berputar dan tabung
evaporator (penguap). Sama seperti ketel suling lainnya,
tabung ekstraktor dan evaporator dilengkapi dengan
penunjuk tekanan dan suhu. Selain itu, terdapat saluran
inlet dan keran outlet. Pada ekstraktor berputar, terdapat
saluran masuk pelarut organik beserta pompanya.
Saluran masuk penguap organik sengaja dibuat tertutup
karena sifat pelarut yang mudah menguap.

2. Bahan penunjang proses pembuatan minyak

Bahan penunjang proses yang digunakan berupa pelarut menguap. Adapun pelarut
menguap yang digunakan di antaranya heksana, alkohol, dan aseton. Sesuai dengan
namanya, pelarut tersebut bersifat mudah menguap. Oleh sebab itu, penambahan pelarut
menguap hendaknya dilakukan melalui proses standar pemompaan.

3. Proses pembuatan minyak

1. Masukkan bahan baku segar ke dalam ekstraktor dan rendam bersama dengan
pelarut organik (misalnya hexan).
2. Pelarut menguap berpenetrasi ke dalam jaringan bahan baku dan melarutkan
minyak serta beberapa zat seperti resin, lilin, dan zat warna. Untuk bunga melati,
perendaman dilakukan selama 1 jam, sedangkan bunga mawar direndam selama 12
jam.
3. Putar ekstraktor selama 20—60 menit, lalu pisahkan larutan dari ampas hasil
ekstraksi.
4. Lakukan destilasi di dalam evaporator vakum pada suhu 45° C
5. Pelarut akan menguap dan menyisakan larutan semipadat berwarna merah
kecokelatan yang disebut concentrate. Larutan ini terdiri dari minyak atsiri, lilin,
dan resin.
6. Aduk dan larutkan concentrate di dalam alkohol 95% yang dapat mengikat minyak
atsiri.
7. Dinginkan concentrate pada suhu -5° C di dalam lemari pendingin hingga lilin
mengendap. Setelah itu, saring hingga diperoleh larutan.
8. Lakukan destilasi ulang dalam kondisi vakum pada suhu 45° C untuk memisahkan
minyak dengan alkohol yang mengikatnya hingga dihasilkan minyak atsiri murni.

3. Ekstraksi dengan Lemak Padat

Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan bantuan
pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa
melarutkan material lainnya. Ekstraksi padat cair atau leaching adalah transfer difusi
komponen terlarut dari padatan inert ke dalam pelarutnya (Sudarmadji, 1989)

Proses ini merupakan proses yang bersifat fisik karena komponen terlarut kemudian
dikembalikan lagi ke keadaan semula tanpa mengalami perubahan kimiawi. Ekstraksi dari
bahan padat dapat dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam solven
pengekstraksi. Ekstraksi berkelanjutan diperlukan apabila padatan hanya sedikit larut dalam
pelarut. Ekstraksi yang dilakukan menggunakan metoda sokletasi, yakni sejenis ekstraksi
dengan pelarut organik yang dilakukan secara berulang ulang dan menjaga jumlah pelarut
relatif konstan dengan menggunakan alat soklet.

Minyak nabati merupakan suatu senyawa trigliserida dengan rantai karbon jenuh maupun
tidak jenuh. Minyak nabati umumnya larut dalam pelarut organik, seperti heksan dan benzen.
Untuk mendapatkan minyak nabati dari bagian tumbuhannya, dapat dilakukan dengan
metoda sokletasi menggunakan pelarut yang sesuai (Agoes, 2008).

Proses ini umumnya digunakan untuk mengekstraksi bunga - bungaan, untuk


mendapatkan mutu dan rendeman minyak atsiri yang tinggi. Metode ekstraksi dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu:

a. Ekstraksi dengan lemak tanpa pemanasan (Enfleurage)

Cara ini menggunakan media lemak padat. Metode ini digunakan karena diketahui
beberapa jenis bunga yang telah dipetik, enzimnya masih menunjukkan kegiatan dalam
menghasilkan minyak atsiri sampai beberapa hari/minggu, seperti bunga melati, sehingga
perlu perlakuan yang tidak merusak enzim tersebut secara langsung. Caranya dengan
menaburkan bungadiatas media lilin dan dieramkan sampai beberapa hari/minggu,
selanjutnya lemak padat dikerok (dikenal dengan pomade) dan diekstraksi menggunakan
etanol (Gunawan dan Mulyani, 2004).
b. Ekstraksi dengan lemak panas (Maceration)

Cara ini dilakukan terhadap bahan tumbuhan yang bila dilakukan penyulingan atau
enfleurasi akan menghasilkan minyak atsiri dengan rendeman yang rendah. Pada cara ini
absorbsi minyak atsiri oleh lemak dalam keadaan panas pada suhu 80oC selama 1,5 jam.
Selesai pemanasan, campuran disaring panas-panas, jika perlu kelebihan lemak pada ampas
disiram dengan air panas. Kemudian dilakukan penyulingan untuk memperoleh minyak
atsiri (Ketaren, 1985).

4. Kromatografi Gas

Kromatografi gas (KG jenis kromatografi yang umum digunakan dalam analisis
kimia untuk pemisahan dan analisis senyawa yang dapat menguap tanpa mengalami
dekomposisi. Penggunaan umum KG mencakup pengujian kemurnian senyawa tertentu,
atau pemisahan komponen berbeda dalam suatu campuran (kadar relatif komponen
tersebut dapat pula ditentukan). Dalam beberapa kondisi, KG dapat membantu
mengidentifikasi senyawa. Dalam kromatografi preparatif, KG dapat digunakan untuk
menyiapkan senyawa murni dari suatu) merupakan campuran.

Dalam kromatografi gas, fasa gerak berupa gas pembawa, biasanya gas inert seperti
helium atau gas yang tidak reaktif seperti nitrogen. Fasa diam berupa lapisan cairan
mikroskopik atau polimer di atas padatan pendukung fasa diam, yang berada di dalam
tabung kaca atau logam yang disebut kolom. Instrumen yang digunakan untuk melakukan
kromatografi gas disebut dengan gas kromatograf (atau "aerograf" atau "pemisah gas").

Senyawa dalam fasa gas yang dianalisis berinteraksi dengan dinding kolom, yang
dilapisi dengan fasa diam. Hal ini menyebabkan masing-masing senyawa mengalami
elusi pada waktu yang berbeda, dan ini dikenal sebagai waktu retensi senyawa.
Perbandingan waktu retensi merupakan keluaran dari KG yang dapat dianalisis.

Secara prinsip, kromatografi gas sama dengan kromatografi kolom (sama juga
dengan kromatografi jenis lain seperti KCKT, KLT), tetapi terdapat beberapa perbedaan
yang perlu dicatat. Pertama, proses pemisahan campuran terjadi antara fasa diam cairan
dan fasa gerak gas, sementara dalam kromatografi kolom, fasa diam adalah padat dan
fasa gerak berupa cairan. (Oleh karena itu, sebutan lengkap prosedur ini adalah
"Kromatografi gas–cair", yang merujuk pada fasa gerak dan fasa diam.) Kedua, kolom
yang dilalui fasa gas terletak di dalam oven dengan temperatur gas yang dapat
dikendalikan, sementara kromatografi kolom (biasanya) tidak dilengkapi pengendali
temperatur. Terakhir, konsentrasi senyawa dalam fasa gas murni merupakan fungsi dari
tekanan uap gas.

Kromatografi gas juga mirip dengan distilasi fraksi, karena keduanya melakukan
proses pemisahan komponen campuran berdasarkan perbedaan titik didih (atau tekanan
uap). Meski demikian, distilasi fraksi biasanya digunakan untuk memisahkan komponen
campuran dalam skala besar, sementara KG hanya dapat digunakan untuk skala yang
jauh lebih kecil (skala mikro).

Kromatografi gas kadang dikenal sebagai kromatografi fasa uap (KFU) (en: vapour-
phase chromatography, VPC), atau kromatografi partisi gas–cair (KPGC) (en: gas–liquid
partition chromatography, GLPC). Nama alternatif ini, begitu pula singkatannya, sering
digunakan dalam literatur saintifik. Sejujurnya, KPGC adalah terminologi yang paling
tepat, dan oleh karenanya banyak digunakan oleh para penulis sains.(Mikhail
Semenovich Tswett,1903).

Diagram Kromatografi Gas

(Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Kromatografi_gas)

Karakteristik Monoterpenoid

1. SIFAT FISIKA
- Mudah menguap
- Baunya khas
- Komponen minyak menguap dari parfum
- Industri makanan sebagai penambah aroma
- Cairan tidak berwarna
- Tidak larut dalam air

2. SIFAT KIMIA

Pada umumnya hidrokarbon tidak jenuh, reaktif, mudah teroksidasi dan cenderung
menjadi resin bila dibiarkan terbuka.
Monoterpenoid merupakan komponen terbesar dari minyak atsiri dan ditemukan
melimpah dalam tanaman.

Sifat-Sifat Fisika Minyak Atsiri

Beberapa sifat fisika yang dimiliki minyak atsiri adalah sebagai berikut

1. Warna: minyak atsiri yang baru dipisahkan biasanya tidak berwarna. Oleh karena
penguapan dan proses oksidasi, warnanya dapat bermacam-macam seperti: hijau,
coklat, kuning, biru, dan merah.
2. Rasa: bermacam-macam, ada yang manis, pedas, asam, pahit, dan ada pula yang
mempunyai rasa membakar.
3. Bar: merangsang dan khas untuk tiap jenis minyak atsiri.
4. Berat jenis: berkisar antara 0,696-1,188 (kg/L) pada 15°C. Kisaran nilai koreksinya
adalah antara 0,00042-0,00084 untuk trap perubahan l°C.
5. Kelarutan: tidak larut dalam air tetapi larut dalam alkohol, eter, kloroform, asam asetat
pekat, dan pelarut organik lain. Kurang larut dalam alkohol encer (<70%).
6. Sifat: pelarut yang baik untuk lemak, minyak, resin, kamfer, sulfur, dan fosfor.
7. Indeks bias: berkisar antara 1,3-1,7 pada suhu 20°C. Kisaran nilai koreksinya adalah
0,00039-0,00049 untuk trap perubahan I°C.

Sifat-Sifat Kimia Minyak Atsiri

Minyak atsiri secara umum terdiri atas unsur-unsur karbon (C), hidrogen (H), dan
oksigen (O), kadang-kadang juga terdiri atas nitrogen (N) dan belerang (S). Minyak atsiri
mengandung resin dan lilin dalam jumlah kecil yang merupakan komponen yang tidak
dapat menguap. Berdasarkan komposisi kimia dan unsur- unsurnya minyak atsiri dibagi
dna, yaitu: hydrocarbon dan oxygenated hydrocarbon.
Hidrokarbon memiliki unsur-unsur hidrogen (H) dan karbon (C). Hidrokarbon
terdiri atas senyawa terpene. Jenis hidrokarbon yang terdapat dalam minyak atsiri
sebagian besar terdiri atas: monoterpen (2 unit isoprene), sesouiterpen (3 unit isoprene),
diterpen (4 unit isoprene), politerpen, parafin, olefin, dan hidrokarbon aromatik.
Komponen hidrokarbon yang dominan menentukan bau dan sifat khas dari setiap jenis
minyak. Sebagai contoh minyak jeruk mengandung 94% limonene dan mempunyai bau
khas jeruk.
Perubahan Sifat Kimia Minyak Atsiri

Perubahan sifat kimia minyak atsiri merupakan ciri dari kerusakan minyak yang
mengakibatkan penurunan mutu. Beberapa proses yang dapat mengakibatkan perubahan
sifat kimia minyak adalah

1. Oksidasi

Reaksi oksidasi pada minyak atsiri terutama terjadi pada ikatan rangkap dalam
terpene. Proses oksidasi minyak atsiri mengakibatkan perubahan bau dan dapat
menurunkan jumlah persenyawaan kimia tertentu dalam minyak atsiri. Untuk
menghambat atau menghindari proses oksidasi maka minyak atsiri harus dihindarkan dari
pengaruh sinar matahari, panas, oksigen, atau udara.

2. Hidrolisa

Proses hidrolisa terjadi dalam minyak atsiri yang mengandung ester. Dengan
adanya air dan asam sebagai katalisator, ester akan terhidrolisa secara sempurna. Asam
organik yang terdapat secara alamiah dan yang dihasilkan dari proses hidrolisa ester,
dapat bereaksi dengan ion logam sehingga membentuk garam. Hal ini mengakibatkan
minyak atsiri berubah menjadi berwarna gelap.

3. Resinifikasi

Resin dapat terbentuk dari hasil polimerisasi aldehida atau persenyawaan tidak
jenuh. Resin ini dapat terbentuk selama proses pengolahan (ekstraksi) minyak yang
menggunakan tekanan dan suhu tinggi serta selama penyimpanan.

4. Penyabunan
Minyak jeruk yang mengandung senyawa ester dan asam-asam organik dapat
bereaksi dengan basa (NaOH atau KOH) membentuk sabun.

Perubahan sifat kimia yang diakibatkan oleh beberapa proses di atas dapat terjadi pada
saat

1. Penyimpanan bahan: Penyimpanan bahan sebelum dilakukan pengecilan ukuran


bahan mempengaruhi jumlah minyak atsiri, terutama dengan adanya penguapan
secara bertahap yang sebagian besar disebabkan oleh udara yang bersuhu cukup
tinggi. Oleh karena itu bahan disimpan pada udara kering bersuhu rendah.

2. Proses ekstraksi, distilasi, dan pengepresan :

- Proses ekstraksi Perubahan sifat kimia yang terjadi selama proses ekstraksi
terutama disebabkan karena suhu yang terlalu tinggi.
- Proses distilasi Perubahan sifat kimia yang terjadi selama proses distilasi terutama
disebabkan karena adanya air, uap air, dan suhu yang terlalu tinggi.
- Proses pengepresan Perubahan sifat kimia yang terjadi selama proses pengepresan
terutama disebabkan karena minyak hasil pengepresan langsung berkontak dengan
udara.
Sumber Monoterpenoid

a. Monoterpenoid Asiklik

Geraniol, dari Cymbopogon nardus. Kegunaan


utama tanaman serai wangi adalah sebagai repellent
(penolak) nyamuk. Kandungan senyawa sitronelal
dan geraniol dari golongan monoterpen akan
mengeluarkan bau khas yang tidak disukai nyamuk
(Rokhmah, 2018).
Bagian tanaman serai wangi
biasanya digunakan untuk mendapatkan
minyak atsirinya adalah daun, batang dan
akar. Namun petani lebih sering
menggunakan daun serai wangi untuk
disuling minyak atsirinya. Kandungan senyawa yang diinginkan akan menentukan umur
panen daun. Petani akan memanen daun serai wangi maksimal setiap 3 bulan sekali.
Sehingga dalam satu tahun dapat dipanen sebanyak 4 kali (Rokhmah, 2018).
Minyak atsiri dari serai wangi juga diduga memiliki sifat antibakteri. Mekanisme kerja
antibakteri senyawa fenolik dan terpenoid adalah dengan cara merusak struktur dinding
sel, mengganggu kerja transport aktif serta kekuatan proton di dalam membran
sitoplasma bakteri. Kerja protein dalam sel menjadi non aktif dan dinding sel bakteri akan
mengalami kerusakan karena terjadinya penurunan permeabilitas yang memungkinkan
terganggunya transport ion-ion organik penting yang akan masuk ke sel bakteri. Hal
inilah akan mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel bakteri
(Rokhmah, 2018).
Geraniol merupakan senyawa penyedia oksigen sehingga minyak serai wangi
dimungkinkan dapat digunakan sebagai bio additive gasoline (Rokhmah, 2018).

b. Monoterpenoid Monosiklik

Eugenol, dari Eugenia caryophyllata.


Senyawa eugenol merupakan komponen utama
yang terkandung dalam minyak cengkeh
(Syzygium aromaticum), dengan kandungan
dapat mencapai 70-96%, dan walaupun minyak cengkeh mengandung beberapa
komponen lain seperti eugenol asetat dan β-caryophyllene tetapi yang paling penting
adalah senyawa eugenol, sehingga kualitas minyak cengkeh ditentukan oleh kandungan
senyawa tersebut, semakin tinggi kandungan eugenolnya maka semakin baik kualitasnya
dan semakin tinggi nilai jualnya. Dalam persyaratan mutu minyak daun cengkeh SNI 06-
2387-2006 kandungan minimal senyawa eugenol adalah 78% (Towaha, 2012).
Senyawa eugenol yang merupakan cairan bening hingga kuning pucat, dengan aroma
menyegarkan dan pedas seperti bunga cengkeh kering, memberikan aroma yang khas
pada minyak cengkeh, dimana senyawa ini banyak dibutuhkan oleh berbagai industri
yang saat ini sedang berkembang. Walaupun Indonesia merupakan penghasil utama
minyak cengkeh di dunia, tetapi kebutuhan eugenol Indonesia untuk berbagai industri
sebagian besar masih harus dicukupi dari produk impor luar negeri. Hal tersebut terjadi,
karena sebagian besar komoditi minyak cengkeh Indonesia yaitu ± 90% diekspor keluar
negeri masih dalam bentuk bahan mentah minyak dan hanya dalam jumlah terbatas saja
yang diolah di dalam negeri menjadi senyawa eugenol (Towaha, 2012).
Senyawa eugenol yang mempunyai rumus molekul C10H12O2 mengandung
beberapa gugus fungsional yaitu alil (-CH2-CH=CH2), fenol (-OH) dan metoksi (-
OCH3), sehingga dengan adanya gugus tersebut dapat memungkinkan eugenol sebagai
bahan dasar sintesis berbagai senyawa lain yang bernilai lebih tinggi seperti isoeugenol,
eugenol asetat, isoeugenol asetat, benzil eugenol, benzil isoeugenol, metil eugenol,
eugenol metil eter, eugenol etil eter, isoeugenol metil eter, vanilin dan sebagainya
(Towaha, 2012).

c. Monoterpenoid Bisiklik

Kamfor, dari Cinnamomum camphora.


Kamfor diketahui memiliki kegunaan yang
sangat banyak dalam perawatan dan
pengobatan banyak penyakit oleh bangsa
Mesir, Cina, India, Yunani dan Romawi
kuno, misalnya untuk tubuh bagian dalam
sebagai stimulan dan karminatif untuk tubuh
bagian luar sebagai antripuritik,
counteriritant, dan antiseptik. Mula-mula,
kamfor diperoleh hanya dengan cara mendinginkan minyak atsiri dari sasafras, rosemary,
lavender, sage. Sedangkan, bangsa Yunani dan Romawi kuno memperolehnya sebagai
hasil samping dari pembuatan minuman anggur. Kini kamfor diperoleh secara sintesis
skala besar (campuran rasemat) dari α-pinena yang terdapat di dalam minyak terpentin
(Endarini, 2016).

Pohon kamfer merupakan penghasil kamfer selain Cinnamomum camphora. Senyawa


berbentuk kristal atau minyak ini merupakan hasil metabolik sekunder yang ditemukan
pada saluran parenkin aksial batang, sehingga cara paling umum untuk pemanenanya
adalah dengan menebang dan membelah batang. Kristal juga bisa muncul pada kulit
batang yang terluka (Aswandi, 2020).

Efek Farmakologis Monoterpenoid

Keberadaan tanaman sebagai obat sudah dikenal sejak ribuan tahun lampau.
Bukti sejarah ini terukir di helaian lontar, dinding-dinding candi, dan kitab masa
lalu. Resep ini diwariskan turun-temurun, yang tadinya hanya dikenal kalangan
tertentu kemudian menyebar hingga masyarakat luas. Sekarang modernisasi
mentautkan tanaman obat dengan dunia farmasi. Berdasarkan penggunaan
tradisional dan berbagai penelitian ilmiah, tanaman tersebut memiliki berbagai efek
farmakologis dan bioaktivitas penting mulai dari potensi sebagai agen anti penyakit
infeksi sampai penyakit degeneratif seperti imunodefisiensi, hepatitis, arthritis, stroke,
osteoporosis bahkan kanker (Saifudin, 2011).

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Monoterpenoid merupakan senyawa terpenoid yang paling sederhana, terbentuk dari dua
unit isoprene. Terbagi menjadi monoterpenoid asiklik, monosiklik, dan bisiklik. Cara
memperolehnya bisa menggunakan metode penyulingan, ekstraksi dengan pelarut menguap,
ekstraksi dengan lemah padat, serta dengan kromato gas.

Saran

Berdasarkan penulisan makalah ini perlu dilakukan pengkajian materi yang lebih
mendalam terkait terpenoid khususnya monoterpen karena pengetahuan ini sangat berguna
bagi mahasiswa farmasi yaitu bidang pembuatan sediaan obat. Makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kami menyarankan agar pembaca dapat mengkaji lebih teliti
dan mendapatkan manfaat dari penulisan makalah ini
DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, Dinana. 2015. Makalah Farmakognosi Terpenoid.


http://www.academia.edu/13869342/farmakognosi_terpenoid. (Diakses Kamis, 22 April
2021).

Aswandi.dkk (2020). Potensi Minyak Atsiri Kamfer Sumatera (Dryobalanops aromatica


Gaertn.) Untuk Bahan Baku Obat Herbal. Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Aek Nauli: Jurnal Farmasi Udayana 171-179.

D. V. Spracklen, B. Bonn, K. S. Carslaw (2008). "Boreal forests, aerosols and the impacts on
clouds and climate". Philosophical Transactions of the Royal Society A.

Endarini, L (2016). Farmakognisi dan Fitokimia. Kementerian Kesehatan Repunlik Indonesia:


Pusdik SDM Kesehatan 215 Halaman.

Gunawan, D., dan Mulyani, S. (2004). Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid I. Jakarta:
Penerbit Penebar Swadaya. Halaman 107.

Ketaren, S. (1985). Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta: Balai Pustaka. Halaman 19-
29.

Prihnawati, Tita S.2009.”Isolasi, identifikasi komponen kimia dan uji aktivitas antibakteri
minyak atsiri daun lampes (Ocium sancum L.) pada Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli”.Skripsi.FMIPA, Kimia, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Rokhmah, N (2018). Pemetaan, Penciri Bioaktif dan Prospek Ekonomi Tanaman Serai Wangi
(Cymbopogon nardus). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta: Buletin
Pertanian Perkotaan vol. 8 No.2

Saifudin, A. 2011. Standardisasi Bahan Obat Alam. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Pp. 2011. Jobsheet Petunjuk Praktikum Kimia Organik : Ekstraksi dan Identifikasi Lemak/
Minyak http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17775/4/Chapter%20II.pdf
(diakses tanggal 25 Mei 2011 pada 22.10 WIB).

Towaha, J (2012). MANFAAT EUGENOL CENGKEH DALAM BERBAGAI INDUSTRI DI


INDONESIA . Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar: Indonesian Research
Institute for Industrial and Beverage Crops vol. 11 No. 2

Anda mungkin juga menyukai