NIM : H1A019084
1. Definisi
Artritis reumatoid merupakan penyakit inflamasi kronis sistemik dan progresif yang ditandai
dengan adanya pembengkakan dan nyeri sendi (biasanya tangan dan kaki) , serta destruksi
membran sinovial persendian. Ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa
kasus juga disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Durasi gejalayang kurang dari 6 bulan
disebut early dan ketika gejala sudah melebihi hitungan bulan, maka sudah menetap, selain
lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit,
jantung, paru-paru, dan mata. Mortalitasnya dapat meningkat akibat adanya komplikasi
kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya komorbiditas
2. Etiologi
untuk etiologinya sebenarnya tidak jelas atau belum diketahui secara pasti.
Diduga menjadi penyebab RA :
1. Tidak dapat dimodifikasi
a. Genetik : gen yang berkaitan erat dengan terjadinya RA adalah HLA-DRB1 dan
PTPN 22 di kromosom 1. predisposisi genetik, terutama HLA-DR4 dan HLA-DRI ,
yang menimbulkan reaksi imunologis pada membran sinovium.
b. Usia : biasa timbul pada usia 40-60 tahun, semakin tua maka prevalensi beratnya RA
semakin meningkat.
c. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin
Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang
merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen
dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat respon imun
selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan
progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini.
d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon
terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amino homolog.
Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali
epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya
reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis .
2. Dapat dimodifikasi :
a. Merokok : terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa, kejadian
merokok juga sangat berhubungan dengan produksi Rheumatoid Factor/autoantibodi
yang serinh ditemukan pada pasien RA
b. Infeksi : pada RA, terdapat peradangan pada cairan sinovial, hal ini dikaitkan dengan
ditemukannya Epstein Barr virus (EBV) yang sering ditemukan dalam jaringan
synovial pada pasien RA. Beberapa agen infeksi diantara lain, mycoplasma,
parvovirus B19, retrovirus, enteric bacteria dan mycobacteria. Agen infeksi ini
beberapa diantaranya menyebabkan infeksi langsung pada sinovial.
c. Diet : daging merah dapat meningkatkan resiko RA dan konsumsi kopi juga. Jadi
harus mengurangi konsumsi makanan tersebut.
d. Pekerjaan : jika melakukan aktivitas berat sehari-harinya agar dapat dikurangi
e. Bentuk tubuh - Risiko RA meningkat pada obesitas yang memiliki indeks masa tubuh
lebih dari 30
3. Faktor resiko
*mengapa lebih sering terjadi pada peremupuan? hormon estrogen memberikan pengaruh
terhadap kondisi autoimun. . dimana estrogen ini juga berpotensi menimbulkan sistem imun yang
tidak baik, jd yg harusnya normal menjadi tidk normal. sehingga imun yang harusnya melindungi
tubuh, malah menyerang balik termasuk ke sendi sehingga sendi memberi respon bengkak,
merah, nyeri, dsb.
**Penelitian pada wanita hamil yang mengalami perbaikan gejala. Hal ini diduga karena produksi
DHEA yg merupakan andorgen utama wanita yg bersifat imunosupresi pada imun selular dan
humoral. Jadi saya menyimpulkan bahwa hormon androgen yg byk dimiliki lelaki mampu
menekan kejadian autoimun.
***Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon
imun selular (Th1). Pada AR respon Th1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron
mempunyai efek berlawanan terhadap perkembangan AR
4. Patofisiologi
Pasien RA memiliki antibodi terhadap protein cittrullinated. Antibodi ini disebut anti-
citrullinated protein antiboide (ACPA). ACPA dapat berupa isotipi IgG, IgM, atau IgA. ACPA
dapat berikatan dengan residu pada self-protein seperti vimentin, fibronectin, fibrinogenm
histones and kolagen tipe 2. Ikatan antibodi dengan protein menyebabkan aktivasi komplemen.
Kehadiran dari antibpdi pada RA berkaitan dengan keparahan penyakit, kerusakan sendi dan
meningkatkan mortalitas.
Reaksi peradangan ini akan membentuk pembuluh darah baru pada membran sinovial
yang akan menyebabkan terbentuknya pannus, terbentuknya pannus ini dapat mendestruksi
tulang, selain itu juga dapat menyebabkan edema pada jaringan di bawah sinovium, dan
penyumbatan pembuluh darah oleh sel radang dan trombus.
*Kenapa hanya pada sendi2 kecil yg sering terjadi RA?
Apakah ada patofisiloginya?
5. Manifestasi klinis
Berdasarkan sumber tertentu, dibagi menjadi 3 gejala :
Berdasarkan Letak
1. Keluhan umum
Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan
menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat
badan.
2. Kelainan sendi
Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan
tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena
seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki.
Kelainan tulang belakang terbatas pada leher. Keluhan sering berupa
kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.
6. Epidemiologi
Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5 -1%.
Prevalensi yang: tinggi didapatkan di Pima Indian 5,3 % Chippewa Indian 6,8%.
India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0.75%.
China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%, baik didaerah dengan
kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga
berhubungan dengan AR seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode
aktivator reseptor nucteor foctor koppo B (NF-KB)
"Pada kembar monosIgot mernpunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih
dari 30% dan pada orang kulit putih dengan AR yang mengekspresikan HLA-DR1 atau
HLA-DR4 mempunyai angka kesesuaian sebesar 130%."
Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa untuk prevalensi RA sekitar 1% pada
kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan Eropa
Selatan hanya 9-24/100000.
Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar
0,28%.
Jepang sekitar 1,7%
Indonesia, wilayah Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi RA sebesar 0,3%,
Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi RA 0,5% di daerah
Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten.
Ratio perempuan dan laki-laki yaitu 2-3 : 1 dan prevalensi dari RA meningkat seiringan
dengan usia.
7. Kriteria diagnosis
Kriteria diagnostik AR menurut (ARA, 1987) mencakup 7 point :
Kaku pada pagi hari dipersendian atau sekitarnya sekurang- kurangnya 1 jam sebelum ada
perbaikan maksimal
Timbul atritis pada 3 daerah persendian atau lebih yang timbul secara bersamaan
Terdapat atritis, minimal pada satu persendian tangan
Terdapat atritis yg bersifat simetris
Ditemukan nodul reumatoid
Faktor reumatoid serum yang positif
Perubahan gambaran radiologi yang menunjukan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang
berlokasi pada sendi atau daerah yg berdekatan dengan sendi.
Diagnosis AR ditegakkan jika ditemukan setidaknya kriteria 1 sampai 4 yang dialami minimal 6
minggu.
Serta Tabel 7.
8. Tatalaksana
- Penderita RA harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD (Disease Modifying Anti-
Rheumatic Drugs), konsep ini menggunakan piramida terbalik dimana tujuannya adalah
untuk mengontrol gejala dan menghambat perburukan penyakit sedini mungkin. Manfaat
penggunaan DMARD akan bertambah bila diberi secara kombinasi, kombinasi yang
paling sering digunakan adalah DMARD dan NSAID. NSAID diberikan dengan dosis
rendah dan harus diturunkan setelah DMARD mencapai respon yang baik. Kortikosteroid
diberikan dalam dosis rendah dan pemberian dalam waktu pendek. Kebanyakan pada
pasien RA terapi kombinasi lebih baik dibanding dengan monoterapi
- Obat antiinflamasi non steroid (OAINS). Diberikan sejak awal munculnya gejala
inflamasi sendi. Namun, OAINS tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan
tulang dari proses destruksi.
- Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARDs), untuk mengontrol penyakit dan
mengurangi kerusakan sendi. Terapi dengan DMARD dapat dilakukan secara tunggal
maupun kombinasi.
- Sulfasalazin. Sering digunakan sebagai terapi lini pertama. Diberikan dosis 1 x 500 mg/
hari per oral untuk ditingkatkan 500 mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500
mg.
- Metotreksat (MTX). Diberikan pada kasus lanjut dan berat. Dosis awal 7,5-10
mg/minggu IV atau per oral dititrasi hingga dosis rata-rata 12,5-17,5 mg/minggu dalam
jangka waktu 8 sampai 12 minggu. Obat ini sangat efektif, 6070% kasus mengalami
perbaikan. Efek samping yang perlu diwaspadai: rentan infeksi, intoleransi
gastrointestinal, gangguan fungsi hati dan hematologik. Terima kasih ketua
- NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) untuk mengurangi rasa
- nyeri dan kekakuan sendi.
- Second-line agent seperti injeksi emas (gold injection), Methotrexat dan Sulphasalazine.
Obat-obatan ini merupakan golongan DMARD. Kelompok obat ini akan berfungsi untuk
menurukan proses penyakit
- dan mengurangi respon fase akut. Obat-obat ini memiliki efek samping
- dan harus di monitor dengan hati-hati.
- Steroid, obat ini memiliki keuntungan untuk mengurangi gejala simptomatis dan tidak
memerlukan montoring, tetapi memiliki konsekuensi jangka panjang yang serius.
- Obat-obatan immunosupressan. Obat ini dibutuhkan dalam proporsi
- kecil untuk pasien dengan penyakit sistemik.
- -Sintetik DMARD
o Methotrexate: analog as. Folat
o Leflunomide/Teriflunomade: inhibitor sintesis pirimidin
o Sulfasalazine: antiinflamasi, imunosupresan
o Hydoxychloroquine: efek imunonmodulator
9. Komplikasi
Komplikasi reumatoid artritis umumnya tidak bersifat fatal. Namun penyakit ini bersifat
progresif sehingga keterbatasan dan nyeri sendi dapat semakin berat bila tidak diobati.
Komplikasi yang bisa terjadi : Anemia, Kajen, Komplikasi kardiak, Penyakit tulang belakang
leher, Deformitas sendi tangan, Nodul rematoid, Vaskulitis
10. Prognosis
Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari ketaatan pasien untuk
berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga tujuh puluh lima persen penderita
ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun. Selebihnya dengan prognosis yang lebih
buruk. Kejadian mortalitas juga meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan mereka
yang tidak mengalami RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang berat,
kematian dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas, gagal ginjal, dan
gangguan saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke
depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala awal menunjukkan
hasil remisi yang lebih baik Indikator prognostik buruk berupa banyak sendi yang terserang,
LED dan CRP tinggi, RF (+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi pada awal penyakit
11. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, seperti olahraga, penurunan berat
badan, dan diet rendah kalori. Progresifitas penyakit dan komplikasinya dapat dihambat
dengan fisioterapi dan modifikasi gaya hidup.
12. Edukasi