Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pepatah ”Bangsa sehat, Negara kuat” bukan sekedar isapan jempol
belaka. Hal ini merupakan kenyataan dan terlihat jelas dampak kesehatan
bagi bangsa dan Negara ditengah pandemic covid-19. Resesi negera-
negara di dunia berdampak terhadap ekonomi Negara Indonesia. Agar
cepat bangkit dan menjadi bangsa yang kuat, sektor kesehatan harus
diupayakan dengan serius secara bersama-sama seluruh elemen bangsa.
Anak adalah generasi bangsa. Merupakan aset yang sangat
berharga untuk masa depan Negara. 1000 hari pertama kehidupan seorang
anak harus mendapat perhatian penuh, agar terbentuk anak-anak generasi
bangsa yang sehat. Jika anak sehat daya tahan tubuh juga akan kuat
ditengah pandemic covid-19. Indikator kesehatan anak adalah dengan
melihat pertumbuhan dan perkembangannya yang juga harus baik. Di
tengah Pandemi Covid 19 ini, ekonomi keluarga harus dipertimbangkan
dengan matang, namun gizi tetap harus tercukupi (Kurniasih Sukenti
dkk,2020).
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat
kekurangan gizi kronis sehingga anak lebih pendek untuk usianya
(kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal
kehidupan setelah lahir, tetapi baru tampak setelah anak berusia 2 tahun).
Stunting disebabkan oleh kurang gizi kronis yang terjadi dalam 1000 hari
kehidupan. Kualitas manusia ditentukan sejak masih berupa janin,
sehingga ibu hamil harus menjaga asupan gizi agar pembentukan
pertumbuhan dan perkembangan janin optimal (Trisnawati et al., 2016).
Stunting berdasarkan usia disebabkan oleh asupan zat gizi yang
tidak mencukupi dalam jangka panjang (Torlesse et al., 2016). Prevalensi
stunting di dunia pada balita Tahun 2018 sebesar 21.9% dan Asia
Tenggara menempati posisi tertinggi untuk permasalahan tersebut
(UNICEF, 2019). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan
prevalensi stunting pada balita di Indonesia mengalami penurunan sebesar

1
6.4% dari 37.2% (Tahun 2013) menjadi 30.8% (Tahun 2018). Sementara
itu, prevalensi stunting pada baduta di Indonesia sebesar 29.9% masih
lebih tinggi dibandingkan target RPJMN 2019 yaitu 28% (Kemenkes,
2018). Di Jawa Barat, Angka kejadian Stunting tahun 2020 yaitu sebesar
29,2% walaupun menurun tahun 2019, angka kejadian stunting sebesar
30,0% (Dinkes Jabar, 2020), sedangkan Kabupaten Tasikmalaya termasuk
kedalam 10 Kabupaten tertinggi Angka kejadian stuntingnya, Tahun 2013
Angka kejadian stunting sebanyak 41, 73% dan menurun pada tahun 2018
menjadi 33,8% (Dinkes Kab, 2018). Kecamatan Salopa Angka Stunting
tahun 2020 sebesar 28,94%, Alhamdulillah lebih rendah dari Angka
kejadian Stunting tingkat Kabupaten, terdapat 3 (Tiga) Desa di Kecamatan
Salopa yang merupakan daerah Locus Stunting. Desa Locus Stunting
yaitu, Mandalahayu, Mulyasari dan Tanjung Sari, Hasil Penimbangan
Balita Agustus 2020 Desa Tanjung Sari merupakan Desa dengan Angka
Stunting tertinggi yaitu 54,0%. Hasil SMD ( Survei Mawas Diri) tahun
2021 yang dilakukan di ketiga desa tersebut didapatkan bahwa 83,2% ibu
yang mempunyai Balita Stunting menjawab questioner SMD tidak
mengetahui PMBA atau Pemberian Makanan untuk Balita dan Anak
khususnya usia 0-2 Taun atau 1000 hari pertama kehidupan.
Stunting meningkatkan risiko kematian anak, berdampak negatif
pada perkembangan kognitif dan motorik, menurunkan performa di
sekolah, meningkatkan risiko kelebihan gizi dan penyakit tidak menular,
dan mengurangi produktivitas pada saat dewasa (Black et al., 2013).
Namun, stunting dapat diperbaiki salah satunya dengan meningkatkan gizi
anak (WHO, 2014). Zat gizi yang berperan penting pada permasalahan
stunting diantaranya adalah energi dan protein (Branca & Ferrari, 2002).
Zat gizi tersebut dapat diperoleh dari pangan lokal seperti daun kelor
(Moringa oleifera). Daun kelor memiliki zat gizi lengkap dengan
kandungan yang cukup baik untuk pemenuhan zat gizi tumbuh kembang
anak. Mengandung karbohidrat, protein nabati, kalsium, zat besi,
multivitamin dan mineral esensial yang bagus. Oleh karena itu daun kelor

2
dapat direkomendasikan dalam menu anak sehari-hari. Murah, praktis,
ekonomis, dan tersedia banyak.
Kahfi (2015) menyatakan bahwa anak yang mengalami stunting
disebabkan karena perilaku orangtua yang kurang baik seperti perilaku
pemberian ASI Eksklusif, pemberian MPASI, penyiapan dan penyajian
makanan, pencarian pelayanan kesehatan serta perilaku hygiene dan
sanitasi lingkungan yang kurang baik. Perilaku ini disebabkan karena
pengetahuan gizi dan motivasi memanfaatkan pelayanan kesehatan yang
kurang dari orangtua. Jika tidak ditangani dengan baik, anak yang
mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan yang rendah,
penurunan fungsi imun, perubahan metabolik, penurunan perkembangan 3
motorik dan berisiko mengalami obesitas, penyakit jantung koroner,
hipertensi, osteoporosis serta penurunan produktivitas (WHO, 2012).
Disamping berisiko pada hambatan pertumbuhan fisik dan kerentanan
terhadap penyakit, stunting juga dapat menghambat perkembangan
kognitif yang akan berpengaruh pada kecerdasan dan produktivitas anak di
masa depan (Citrakesumasari dkk., 2020).
Masa pemberian ASI eksklusif akan berakhir pada bayi usia 6
bulan dan selanjutnya bayi akan dikenalkan makan dewasa untuk
mencukupi kebutuhan gizi dalam menopang pertumbuhannya pada fase
pertumbuhan selanjutnya. Pemberian makanan pendamping ASI pada bayi
usia 6 sampai dengan 24 bulan harus disesuaikan dengan kemampuan
pencernaan bayi serta AKG (Angka Kecukupan Gizi). MPASI yang baik
adalah MPASI yang mampu menopang tumbuh kembang bayi tanpa
menimbulkan gangguan kesehatan. Syarat utama MPASI adalah makanan
kaya gizi, mudah dicerna bayi, menarik, menumbuhkan selera makan,
tidak mengandung zat berbahaya termasuk diantaranya pestisida, tidak
mengandung gula dan garam dalam kadar tinggi, tidak mengandung
penguat rasa, tidak mengandung bumbu-bumbu pedas, terlalu asam atau
pahit, mudah didapatkan dengan harga yang terjangkau .Edukasi kepada
Orang tua tentang MP ASI dan cara Pemberian Makanan pada Balita dan

3
Anak diharapkan bisa mencegah terjadinya stunting (Dyah Ratna Budiani
dkk, 2020).
Tanaman kelor (Moringa oleifera) merupakan tanaman yang
mudah tumbuh didaerah tropis dan subtropis di semua jenis tanah. World
Health Organization (WHO) telah menginformasikan bahwa
mengkonsumsi tanaman kelor menjadi alternatif yang dapat digunakan
untuk memperbaiki masalah gizi (malnutrisi). Tanaman kelor memiliki
kandungan gizi yang tinggi, khasiat dan manfaatnya membuat tanaman
kelor memiliki julukan Mother’s Best Friend dan Miracle Tree karena
kelor dipercaya berpotensi untuk mengatasi kurang gizi, kelaparan,
mencegah, dan mengobati berbagai macam penyakit di seluruh dunia.
Daun kelor memiliki kandungan betakaroten 4 kali wortel, 3 kali
potassium, pisang, 25 kali zat besi bayam, 7 kali vitamin C jeruk, 4 kali
kalsium susu, 2 kali protein yougurt. Daun kelor digunakan sebagai
pangan untuk mengatasi masalah kekurangan gizi pada anak-anak dan
upaya untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Krisnadi, 2015;
Mahmud, et al., 2019). Daun kelor memiliki kandungan gizi yang tinggi
dan mudah didapatkan di lingkungan sekitar, namun masih sangat kurang
beragam dalam pemanfaatannya. Masyarakat umumnya hanya
memanfaatkan daun kelor sebagai makanan yang diolah menjadi sayur
bening. Oleh karena itu, diversifikasi pengolahan pangan perlu diterapkan
yang bertujuan untuk meningkatkan kandungan gizi serta nilai tambah dari
komoditas pangan agar lebih berdaya guna bagi kebutuhan manusia
(Ariani et al., 2013).
Daun kelor mengandung 7 kali lebih banyak vitamin C daripada
jeruk, 10 kali lebih banyak vitamin A dari pada wortel, 17 kali lebih
banyak kalsium daripada susu, 9 kali lebih banyak protein daripada
yoghurt, 15 kali lebih banyak pisang kaliumthan dan 25 kali lebih banyak
zat besi daripada bayam (Rockwood, Anderson, & Casamatta, 2013).
Olahan daun kelor sudah banyak di kembangkan, daun kelor bisa
dijadikan coklat, es krim, puding, brem, nugget, kue, tepung, biscuit dan
bisa langsung dimasak dan dijadikan minuman teh dan Jus. Hasil

4
penelitian Dyah Muliawati dan Nining Sulistyawati tahun 2019 bahwa
ekstrak Daun kelor/tepung daun kelor dapat meninggikan tinggi Badan
sebesar 0,342 cm dengan rediksi 16,2%. Konsumsi ekstrak daun kelor
dengan cara ditaburkan pada makanan dan atau diminum langsung dengan
air putih atau jeruk (Aminah dkk, 2015).
Makanan olahan Daun kelor yang disukai anak-anak dan mudah
dikonsumsi yaitu diolah menjadi puding. Hasil penelitian balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara tahun 2018 dan Hasil penelitian
Hidayatus Sya’diyah tahun 2020 menyimpulkan bahwa pemberian 100
gram pagi dan sore selama 3 minggu bisa meningkatkan berat badan pada
Balita Gizi kurang,
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat
implementasi Video Edukasi PMBA dan Puding Daun Kelor untuk
pencegahan Stunting pada ibu Balita di Desa Tanjung Sari Wilayah kerja
Puskesmas Salopa Kabupaten Tasikmalaya.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Memberikan Implementasi Video Edukasi PMBA dan Puding Daun Kelor
untuk pencegahan Stunting pada ibu Balita di Desa Tanjung Sari Wilayah kerja
Puskesmas Salopa Kabupaten Tasikmalaya
2. Tujuan khusus
a. Memberikan Video Edukasi tentang PMBA pada ibu Balita di desa
Tanjung Sari Kecamatan Salopa.

b. Memberikan Implementasi Puding Daun Kelor pada Balita di Desa


Tanjung Sari Kecamatan Salopa.

C. Manfaat
Menambah pengetahuan dalam memberikan asuhan kebidanan komunitas
terutama untuk pencegahan stunting pada Balita di lapangan.

Anda mungkin juga menyukai