ALIRAN ESENSIALISME
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4
1. Rahmina siregar(06081182126015)
2. Febby Rahmi Fitri (06081382126075)
3. Della Agustina Siregar (06081282126026)
4. Rima Amelia (06081382126068)
5. Nadia Agustini (06081382126063)
6. Ayu Cellia Firnanda (06081082122002)
7. M. Taufiqur Rahman(06081282126021)
DOSEN PENGAMPUH:
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Adapun maksud dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak
Dr. Somakim, M.Pd.; Ibu Zuli Nuraeni, S.Pd., M.Pd.; dan Ibu Novika Sukmaningthias, S.Pd.,
M.Pd selaku dosen pengampu pada mata kuliah Filsafat Pendidikan.
Kami sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam
penulisan makalah ini. Khususnya kepada Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan
arahan dan petunjuk kepada kami sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan hasil yang
memuaskan.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dikarenakan
keterbatasan pengetahuan dan pangalaman yang kami miliki, oleh karena itu kami sangat
memerlukan saran dan kritik. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pendidikan.
Kelompok 4
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................2
Daftar Isi`.................................................................................................................3
BAB I Pendahuluan................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................4
1.3 Tujuan................................................................................................................4
BAB II Pembahasan...............................................................................................5
2.1 Latar Belakang Munculnya Aliran Essensialisme.........................................5
2.2 Pengertian Essensialisme..................................................................................5
2.3 Pandangan Essensialisme.................................................................................6
2.4 Ciri-Ciri Utama Essensialisme.........................................................................9
2.5 Tokoh-Tokoh Aliran Esensialisme................................................................10
2.6 Esensialisme dalam Pendidikan.....................................................................11
2.7 Kritik Aliran Esensialisme.............................................................................12
BAB III Penutup...................................................................................................14
3.1 Simpulan..........................................................................................................14
Daftar Pustaka......................................................................................................15
3
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti pendidikan adalah pendidikan yang bertujuan
mengembangkan sikap, kemampuan dan tingkah laku yang diinginkan oleh masyarakat,
tetapi tidak dimaksudkan untuk menyiapkan siswa menguasai keterampilan untuk pekerjaan
tertentu.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Aliran filsafat yang membentuk esensialisme adalah idealisme dan realisme. Oleh
karena itu, konsep-konsep tentang aliran esensialisme berkaitan dengan konsep-konsep
idealisme dan realisme.
Aliran Filsafat Esensialisme adalah suatu aliran filsafat yang menginginkan agar
manusia kembali kepada kebudayaan lama. Mereka beranggapan bahwa kebudayaan lama itu
telah banyak memperbuat kebaikan-kebaikan untuk umat manusia. Yang mereka maksud
dengan kebudayaan lama itu adalah yang telah ada semenjak peradaban manusia yang
pertama-tama dahulu. Akan tetapi yang paling mereka pedomani adalah peradaban semenjak
zaman Renaissance, yaitu yang tumbuh dan berkembang disekitar abad ke-11 sampai ke 14
Masehi. Didalam zaman Renaissance itu berkembang usaha-usaha untuk menghidupkan
kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan purbakala, terutama dizaman
Yunani dan Romawi purbakala. Renaissance itu merupaka reaksi terhadapa tradisi dan
sebagai puncak timbulnya individualisme dalam berpikir dan bertindak dalam semua cabang
dari aktivitas manusia.
5
Bagi aliran ini pendidikan sebagai pemelihara kebudayaan. Karena ini maka aliran
Esensialisme dianggap para ahli “Conservative Road to Culture” yakni aliran ini ingin
kembali kekebudayaan lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya
bagi kehidupan manusia. Esensialisme percaya bahwa pendidikan itu harus didasarkan
kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.
Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-
nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama sehinga memberikan kestabilan dan arah
yang jelas.
6
merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari hubungan antara
makrokosmos dan mikrokosmos.
7
untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos.
Pandangan Immanuel Kant, bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia
melalui indera memerlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman
lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu
sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah
ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang
terarah bukanlah budi kepada benda, tetapi benda-benda itu yang terarah kepada
budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil
landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang
pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri
sendiri.
Seorang filsuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney menerangkan
tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan
rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja
yang telah tertentu yang diatur oleh alam. Berarti pula bahwa pendidikan itu adalah
sosial. Jadi belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-
nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan di teruskan
kepada angkatan berikutnya. Dengan demikian pandangan-pandangan realisme
mencerminkan adanya dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas:
Determiuisme mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal
yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada, yang bersama-sama
membentuk dunia ini. Pengenalan ini perlu diikuti oleh penyesuaian supaya dapat
tercipta suasana hidup yang harmonis.
Determinisme terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai
belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausatif di dunia ini
berarti tidak dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun
kemampuan akan pengawas yang diperlukan.
8
ideal. Kegiatan dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang
serba baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang,
asalkan sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Universum
Pengetahuan merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi
hidup manusia. Di antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul
tata surya dan lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan
alam kodrat yang diperluas.
Sivilisasi
Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan
sivilisasi manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya,
mengejar kebutuhan, dan hidup aman dan sejahtera .
Kebudayaan
Kebudayaan mempakan karya manusia yang mencakup di antaranya
filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai
lingkungan.
Kepribadian
Bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak
bertentangan dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah
diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan ientelektual
sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan
kemanusiaan ideal.
2.4. Ciri-ciri Utama Essensialisme
Ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley adalah
sebagai berikut :
1. Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar
awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri
siswa.
9
2. Pengawasan pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam
masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies
manusia.
3. Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan,
maka menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut.
4. Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan,
sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori
yang lemah.
10
pengetahuan dapat dipaparkan dengan putusan, dan putusan adalah merupakan
rangkaian pengertian subjek dan predikat.
8. O.W.F. Hegel Berpendapat bahwa ia mencari yang mutlak dari yang tidak mutlak.
Dikatakan bahwa yang mutlak itu adalah roh (jiwa)yang menjelma pada alam,
maka sadarlah ia akan dirinya. Roh mempunyai inti yang disebut idea atau berfikir.
9. Arthur Schopenhaner Ia berkesimpulan bahwa hidup ini penuh dengan
kemurungan, yaitu tiada kepuasan atas terwujudnya kemauan sepanjang
hayatmanusia. Ia juga berpendapat bahwa voluntas (kehendak) adalah motor (bagi
manusia) untuk mencapai tempat atau kedudukan penting.
2.6. Esensialisme dalam Pendidikan
Pendidikan esensialis dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Gerakan Back to Basics
Sejak 1970-an, negara-negara telah mengalami kebangkitan esensialisme
dengan gerakan “back to basics”. Gerakan ini telah menjadi dasar daripada
profesionalitas pendidikan. Lebih lanjut dalam buku Omstein dijelaskan: The
back-to-basics position in that schools should concentrate on the essential skills
and subjects that contribute to literacy and to social and intellectual efficiency
(Omstein & Levine, 1985: 197-198). Pendukung “back to basic” berpendapat
eksperimen sosial dan inovasi yang belum teruji telah menurunkan standar
akademik, maka sekolah harus melatih dan mendidik siswa pada keterampilan.
Keterampilan ini inti dari kurikulum haruslah berupa membaca, menulis, dan
berhitung, serta keterampilan riset adalah studi yang sangat diperlukan.
2. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan esensialis agar siswa menguasai disiplin-disiplin dasar
subjek pengetahuan. Siswa juga diharapkan dapat menggunakan disiplin-disiplin
tersebut untuk memecahkan masalah pribadi, sosial dan kemasyarakatan.
Keterampilan-keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang tepat, membentuk
unsur-unsur yang inti (esensial) dari sebuah pendidikan. Pendidikan bertujuan
untuk mencapai standar akademik yang tinggi, pengembangan intelektual atau
kecerdasan sehingga dapat mempersiapkan siswa dalam bermasyarakat yang
beradab.
11
3. Karakteristik Pendidikan Esensialis
Pendidikan berpusat pada guru atau teacher centered. Pembelajaran pada
kurikulum memerlukan disiplin dan kerja keras. Siswa harus diajari bekerja keras,
menghormati otoritas dan disiplin. Melatih siswa belajar membaca, menulis,
berbicara dan berhitung secara jelas dan logis. Siswa juga perlu melatih perilaku
yang dibutuhkan untuk bisa berhasil dalam kehidupan masyarakat. Metode
instruksional harus berpusat pada ujian regular, pekerjaan rumah, bercerita atau
hafalan, kegiatan test dan evaluasi secara rutin.
12
Esensialisme percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai
warisan kebudayaan lama, ini jelas menunjukkan sifat konservatisme. Sikap ini tidak
sepenuhnya buruk, karena segala sesuatu memiliki sisi kelebihan dan kekurangan
sekaligus. Kelebihannya, pandangan mereka ingin mengembalikan kepada kebudayaan
yang sudah lama di mana nilai-nilainya telah teruji. Melestarikan, menjaga dan
mewariskan kebudayaan yang telah kita punya pada generasi muda bagian dari
merawat tradisi. Konservatisme berpegang pada nilai-nilai luhur sebagai kearifan lokal
yang terus diajarkan
Sisi kekurangan konservatisme akan terlihat jelas jika dikaitkan dengan konteks
sekarang. Masih relevankah nilai-nilai tersebut di tengah arus modernitas dewasa ini?
Seiring berkembangnya zaman, nilai-nilai kebudayaan pun niscaya akan berkembang.
Kebudayaan dalam berbagai bentuk dan manifestasinya dengan demikian sifatnya
dinamis. Pendidikan sebagai refleksi dari kebudayaan atau hasil kreasi akal budi
manusia, yang selalu berubah itu akan menantang aliran konservatif. Di sini keraguan
muncul, rumusan yang statis akan susah mengimbangi realitas yang dinamis.
Pada zaman modern ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin tak
terbendung. Memelihara kebudayaan lama oleh sebagian pengamat dianggap bukan
langkah yang tepat. Di sinilah dirasa perlu menerapkan apa yang disebut “scientific
culture”. Strategi budaya ilmiah ini menyediakan pemilahan untuk mempertahankan
nilai-nilai luhur yang baik di satu sisi, dan memikirkan sikap elastis untuk merespon
perkembangan di sisi lain. Perlu klarifikasi juga bahwa tiap-tiap daerah mempunyai ciri
kebudayaan. Budaya bagi esensialis tentunya harus dipertegas dan dijelaskan bagian-
bagiannya, seperti budaya daerah pada sisi yang mana hendak diterapkan, menginggat
cakupan budaya itu sendiri sangat luas, atau budaya yang mencakup keseluruhan dari
budaya nasional.
13
BAB III
PENUTUP
3.1. SIMPULAN
Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme.
Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi
satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.
Esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern.
Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak
dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan
menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.
Realisme modern, yang menjadi salah satu eksponen essensialisme, titik berat
tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik, sedangkan idealisme modern
sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual Dengan
demikian disini jiwa dapat diumpamakan sebagai cermin yang menerima gambaran-
gambaran yang berasal dari dunia fisik, maka anggapan mengenai adanya kenyataan itu
tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan yang menyebelah, berarti bukan hanya dari
subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan keduanya.
Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan
substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak
terbatas yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai
makhluk yang berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Alriwayah.2019,“https://ejurnal.iainsorong.ac.id/index.php/AlRiwayah/article/download/
181/179/
Syam, Mohammad Noor. 1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
15
i
1