Anda di halaman 1dari 26

MAKALA FILSAFAT PENDIDIKAN

‘PENGGUNAAN INTUISI DALAM EPISTIMOLOGI ILMU”

OLEH:

NAMA: DWI MONANG

NIM : 1847041033

KELAS: M7.4

ABSEN : 09

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan kita begitu
banyak cinta, kasih, sayang, rahmat, dannikmat yang berlimpah. Tidak lupa pula kita kirimkan
shalawat serta salam kepada junjungan nabi besar kita, nabi yang membawa kita dari zaman
kegelapan menuju zaman yang terang benderang ini dan yang telah memberikan begitu banyak
motivasi serta dia telah menjadi Rahmatan Lil Alamin di muka bumi ini .
Alhamdulillah Allah masih memberikan kekuatan serta kesabaran kepada kami selaku
penulis sehingga kami dapat menyelesaikan sebuah makalah ini semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk kita semua.

Watuputi, 18 September 2020

Dwi Monang

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i

DAFTAR ISI................................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................


B. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................. 2

A. Pengertian Epistimologi Ilmu ........................................................................................ 2


B. Pengertian Intuisi ............................................................................................................ 3
C. Intuisi Sebagai Metode Ilmia ......................................................................................... 7
D. Dampak Sosial Kemasyarakatn dan Lainnya .............................................................. 14

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 18

A. KESIMPULAN ............................................................................................................... 18
B. SARAN ............................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah
puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang
sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap
jawaban-jawaban tersebut juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan
metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang
bersifat semu, tetapi kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur
dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah
menjadikan manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin
menggiatkan manusia untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan
teori-teori yang sudah ada sebelumnya untuk menguji sesuatu teori baru atau
menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga manusia sekarang lebih giat lagi melakukan
penelitian-penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi dari setiap permasalahan
yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti
pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam
memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunianya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat dituliskna rumusan masalh yaitu :
a. Apa yang dimaksud dengan epitimologi ilmu?
b. Apa yang dimaksud dengan intuisi?
c. Bagaimana intuisi sebagai metode ilmiah?
d. Bagaiamana dampak dari masyarakat dan lainnya?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makala ini yaitu pembeca dapat mengetahui pengertian dari
epistimologi ilmu, mengetahui pengertian intuisi, mengetahui intuisi sebagai metode
ilmiah dan dampak dari masyarakat dan lainnya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Epistimologi Ilmu

Epistimologi adalah teori pengetahuan yang membahas tentang cara mendapatkan


pengetahuan dari objek yang dipikirkan. Selain itu ada pula yang mengartikan epistimologi
sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan dan pangandai-
pengandaiannya. Mujamil Qomar mengatakan, bahwa epistimologi ilmu meliputi pembahasan
yang berkaitan dengan seluk beluk ilmu pengetahuan; mulai dari hakikat, asal usul, sumber,
metode, unsur, sasaran, dan macam-macam ilmu serta lainnya. Epistimologi ilmu bukan hanya
membahas metode dan pendekatan untuk memperoleh pengetahuan tentang ilmu, melaikan
mencakup banyak aspek.Sedangkan Ilmu adalah pengetahuan yang telah tersusun secara
sistematik dan logis serta telah melalui sebuah pengujian atau validasi sesuai persyaratan ilmiah,
dan diterima sebagai kebenaran ilmiah. Dengan demikian, epistimologi ilmu adalah kajian
filsafat yang membahas tentang sumber ilmu, metode dan pendekatan dalam menggunakan dan
mengolah sumber tersebut, serta nilai atau manfaat dari ilmu tersebut.

Sejalan dengan definisi tersebut, maka objek epistimologi ilmu sebagaimana dikemukakan
Jujun S. Suriasumantri adalah segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh
pengetahuan, dan sekaligus mengantarkan pada tercapainya tujuan, yaitu bukan untuk menjawab
pertanyaan apakah yang saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang
memungkinkan saya dapat tahu. Tujuan epistimologi bukan untuk memperoleh pengetahuan,
kendatipun hal ini tidak dapat dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dan tujuan
epistimologi adalah ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan, yakni potensi untuk
memperoleh pengetahuan tentang pendidikan Islam.

Melalui epistimologi, selain seseorang dapat mengetahui proses tersusunnya suatu ilmu, juga
memiliki kemampuan untuk menemukan dan menyusun ilmu tersebut. Dengan epistimologi
diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran bahwa jangan sampai seseorang puas dengan sekedar
memperoleh pengetahuan tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan
tersebut. Dengan cara demikian, seseorang bukan hanya menjadi konsumen ilmu yang bersifat

2
pasif, melainkan menjadi produsen ilmu yang aktif, kreatif dan dinamis, serta tidak hanya
menjadi seorang pengikut, melainkan juga menjadi seorang penemu.

Sejalan dengan itu, maka epistimologi ilmu memiliki fungsi sebagai pengkritik, pemberi
solusi, penemu dan pengembang. Dengan epistimologi diharapkan dapat menyadarkan
seseorang, terutama peserta didik atau mahasiswa, bahwa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
diperlukan cara atau metode tertentu, sebab epistimologi menyajikan proses pengetahuan di
hadapan seseorang dibandingkan dengan hasilnya. Epistimologi dapat memberikan pemahaman
dan keterampilan yang utuh dan tuntas. Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan,
pasti akan mengetahui hasilnya. Sebalik orang yang tidak menguasai epistimologi, akan banyak
mengetahui sesuatu, tetapi tidak mengetahui prosesnya. Dalam kaitannya dengan pendidikan
Islam misalnya, epistimologi memiliki peran, pengaruh dan fungsi yang begitu besar,yaitu
sebagai penentu atau penyebab timbulnya akibat-akibat dalam pendidikan Islam. Oleh sebab itu,
jika terjadi berbagai kelemahan dan kemunduran dalam ilmu dan praktek pendidikan Islam
misalnya, maka yang terlebih dahulu harus diperkuat adalah epistomologinya. Kekohon
bangunan epistimologi melahirkan ketahanan dan kekokohan sebuah ilmu dalam menghadapi
pengaruh apapun. Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa masa depan sebuah ilmu apapun,
sebetulnya dapat dipertaruhkan dengan kondisi epistimologinya.

B. Pengertian Intuisi

Secara harfiah intuisi dapat diartikan perasaan batin atau getaran jiwa yang dapat merasakan
sesuatu, yang selanjutnya menimbulkan pengaruh ke dalam sikap, ucapan dan perbuatan. Intuisi
yang tertinggi dapat mengambil bentuk wahyu sebagaimana dialami para Nabi. Sedangkan yang
lainnya dapat mengambil bentuk inspirasi (ilham), lintasan pikiran (flashes). Hasil intuisi
terkadang juga dapat mengambil bentuk bermacam-macam. Ibn Sina menyebutnya al-faidl
(ilumination),Zunnun al-Msri (w.860 M.) dan Imam al-Ghazali (w.1111 M.) menyebutnya al-
ma‟rifah[9] (w.1111 M.) Syuhrawardi menyebutnya al-isyraqiyah, Ahmad Asy-Syirbashi
menyebutnya ilmu al-Mauhubah, H.M.Quraish Shihab, ulama lainnya menybutnya ilmu
laduni,orang pesantren menyebutnya futuh, dan dalam tradisi masyarakat keraton di Jawa
dikenal dengan nama wangsit. Tentang bukti-bukti yang menguatkan adanya orang yang
memperoleh pengetahuan intuisi ini dapat dijumpai di kalangan sufi. Benar seperti halnya

3
mimpi, pengalaman mistik hanya dialami oleh orang perorang atau individual. Tetapi, tidak
berarti oleh satu orang saja. Setiap diri manusia berpotensi untuk mengalami pengalaman mistik
ini. Dari sejarah mistisisme, kita mengenal bukan hanya seorang mistikus, melainkan berpuluh-
puluh bahkan ratusan mistikus yang tersebar dalam ruang geografis yang berbeda dalam
rentangan temporal yang berlainan mengalami pengalaman mistikus. Jalal al-Din Rumi,
sebagaimana diceritakan oleh Mulyadhi Kartanegara, pernah mengatakan, bahwa kesadaran
manusia mempunyai rentang terbatas untuk menerima limpahan ilmu, tetapi “ketidaksadaran”
bisa menjadi pintu yang sangat lebar untuk iluminasi Ilahi. Pernyataan itu bukan hanya omong
belaka, tetapi dibuktikan sendiri oleh karya umatanya, Matsnawi al-Ma‟nawi. Yaitu sebuah karya
puisi yang mengandung 36 ribu bait puisi ini, dan ternyata hanya bait-bait pertamanya yang
merupakan goresan tangan pengarangnya. Sedangkan selebihnya diungkapkan sang Maulana
secara spontan ketika beliau mengalami trance, yakni saat kesadaran intelektualnya terhenti, dan
“kesadaran” intuitif terbuka lebar. Bagai aliran sungai yang besar, puisi-puisi sang Maulana
mengalir deras dari mulutya dalam bentuk puisi-puisi kuplet yang sangat indah dan melodis,
yang disebut Matsnawi. Beribu-ribu bait meluncur deras dengan cara puisi-puisi itu mengalir
lewat proses nalar, karena tentunya akan terlalu lambat untuk menghasilkan puisi yang seperti
itu. Tetapi bagaimanakah Matsnawi bisa tersusun seperti yang kita saksikan sekarang terdiri dari
enam buku. Itu tidak lain, seperti telah disinggung, terjadi karena “khilafah” Rumi, Husyam al-
Din Chelebi, yang dengan setia dan cekatan menggoreskan setiap kata yang meluncur dai mulut
Sang Maulana.

Selain contoh di atas, salah satu karya Ibn „Arabi, Sang Saikh Akbar, yang berjudul Risalah
Al-Anwar fi Ma Yumnah Shahib al-Halwa min Asrar, bisa menjadi bukti atau saksi atas
kekuatan pengalaman mistik sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dalam buku yang tidak terlalu
besar itu, Ibn „Arabi menceritakan pengalaman mistiknya yang luar biasa, ketika dalam sebuah
zikirnya, dia bisa menembus berbagai dunia, (ada sekitar 23 tingkat pengalaman batinnya) baik
yang bersifat fisik, seperti dunia mineral dan tumbuh-tumbuhan, maupun dunia-dunia ghaib
termasuk melihat surga, neraka dan Arasy.

Memperhatikan dua contoh di atas, Mulyadhi Kartanegara mengatakan: “Tentu kita bisa
menyadari betapa dahsyatnya daya atau kehebatan pengalaman mistik intuitif dibandingkan
dengan pengalaman indriawi ataupun intelektual, kecuali kalau Anda mencurigai kejujuran dari

4
kedua sufi Muslim agung yang sangat dihormati tersebut, Rumi dan Ibn „Arabi. Dengan
menyebutkan ilmu yang disampaikan seperti gambaran atau mitsal, atau dalam bahasa al-Qur‟an
disebut dengan cahaya, maka sesungguhnya cahaya tersebut dapat diberikan kepada siapa saja
yang dikehendaki. Hal ini misalnya dapat dipahami dari firman Allah SWT: “Allah memberi
petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki. (Q.S. al-Nuur, 24:35). Bukti
empirik memperlihatkan bahwa para ulama yang tinggi tingkat ilmunya dan luhur
kepribadiannya, serta senantiasa memelihara kesucian diri, adalah orang-orang yang tergolong
memiliki pengalaman memperoleh ilmu secara intuitif. Mereka mampu menulis kitab yang
terkadang dalam satu judul berpuluh-puluh jilid tanpa melakukan penelitian yang mengandalkan
pancaindera dan akal pikiran melalui observasi dan eksperimen. Mereka setelah memiliki
persyaratan akademik, berupa penguasaan bahasa Arab dengan berbagai cabang ilmunya, seperi
ilmu nahwu, sharaf, balaghah, ilmu al-Qur‟an, ilmu hadis, qawaid fiqhiyah, ushul fiqh, sejarah,
dan lainnya. Mereka melakukan pendekatan dengan Allah melalui penyucian diri (tazkiyah al-
nafs), dzikir, shalat sunah, memelihara wudlu, dan sebagainya. Dengan cara itu mereka segera
dapat menghasilkan pemahaman yang demikian luas dan mendalam tentang suatu ayat atau
hadis, lalu mereka menarik hikmah, ajaran, nilai-nilai, dan pemahaman yang mendalam dari
ayat-ayat al-Qur‟an dan Hadis yang mereka ingin pahami itu. Ibn Sina, seorang ilmuwan
ensiklopedik, integrated, holistik dan multi talented misalnya mengatakan, bahwa pada saat ia
menulis pada hakikatnya ia sedang bertasybih, yang melalui tangannya memacar pengetahuan
dari Tuhan. Dalam kaitan ini, Athiyah al-Abrasyi menceritakan tentant Ibn Sina dengan
mengatakan: “Dan di antara kebiaasaan Ibn Sina adalah, jika ia menemui masalah (ilmiah), maka
ia pergi ke masjid, kemudian ia berwudlu, shalat sunnah, dan berdo‟a, sehingga selubung yang
menutupi akalnya terbuka. Demikian pula Imam Syafi‟I ketika mengalami kesulitan dalam
memahami perkara ilmiah, maka ia dinasehati oleh gurunya bernama Waqi‟, agar menjauhkan
dosa. Lengkapnya Imam Syafi‟i berkata: Aku mengadu kepada guruku bernama Waqi‟, karena
aku sulit menyerap dan memahami perkara ilmiah. Maka guruku menasihatiku agar menjauhi
perbuatan maksiat, dan ia mengajarkan bahwa ilmu itu cahaya, dan cahaya itu tidak akan
diberikan kepada orang yang berdosa. Pengalaman yang serupa juga terjadi pada Sayyid Quthb.
Pada bagian awal kitab Tafsirnya, Fi Dzilal al-Qur‟an sebanyak 8 jilid, ia menceritakan: Bahwa
pada suatu saat aku sulit memahami ayat-ayat Al-Qur‟an. Kemudian aku pergi ke mesjid dan
melakukan shalat hajat dan berdo‟a, maka tiba-tiba pikiran dan hati sangat terang dan jernih,

5
kemudian dalam pikiranku terlihat dengan terang maksud dari suatu ayat, dan kemudian aku
ambil pena, dan aku terus menulis tanpa henti, dan dari pikiranku mengalir ilmu tanpa hentinya.

Tidak hanya dari kalangan sufi dan ulama saja yang bisa memperoleh pengetahuan langsung
dari Tuhan. Semua orang bisa memperoleh pengetahuan melalui intuisi sesuai dengan tingkatan,
kesungguhan dan metode yang ditempuhnya sebaimana akan dijelaskan pada bagian berikutnya.
Pengetahuan intuitif bisa datang kepada mufassir, yaitu berupa bimbingan, pengetahuan dan
pemahaman yang mendalam tentang ayat-ayat tersebut pada saat mufassir itu sedang berupaya
memahami dan menangkap makna di balik ayat (simbol). Pengetahuan intuitif bisa datang
kepada para penyair, yaitu ketika mereka sedang menggubah atau menyusun suatu syair, tib-tiba
mereka memperoleh pencerahan secara batin dari Tuhan yang selanjutnya mereka dapat
melahirkan karya-karya puisi, syair, taushih, kata-kata hikmah dan sebagainya yang original.
Para penyair, sastrawan, pujangga, penulis novel, penulis lagu, penulis cerita, pembuat disain,
arsitektur dan rancang bangun, ornamen, assesoris dalam bentuk karya seni yang indah, disain
kendaraan, pesawat, alat-alat komunikasi, kesehatan, teknik pengobatan, dan lainnya adalah
orang-orang yang sesungguhnya memperoleh pengetahuan dari Tuhan, melalui intuisi, bukan
dari bangku kuliah.Kita seringkali secara tiba-tiba mendapatkan pengetahuan dengan pencerahan
batin kita. Pengalaman ini adalah pengalaman intuisi, dan mungkin setiap orang pernah
mengalaminya, hanya frekwensinya yang membedakan masing-masing orang dalam
mendapatkan intuisi itu. Ada orang yang kerap kali mendapatkan intuisi, tetapi sebaliknya, ada
juga yang jarang sekali. Perbedaan perolehan intuisi ini sebenarnya juga menarik ditelusuri dari
sudut penyebabnya. Dalam kadar, tingkat dan keragamannya, seseorang bisa mendapatkan
pengetahuan langsung dari Tuhan melalui intuisi saat dia sedang buang air besar, berjalan-jalan,
menjelang tidur, dan kedaan-kedaan lainnya yang tidak dipersiapkan untuk memikirkan secara
serius terhadap pengetahuan. Sebaliknya terkadang seseorang sedang serius memikirkan sesuatu
untuk mendapatkan pengetahuan, justeru intuisi itu tidak kunjung datang. Dengan pengertian
lain, bahwa intuisi itu bisa datang kepada semua orang, termasuk kepada orang yang tidak
percaya dan tidak mengakui intuisi itu sendiri. Intuisi datangnya sewaktu-watu tanpa
memandang waktu, kesibukan maupun orang yang menerimanya.

6
C. Intuisi sebagai Metode Ilmiah

Kajian tentang intuisi sebagai metode llmiah dapat dijumpai pada pemikiran para pakar yang
menyujui eksistensi dan peran intuisi tersebut. Sebaliknya bagi para pakar yang menolak intuisi
sebagai metode ilmiah baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim menganggap bahwa
intuisi itu secara metodologis mengandung kelemahan, karena mengalami kesulitan dalam
mengujinya. John Stuart Mill sebagaimana dikutip Mujamil Qomar misalnya mengatakan, bahwa
persepsi yang didasarkan pada intuisi langsung tidaklah dapat diuji. Di sinilah salah satu letak
problem intuisi ketika dijadikan sebagai metode atau pendekatan untuk menemukan
pengetahuan. Belum jelas, alat apa yang dapat dipakai untuk menguji kebenaran atau keabsahan
pengetahuan yang dihasikkan dari intuisi. Padahal menurut tradisi keilmuan, pengetahuan yang
didapatkan melalui metode apapun harus dapat diuji kebenarannya. Sedangkan dalam menguji
kebenaran pengetahuan itu harus ada alat uji yang andal dan jelas. Jika terdapat pengetahuan
yang ditemukan atau diperoleh tetapi kebenarannya tidak dapat diuji, maka tidak diakui sebagai
pengetahuan ilmiah.

Di samping itu, kelemahan lain dari intusi itu adalah bahwa manusia menjadi pasif
sama sekali. Mestinya manusia harus dinamis atau progresif. Dalam berfikir intuitif ini memang
manusia berada pada posisi yang lemah. Padahal yang dikehendaki oleh ilmu pengetahuan
adalah hasil pemikiran berupa kesimpulan sebagai produk dari usaha aktif manusia dalam
menemukan kebenaran, bukan pengetahuan yang dianugerahkan. Persepsi umum di kalangan
ilmuwan terhadap intuisi umumnya demikian. Intuisi dikesankan tidak dapat diuji kebenarannya,
dan menempatkan manusia sebagai makhluk yang pasif, menunggu perolehan atau anugerah dari
Tuhan. Manusia tidak bisa secara aktif mempercepat datangnya anugerah itu, dan tidak pula
dapat dipastikan, apakah pengetahuan yang diperolehnya benar-benar berasal dari Tuhan atau
dari sumber lain. Anggapan ini bisa dimaklumi karena akibat dari keterbatasan sumber, alat dan
metode yang mereka gunakan yang tidak sepenuhnya dapat memecahkan masalah, serta akibat
dari kesalahan dalam menggunakan alat dan metode tersebut. Mereka yang menolak intuisi
sebagai metode ilmiah, karena mereka memandang, bahwa sumber ilmu hanya alam jagat raya
dengan segala isinya serta fenomena sosial. Mereka tidak mengakui adanya sumber ilmu lainnya,
yaitu berupa wahyu (hadis) dan yang sejenis, namun tingkatannya berbeda-beda yang berasal
dari Tuhan, yaitu taufik, hidayah, ilham, dan pencerahan batin lainnya yang mengambil bentuk

7
nama yang berbeda-beda, yaitu al-faid (ilmunation), al-irfan, ma‟rifat, al-mauhubah, al-
isyraqiyah, al-laduni, al-futuh, atau wangsit. Ketidak-percayaan atau penolakan terhadap intusi
ini terjadi, karena mereka tidak percaya kepada Tuhan. Mereka tidak mengakui bahwa adanya
hukum kausalitas, hukum-hukum alam (natural of law), dan berbagai keistimewaan yang ada di
alam sebagai sunnatullah atau ayat-ayat Allah, melainkan sebagai gejala atau fenomena alam
yang terjadi secara alami, natural, atau tabi‟at dari alam itu sendiri, tanpa ada hubungannya
dengan Tuhan. Hal ini terjadi pula pada fenomena alam yang ada pada manusia secara total.
Dengan demikian, ketika alam jagat raya dan segenap makhluk termasuk manusia binasa, maka
hal itu dianggap sebagai siklus alam saja. Manusia mati, sama dengan makhluk lainnya, hancur
jadi tanah, tanpa ada pertanggung jawaban hidup di akhirat. Sebab lainnya mereka bersikap
demikian, adalah karena alat yang mereka gunakan untuk menjelaskan semua permasalahan,
termasuk masalah yang ghaib, seperti kehidupan alam kubur, syurga neraka, bahagia dan celaka,
akhlak dan moral serta nilai-nilai universal lainnya hanyalah pancaindera dan akal melalui
observasi dan eksperimen, sedangkan pancaindera dan akal itu sendiri kemampuannya terbatas.
Jangankan untuk mengetahui yang gaib atau metafisik dan eskatologis, sedangkan untuk
memahami yang nampak, fisik dan duniawi saja, pancaindera dan akal sebagaimana
dikemukakan al-Ghazali adalah terbatas. Penggunaan pancaindera atau akal, atau dengan kata
lain menggunakan pancaindera dan akal untuk memahami dan menjangkau hal-hal yang ghaib
adalah salah penggunaan. Alat untuk memahami hal-hal yang ghaib adalah hati nurani yang telah
diisi dengan keimanan dan disucikan sehingga dapat limpahan pengetahuan dari Tuhan. Hati
nurani yang jangkauan dan kekuatan serta tingkat akurasinya lebih kuat daripada pancaindera
dan akal, sebagaimana dikemukakan al-Ghazali inilah yang tidak mereka akui, dan tidak mereka
gunakan. Ilmu dari Tuhan ibarat lautan, dan pasti benar. Sedangkan pancaindera dan akal ibarat
cangkir atau ember, maka tidak mungkin keduanya dapat menjangkau pengetahuan dari Tuhan;
yang dapat menerima pengetahuan langsung dari Tuhan yang juga dalam kadar yang terbatas,
namun lebih meyakinkan, dan pasti benar, adalah hati nurani. Dengan demikian, jika
pengetahuan yang diperoleh pancaindera dan akal mungkin salah dan jangkauannya sangat
terbatas, maka pengetahuan dari Tuhan melalui intusi pasti benar, namun penggunaannya oleh
manusia bisa salah, serta jangkauan atau kadar yang diterima manusia juga melalui hatinya juga
terbatas. Jadi, pancaindera, akal dan hati nurani manusia terbatas juga. Demikian pula
penggunaanya juga sama. Hasil pancaindera, akal pikiran dan hati nurani manusia juga terbatas.

8
Demikian pula penggunaanya oleh manusia bisa salah atau bisa benar, tergantung manusia yang
menggunakannya. Sedangkan dari tingkat meyakinkannya hasil dari hati nurani lebih
meyakinkan. Kembali kepada metode atau langkah-langkah untuk memperoleh imu yang
langsung dari Tuhan (intuisi) telah banyak dibicarakan para ahli. Mulyadhi Kartanegara misalnya
mengatakan sebagai berikut.

Kalau dalam penelitian objek-objek indrawi metode observasi, atau eksperimen harus
dibantu dengan sistem pengukuran (measurement) dan juga alat bantu, dan pengenalan rasional
harus dicapai dengan pengenalan dan penerapan kaidah-kaidah logika begitu ketat, maka cara
orang untuk memperoleh ilmu hudlhuri adalah dengan isti‟dad, yaitu mempersiapkan diri untuk
menyongsong iluminasi (pencahayaan) langsung dari Tuhan. Bukan dengan mempertajam indera
atau olah nalar, melainkan dengan membersihkan diri (hati) kita dari segala kotoran atau dosa
dan noda. Untuk bisa menangkap objek-objek pengenalan intuitif dengan lebih sempurna, maka
lensa hati kita harus tetap dijaga kebersihan dan kehalusannya. Itulah sebabnya berdzikir yang
intinya adalah menghapus setiap debu syirik dari hati ita dan tazkiyah al-nafs (pembersihan diri
terutama dari egosentrisme) menjadi sangat penting dalam upaya kita mengenal lebih baik objek-
objek yang hadir dalam diri ita tersebut. Dengan demikian, bukan pengolahan indra atau nalar
yang dipentingkan di sini, melainkan olah batin atau spiritual, seperti yang dilakukan oleh orang-
orang saleh, termasuk nabi dan para wali, atau seperti yang kita lihat dalam latihan-latihan
spiritual (riyadhah al-nafs) yang diselenggarakan dalam tarekat-tarekat.

Al-Ghazali sebagai seorang sufi yang sudah sampai pada tahap mencapai ilmu melalui
intuisi, atau dzauq menawarkan sebuah metode yang dinilai efektif. Dalam bukunya Ihya‟ Ulum
al-Din ia menawarkan tahapan sebagai berikut. Pertama, taubat; Kedua, sabar dan syukur;
Ketiga, al-khauf wa al-raja‟; Keempat, al-faqr wa al-zuhd; Kelima, al-tauhid dan tawakkal;
Keenam, al-mahabbah wa al-syau;, Ketujuh, al-niyyat, al-ikhlash dan al-shidqu; Kedelapan, al-
tafakkur, dan Kesembilan dzikr al-maut wa maa ba‟dahu. Dari sembilan tahapan ini
sesungguhnya ada 16 kegiatan yang harus dilakukan. Yaitu Taubat adalah kegiatan yang terdiri
dari tiga tingkatan, yakni aspek pengetahuan tentang taubat, keadan dan praktek taubat, antara
satu dan lainnya saling berkaitan. Sabar adalah tingkatan dalam agama dan tempat orang-orang
yang sedang menuju Allah yang juga terdiri dari pengetahuan keadaan dan praktek; Sabar
dalam menjalankan perintah agama, sabar dalam mengendalikan syahwat. Sedangkan syukur

9
pengetahuan bahwa semua ni‟mat dari Allah yang memberikannya, disertai pengetahuan tentang
sesuatu yang dicintai Allah dan dibenci-Nya. Ni‟mat terdiri dari kebaikan, kelezatan dan
kebahagiaan yang masing-masing memiliki pengaruh, dan kebahagiaan di akhirat adalh ni‟mat
yang hakiki. Selanjutnya tentang tauhid terdiri dari tiga tingkatan. Yang pertama, seseorang
dengan lisannya mengucapkan lailaaha illa Allah (Tiada Tuhan selain Allah, namun hatinya
masih lupa pada Allah atau mengingkarinya, dan inilah yang disebut tauhid munafiq. Kedua,
membenarkan dengan hati apa yang diucapkan dengan lisan. Ketiga, menyaksikan keagungan
Tuhan dengan jalan kasyaf dengan perantaraan cahanya Ilahi dan inilah posisi kaum muqarrabin,
dan Keempat, tidak melihat hal lainnya dalam wujud jecuali hanya Allah, dan itulah kesaksian
seorang ang shadiq, dan di dalam tasawuf disebut al-fana fi al-tauhid, karena hal itu terjadi
dengan cara tidak melihat yang lain kecuali yang Esa, Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya
tawakkal adalah gambaran tentang keterikatan yang kokoh dari hati sanubari terhadap al-Wakil
(Yang Maha Mewakili, Allah SWT) saja. Dengan tawakkal ini maka tercapailah hidayah
(petunjuk ilahiyah), kekuatan spiritual, keterang benderangan, dan ketenggelaman batin pada nur
ilahi. Selanjutnya mahabbah yang sesungguhnya tidak akan tercapai kecuali setelah ma‟rifah,
karena mahabbah sulit digambarkan kecuali setelah adanya pengetahuan yang mendalam pada
Tuhan, dan manusia tidak akan mencintai seseorang kecuali sebelumnya sudah diketahuinya,
ungkapan umum mengatakan, karena tak kenal maka tak cinta. Sedangkan niyat, kehendak dan
maksud merupakan ungkapan atau kosakata yang sudah maklum dan mengandung kesatuan
makna, yaitu suatu keadaan atau sifat hati yang mencakup dua hal, yaitu ilmu dan amal. Adapun
ikhlas adalah bahwa sesuatu terkadang ingin ditiru orang lain, dan jika perbuatan tersebut bersih
dari ingin ditiru atau dipuji orang lain, maka perbuatan tersebut dinamakan ikhlas, dan orang
yang melakukannya disebut mukhlish. Terkait dengan ikhlas ini, maka dilanjutkan dengan
muhasabah, yaitu setiap orang hendaknya membiasakan diri untuk melakukan introspeksi dan
evaluasi pada semua usianya, hari demi hari, jam demi jam, terhadap anggota badannya, dzahir
dan batinnya. Selanjutnya yang disebut al-fikr atau tafakkur adalah menghadirkan pengetahuan
yang hakiki di dalam hati agar dengan demikian terjadi keberlangsungan ma‟arifah. Puncak dari
semua itu adalah ma‟rifah dan memandang wajah Allah yang merupakan kelezatan yang paling
tinggi.[22] Al-Ghazali sebagaimana dikutip Harun Nasution berkata, bahwa: “ma‟rifat adalah
nampak terang dan jelas rahasia keagungan Allah dan ilmu yang berkaitan dengan urusan
ketuhanan yang meliputi atas segala yang maujud.”

10
Itulah antara lain metode atau langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapai
pengetahuan intuitif dari Tuhan. Metode tersebut pada intinya adalah membersihkan hati, karena
hati yang sudah bersih inilah yang dapat menerima ilmu dari Tuhan. Melalui metode ini,
seseorang yang ingin mendapatkan ilmu tidak pergi ke sekolah, perguruan tinggi atau diskusi
ilmiah, tetapi dia pergi kepada Allah dengan melakukan serangkaian kegiatan tersebut. Orang
tersebut langsung pergi kepada Allah sebagai sumber ilmu; ibarat radio atau televisi, ia
menggunakan antene varabola, yang dalam hal ini hati yang sudah dibersihkan yang dapat
menangkap ilmu dari Tuhan. Mereka percaya, bahwa di samping banyak orang yang Alim
(sarjana atau guru) ada yang Maha Guru, dan kepada-Nyalah orang mengharapkan. Dalam kaitan
ini, terdapat ayat al-Qur‟an yang artinya: “Kami angkat derajat orang yang Kami kehendaki, dan
di atas setiap orang yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui.” (Q.S. Yusuf, 12:76). Agar
hati manusia selalu tercantol dengan Ilmu Tuhan, maka ia harus terus membersihkannya, dan
jangan sekali-kali lupa. Yaitu orang yang memiliki hati tetapi tidak dipergunakannya untuk
memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah)m dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (Q.S. al-A‟raf, 7:179). Kelengahan ini
terjadi, karena hati mereka lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat duniawi, bujukan syahwat,
syaithan dan hawa nafsu. Dengan demikian kuncinya adalah memelihara kesucian dan
kebersihan diri. Jadi pangkalnya adalah hati yang sehat, baik hati secara fisik, maupun hati
secara spiritual. Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan: “Ingatlah bahwa pada dirimu
terdapat segumpal darah, jika ia sehat, maka sehatlah seluruh badan, dan jika segumpal darah itu
rusak (sakit), maka rusaklah seluruh badan seluruhnya. Ingatlah, bahwa segumpal darah
(mudghah) itu adalah hati.”(H.R. Bukhari). Terkait hadis ini, Zaghlul An-Najjar berkata:

Hadis ini memuat secercah kemukjizatan ilmiah, karena penyakit apapun apabila telah
menyerang hati atau jantung, maka ia akan merusaknya dan akhirnya akan merusak seluruh
tubuh. Hal itu dikarenakan jantung befungsi memompa darah yang tidak bersih (belum
teroksidasi) dari bilik jantung bagian kanan ke paru-paru yang langsung melakukan proses
oksidasi darah, lalu mengembalikan darah yang sudah bersih (teroksidasi) dari paru-paru ke bilik
jantung bagian kiri yang kemudian memompanya ke seluruh tubuh. Jantung dalam arti fisik ini,
mensuplai triliunan sel-sel pembentuk tubuh manusia dengan gas oksigen dan sari-sari makanan.

11
Bersamaan dengan itu, hati juga memiliki makna batin sebagai tempat di mana Allah dapat
melimpahkan ilmu-Nya, jika hati tersebut sudah bersih. Hati yang bersih itulah hati yang selalu
dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Sebaliknya jika hati kotor, banyak mengikuti bujukan
syaithan, hawa nafsu syahwat dan ghadlab, serta mencintai duniawi, maka hatinya akan kotor
dan ia tidak dapat menggunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah SWT. Hati orang yang
demikian adalah hati orang yang celaka. Mushtafa al-Maraghiy dalam Tafsir al-Maragy
menyimpulkan ayat 179 surat al-A‟raf sebagaimana disebut di atas sebagai berikut.
Sesungguhnya ahli neraka itu adalah mereka yang kaya raya, yang bodoh, yang lalai, yang tidak
dapat mempergunakan akalnya dalam memahami hakikat segala perkara, tidak mempergunakan
penglihatan dan pendengarannya di dalam menetapkan ma‟rifat dan mengambil faidah ilmu
pengetahuan, dan tidak pula menggunakannya dalam memahami ayat-ayat Alah yang bersifat
kauniyah, dan ayat-ayat yang bersift tanziliyah, yang keduanya menjadi sebab sempurnanya
iman, dan mendorong jiwa untuk menyempurnakan Islam.

Sementara itu, Mujamil Qomar mengemukakan tentang metode hadirnya intusi sebagai
berikut. Kita tidak hanya secara pasif menunggu datangnya intuisi, tetapi justru yang perlu
dipikirkan bagaimana cara mendatangkan intuisi itu. Salah satu tawaran untuk menghadirkan
intuisi adalah dengan bantuan musik untuk merangsang otak kanan. Ada teori yang mengatakan,
bahwa dalam situasi otak kiri sedang bekerja, seperti mempepalajari materi baru, musik akan
membangkitkan reaksi otak kanan yang intuitif dan kreatif, sehingga masukannya dapat
dipadukan dengan keseluruhan proses. Hal ini disebabkan, “cara berfikir otak kanan bersifat
acak, tidak teratur, ituitif dan holistik.” Bila dilihat dari waktu kemunculannya, ada intuisi yang
datangnya mengalami tenggang waktu dari proses berfikir (terkadang cukup lama), ada intuisi
yang datangnya relatif langsung dari proses berpikir, dan ada pula intuisi yang datangnya
bersamaan dengan proses berfikir. Ketiganya memiliki substansi yang sama, hanya waktu
merespon yang berbeda. Intuisi yang makin cepat hadir semaki baik untuk mewujudkan
dinamika pengetahuan. Seandainya masih dapat disiasati, maka intuisi yang datangnya
bersamaan dengan proses berpikir itulah yang paling kita upayakan.

Sejalan dengan peran hati dalam memperoleh intuisi, Murthadha Muthahhari


mengatakan: Islam tergolong kelompok yang mengakui hati sebagai suatu sumber pengetahuan
yang alatnya adalah menyucian jiwa (taziyah al-nafs). Dalam proses mendapatkan irfani atau

12
intuisi itu, al-Qur‟an tidak menganjurkan manusia agar mengucilkan diri dari masyarakatnya,
pergi ke bukit-bukit, selama empat puluh hari duduk bersila, tidak berurusan dengan berbagai
aktivitas.

Berkenaan dengan penyucian jiwa, di situ terdapat dua fungsi. Fungsi pertama, jika
manusia melakukan penyucian jiwa, maka pandangan rasionya akan menjadi lebih terang.
Sebagai contoh jika Anda berada dalam ruangan yang dipenuhi asap yang berterbangan, maka
Anda tidak dapat melihat sesuatu yang ada beberapa meter dari kaki anda. Jika Anda ingin
melihatnya, maka Anda memerlukan cahaya dan oksigen. Salah satu pengaruh dari penyucian
jiwa itu ialah membersihkan ruangan yang ada dalam rasio. Tetapi fungsi penyucian jiwa tidak
hanya ini saja. Hati manusia itu sendiri memberikan ilham kepada manusia. Mengenai tahapan-
tahapannya tidak dijelaskan oleh Muthahhari secara detail, karena efektifitas metode tersebut
pada setiap orang bisa bersamaan, sedangkan pada yang lain bisa berbeda lagi. Bisa sepuluh
tahap, seratus tahap, atau seribu tahap, dan bisa satu tahap, karena semua itu berasal dari satu
sumber, yaitu “hati” dan tidak memiliki sumber.

Selain itu dapat pula ditempuh dengan berkontemplasi yang peranannya sebagai alat bagi
intuisi, inspirasi dan mimpi. Kontemplasi adalah usaha mengerahkan kemampuan akal dalam
bentuk perenungan-perenungan guna menangkap pengetahuan baru sebagai temuan. Dalam
bahasa Arab biasanya kontemplasi diartikan tafakkur, tahannust, tirakat, bertapa, atau
mengheningkan cipta. Perenungan-perenungan tersebut akan menembus batas yang akal tidak
sanggup mencapainya. Pada saat demikian ini biasanya intuisi muncul. Jadi, kontemplasi
menjadi pemancing timbulnya intuisi.

Dari penjelasan tentang datangnya ilmu dari Tuhan dalam bentuk intuisi ternyata secara
keseluruhan membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh, bukan menunggu secara pasif. Para
sufi yang memperoleh pengetahuan langsung dari Tuhan ternyata harus bekerja keras melalui
mujahadah dan riyadhah, yakni bekerja keras mengendalikan hati dari berbagai pengaruh negatif
dan menghiasnya dengan taubat, zuhud, sabar, ikhlas, tawakal, syukur, khauf, raja‟ (berharap),
dan sebagainya. Dengan demikian, anggapan bahwa intuisi datang dengan sendirinya tanpa
usaha dan pasif dengan sendirinya terbantahkan.

13
Penjelasan tersebut juga memberikan informasi tentang adanya bentuk intuisi yang
memiliki hubungan dan kerjasama yang baik dengan pancaindra dan akal. Intuisi
mengungkapkan sesuatu yang baru sama sekali, karena berada di luar jangkauan indera dan juga
akal. Penggunaan akal dan intuisi seara integral dapat memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap pengembangan metode-metode yang dipakai menggali pengetahuan. Metode
interpretasi misalnya diyakini akan tumbuh dan berkembang melalui pemanfaatan metode yang
menggunakan akal dan intuisi. Akal berpotensi mempertajam penafsiran-penafsiran terhadap
suatu konsep, sedangkan intuisi berpotensi menyempurnakan penafsiran tersebut terutama yang
tidak terjangkau oleh potensi akal. Melalui akal dan intuisi, penafsiran tersebut bisa bernuansa
rasional dan mungkin juga supra rasional atau spiritual.

D. Dampak Sosial Kemasyarakatan dan Lainnya

Kehadiran ilmu pengetahuan yang dibangun oleh epistimologi yang berbasis pada
perpaduan pancaindera, akal dan hati (intuisi) dengan ilmu yang hanya dibangun oleh
epistimologi yang hanya berbasis pancaindera dan akal sangat berpengaruh besar terhadap
kehidupan masyarakat pada umumnya, dan kegiatan pendidikan pada umumnya. Harian
Kompas, Sabtu, 25 Februari, 2017 pada halaman 7 memuat tulisan Saudara Ahmad Zainuddin,
berjudul Komidifikasi Dunia Pendidikan. Menurutnya dunia pendidikan di era sekarang
menghadapi tantangan besar dengan adanya liberalisasi dan perdagangan global sehingga
berdampak pada komodifikasi pendidikan. Artinya, pendidikan tak lagi jadi alat transformasi
sosial. Pendidikan telah menjadi komoditas yang menguntungkan demi kepentingan ideologi
penguasa dan pihak-pihak tertentu. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia
sedang mengalami distorsi baik dari segi proses, mutu, maupun pencapaian kualitas. Dari segi
proses, pelaksanaan pendidikan tidak relevan dengan evaluasi kemajuan yang dicapai. Dari segi
mutu, terjadi kelemahan perencanaan pendidikan dan kesenjangan lulusan dengan kebutuhan
masyarakat. Sementara dari segi kualitas, terjadi distorsi karena kurangnya analisis menyeluruh
dalam menerapkan sebuah kebijakan pendidikan. Kasus proyek buku sekolah, perubahan
kurikulum,dinas pendidikan di Indonesia yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam
menerapkan doktrin-doktrin tertentu adalah bagian dari masalah pendidikan yang belum
terpecahkan. Contoh-contoh ini memperlihatkan adanya hal yang hilang dari dunia pendidikan,
yakni pandangan yang holistik tentang fungsi pendidikan, serta dasar-dasar yang digunakannya.

14
Untuk itu tulisan tersebut menyarankan agar pendidikan dilihat sebagai investasi sumber daya
insani dan berada di gais paling depan dalam upaya memajukan sebuah bangsa. Proses
pendidikan mencakup semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk sosial, politik,
ekonomi, budaya, hukum dan sebagainya. Oleh karena itu, penanganannya harus
mempertimbangkan seluruh aspek tersebut supaya tercapai tujuan pendidikan yang diharapkan.
Hal ini mengisyaratkan perlunya merancang konsep pendidikan yang dibangun berdasarkan
epistimologi yang komprehensif dan holistik, yang tidak hanya didasarkan pada ekonomi liberal
kapitalistik, dan kepentingan politik penguasa, tetapi dibangun dengan melibatkan peran
transformasi sosial pendidikan, memusiakan manusia, dan memadukan pendekatan yang holistik,
antara dimensi pancaindera (hand), dimensi akal (head) dan dimensi hati nurani atau intuisi
(heart).

Sejalan dengan watak pendidikan yang tidak berwawasan intuisi dan moral
sebagaimana tersebut di atas, berdampak pada dihasilkannya sains modern yang berwatak korup
dan membahayakan kehidupan manusia. Menurut kesaksian Arnold (1992) sebagaimana dikutip
Moeflich Hasbullah, tentang adanya watak sains modern yang korup yang disebabkan karena
kepalsuan teori dan kerancuan praktiknya. Dalam bukunya Challenging the Myths of Modern
Sciences (1992), Arnold, sebagai dikutip Mujamil Qomar, mengatakan :Modern science and
technologies are corrupt not because they are evil in themselves…. But because many
perceptions in, and methodes of science are wrong in theory and in practice, and because many
scientists refuse to face the consequences of their work or make value judgements about its
possible applications. Such an attitude make technicians out of those who profess to practice
science.

Kutipan tersebut menginformasikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang


digunakan saat ini adalah ilmu dan teknologi yang basis epistimologi dan teori yang
dihasilkannya salah, sesat, dan keliru, antara lain tidak melibatkan peran intuisi yang berasal dari
Tuhan Yang Maha Benar, dan berimplikasi pada wilayah aksiologi ilmu yang membawa rahmat
bagi seluruh alam, dan bukan sains dan technologi yang membawa bencana kebudayaan,
peradaban dan kemanusiaan seperti yang terjadi sejak sains dan teknologi tersebut dilahirkan.

15
Akibat kesalahan pada tataran epistimologinya, maka pada tataran aksiologinya sains dan
teknologi tersebut salah dan berbahaya. Sains modern mengeksplorasi manusia dan alam bukan
untuk kepentingan manusia itu sendiri. Sains dikembangkan dengan orientasi atau pengukuhan
“pusat kuasa”. Akibatnya menimbulkan dislokasi, disorientasi, malaise spiritual, dan split
personality manusia modern. Manusia modern sebagaimana disebutkan sebagian peneliti,
menjadi sepenuhnya teralienasi dari dirinya sendiri sebagai eksistensi. Hal ini menurut Havel,
sebagaimana dikutip Moeflich Hasbullah adalah karena sains modern hanya mengungkap
permukaan-permukaannya dari sesuatu, hanya satu dimensi realitas. Semakin dogmatis sains
memperlakukan realitas sebagai satu-satunya dimensi, sebagai esensi dari realitas, semakin
menyesatkan dia. Karena itu, manusia Barat modern menemukan dirinya dalam dunia yang
penuh paradoks. Kita menikmati capaian-capaian peradaban modern yag telah membuat hidup
kita di atas bumi begitu mudah dalam urusan apapun, tetapi kita belum juga tahu apa
sesungguhnya yang harus kita lakukan terhadap diri kita sendiri, ke mana kita harus pergi. Dunia
pengalaman kita tampak kacau, linglung dan bingung, karena hidup tidak juga menentu.
Peledakan bom atom di Hirosima dan Nagasaki, 6 Agustus 1945 oleh Amerika yang
memusnahkan jutaan manusia; Holocaust-nya Hitler tahun 1942 menyebabkan enam juta orang
Yahudi meregang nyawa dalam pengapnya embusan gas beracun; senjata-senjata modern
supercanggih, seperti rudal, bom nuklir dan sejenisnya diproduksi untuk menghancurkan
kehidupan manusia. Belakangan, bayi tabung, bank sperma, kloning telah mengacaukan struktur
keturunan, sistem kekeluargaan, dan pranata-pranata sosial masyarakat. Modernitas telah
membuat the end of family. Demikian pula media cetak dengan sangat sewenang-wenang
memperlakukan khalayak tidak lebih dari sekedar pasar untuk kolonialisasi nilai, dominasi
makna, anarkisme kultur, reproduksi sadisme, pornografi, kekerasan seksual, budaya ekstase
lewat obat bius, dan ekspos teknologi kejahatan. Ini semua hanyalah sebagian dari deskripsi
eksploitasi dan disfungsionalisasi sains dan teknologi yang terlepas dari kontrol-kontrol moral-
etika agama. Dalam kaitan ini, Sardar, sebagaimana dikutip Moeflih Hasbullah, mengatakan:

Teknologi modern adalah produk sejarah dan kebudayaan yang khas dari peradaban
Barat,dan senantiasa membawa benih-benih asli dari kebudayaannya ke manapun ia
disebarkan… Ketika benih-benih itu telah tumbuh sempurna dan matang.. masyarakat yang
mengadaptasikan teknologi itu berubah menjadi perpanjangan kebudayaan Eropa dan peradaban

16
Barat. Oleh karena itu, bukan hanya merupakan instrumen dari dominasi dan ketergantugan fisik,
ia juga merupakan alat imprialisme kebudayaan.

Penggunaan epistimologi ilmu yang bukan hanya didasarkan pada hasil observasi dan
eksperimen yang menggunakan pancaindera dan akal pikiran, melainkan didampingi oleh
metode intusi yang menggunakan hati nurani adalah merupakan salah satu solusi yang
ditawarkan. Namun sayang, baik dari kalangan sarjana Muslim, apalagi kalangan sarjana non-
Muslim tidak semuanya setuju terhadap penggunaan intusi tersebut, sebagaimana diuraikan di
bawah ini.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari paparan, uraian dan analisa sebagaimana tersebut di atas, dapat dikemukakan catatan
penutup sebagai kesimpulan sebagai berikut.
Intuisi adalah merupakan salah satu potensi yang diberikan Tuhan kepada manusia yang
melengkapi potensi pancaindera dan akal pikiran. Ketiga potensi ini sebagai anugerah
yang harus dimanfaatkan terutama dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu
pengetahuan yang selanjutnya menjadi modal bagi pembangunan kebudayaan dan
peradaban yang dapat membawa kepada kesejahteraan hidup manusia. Hal ini antara lain
diisyaratkan Allah SWT dalam surat al-A‟raf, (7) ayat 179 dan surat al-Nahl, (16) ayat
78.
Penggunaan pancaindera dan akal secara metodologis dikenal dengan metode
pengamatan (observasi) dan percobaan (ekperimen) yang kemudian dianalisa,
dikategorisasi, dan disimpulkan dengan bantuan akal melalui proses abstraksi dengan
menggunakan metode analogi, kritik, debat, perbandingan, dan sebagainya. Sedangkan
intuisi dimanfaatkan dengan menggunakan metode irfani yang dalam kerjanya terkait
dengan penyucian diri (tazkiyah al-nafs) dengan menempuh sejumlah latihan batin
(spiritual) yang cukup panjang dan intents, mulai dari bersikap zuhud, taubat, wara‟,
tawakal, sabar, ikhlas, takwa, syukur, al-khauf, raja dan sebagainya, dan dapat pula
dilakukan dengan melakukan kontemplasi, mendengarkan musik, berjalan-jalan di pantai,
melihat fanorama alam, dan lain sebagainya. Dengan demikian dalam mendapatkan
pengetahuan langsung dari Tuahan dengan pendekatan intuitif , di samping ada yang
pasif, terdapat pula yang aktif
Hasil yang diperoleh melalui pendekatan intuitif dengan menempuh berbagai cara itu
diberi nama yang beragam, sesuai dengan yang diberikan oleh penemunya. Yang
diperoleh melalui pendekatan intuisi adalah ilmu yang langsung diberikan Tuhan kepada
orang yang dikehendaki-Nya (Q.S. al-Nuur, (25) ayat 35, mengambil bentuk al-faid
(ilumination), al-ma‟rifah atau al-Irfan, al-Isyraqiyah, al-Mauhubah, al-Laduni, al-Futuh,
atau wangsit.

18
Epistimologi Islam, selain menggunakan pendekatan intuitif, juga menggunakan
pendekatan pancaindera dan akal, sebagaimana dikemukakan di atas, sehingga semua
masalah dapat dipecahkan, dan tidak menemui jalan buntu. Sedangkan dalam
epistimologi Barat, tidak semua masalah dapat dipecahkan. Dalam prakteknya Sarjana
Muslim lebih banyak menggunakan pendekatan intuitif dibandingkan pendekatan
panindera dan akal, melalui observasi, eksperimen, penjelasan logika, analisa,
komapaarasi, dan sebagainya. Sebaliknya para sarjana Barat atau yang berlatar belakang
pendidikan umum, lebih banyak menggunakan pendekatan observasi dan eksperimen
serta rasional. Ke depan sebaiknya dikhotomi tersebut dihapuskan dan mengupayakan
adanya integrasi dan kolaborasi. Hal ini penting dilakukan, karena dampak dari
dikhotomi sangat berbahaya dalam kehidupan kebudayaan dan peradaban ummat
manusia. Dikhotomi tersebut telah menelan korban jutaan nyawa manusia, diskriminasi,
dehumanisasi, dislokasi, kesunyian hidup, tidak punya arah dan makna hidup yang jelas,
dekadensi moral, kriminalisasi, prostitusi, pragmatisme, transaksional, liberal, sekuler
dan sebagainya. Semua ini pangkalnya karena keangkuhan, dan kesombongan manusia,
ingin memecahkan semua masalah hanya dengan pancaindera dan akal yang serta
terbatas, mereka menolak wahyu dan intuisi yang dapat mengatasi kebuntuan. Ini semua
penyebabnya adalah karena mereka tidak beriman kepada Tuhan.

B. Saran
Mengingat makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. oleh karena itu, kritik dan saran
yang sifatnya membangun penulis harapkan dari berbagai pihak demi pengembangan
penulis kedepannya. Akhirnya, semoga makalah ini memberi manfaat kepada pembaca.

19
DAFTAR PUSTAKA

Faizuddin, Ahmad,”Komodifikasi Dunia Pendidikan” dalam Harian Umum Kompas, Sabtu, 25


Februari, 2017

Nata, Abuddin, Penggunaan Intuisi Dalam Epistimologi Ilmu, UIN Jakarta, Jakarta, 2017.

Muthahhari, Ayatullah Murtadha, Pengantar Epistimologi Islam, (Jakarta:Shadra Press, 2010.

20
EVALUASI
1. Jelaskan pengertian dari epistimologi ilmu !
Epistimologi ilmu adalah kajian filsafat yang membahas tentang sumber ilmu, metode
dan pendekatan dalam menggunakan dan mengolah sumber tersebut, serta nilai atau
manfaat dari ilmu tersebut.
2. Jelaskan pengertian intuisi?
Intuisi dapat diartikan perasaan batin atau getaran jiwa yang dapat merasakan sesuatu,
yang selanjutnya menimbulkan pengaruh ke dalam sikap, ucapan dan perbuatan
3. Jelaskan Objek dan tujuan dari epistimologi ilmu menurut Jujun S. Sumantris!
Jawab:
objek epistimologi ilmu sebagaimana dikemukakan Jujun S. Suriasumantri adalah
segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan, dan
sekaligus mengantarkan pada tercapainya tujuan, yaitu bukan untuk menjawab
pertanyaan apakah yang saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang
memungkinkan saya dapat tahu. Tujuan epistimologi bukan untuk memperoleh
pengetahuan, kendatipun hal ini tidak dapat dihindari, akan tetapi yang menjadi pusat
perhatian dan tujuan epistimologi adalah ingin memiliki potensi untuk memperoleh
pengetahuan, yakni potensi untuk memperoleh pengetahuan tentang pendidikan Islam
4. Jelaskan perbedaan seseorang yang mengusai epistimologi dan orang yang tidak
mengusai epistimolog!
Jawab:
Epistimologi dapat memberikan pemahaman dan keterampilan yang utuh dan tuntas.
Seseorang yang mengetahui proses sesuatu kegiatan, pasti akan mengetahui hasilnya.
Sebalik orang yang tidak menguasai epistimologi, akan banyak mengetahui sesuatu,
tetapi tidak mengetahui prosesnya.
5. Jelaskan peran penting epistimologi dalam pendidikan islam!
Jawab:
Epistimologi ilmu memiliki fungsi sebagai pengkritik, pemberi solusi, penemu dan
pengembang dan dengan epistimologi epistimologi diharapkan dapat menyadarkan
seseorang, terutama peserta didik atau mahasiswa, bahwa untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan diperlukan cara atau metode tertentu, sebab epistimologi menyajikan proses

21
pengetahuan di hadapan seseorang dibandingkan dengan hasilnya. Dalam kaitannya
dengan pendidikan Islam misalnya, epistimologi memiliki peran, pengaruh dan fungsi
yang begitu besar,yaitu sebagai penentu atau penyebab timbulnya akibat-akibat dalam
pendidikan Islam. Oleh sebab itu, jika terjadi berbagai kelemahan dan kemunduran dalam
ilmu dan praktek pendidikan Islam misalnya, maka yang terlebih dahulu harus diperkuat
adalah epistomologinya.
6. Jelaskan dua fungsi dar penyucian jiwa!
Jawab:
1. jika manusia melakukan penyucian jiwa, maka pandangan rasionya akan menjadi
lebih terang.
2. membersihkan ruangan hati yang ada dalam rasio
7. jelaskan hubunga bentuk intuisi dengan pancaindra dan akal!
Jawab:
Intuisi mengungkapkan sesuatu yang baru sama sekali, karena berada di luar jangkauan
indera dan juga akal. Penggunaan akal dan intuisi seara integral dapat memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap pengembangan metode-metode yang dipakai
menggali pengetahuan. Metode interpretasi misalnya diyakini akan tumbuh dan
berkembang melalui pemanfaatan metode yang menggunakan akal dan intuisi. Akal
berpotensi mempertajam penafsiran-penafsiran terhadap suatu konsep, sedangkan intuisi
berpotensi menyempurnakan penafsiran tersebut terutama yang tidak terjangkau oleh
potensi akal. Melalui akal dan intuisi, penafsiran tersebut bisa bernuansa rasional dan
mungkin juga supra rasional atau spiritual.
8. Mengapa pendidikan harus dibangun berdasarkan epistimologi!
Jawab:
Karena pendidikan saat ini menghadapi tantangan besar degan adanya liberalisasi
dan perdagangan global. Contohnya seperti pandangan yang holistik tentang fungsi
pendidikan, serta dasar-dasar yang digunakannya. Untuk itu tulisan tersebut menyarankan
agar pendidikan dilihat sebagai investasi sumber daya insani dan berada di gais paling
depan dalam upaya memajukan sebuah bangsa. Proses pendidikan mencakup semua
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk sosial, politik, ekonomi, budaya,
hukum dan sebagainya

22
9. Jelaskan perbedaan penggunaan pancara indra dan akal dengan intusi!
Jawab:
Penggunaan pancaindera dan akal secara metodologis dikenal dengan metode
pengamatan (observasi) dan percobaan (ekperimen) yang kemudian dianalisa,
dikategorisasi, dan disimpulkan dengan bantuan akal melalui proses abstraksi dengan
menggunakan metode analogi, kritik, debat, perbandingan, dan sebagainya. Sedangkan
intuisi dimanfaatkan dengan menggunakan metode irfani yang dalam kerjanya terkait
dengan penyucian diri (tazkiyah al-nafs) dengan menempuh sejumlah latihan batin
(spiritual) yang cukup panjang dan intents, mulai dari bersikap zuhud, taubat, wara‟,
tawakal, sabar, ikhlas, takwa, syukur, al-khauf, raja dan sebagainya, dan dapat pula
dilakukan dengan melakukan kontemplasi, mendengarkan musik, berjalan-jalan di pantai,
melihat fanorama alam, dan lain sebagainya
10. Jelaskan perbedaan pendekatan epsitimologi barat dan epistimologi Islam!
Jawab:
Pendekatan yang digunakan oleh epistimologi barat adalah pendekatan observasi dan
eksperimen serta rasional diamana mereka berpendapat bahwa tidak semua masalah dapa
dipecahkan. Seadangakan epistimolofgi islam menggunakan pendekatan intuisisf,
melalui observasi, eksperimen, penjelasan logika, analisa dan komapaarasi dan
sebagainya sehingga semua masalah dapat dipecahkan dan tidak menemui jalan buntu.

23

Anda mungkin juga menyukai