Anda di halaman 1dari 5

NAMA : FITRAH MAHARDIKA

NIM : N011181501

KELAS : FARMAKOTERAPI II A

Mekanisme kerja beberapa obat yang bisa diberikan sebagai terapi tambahan
dermatitis atopic

1. Pimecromilus dan Tacrolimus

Kedua obat tersebut merupakan terapi lini kedua untuk dermatitis atopic yang bekerja
dengan menghambat calcineurin, yang dimana fungsi calcineurin adalah menginisiasi
aktivtasi sel T. Jika calcineurin terhambat, maka pelepasan sel T juga ikut terhambat,
dan akan mengakibatkan penghambatan aktivasi limfosit dan produksi sitokin
proinflamasi. Pimecromilus dan tacrolimus menghambat produksi sitokin dari sel mast,
basophil, eosinophil, dan juga menghambat pelepasan sel mast seperti histamin
(Wirantari, 2014).

2. Cetirizin dan Loratadin

Histamin merupakan salah satu mediator kimia yang dilepas karena adanya stimulus
dan salah satu stimulus yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah alergi. Reseptor
Histamin H1 berperan dalam banyak proses patologis, termasuk dermatitis atopic.
Cetirizin dan loratadine merupakan obat generasi kedua dan merupakan antihistamin,
lebih tepatnya antagonis H1 reseptor. Dengan dihambatnya reseptor histamin H1, maka
pruritus yang disebabkan oleh histamin akan terhambat dan mengurangi efek gatal
ketika dermatitis atopic terjadi (DeBoer, 2001; Herman, 2003; Whalen, 2018).

3. Azatioprin

Azatioprin dapat bekerja dengan menghambat fungsi T-cell limfosit dan komponen
esensial dari aktivasi T-cell( seperti interleukin-2), dan lebih selektif terhadap limfosit T
dibandingkan limfosit B. Penghambatan fungi limfosit sel T akan mengurangi produksi
sitokin proinflamasi, sehingga mengurangi keparahan dari dermatitis atopic (Patel,
2006).
4. Cyclosporine

Cyclosporine bekerja dengan menekan reaksi imun yang diakibatkan oleh sel, dimana
setelah cyclosporine berdifusi dengan cell T maka selanjutnya akan berikatan dengan
cyclophilin(immunophilin) untuk membentuk kompleks dengan calcineurin. Hal ini
menyebabkan sintesis sitokinin terhambat, dan menyebabkan penurunan limfosit T
(Whalen, 2018)

5. Coal Tar

Coal tar dapat dijadikan obat untuk mengurangi efek yang diakibatkan dermatitis karena
selain dapat meningkatkan proliferasi sel, coal tar memiliki efek antiinflamasi sehingga
dapat mengurangi gejala yang terjadi karena dermatitis (Whalen, 2018). Sediaan coal
tar juga menunjukkan efek sebagai antipuritis dan antiinflamasi dan biasa digunakan
dengan kombinasi obat lain(kortikosteroid topical), sebagai tambahan untuk
mengurangi efek kortikosteroid, dan juga dapat digunakan sebagai tambahan terapi
bersama dengan terapi UV (Dipiro, 2008)

6. Metotreksat

Metrotreksat (MTX) memiliki efek yaitu menghambat produksi sitokinin dan biosintesis
purin, dan dapat juga menstimulasi pelepasan adenosin. Semua hal tersebut
memberikan efek antiinflamasi, sehingga dapat mengurangi gejala yang disebabkan
oleh dermatitis atopic (Dipiro, 2015).

7. Interferon Gamma

Berdasarkan penelitian, pemberian interferon gamma dapat mengurangi gejala dan


keparahan lesi yang diakibatkan oleh dermatitis atopic. Interferon gamma dipercaya
memiliki mekanisme menghambat pembentukan interleukin 4 dan 5(IL-4 dan IL-5) oleh
sel Th2. Hal ini dapat menyebabkan jumlah eusinofil pada darah berkurang, dimana
pada keadaan dermatitis atopic, jumlah eusinofil bertambah dan menjadi penyebab
pathogenesis dari lesi inflamasi kulit (Hanifin, 1993).
8. PUVA

Phototherapy UVA merupakan terapi dengan memanfaatkan sinar UVA dikarenakan


bermanfaat pada pasien yang menderita dermatitis atopic. UVA dengan intensitas tinggi
dapat digunakan untuk terapi pada eksaserbasi akut, dimana mekanismenya
menandakan bahwa eusinofil dan sel Langerhans epidermal menjadi target utama sinar
UVA berintensitas tinggi (Dipiro, 2008). Fototerapi UVA juga biasa digunakan bersama
dengan terapi lainnya, dimana berdasarkan penelitian sinar UVA dapat meningkatkan
penetrasi obat ke stratum corneum (Ogawa, 1992).
DAFTAR PUSTAKA

1. Wirantari, N. and Prakoeswa, C.R.S., 2014. Penggunaan Kalsineurin Inhibitor


sebagai Imunomodulator Topikal pada Terapi Dermatitis Atopik. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin, 26(2), pp.1-7.

2. DeBoer, D.J. and Griffin, C.E., 2001. The ACVD task force on canine atopic
dermatitis (XXI): antihistamine pharmacotherapy. Veterinary immunology and
immunopathology, 81(3-4), pp.323-329.

3. Herman, S.M. and Vender, R.B., 2003. Antihistamines in the treatment of atopic
dermatitis. Journal of cutaneous medicine and surgery, 7(6), pp.467-473.

4. Whalen, K., 2018. Lippincott® Illustrated Reviews: Pharmacology. Wolters kluwer


india Pvt Ltd.

5. Patel, A.A., Swerlick, R.A. and McCall, C.O., 2006. Azathioprine in dermatology:
the past, the present, and the future. Journal of the American Academy of
Dermatology, 55(3), pp.369-389.

6. DiPiro, B.G.W.J.T. and DiPiro, T.L.S.C.V., 2015. Pharmacotherapy Handbook


Ninth Edition, Barbara G. Wells, PharmD, FASHP, FCCP, 2015 by McGraw-Hill
Education. McGraw-Hill Education.

7. Hanifin, J.M., Schneider, L.C., Leung, D.Y., Ellis, C.N., Jaffe, H.S., Izu, A.E.,
Bucalo, L.R., Hirabayashi, S.E., Tofte, S.J., Cantu-Gonzales, G. and Milgrom, H.,
1993. Recombinant interferon gamma therapy for atopic dermatitis. Journal of
the American Academy of Dermatology, 28(2), pp.189-197.

8. DiPiro, J., Talbert, R., Yee, G., Wells, B. and Posey, M., 2008. Pharmacotherapy:
A Pathophysiologic Approach, McGraw-Hill Medical.
9. Ogawa, H. and Yoshiike, T., 1992. Atopic dermatitis: studies of skin permeability
and effectiveness of topical PUVA treatment. Pediatric dermatology, 9(4),
pp.383-385.

Anda mungkin juga menyukai