Anda di halaman 1dari 6

NAMA : Figo Febriansyah

NIM : 190111100150

MATKUL : Hukum Dagang

Rangkuman Tentang Makelar, Komisioner, dan Ekspeditur

A. Makelar

Pada pokoknya seseorang makelar menurut pengertian Undang-undang


adalah seorang perantara yang menghubungkan pengusaha pedagang dengan
pihak ketiga untuk mengadakan berbagai perjanjian-perjanjian jual beli dan lain-
lain.
Sebagai perantara seorang makelar itu berbeda dari seorang agen
perniagaan, yang biasanya mempunyai hubungan tetap terhadap beberapa
pengusaha yang dilayani oleh agen perniagaan tersebut. Tak demikian halnya
pada seorang makelar dengan tegas malahan ia di dalam pasal 62 ayat 1 KUHD
dinyatakan tidak di dalam hubungan tetap terhadap orang-orang atas nama-nama
mana makelar mengadakan perjanjian-perjanjian termaksud.
Dibandingkan dengan seorang pekerja berkeliling, seorang makelar seperti
juga seorang agen perniagaan, tidaklah di dalam ikatan perburuhan terhadap orang
atas nama mana si makelar bertindak.
Tetapi kekhususan seorang makelar sebagai perantara adalah terbawa oleh
syarat yang diminta pasal 62 ayat 1 KUHD, ialah ia harus mendapat angkatan
resmi oleh pejabat Negara yang diwajibkan. Selain angkatan resmi itu, seorang
makelar sebelum diizinkan menjalankan pekerjaannya, harus mengucapkan
sumpah; yaitu di depan Ketua Pengadilan Negeri di tempat kediamannya itu. Isi
sumpah tersebut ialah “ Bahwa mereka dengan setia akan menjalankan kewajiban-
kewajiban yang dibebankannya” (pasal 62 ayat 2 KUHD). Dengan angkatan resmi
dan ucapan sumpah itu makelar kedudukannya adalah semacam seorang notaris
dan pengacara.
Mengingatkan akan sumpah dan sebagainya semacam para makelar itu
juga menaati akan larangan yang dicantumkan di dalam pasal 65 ayat 2 KUHD,
yaitu mereka tak diperbolehkan berniaga sendiri dalam lapangan atau lapangan-
lapangan perniagaan yang mengenai pengangkutannya, mereka dilarang pula
bertindak sebagai penanggung (borg) di dalam perjanjian-perjanjian yang
diadakan dengan perantaranya.
Tetapi dalam perakteknya menurut Polak I (5) halaman 198, larangan itu
selalu dilanggar dengan tak berakibat buruk bagi makelar-makelar itu. Semestinya
mereka yang ternyata melanggar larangan tersebut oleh pejabat negara yang
mengangkat mereka harus dihentikan sementara (schorsing) atau dipecat
(vervallenverklaring) dari pekerjaannya (pasal 71 KUHD), tetapi baikpun di
Nedherland, maupun di zaman Hindia Belanda dahulu, tindakan sanksi oleh
pemerintah itu rupanya tak pernah dijalankan, dengan demikian sumpah
termaksud tidak ada artinya apa-apa lagi.
Inilah antara lain yang mendorong pada Minister Justitie di Nederland Mr.
Heemskerk untuk memajukan rencana Undang-undang perubahan tentang
peraturan-peraturan mengenai makelar pada Majelis Rendah (Tweede Kamer) di
Nederland (13 Mei 1921).
Di dalam memori penjelasan atas rencana itu Pembesar tersebut
mengemukakan, bahwa sebenarnya telah pada saat diucapkannya, nilai sumpah
tersebut diturunkan jadi permainan (bloote formaliteit) belaka (T 117-160); jadi
pantas dihapuskan; juga pantas dihapuskan tentang syarat pengangkatan resmi.
Singkatnya Minister tersebut bercita-cita menjadikan pekerjaan makelar jadi
pekerjaan bebas (vrij beroep), sesuai dengan pendapat bulat dari Perkumpulan
Sarjana Hukum (Ned. Juristen Vereeniging) di Nederland dalam tahun 1875. Lagi
pula rencana Undang-undang tersebut bertujuan melenyapkan larangan adanya
makelar-makelar dalam hal harta tetap, makelar-makelar mana sesungguhnya
telah ada, walaupun meneka mengemukakan diri sebagai makelar-makelar
mobiler. Maksud baik dari rencana Mr. Heemskerk ternyata kemudian sebagian
besar gagal, anehnya oleh karena Majelis Rendah dibanjiri dengan permohonan-
permohonan, justru dari dunia makelar dan perniagaan yang terkemuka yang
singkatnya minta dilangsungkan pengangkatan resmi dan penyumpahan tersebut,
berdasarkan perniagaan luar negeri melahirkan keinginannya, supaya ditegakkan
lembaga makelar yang disumpah (expert jure = ahli di bawah sumpah) setelah
diangkat secara resmi, karena semua ini dianggap perlu untuk dapat mempercayai
para makelar itu. Akibatnya Setelah perdebatan-perdebatan dalam parlemen
Belanda, rencana Mr. Heemskerk itu dengan banyak perubahan-perubahan
diterima dam jadi Wet dari tanggal 5 Mei 1922. Stb. Ned. no. 247 untuk
mengubah beberapa peraturan dalam WvK Ned. tentang makelar, perubahan-
perubahan mana di zaman Hindia Belanda tak juga diadakan di dalam KUHD
Indonesia. Entah apa sebabnya.

B. Komisioner

Pada perantara ini tak ada syarat pengangkatan resmi dan penyumpahan
seperti halnya pada makelar. Ia menghubungkan pula pemberi kuasanya dengan
pihak-pihak ketiga, tetapi biasanya dengan pemakaian nama sendiri. Meskipun
perkataan “biasanya” itu tak didapatkan di dalam pasal 76 KUHD, tetapi memang
demikianlah adanya, sebab KUHD sendiri di dalam pasal 79 memungkinkan
adanya seseorang komisioner yang bertindak atas nama pemberi kuasanya, karena
demikian ia mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya ditaklukkan akan
titel 16 Buku III KUH Perd. Pada komisioner yang bertindak atas nama sendiri ia
formil tak mewakili pemberi kuasa (komiten). Tak nampak pada komisioner itu
bahwa padanya sesungguhnya ke dalam (intern) ada hubungan pemberian kuasa
terdapat komiten itu. Dengan nyata disebutkan di dalam pasal 77 ayat 1 KUHD
bahwa komisioner tidaklah berkewajiban menyebut namanya komiten, ia di dalam
perjanjian yang diadakan dengan pihak ketiga berkedudukan sebagai pihak
sendiri, demikian dengan tegas disebutkan di dalam pasal 77 ayat 2 KUHD.
Menurut kehendak pasal 76 KUHD seseorang itu menjalankan perusahaan,
yaitu dengan nama sendiri mengadakan perjanjian-perjanjian dengan orang-orang
lain dengan menerima upah (provisie), segala sesuatu atas perintah dan atas
pembiayaan orang lain. Orang yang juga dengan nama sendiri mengadakan
perjanjian-perjanjian dengan pihak ketiga yang sebenarnya bagi kepentingan
orang lain, tetapi tidak secara terus menerus dan terang-terangan, pendeknya tak
melakukan perusahaan, bukankah komisioner dalam pengertian menurut pasal 76
KUHD, tetapi anehnya di dalam pasal 85a disebutkan bahwa beberapa pasal-pasal
yang khusus diadakan bagi pengusaha komisioner, berlaku pula bagi pencari
untuk yang tak berbuat perantaraan-perantaraan dengan tetap itu.
Apakah sebabnya diatur demikian, itu karena kekuasaan perundang-
undangan memikirkan akan kemungkinan yang nyata bahwa seseorang yang
biasanya berniaga melulu untuk kepentingannya sendiri, kadang-kadang tak
menolak membantu kaum pengusaha lain, misalnya dengan membelikan atau
menjualkan barang-barang baginya, pendeknya memberikan perantaraan secara
insidentil.
Sifat perjanjian antara komiten (pemberi kuasa) dengan komisioner:
sebenarnya hal ini tak tegas diatur dalam undang-undang; Polak 1) berpendapat
bahwa Undang-undang sendiri menganggapnya sebagai pemberian kuasa, sebagai
antara lain ternyata dari pasal 85 KUHD; hanya, kata beliau selanjutnya,
hendaknya diindahkan bahwa pemberian kuasa itu adalah bersifat khusus, karena
di dalam titel mengenai pemberian kuasa, ialah titel ke 16 buku ke III KUH Perd.,
kekuasaan perundang-undangan sama sekali tak memikirkan akan perjanjian
komisi itu. Titel ke 16 itu hanya mengenai sesorang pemegang kuasa yang
bertindak selalu atas nama pemberi kuasa; lagi pula menduga (= veronderstellen)
bahwa pemberian kuasa itu biasanya terjadi tanpa upah (om niet, pasal 1794 KUH
Perd.), dugaan mana di dalam lapangan perniagaan tentunya meleset sama sekali.
Juga tentang akibat-akibat dari perjanjian komisi ini banyak yang tak diatur dalam
Undang-undang. Menurut pendapat saya antara lain di dalam hal perjanjian-
komisi ini menjumpai gejala hukum bahwa kepentingan-kepentingan perniagaan
telah makin lama makin tidak dapat dipenuhi secara memuaskan oleh peraturan-
peraturan purbakala yang masih banyak didapatkan di dalam KUH Perd. itu.
Pertumbuhan hukum di dalam lapangan perniagaan mungkin akan berwujud
dalam bentuk beberapa kebiasaan yang selayaknya diindahkan di dalam putusan-
putusannya para wasit dan hakim-hakim, bagi kebiasaan-kebiasaan mana dengan
baiknya pasal 1339 KUH Perd. Memberikan dasar.

C. Ekspeditur

Ekspeditur adalah orang yang pekerjaannya menyuruh orang lain untuk


menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan atau barang lainnya
melalui daratan atau perairan. Orang yang disuruh oleh ekspeditur adalah
pengangkut. Sedangkan ia sendiri disuruh oleh orang lain (pemilik barang) untuk
mengirimkan barangnya ke tempat lain. Dengan demikian, tampak bahwa
ekspeditur adalah perantara dari pemilik barang dan pengangkut yang mengangkut
barang tersebut.
Perusahaan Jasa Pengiriman Barang (Perusahaan Ekspeditur) merupakan
salah satu bentuk perantaraan yang sering digunakan oleh masyarakat dalam
kegiatan pemenuhan kebutuhan terutama dalam proses pengiriman barang. Di
dalam proses pengiriman barang, sering terjadi suatu keadaan yang menyebabkan
barang yang di antarkan tidak sampai ke pihak yang di perjanjikan sesuai dengan
keadaan yang di perjanjikan. Di dalam perkembangannya, banyak kasus
bermunculan yang berkaitan dengan kelalaian Perusahaan Jasa Pengiriman Barang
(Ekspeditur) yang menyebabkan keterlambatan, rusak atau hilangnya barang
sehingga menimbulkan kerugian di pihak pengguna jasa. Tujuan dari penulisan ini
adalah untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisa pertanggungjawaban
Perusahaan Jasa Pengiriman Barang (Ekspeditur) yang melakukan kelalaian dan
menyebabkan keterlambatan, rusak atau hilangnya barang dan untuk mengetahui
upaya hukum yang dapat dilakukan konsumen yang menggunakan jasa dari
perusahaan jasa pengiriman barang apabila terjadi kelalaian, dikaitkan dengan
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
DAFTAR PUSTAKA

Soekardono, R. 1993. Hukum Dagang Indonesia. Jakarta: PT Dian Rakyat

Hermawan Lumba. 2017. Pertanggungjawaban Perusahaan Ekspeditur Kepada Konsumen


Berdasarkan UU NO. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen: Mitra Keadilan. 71-
72.

Anda mungkin juga menyukai