Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP INDONESIA YANG

BELUM MEMILIKI HUKUM NASIONAL YANG


TERKODIFIKASI

Oleh:
Wandi D. Ciputra
14/371453/PHK/08211

PROGRAM MAGISTER HUKUM


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
BAB I
PERMASALAHAN

A. Latar Belakang
Mengingat sejarah berdirinya Negara Republik Indonesia sejak era penjajahan
belanda hingga era reformasi sekarang, Indonesia adalah Negara yang sarat akan
nilai-nilai keberagaman, mulai dari keberagaman suku, bahasa, ras, agama, maupun
etnis. Oleh karena itu, sistem hukum yang diberlakukan di Indonesia beragam-ragam
pula, mulai dari sistem hukum adat, hukum islam, dan hukum barat/eropa kontinental
(hukum sipil dan hukum publik).
Namun dalam perkembangan hukum saat ini, batas-batas antara hukum publik
dan hukum privat semakin kabur. Artinya banyak bidang kehidupan yang sebenarnya
merupakan kepentingan seseorang tetapi ternyata menunjukkan indikasi sebagai
kepentingan umum sehingga memerlukan campur tangan pemerintah melalui aturan-
aturan hukum publik. Sedangkan sistem Hukum Anglo-Saxon pada awalnya
berkembang di negara Inggris dan dikenal dengan istilah Common Law atau
Unwritten Law (hukum tidak tertulis). Sistem Hukum ini dianut di negara-negara
anggota persemakmuran Inggris, Amerika Utara, Kanada, dan Amerika Serikat.
Sistem Hukum Anglo-Saxon bersumber pada putusan-putusan Hakim/ Putusan
Pengadilan atau yurisprudensi.
Dalam sistem Common Law, kebiasaan-kebiasaan dan peraturan hukum
tertulis yang berupa undang-undang dan peraturan administrasi negara diakui juga,
karena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis tersebut
bersumber dari putusan pengadilan. Kebiasaan dan peraturan hukum tertulis tersebut
tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum
Eropa Kontinental. Oleh karena itu, hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan
pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent).
Namun, bila dalam putusan pengadilan terdahulu tidak ditemukan prinsip hukum
yang dicari, hakim berdasarkan prinsip keadilan, kebenaran dan akal sehat dapat
memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum, atau dalam
bahasa hukumnya di kenal dengan (Case Law).

1
Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa sistem bukanlah merupakan
kesatuan yang logis yang tertutup, tetapi merupakan sistem terbuka. 1 Ini berarti bahwa
pada umumnya sistem hukum itu mempunyai hubungan timbal balik dengan
lingkungannya, kemudian pengertian sistem terbuka berarti juga bahwa peraturan-
peraturan dalam sistem hukum membuka kemungkinan untuk perbedaan interpretasi.
Karena interpretasi itu, maka peraturan-peraturan itu selalu berubah.2 Seiring
berubahnya peraturan-peraturan itu melalui berbagai interpretasi, jika dihubungkan
dengan sistem-sistem hukum yang berlaku di Indonesia, maka muncul perbedaan-
perbedaan persepsi mengenai hak maupun kewajiban tiap subjek hukum. Sehingga
menyebabkan perbedaan-perbedaan persepsi ini tidak selalu saling berhubungan
timbal balik, malah ada yang saling bertentangan, contohnya keberagaman
(pluralistik) hukum waris di Indonesia, dimana tiap-tiap golongan penduduk tunduk
pada hukumnya masing-masing, yaitu hukum islam, hukum adat, ataupun hukum
barat.
Keberagaman hukum ini jelas membawa konsekuensi multi-persepsi yang
kadang mengacaukan pencapaian tujuan hukum itu sendiri, yaitu kepastian hukum,
kemanfaatan, dan keadilan. Dari segi historis, masih berlakunya produk hukum
peninggalan zaman kolonialisme (KUHP dan BW) itu memang ditolerir berdasarkan
Pasal II dan Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa hukum yang
lama”… masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru…”. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum karena hukum-hukum
baru yang sesuai dengan idealita dan realita belum sempat dibuat, sehingga
pemberlakuan produk hukum lama tak dapat dipandang sebagai politik hukum yang
bermaksud melanjutkan kebijaksanaan hukum Pemerintah Hindia Belanda.3
Untuk itu Penulis berkeinginan untuk menguraikan aspek-aspek penyebab
Indonesia yang belum mempunyai hukum nasional yang terkodifikasi sebagai suatu
kesatuan tatanan hukum nasional.

1
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (Yogyakarta:Liberty, 1996), hal. 22
2
Ibid., hal. 23
3
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 18

2
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa Negara Republik Indonesia belum mempunyai hukum nasional yang
terkodifikasi ?
2. Bagaimana keterkaitan politik hukum di Indonesia dengan hukum sebagai produk
politik?

3
BAB II
ANALISA

Dalam bahasa awam, pengertian sistem cenderung disamakan dengan cara


yang akan ditempuh dalam mencapai suatu tujuan. Pengertian seperti ini dalam
lingkup Ilmu Hukum Ketatanegaraan jelas tidak dapat diikuti, sebab dengan merujuk
pada pengertian di atas, maka makna yang terkandung bisa menjadi ambigu dengan
pengertian metode ataupun strategi. Menurut Carl J. Friedrich, sistem adalah suatu
keseluruhan, terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik
antara bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhan, sehingga hubungan
itu menimbulkan suatu ketergantungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah
satu bagian tidak bekerja dengan baik, akan mempengaruhi keseluruhannya itu.4
Hukum sebagai produk politik, dimana politik dan hukum merupakan
subsistem kemasyarakatan berada pada derajat determinasi yang seimbang antara satu
dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik,
tetapi begitu hukum ada, maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-
aturan hukum. Mahfud MD mengemukakan bahwa kegiatan legislatif (pembuatan
UU) dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan-keputusan
politik dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya,
lebih-lebih jika pekerjaan hukum itu dikaitkan dengan masalah prosedur.5
Jika dikaitkan dengan hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka
hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki
konsentrasi yang lebih besar daripada hukum. Sehingga jika berhadapan dengan
politik, maka kedudukan hukum berada dalam posisi yang lebih lemah. Karena lebih
kuatnya konsentrasi energi politik, maka kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini
diintervensi oleh politik, bukan hanya dalam proses pembuatannya, tetapi juga dalam
implementasinya.
Untuk itu penting untuk diketahui definisi dari politik hukum itu sendiri, yang
didefinisikan melalui sudut pandang yuridis, yaitu, ilmu hukum yang mengurai
perbuatan aparat yang berwenang dalam memilih alternatif yang sudah tersedia untuk

4
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi Manusia
(Yogyakarta:Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003), hlm. 83
5
Moh. Mahfud MD, Op. Cit., hal. 16

4
menciptakan produk hukum guna merealisir tujuan Negara. Karena berbicara
mengenai perbuatan aparat yang berwenang, maka selanjutnya yang harus
diperhatikan adalah prinsip-prinsip/alternatif yang harus diperhatikan oleh legal
drafter, yaitu:
1. Asas Pancasila
2. Asas Negara hukum
3. Asas Demokrasi/kerakyatan
4. Asas kepentingan umum
5. Asas kemajemukan/pluralistik
Sedangkan hukum yang dihasilkan sebagai produk politik, hampir
kesemuanya belum mencerminkan asas pertama di atas, yaitu asas Pancasila. Banyak
produk hukum Indonesia yang masih bertentangan dengan nilai-nilai sila yang
terkandung dalam Pancasila. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab
sulitnya diadakan kodifikasi hukum nasional. Lebih dari itu, di dalam GBHN Tahun
1993, misalnya, terdapat garis kebijaksanaan pada Bab II, E.5 yang berbunyi:
“Terbentuk dan berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap, bersumberkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dengan memerhatikan kemajemukan tata
hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan
pertimbangan hukum yang mendukung pembangunan nasional, yang didukung oleh
aparatur hukum, sarana, dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang ada dan
taat hukum.”

Pemberian legitimasi dan pengamanan pembangunan ekonomi bagi hukum ini dapat
ditemukan di hampir semua GBHN produk Orde Baru yang seacra substantive dapat
dilihat dari kata-kata “… menjamin kepastian, ketertiban, penegakan, dan
pertimbangan hukum yang mendukung pembangunan nasional…”. Mahfud MD
kemudian mengemukakan sejalan dengan pendapat Mulyana W. Kusumah, bahwa
dari rumusan GBHN terlihat adanya penonjolan fungsi instrumental hukum sebagai
sarana kekuasaan politik dominan lebih terasa daripada fungsi-fungsi lainnya.6
Sejalan dengan pendapat Dahrendorf, Mahfud MD kemudian mengutip bahwa
ada enam ciri kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik, yaitu:
1. Jumlahnya selalu lebih kecil;
2. memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memelihara dominasinya
berupa kekayaan materiil, intelektual, dan kehormatan moral;
3. dalam pertentangan selalu terorganisasi lebih baik daripada kelompok yang
ditundukkan;

6
Ibid., hal. 19

5
4. kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan
dalam bidang politik sehingga elit penguasa diartikan sebagai elit penguasa
dalam bidang politik;
5. kelas penguasa selalu berupaya memonopoli dan mewariskan kekuasaan
politiknya kepada kelas/kelompoknya sendiri; dan
6. ada reduksi perubahan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.7

Jika sepintas melihat mundur sesuai perjalanan historikal Indonesia,


kelanjutan perkembangan hukum dari hukum kolonial kepada hukum kolonial yang
dinasionalisasi, adalah pendayagunaan hukum untuk kepentingan pembangunan
Indonesia. Para ahli hukum praktek yang mempelajari hukum eropa (belanda), dalam
hal ini, mochtar berpengalaman luas dalam unsur-unsur hukum, telah melakukan
pengembangan hukum nasional Indonesia dengan dasar hukum kolonial yang dikaji
ulang berdasarkan Grundnom Pancasila adalah yang dipandang paling logis. Dimana
hukum kolonial secara formil masih berlaku dan sebagian kaidah-kaidahnya masih
merupakan hukum positif Indonesia berdasarkan ketentuan peralihan, terlihat terjadi
pergerakan kearah pola-pola hukum eropa (belanda), yang mengadopsi dari hukum
adat, hukum Amerika atau hukum Inggris, akan tetapi konfigurasinya dari eropa tidak
dapat dibongkar.
Pada era Orde Baru pencarian model hukum nasional untuk memenuhi
tuntunan jaman dan kemudian untuk dijadikan dasar-dasar utama pembangunan
hukum nasional, dimana dengan mengukuhkan hukum adat misalnya, akan berarti
mengukuhan pluralisme hukum yang tidak berpihak kepada hukum nasional untuk
diunifikasikan (dalam wujud kodifikasi), terlihat bahwa hukum adat yang bersifat
dinamis serta selalu berubah secara kekal. Ide kodifikasi dan unifikasi diprakasai
kolonial yang berwawasan universalistis, dimana hukum adat adalah hukum yang
memiliki perasaan keadilan masyarakat lokal yang pluralistis. Sebagaimana kita
ketahui bahwa hukum kolonial yang bertentangan dengan hukum adat adalah
merupakan tugas dan komitmen Pemerintah Orde Baru pada jaman itu untuk
melakukan unifikasi dan kodifikasi kedalam hukum nasional. Oleh karena itu, hukum
adat dapat dikatakan merupakan salah satu sumber yang urgen untuk memperoleh
bahan-bahan pembangunan hukum nasional dalam unifikasi hukum untuk menguji
kelayakan hukum nasional.
Pendayagunaan wewenang konstitusional badan deksekutif pada jaman Orde
Baru yang melibatkan diri dalam pernacangan dan pembuatan undang-undang, karena
7
Ibid., hal. 21-22

6
dikusainya sumber daya yang berlebihan, menyebabkan eksekutif mampu lebih
banyak berprakasa, yang seharusnya ide dan kebijakan diperakasai oleh lembaga
perwakilan (legislatif), akan tetapi pada kenyataannya justru ide dan prakasa produk
hukum eksekutif yang lebih banyak mengontrol perkembangan.  Kontrol eksekutif
tampak lebih menonjol manakala memperhatikan keleluasaan eksekutif dalam hal
membuat regulatory laws sekalipun hanya bertaraf peraturan pelaksanaan, dimana
perkembangan politik pada era Orde Baru, yang berkuasa di jajaran eksekutif ternyata
mampu bermanuver dan mendominasi DPR dan MPR, dengan kompromi politik
sebagai hasil tambal-sulam antara berbagai kekuatan politik. 
Terlihat dari Pemilihan Umum tahun 1973, dimana 100 dari 360 anggota
Dewan adalah anggota yang diangkat dan ditunjuk oleh eksekutif yaitu fraksi ABRI
diangkat menjadi konsesi tidak ikutnya anggota ABRI dalam menggunakan hak
pilihnya dalam pemilihan umum. Dengan demikian Orde Baru telah menjadi kekuatan
kontrol pemerintah yang terlegitimasi (secara formal-yuridis) dan tidak merefleksikan
konsep keadilan, asas-asas moral dan wawasan kearifan yang tidak hidup dalam
masyarakat awam, hal ini terlihat gerakan-gerakan dari bawah untuk menuntut hak-
hak asasi, yang justru lebih kuat dan terjadi dimasa kejayaannya ide hukum revolusi
diawal tahun 1960-an. Adalah karena disebabkan dianggap sudah tidak murni dan
konsekuen untuk melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila sebagai landasan idiil dan
konstitusional, dimana Presiden Orde lama dengan melalui dekrit-dekritnya sebagai
Pimpinan yang tertinggi dan sebagai Presiden seumur hidup. Dimana kebijakan dasar
dan kebijakan pemberlakuan secara internal, mengakibatkan terjadinya pelanggaran
hak-hak asasi manusia dimana terjadi kelaparan serta kemiskinan yang berkelanjutan
karena telah menyimpang dari landasan Negara yaitu UUD 1945 dan Pancasila.
Analisa berikutnya, berpijak pada Pemerintahan Orde Baru yang merupakan
pemerintahan yang memberlakukan Ketetapan MPRS No. XX : yang telah
menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangn Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen dan yang dimaksud oleh ketetapan MPRS tersebut adalah
Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit 5 Juli 1959, UUD
Proklamasi dan Super Semar 1966. Dimana Pemerintahan Orde Baru ingin
melakukan pembaharuan hukum disegala sektor dengan melakukan kodifikasi dan
unifikasi hukum nasional, upaya ini adalah untuk mengembalikan citra hukum
Indonesia akibat kekuasaan Orde lama yaitu dengan mengembalikan perusahaan asing

7
yang telah dikuasai semasa Pemerintahan Orde Lama dengan tujuan untuk menjamin
kepastian hukum Indonesia.
Adanya keinginan untuk kembali kepada kebijakan dasar UUD 1945 dan
Pancasila dan kebijakan Pemberlakukan yaitu Peraturan Perundang-undangan yang
bersandar kepada hukum Nasional yang telah di kodifikasi dan di Unifikasi, dengan
tujuan sebagai terciptanya kepastian hukum. Setelah merdeka, Indonesia bertekad
untuk membangun hukum nasional yang berdasarkan kepribadian bangsa melalui
pembangunan hukum. Secara umum hukum Indonesia diarahkan ke bentuk hukum
tertulis. Pada awal kemerdekaan dalam kondisi yang belum stabil, masih belum dapat
membuat peraturan untuk mengatur segala aspek kehidupan bernegara. Untuk
mencegah kekosongan hukum, hukum lama masih berlaku dengan dasar Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS (pada saat berlakunya
Konstitusi RIS) dan Pasal 142 UUDS 1950 (ketika berlaku UUDS 1950).
Adapun sepanjang tahun 1945-1959 Indonesia menjalankan demokrasi liberal,
sehingga hukum yang ada cenderung bercorak responsif dengan ciri partisipatif,
aspiratif dan limitatif. Demokrasi liberal adalah sistem politik yang melindungi secara
konstitusional hak-hak individu dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal,
keputusan-keputusan mayoritas diberlakukan pada sebagian besar bidang-bidang
kebijakan pemerintah yang tunduk pada pembatasan-pembatasan agar keputusan
pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum
dalam konstitusi.
Pemerintah dalam Implementasi Hukum pada Masing-masing Periode
Berbicara bagaimana peranan Pemerintah dalam implementasi hukum di Indonesia
terkait dengan politik hukum yang dijalankan Pemerintah, karena politik hukum itu
menentukan produk hukum yang dibuat dan implementasinya. Pada masa Penjajahan
Belanda, politik hukumnya tertuang dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling)
yang mengatur hukum mana yang berlaku untuk tiap-tiap golongan penduduk.
Adapun mengenai penggolongan penduduk terdapat pada Pasal 163 IS. Berdasarkan
politik hukum itu, di Indonesia masih terjadi pluralisme hukum. Setelah Indonesia
merdeka, untuk mencegah kekosongan hukum dipakailah Aturan peralihan seperti
yang terdapat pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS
dan Pasal 142 UUDS 1950.

BAB III

8
PENUTUP

1. Kesimpulan
1. Disebabkan karena indonesia yang memiliki sejarah sebagai suatu Negara
yang sarat akan nilai-nilai keberagaman, yang kemudian menyebabkan beragamnya
sistem-sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu sistem hukum adat, hukum
islam, dan hukum barat/eropa kontinental (hukum sipil dan hukum publik).
Keberagaman hukum ini akhirnya menyebabkan multi-persepsi yang mengacaukan
pencapaian tujuan hukum itu sendiri, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan
keadilan.
Kemudian sifat hukum yang pada dasarnya bersifat terbuka, yang selalu
berubah-ubah mengikuti dinamika sosial pada masyarakat, menyebabkan sulitnya
dilakukannya kodifikasi hukum nasional. Sifat terbuka sistem hukum ini melihatkan
bahwa unsur-unsur yang tidak merupakan bagian sistem mempunyai pengaruh
terhadap unsur-unsur dalam sistem, yaitu objek maupun subjek yang bukan
merupakan bagian sistem, mempunyai pengaruh terhadap unsur sistem. Lebih jauh
lagi, guna mencegah kekosongan hukum pasca kemerdekaan Indonesia dari
penjajahan Belanda, dipakailah Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 (pra-
amandemen).
2. Kaitan antara hukum dan politik yang tak bisa dipisahkan, maka hukum
dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik
diletakkan sebagai dependent variable (variabel berpengaruh).8 Sehingga hukum
sebagai produk politik sangat bergantung pada keadaan politik itu sendiri, dimana jika
melihat keadaan politik Indonesia sejak jaman Orde Baru yang menghasilkan produk
hukum yang konservatif/ortodoks dan jaman Reformasi sekarang ini yang mencita-
citakan tercapainya produk hukum yang responsif/populistik, namun dalam
kenyataannya tercampur-aduknya kepentingan-kepentingan politik masing-masing
politisi yang menyebabkan ketidakstabilan pembuatan maupun pelaksanaan hukum
sebagai produk politik itu sendiri, berikut menyebabkan sulitnya tercapai kodifikasi
atas beberapa sistem hukum menjadi suatu keutuhan tatanan hukum nasional.
2. Saran

8
Ibid., hal. 10

9
Dikarenakan determinan politik yang lebih kuat dibanding hukum yang
merupakan produk politik, maka restorasi atas situasi politik yang berlaku sekarang
ini harus dilakukan. Dengan mendahulukan kepentingan rakyat disamping banyak dan
beragamnya kepentingan politik, yang berisikan kelas penguasa yang selalu ingin
memonopoli kekuasaan. Disamping itu, perlu juga dipahami mengenai definisi,
konsep-konsep, serta indikator-indikator konfigurasi politik demokratis maupun
otoriter. Karena yang terjadi di politik pemerintahan Indonesia sekarang ini, tidak
jelas konfigurasinya, apakah berkonfigurasi politik demokratis yang susunan
politiknya membuka kesempatan bagi rakyat untuk aktif menentukan kebijakan
umum, ataukah berkonfigurasi politik otoriter dimana susunan sistem politik ini
memungkinkan Negara berperan aktif dengan ditandai oleh dorongan elit kekuasaan
untuk memaksakan persatuan, serta ada satu doktrin yang membenarkan konsentrasi
kekuasaan.
Memahami dan mempertegas konfigurasi politik pemerintahan Indonesia saat
ini penting karena jika politik sebagai variabel berpengaruh dan hukum sebagai
variabel terpengaruh, maka konfigurasi politik demokratis akan menghasilkan
karakter produk hukum yang responsif/populistik. Sebaliknya jika konfigurasi politik
otoroter, maka akan menghasilkan karakter produk hukum yang konservatif/ortodoks.

10
DAFTAR PUSTAKA

Handoyo, B. Hestu Cipto, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan, dan Hak Asasi
Manusia, Yogyakarta:Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009

Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty,


1996

Rawls, John, Teori Keadilan, Cambridge: Harvard University Press, 1971

11

Anda mungkin juga menyukai