Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

“HUBUNGAN AKAL, WAHYU DAN INTUISI “

Disusun Oleh :

Nama : Salwa

Kelas : M7.4

Nim : 1847040026

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2020

i
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT. Karena
berkat limpahan rahmat, taufik serta hidayah Nya kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “HUBUNGAN AKAL, WAHYU DAN INTUISI”.
Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah “FILSAFAT”. Yang diberikan oleh
dosen.

Akhirnya makalah ini dapat kami selesaikan berkat bimbingan dan arahan
dari dosen pembimbingan yang memberikan bahan-bahan materi, dan kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan banyak
memberikan dukungan dan motivasi dalam penyusunan makalah ini.

Apabila dalam makalah ini banyak terdapat kekurangan, baik dari segi isi
maupun teknik penulisannya, untuk itu kami mengharapkan kritik, saran dan
bimbingan dari semua pihak untuk kebiakan dimasa yang akan datang.

Semoga makalah ini bermanfaat dan berguna buat kita semua.

Gowa, 10 September 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN................................................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................................. 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
A. Pengertian Akal, Wahyu dan Intuisi ............................................................... 3
B. Fungsi Akal dan Wahyu ................................................................................. 6
C. Hubungan Akal, wahyu dan Intuisi ................................................................ 6
BAB III.................................................................................................................. 14
PENUTUP ............................................................................................................. 14
A. Kesimpulan ................................................................................................... 14
B. Saran ............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 15

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diciptakan oleh Allah


Swt mempunyai banyak sekali kelebihan jika dibandingkan dengan
mahklukmahkluk ciptaan Allah Swt yang lainnya. Suatu hal yang membuat
manusia lebih baik dari mahluk yang lain yaitu manusia mampu berpikir dengan
akalnya, karena manusia dianugerahi oleh Allah akal sehingga dengan akal
tersebut manusia mampu memilih, mempertimbangkan, dan menentukan jalan
pikirannya sendiri.1 Agama Islam sangat menjunjung tinggi kedudukan akal.
Dengan akal manusia mampu memahami Al-Qur‟an sebagai wahyu yang
diturunkan lewat Nabi Muhammad Saw, dengan akal juga manusia mampu
menelaah kembali sejarah Islam dari masa ke masa sampai dengan kondisi
sekarang ini.

Akal dan wahyu mempunyai peran yang sangat penting dalam perjalanan
hidup manusia. Wahyu yang diturunkan Allah kepada manusia yang berakal
sebagai petunjuk untuk mengarungi lika-luku kehidupan di dunia ini. Akal tidak
serta merata mampu memahami wahyu Allah, adalah panca indera manusia yang
menyertainya untuk dapat memahami wahyu yang diturunkan Allah. Dengan
demikian, ada hubungan yang erat antara wahyu sebagai kebenaran mutlak karena
berasal dari Tuhan dengan perjalanan hidup manusia.

Tidak dapat diragukan dan dipungkiri lagi bahwa akal memiliki


kedudukan dalam wilayah agama Islam, yang penting dalam hal ini adalah
menentukan dan menjelaskan batasan-batasan akal, sebab kita semua meyakini
bahwa hampir semua kaum muslimin berupaya dan berusaha mengambil manfaat
akal dalam pengajaran agama Islam dan penjelasan keyakinan agama secara
argumentatif.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian akal, wahyu dan intuisi?


2. Apa fungsi akal dan wahyu ?
3. Bagaiman hubungan akal, wahyu dan intuisi?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian akal, wahyu dan intuisi


2. Untuk mengetahui fugsi akal, wahyu dan intuisi
3. Untuk mengetahui hubungan akal,wahyu dan intuisi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Akal, Wahyu dan Intuisi

a. Akal

Akal adalah suatu alat spiritual atau rohaniah manusia yang berfungsi
untuk membedakan antara benar dan salah dan kemampuan untuk menganalisis
sesuatu pengalaman yang luas sangat tergantung dan tingkat pendidikan, formal
atau informal, pemilik manusia.

Akal adalah kemampuan pikir manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki
manusia. Berpikir adalah perbuatan operasional yang mendorong untuk aktif
berbuat demi kepentingan dan peningkatan hidup manusia. Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa fungsi akal adalah untuk berfikir. Kemampuan berfikir
manusia mempunyai fungsi mengingat kembali apa yang telah diketahui sebagai
tugas dasarnya untuk memecahkan masalah dan akhirnya membentuk tingkah
laku.

Adapun pengertian Akal Menurut Para Ahli yaitu;

Abu Bakar ibn al-Arabi- (1165-1240 M), menyebutkan bahwa akal


sebagai ilmu, yaitu sifat yang dengannya persepsi ilmu dapat di hasilkan abu
bakar ibn al-Arabi berdasarkan pendapatnya dengan ayat Al-Quran yang
memberikan motivasi terapan terhadap sesuatu yang di informasikan dengan ayat-
ayat tersebut. Menurutnya, hasil-hasil terapan dinamakan ilmu, bukan akal.

Harun Nasution- Kata akal berasal dari kata Arab “al-Aql” yang menjadi
kata Indonesia, dalam bentuk kata benda tidak ada dalam Al-quran, hanya bentuk
kata kerja al-Aqaluh 1 ayat, ya‟qiluha 1 ayat, ya‟qilun 22 ayat, ta‟qilun 24 ayat
dan na‟qilu 1 ayat, dalam arti mengertian dan paham.

3
Menurut Izutzu- kata “aql” di zaman jahiliyah di pakai dalam arti
kecerdasan praktis, yang dalam istilah psikologi modern disebutkan kecakapan
memecahkan masalah. Lebih lanjut disebutkan, bahwa kata “aql” masuk ke dalam
falsafah Islam dan mengalami perubahan arti.

Menurut Kant- bahwa apa yang kita katakan rasional itu adalah ide yang
masuk akal tapi menggunakan ukuran hukum alam. Dengan kata lain, pikiran
rasional adalah kebenaran yang diukur dengan hukum alam.

Freud- membagi manusia menjadi tiga wilayah pokok, antara lain:

 id, instink atau naluri


 super ego, adat kebiasaan sosial dan kaidah moral
 ego, akal fikiran

b. Wahyu

Wahyu (bahasa Arab: ‫ ) ال وحي‬adalah hubungan maknawi antara pribadi


seorang nabi dengan alam gaib yang dengan itu pesan Ilahi tersampaikan kepada
nabi tersebut, baik pesan tersebut tersampaikan melalui perantara maupun tanpa
perantara. Dalam ilmu teologi, hal tersebut dinamakan wahyu "tasyri'i" atau
wahyu "risali" yang dikhususkan untuk para nabi yang mana hal ini berbeda
dengan ilham dan "tahdits". Pada masa kontemporer, pembahasan wahyu menjadi
semakin kompleks dan menjadi perbincangan para pemikir. Mayoritas dari
mereka berpendapat, wahyu adalah hasil dari pengalaman spritual.

Wahyu secara etimologi berarti isyarat langsung, pesan yang tersampaikan


secara cepat dan pesan yang tersampaikan kepada pihak lain.

Dalam terminologi agama, wahyu adalah hubungan maknawi antara


pribadi seorang nabi dengan alam gaib yang dengan itu pesan Tuhan tersampaikan
kepada nabi tersebut. Nabi yang dimaksud adalah orang-orang khusus pilihan
Tuhan yang dianggap layak mendapatkan pesan Tuhan tersebut.

4
c. Intuisi

Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui


penalaran rasional dan intelektualitas. Sepertinya pemahaman itu tiba-tiba saja
datangnya dari dunia lain dan di luar kesadaran. Misalnya saja, seseorang tiba-tiba
saja terdorong untuk membaca sebuah buku. Ternyata, di dalam buku itu
ditemukan keterangan yang dicarinya selama bertahun-tahun. Atau misalnya,
merasa bahwa ia harus pergi ke sebuah tempat, ternyata di sana ia menemukan
penemuan besar yang mengubah hidupnya. Namun tidak semua intuisi berasal
dari kekuatan psikis. Sebagian intuisi bisa dijelaskan sebab musababnya.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang berada dalam


jajaran puncak bisnis atau kaum eksekutif memiliki skor lebih baik dalam
eksperimen uji indra keenam dibandingkan dengan orang-orang biasa. Penelitian
itu sepertinya menegaskan bahwa orang-orang sukses lebih banyak menerapkan
kekuatan psikis dalam kehidupan keseharian mereka, hal mana menunjang
kesuksesan mereka. Salah satu bentuk kemampuan psi yang sering muncul adalah
kemampuan intuisi. Tidak jarang, intuisi yang menentukan keputusan yang
mereka ambil.

Sampai saat ini dipercaya bahwa intuisi yang baik dan tajam adalah syarat
agar seseorang dapat sukses dalam hidup. Oleh karena itu tidak mengherankan
jika banyak buku-buku mengenai kiat-kiat sukses selalu memasukkan strategi
mempertajam intuisi.

intuisi dalam bahasa sederhana bisa diartikan getaran hati (jiwa) akan
sesuatu hal (Kausalitas) yang dihadapi atau yang akan terjadi. Getaran hati atau
mungkin bisa juga diartikan "perasaan" akan sesuatu (itu) muncul atau terasa.
Akal (sehat) berpikir dan berbicara (sehat) akan membuat hati/perasaan sehat
(tenang), begitupun sebaliknya.

5
B. Fungsi Akal dan Wahyu

Akal pikiran manusia merupakan suatu nikmat dari Allah Swt yang tiada
tarana diberikan kepada manusia. Dengan akalnya manusia bisa berpikir dan
memikirkan apa yang terjadi di alam sekitar. Akal juga yang dapat membedakan
antara manusia dengan makhluk lainnya yangjuga berada di muka bumi ini.
Dengan akalnya, manusia bisa membedakan yang baik dan yang buruk, dan bisa
membedakan yang membahayakan dan menyenangkan pada dirinya.

Dengan akalnya manusia bisa berusaha mengatasi setiap kesulitan-


kesulitan yang dihadapinya, membuat perencanaan dalam hidupnya melakukan
pengkajian dan penelitian yang akhirnya menjadikan manusia sebagai mahluk
yang unggul di muka bumi ini. Karena akalnya manusia dapat diakui sebagai
khalifah dimuka bumi ini dari sinilah bisa dirasakan betapa hebatnya akal yang
telah dianugerahkan kepada manusia meski kita tahu bahwa akal yang
dianugerahkan kepada manusiamempunyai batasan-batasan tertentu, karena ada
hal yang tidak bisa dijawab dengan akal misalnya yang berkaitan tentang
masalah-masalah dengan alam gaib seperti kehidupan sesudah mati, hari kiamat
dan lain-lain.

C. Hubungan Akal, wahyu dan Intuisi

Epistemologi Islam menurut al-Qur‟an yaitu dasar-dasar


pengetahuan yang selalu berdasarkan pada wahyu Tuhan dan juga tidak menolak
kekuatan akal dan indera (data empirik) dalam menyerap pengetahuan. Karena
dalam al-Qur'an banyak sekali ayat-ayat yang menjelaskan tentang wahyu, ilham,
fungsi akal dan indera (Barok, 2007: 45).

Menurut Barok ayat-ayat al-Qur‟an yang ada hubungannya dengan


epistemologi terdapat kurang lebih 120 ayat bahkan lebih. Ayat-ayat tersebut oleh
epistemologi Islam ialah dijadikan sebagai dasar argumentative, menjadi landasan

6
dan rujukan epistemologi pengetahuan Islam sekaligus sebagai bentuk untuk
memperkuat eksistensinya.

Menurut Barok (2007: 47) hal ini bisa dicermati dari dasar teks, sumber,
dan karakteristiknya sebagai berikut:

1) .Sumber epistemologi Islam menurut al-Qur‟an yaitu berdasarkan pada


wahyu, akal, dan data empirik (empirisme/ indera) serta intuisi, akan tetapi
yang paling pokok sebagai sumber epistemologi Islam, yaitu wahyu.
Sedangkan akal dan data empirik adalah sebagai sumber pendukung
sekaligus sebagai bentuk bukti kalau epistemologi Islam itu tidak
bertentangan dengan akal dan empirisme (indera).

2). Sedangkan dasar teks epistemologi Islam menurut al-Qur‟an


sebagaimana dimaksud dalam pokok masalah, hal ini bisa dilacak pada
ayat-ayat alQur‟an, baik langsung maupun tidak langsung yang merujuk
pada epistemologi. Hal ini bisa ditelaah pada sebuah kata ataupun ayat
yang memiliki makna dasar epistemologi. Adapun kata dan ayat baik
langsung maupun tidak langsung tersebut adalah: Pertama, kata
tafakkarun, kedua kata tadabbarun; ketiga, tadakkarun; keempat, „aqala.

3). Sementara itu karakteristik epistemologi menurut al-Qur‟an, yaitu


Pertama, memiliki orientasi teosentris. Artinya ilmu tersebut mengemban
atau memiliki nilai-nilai Ketuhanan, sebagai nilai yang dapat memberikan
kesejahteraan dan kedamaian bagi semua makhluk, dan juga ilmu tersebut
tidak boleh menyimpang dari ajaran-ajaran Allah. Jika sains Barat tidak
memiliki kepedulian kepada Tuhan, maka ilmu Islam selalu diorientasikan
kepada ajaran Allah dengan untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Kedua,
terikat nilai karena nilai dapat memberikan penghargaan yang tinggi
kepada manusia dan lingkungannya. Hal ini lah yang menjadi penekanan
atau tujuan keilmuan Islam karena sampai saat ini ilmu pengetahuan dan
teknologi yang notabenenya seharusnya bebas nilai itu justru
menimbulkan kerusakan, keresahan dan dekadensi moral yang sangat

7
parah. Sebabperkembangan sains yang dibangun itu tidak dilandasi dengan
nilai-nilai etik (Barok, 2007: 48).

Kemudian daripada itu, ilmu diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara
dan dengan menggunakan berbagai alat. Menurut Juhaya S. Praja, pada dasarnya
terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio, dan yang kedua
mendasarkan diri kepada pengalaman. Yang pertama disebut paham rasionalisme,
dan yang kedua disebut paham empirisme. Pengetahuan jenis pertama disebut
logis, dan pengetahuan jenis kedua disebut empiris (Praja, 2005: 27).

Menurut Jujun, kerjasama dari rasionalisme-empirisme ini kemudian


melahirkan paham positivisme, yakni paham yang menyatakan bahwa segala
pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat “terukur”. Panas diukur dengan
derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat diukur dengan timbangan. Di
samping rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan
pengetahuan yang lain. Yang penting dari semua itu, adalah intuisi dan wahyu.
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah
tibatiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui
proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Inilah
yang disebut intuisi. Sementara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan
oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang
diutusNya di setiap zaman (Sumantri, 1991: 56).

Lebih lanjut Sumantri (1991: 59) mengungkapkan, agama merupakan


pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau
pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental
seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti.
Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib
(supernatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para

8
ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya pengetahuan
ilmiah pada logis-empiris.

Perlu dicermati pemikiran al-Nasafi yang menyatakan terdapat tiga


saluran yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk al-hawâs), proses
akal sehat (ta‟âqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar
(khabar shâdiq). Oleh al-Attas, penguraian seperti al-Nasafi di atas dihitung
empat, dengan memisahkan proses akal sehat dan intuisi hati (Salam, 1997: 65).

Ibn Taimiyyah membagi indera pada indera lahir, yakni panca indera yang
kita maklumi, dan indera batin, yakni intuisi hati. Terhadap teori
kasyfsebagaimana disinggung oleh Burhanuddin Salam di atas, Ibn Taimiyyah
juga memberikan kemungkinannya. Hanya menurutnya pengetahuan yang
diperoleh lewat ilham tersebut tidak boleh bertentangan dengan khabar yang
statusnya lebih kuat. Karena selain sama-sama berasal dari Allah swt, khabar ini
juga disampaikan kepada manusia pilihan-Nya, yaitu para Nabi. Sehingga jelas
apa yang disampaikan Allah swt kepada para Nabi lebih kuat kedudukannya
ketika berbenturan dengan ilham yang banyak di antaranya hanya berupa lintasan-
lintasan hati biasa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Al-Ghazali
menyampaikan pendapat yang sama. Menurutnya, hakim dalam makna pemutus
benar tidaknya sesuatu itu ada tiga, yaitu hissî (indera), wahmî (intuisi), dan „aqlî
(akal).

Menurut al-Ghazali, ketika hakim wahmî itu terkadang bertentangan


dengan akal dan indera yang kuat, padahal di sisi lainnya terdapat peringatan
tentang adanya yang melintas di dalam hati ini berupa bisikan syetan, maka al-
Ghazali hanya mengakui saluran wahmî dari orang yang dikuatkan oleh Allah swt
dengan taufiq-Nya, yakni orang yang dimuliakan Allah swt disebabkan orang
yang bersangkutan hanya menempuh jalan yang haqq. Menurut Salam (1997: 66)
al-Ghazali tidak menyebutkannya kedudukan wahyu secara tegas, bukan berarti ia
tidak mengakuinya. Karena di dalam berbagai karyanya, termasuk dalam
menentang para filosof melalui Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazali melandaskannya

9
pada dalil-dalil wahyu. Itu semua dikarenakan yang menjadi titik tekan al-Ghazali
dalam pembahasannya ini adalah hâkim dari diri manusia sendiri, bukan dari luar.

Al-Qadi Abu Bakar al-Baqillani, membagi sumber pengetahuan ini ke


dalam enam bagian. Lima di antaranya adalah jenis-jenis indera, yaitu hâssat
albashar (indera melihat), hâssat al-sam‟ (indera mendengar), hâssat al-dzauq
(indera mengecap), hâssat al-syamm (indera mencium), dan hâssat al-lams (indera
merasa dan meraba). Adapun yang keenamnya, al-Baqillani menjelaskan: “Jenis
yang keenam adalah sesuatu keharusan yang timbul di dalam jiwa secara langsung
tanpa melalui indera-indera yang disebutkan tadi.”

Penjelasan al-Baqillani ini menguatkan kesimpulan bahwa pemahaman


para ulama terhadap sumber pengetahuan dalam Islam sama. Tidak ada pemilahan
di antara mereka antara yang logis, empiris, dan intuitif. Semuanya diakui asalkan
berdasar pada dalil-dalil yang kuat. Baik itu yang revelational/wahyu (naqlî),
rasional („aqlî) ataupun empirikal (hissî) (Salam, 1997: 70).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa epistemologi dalam


Islam bersumber pada akal, wahyu dan intuisi. Ketiga komponen inilah yang
menjadi instrumen dalam meraih dan/atau menemukan ilmu pengetahuan.

Akal ini kemudian dibedakannya lagi menjadi dua macam, yaitu akal
praktis („amilah) dan akal teoritis („alimah). Akal praktis akan mengontrol jiwa
kebinatangan, yang kalau berhasil maka jadilah seseorang itu berakhlak mulia,
dan sebaliknya. Sedangkan akal teoritis memiliki daya untuk menangkap arti-arti
murni, arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, mengetahui yang didominasi
oleh pengetahuan-pengetahuan yang abstrak, seperti Tuhan, ruh, malaikat; dan
dengan daya inilah akan timbul ma‟rifah.

Kemudian intuisi, sebagian orang menyebut hati (qalb) ini dengan intuisi.
Kalangan sufi mengklaim bahwa intuisi lebih unggul ketimbang akal. Hati dapat
memahami pengalaman langsung kadang-kadang tidak seperti yang
dikonsepsikan akal. Hati juga bisa mengenal objeknya secara lebih akrab dan
langsung.

10
Secara umum, yang paling banyak berkutat dengan masalah hati ini adalah
para sufi, tetapi filosofis besar Ibnu Sina juga tak ketinggalan membahas masalah
ini, seperti pada karyanya al-Isyarat wa al-Tanbihat pada bagian akhirnya. Ibnu
Sina mengatakan bahwa ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati
bisa menerobos ke alam ketidaksadaran (semisal alam ghaib) sehingga mampu
memahami pengalaman-pengalaman non inderawi atau yang diistilahkan dengan
ESP (entra sensory perception), termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau
religius.

Selanjutnya menarik untuk dicermati hubungan ketiganya dalam


bangunan ilmu dalam Islam. Mulyadhi Kertanegara, mencoba memberikan
penjelasan tentang hubungan ketiganya dalam kerangka epsitemologi Islam ke
dalam tiga pendekatan, yaitu:

1) Pendekatan Bayani. Dalam bahasa filsaat yang disederhanakan,


pendekatan bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir
yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki
otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal
hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya. Dalam
pendekatan bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka
peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks
yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani
akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul
lughahnya. Namun, hal itu berarti bukan tanpa kelemahan. Kelemahan
mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-
teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya.
Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal
teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain.

2) Pendekatan Irfani. Kata „irfan adalah bentuk masdar dari kata „arafa
yang berarti ma‟rifah ilmu pengetahuan. Kemudian „irfan lebih dikenal
sebagai terminologi mistik yang secara khusus berarti “ma‟rifah” dalam

11
pengertian “pengetahuan tentang Tuhan”. Kalau ilmu (pengetahuan
eksoterik) yakni pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui
istidlal, nazhar, dan burhan, maka „irfan (pengetahuan esoterik) yaitu
pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham, i‟iyan (persepsi
langsung), dan isyra. Aliran-aliran yang beragam dalam dunia Sufisme
atau Irfan memiliki kesatuan pandangan dalam permasalahan yang
esensial dan substansial ini dimana mereka menyatakan bahwa pencapaian
dan penggapaian hakikat segala sesuatu hanya dengan metode intuisi
mistikal dan penitian jalan-jalan pensucian jiwa, bukan dengan penalaran
dan argumentasi rasional, karena hakikat suatu makrifat dan pengetahuan
adalah menyelami dan meraih hakikat segala sesuatu lewat jalur
penyingkapan, penyaksian, intuisi hati, manifestasi-manifestasi batin, dan
penyaksian alam metafisika atau alam nonmateri dengan mata batin serta
penyatuan dengannya.

3) Pendekatan Burhani. Al-Burhan dalam bahasa Arab berarti argumen


yang clear. Dalam pengertian logika, al-burhan adalah aktivitas fikir yang
menetapkan kebenaran sesuatu melalui penalaran dengan mengkaitkan
pada pengetahuan yang bukti-buktinya mendahului kebenaran. Sedangkan
dalam pengertian umum, al-burhan berarti aktivitas fikir untuk
menetapkan kebenaran sesuatu. Al-Jabiri menggunakan burhani sebagai
sebutan terhadap sistem pengetahuan yang berbeda dengan metode
pemikiran tertentu dan memiliki world view tersendiri, yang tidak
bergantung pada hegemoni sistem pengetahuan lain. Burhani
mengandalkan kekuatan indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai
kebenaran. Ketiga kecenderungan epistemologis Islam ini, secara teologis
mendapatkan justifikasi dari al-Qur‟an. Dalam al-Qur‟an banyak
ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang pengetahuan yang bersumber
pada rasionalitas. Perintah untuk menggunakan akal dengan berbagai
macam bentuk kalimat dan ungkapan merupakan suatu indikasi yang jelas
untuk hal ini. Akan tetapi, meskipun demikian, tidak sedikit pula paparan

12
ayat-ayat yang mengungkapkan tentang pengetahuan yang bersumber pada
intuisi (hati atau perasaan) terdalam. Van Peursen mengatakan bahwa akal
budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat
memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah
pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama
dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani
atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang
mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi,
deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.)

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Akal adalah kemampuan pikir manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki
manusia. Berpikir adalah perbuatan operasional yang mendorong untuk aktif
berbuat demi kepentingan dan peningkatan hidup manusia. Wahyu (bahasa Arab:
‫ ) ال وحي‬adalah hubungan maknawi antara pribadi seorang nabi dengan alam gaib
yang dengan itu pesan Ilahi tersampaikan kepada nabi tersebut, baik pesan
tersebut tersampaikan melalui perantara maupun tanpa perantara. Dalam ilmu
teologi, hal tersebut dinamakan wahyu "tasyri'i" atau wahyu "risali" yang
dikhususkan untuk para nabi yang mana hal ini berbeda dengan ilham dan
"tahdits". Dalam terminologi agama, wahyu adalah hubungan maknawi antara
pribadi seorang nabi dengan alam gaib yang dengan itu pesan Tuhan tersampaikan
kepada nabi tersebut. Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu
tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas.

B. Saran

Dalam penyusunan makalah ini, kami selaku penyusun tentunya


mengalami banyak kekeliruan dan kesalahan baik dalam ejaan, pilihan kata,
sistematika penulisan maupun penggunaan bahasa yang kurang di pahami, Untuk
itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, dikarenakan kami masih dalam
tahap pembelajaran. Maka dari itu kami selaku penyusun mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun agar kami bisa lebih baik lagi dalam
pembuatan makalah berikutnya sehingga makalah berikutnya lebih sempurna dari
pada makalah sebelumnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

https://www.gurupendidikan.co.id/akal/

https://id.wikishia.net/view/Wahyu

https://id.wikipedia.org/wiki/Intuisi

https://core.ac.uk/download/pdf/266977069.pdf

file:///C:/Users/Us/Downloads/Documents/48-Article%20Text-90-1-10-
20171208.pdf

15
NAMA : SALWA Tugas : Filsafat Pendidikan soal

KELAS : M7.4

NIM : 1847040026

1. Jelaskan pengertian akal ?


Jawab :
Akal adalah suatu alat spiritual atau rohaniah manusia yang
berfungsi untuk membedakan antara benar dan salah dan kemampuan
untuk menganalisis sesuatu pengalaman yang luas sangat tergantung dan
tingkat pendidikan, formal atau informal, pemilik manusia. Akal adalah
kemampuan pikir manusia sebagai kodrat alami yang dimiliki manusia.

2. Jelaskan fungsi akal pada manusia ?


Jawab :
Fungsi akal manusia adalah berfikir, Kemampuan berfikir manusia
mempunyai fungsi mengingat kembali apa yang telah diketahui sebagai
tugas dasarnya untuk memecahkan masalah dan akhirnya membentuk
tingkah laku.

3. Jelaskan pengertian wahyu secara etimologi dan terminologi?


Jawab :
Wahyu secara etimologi berarti isyarat langsung, pesan yang
tersampaikan secara cepat dan pesan yang tersampaikan kepada
pihak lain. Sedangkan terminologi agama, wahyu adalah
hubungan maknawi antara pribadi seorang nabi dengan alam gaib
yang dengan itu pesan Tuhan tersampaikan kepada nabi tersebut.
Nabi yang dimaksud adalah orang-orang khusus pilihan Tuhan
yang dianggap layak mendapatkan pesan Tuhan tersebut.

16
4. Jelaskan pengertian intuisi beserta contohnya?
Jawab :
Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa
melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Sepertinya
pemahaman itu tiba-tiba saja datangnya dari dunia lain dan di luar
kesadaran. Misalnya saja, seseorang tiba-tiba saja terdorong untuk
membaca sebuah buku. Ternyata, di dalam buku itu ditemukan
keterangan yang dicarinya selama bertahun-tahun.
5. Bagaimana cara manusia mengatasi setiap kesulitan-kesulitan yang
dihadapinya?
Jawab :
Cara manusia mengatasi setiap kesulitannya adalah dengan akalnya
membuat perencanaan dalam hidupnya melakukan pengkajian dan
penelitian yang akhirnya menjadikan manusia sebagai mahluk yang
unggul di muka bumi ini. Karena akalnya manusia dapat diakui sebagai
khalifah dimuka bumi ini dari sinilah bisa dirasakan betapa hebatnya akal
yang telah dianugerahkan kepada manusia.

6. Jelaskan pengertian epistimologi islam menurut Al-qur‟an ?


Jawab :
Sumber epistemologi Islam menurut al-Qur‟an yaitu berdasarkan
pada wahyu, akal, dan data empirik (empirisme/ indera) serta intuisi, akan
tetapi yang paling pokok sebagai sumber epistemologi Islam, yaitu
wahyu. Sedangkan akal dan data empirik adalah sebagai sumber
pendukung sekaligus sebagai bentuk bukti kalau epistemologi Islam itu
tidak bertentangan dengan akal dan empirisme (indera).

7. Jelaskan karakteristik epistimologi menurut al-qur‟an?

17
Jawab :
Pertama, memiliki orientasi teosentris. Artinya ilmu tersebut
mengemban atau memiliki nilai-nilai Ketuhanan, sebagai nilai yang dapat
memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi semua makhluk, dan juga
ilmu tersebut tidak boleh menyimpang dari ajaran-ajaran Allah.
Kedua, terikat nilai karena nilai dapat memberikan penghargaan
yang tinggi kepada manusia dan lingkungannya.

8. Jelaskan perbedaan akal praktis dan akal teoritis?


Jawab :
Akal praktis akan mengontrol jiwa kebinatangan, yang kalau
berhasil maka jadilah seseorang itu berakhlak mulia, dan sebaliknya.
Sedangkan akal teoritis memiliki daya untuk menangkap arti-arti murni,
arti-arti yang tidak pernah ada dalam materi, mengetahui yang didominasi
oleh pengetahuan-pengetahuan yang abstrak, seperti Tuhan, ruh, malaikat;
dan dengan daya inilah akan timbul ma‟rifah.
9. Mengapa intuisi lebih unggul dari pada akal?
Jawab :
Karena . Hati dapat memahami pengalaman langsung kadang-
kadang tidak seperti yang dikonsepsikan akal. Hati juga bisa mengenal
objeknya secara lebih akrab dan langsung.

10. Bagaimana peran akal pada pendekatan buyani ?


Jawab :
peran akal pada pendekatan Buyani ialah hanya sebatas sebagai
alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau
diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya
lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya. Namun, hal
itu berarti bukan tanpa kelemahan

18

Anda mungkin juga menyukai