Anda di halaman 1dari 17

INDUSTRI FARMASI

Oleh :
1. IRMA SEPTIN KUSUMAWATI (2043700246)
2. NINI BATUBARA (2043700248)
3. ROSIDA SUSANTI HUTASOIT (2043700315)
4. NASFA LIKO RAHMAYANTI (2043700317)
5. HUGOLIA CERLIN JIMAN (2043700318)
6. AQNAN JANATI (2043700319)
7. NI MADE DEANA (2043700321)
8. JOKO WAWIYATNO W (2043700428)
9. YONA WULANDARI (2043700244)
10. VEISHA INSYANI PUTRI H (2043700261)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA
2020/2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Puji Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkah dan
karunianya penulis dapat diberikan kesehatan sampai saat ini, hingga masih diberikan waktu
untuk menyusun suatu tugas matakuliah profesi apoteker Keprofesian , Etika Dan Undang-
Undang tentang Industri Farmasi.
Tanpa mengurangi rasa hormat penulis ucapkan banyak terimakasih kepada berbagai
pihak yang membantu menyusun tugas ini dan kepada Bapak/Ibu Dosen Profesi Apoteker
Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta yang memberikan gambaran serta bimbingan dalam
penulisan tugas ini.
Penulis sangat menyadari bahwa tugas laporan ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga penulis membutuhkan saran dan masukan dari pembaca agar bisa mendukung atau
bahkan dapat melengkapinya lagi dengan lebih baik lagi dikemudian hari.

Jakarta, 05 Mei 2021

Penulis

I
DAFTAR ISI

Cover …………………………………..………..……………………………………………..I

Kata Pengantar ……………………………………………………………………………….II

Daftar Isi ……………….……………………………………………………………………III

Ringkasan ……………….…………………………………………………..……………….IV

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang ……………………………….…………………..


………………..1
1.2 Rumusan Masalah
………………………………………………………………..2
1.3 Tujuan Penelitian ………...………………………………………………………
2
1.4 Manfaat Penelitian ….……………………………………………………………2

BAB II ISI

2.1 Pengertian Industri Farmasi……………………………………………………………


3
2.2 Ijin Usaha Farmasi ….…………………………………………………………………3
2.3 Penyiapan Dokumen Pembangunan Industri Farmasi …………………………………
4
2.4 Alur Registrasi dan Distribusi ………………………………………….………………
7
2.5 Distribusi Obat ………………...….……………………………………………………9
2.6 Pencabutan Ijin Edar ….………….....………………………………………………...11

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ..…………………………………………………………………………12

3.2 Saran ..…………………………………………………………………………………


12

DAFAR PUSTAKA …………………..………………………………………………...


…..13

II

RINGKASAN

Industri Farmasi Industri farmasi adalah industri yang meliputi industri obat jadi dan
industri bahan baku obat. Industri obat jadi adalah industri yang menghasilkan suatu produk
yang telah melalui seluruh tahap proses pembuatan, sedangkan industri bahan baku obat
adalah industri yang menghasilkan bahan baku yang diperlukan pada proses pembuatan suatu
obat jadi. Proses pembuatan merupakan seluruh rangkaian kegiatan yamg menghasilkan suatu
obat yang meliputi produksi dan pengawasan mutu mulai dari pengadaan bahan awal, proses
pengolahan, pengemasan sampai obat jadi untuk distribusi. Persyaratan Industri Farmasi
Semua industri farmasi wajib memiliki izin dan seluruh kegiatan mengacu kepada cara
pembuatan obat yang baik dan benar CPOB. Untuk perizinan usaha, izin tersebut diperoleh
dari Menteri Kesehatan melalui Badan Pengawasan Obat Dan Makanan (BPOM).
III
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 latar belakang


Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tenaga
Kefarmasian sebagai salah satu tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada
masyarakat mempunyai peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian
pelayanan, khususnya Pelayanan Kefarmasian. Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi.
Pelayanan Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang
komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola obat
namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi untuk
mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional, monitoring penggunaan obat untuk
mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication
error). Perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian dirasakan
belum memadai, selama ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan
Pemerintah, dan belum memberdayakan Organisasi Profesi dan pemerintah daerah sejalan
dengan era otonomi.
Sementara itu berbagai upaya hukum yang Dilakukan dalam memberikan perlindungan
menyeluruh kepada masyarakat sebagai penerima pelayanan, dan Tenaga Kefarmasian
sebagai pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi dirasakan masih belum
memadai karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang sangat cepat
tidak seimbang dengan perkembangan hukum. Dalam rangka memberikan kepastian hukum
dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan dan memberi landasan hukum
serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik
kefarmasian agar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka perlu mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam suatu peraturan pemerintah.
Industri farmasi merupakan salah satu tempat Apoteker melakukan pekerjaan
kefarmasian terutama menyangkut pembuatan, pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan pengembangan obat. Untuk menghasilkan
produk obat yang bermutu, aman dan berkhasiat diperlukan suatu tahap kegiatan yang sesuai
CPOB yang meliputi perencanaan, pengendalian dan pemantauan bahan awal, proses
pembuatan serta pengawasan terhadap mutu, peralatan yang digunakan, bangunan, hygiene,
sanitasi serta personalia yang terlibat di setiap proses produksi.
CPOB (Cara Pembuatan Obat Yang Baik) adalah pedoman yang dikeluarkan oleh
Departemen Kesehatan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI SK Menkes
RI No.43/Menkes/SK/II/1998 sebagai suatu persyaratan dan ketentuan bagi setiap industri
farmasi untuk dilaksanakan. Ha lini bertujuan agar masyarakat dapat terjamin keamanannya
dalam mengkonsumsi obat-obatan yang dihasilkan dan mendapatkan mutu obat yang baik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Dokumen apa saja yang perlu disiapkan untuk membangun sebuah industri farmasi ?
2. Bagaimana alur registrasi dan distribusi kefarmasian di Industri farmasi berdasar peraturan
perundang-undangan ?

1.3 Manfaat Penelitian


1. Untuk memperoleh pengetahuan arau penemuan baru.
2. Sebagai pembuktian atau pengujian tentang kebenaran dari pengetahuan yang sudah ada.
3. Sebagai pengembangan pengetahuan suatu bidang keilmuan yang sudah ada.

1.4 Tujuan Penelitian


1. Untuk Mengetahui bagaimana proses dan persayaratan untuk membangun sebuah industri
farmasi
2. Untuk mengetahui alur registrasi dan distribusi kefarmasian yang tepat berdasar peraturan
perundang undangan

IV
BAB II
ISI

2.1. Pengertian Industri Farmasi


    Industri farmasi menurut Surat Keputusan Menteri KesehatanNo. 1799/Menkes/XII/2010
adalah badan usaha yang memiliki izin dari Mentri Kesehatan untuk melakukan kegiatan
pembuatan obat atau bahan obat. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam
menghasilkan obat yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi,
pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk
didistribusikan.
Industri farmasi dibagi dalam dua kelompok yaitu industri padatmodal dan industri
padat karya. Industri padat modal adalah industri yang menggunakan mesin-mesin produksi
dalam jumlah yang lebih besar daripada jumlah tenaga kerjanya, sedangkan industri padat
karya lebih banyak menggunakan tenaga manusia dari pada tenaga mesin.
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi, untuk manusia. Bahan obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak
berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan
baku obat.

2.2. Izin usaha industri farmasi


  Perizinan industri farmasi diberikan oleh Menteri Kesehatan dan wewenang
pemberian izin dilimpahkan oleh Badan Pengawasan Obat danMakanan (Badan POM). Izin
ini berlaku seterusnya selama perusahaan industri farmasi tersebut masih berproduksi dengan
perpanjangan izin setiap 5 tahun.
Sedangkan untuk industri farmasi yang modalnya berasal dari Penanaman Modal
Asing (PMA), izin masa berlakunya sesuai denganketentuan dalam UU No. 1 tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing dan Peraturan Pelaksanaannya.

V
2.3 Penyiapan Dokumen pembangunan industri farmasi
Perizinan Industri Farmasi (Ketentuan umum pasal 4,5,6,13)
 Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi
dari Direktur Jenderal.
 Industri Farmasi yang membuat obat dan/atau bahan obat yang termasuk
dalam golongan narkotika wajib memperoleh izin khusus untuk
memproduksi narkotika sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan
 Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terdiri atas:
a) Berbadan usaha berupa perseroan terbatas;
b) Memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat;
c) Memiliki nomor pokok wajib pajak;
d) Memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker
warga negara indonesia masing-masing sebagai
penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan
pengawasan mutu; dan
e) Komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung
atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang kefarmasian.
 Untuk memperoleh izin industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip
 Permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal.
 Dalam hal permohonan persetujuan prinsip dilakukan oleh industri
Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri, pemohon
harus memperoleh Surat Persetujuan Penanaman Modal dari instansi yang
menyelenggarakan urusan penanaman modal sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
 Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
Direktur Jenderal setelah pemohon memperoleh persetujuan Rencana Induk
Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan.
 Dalam hal permohonan persetujuan prinsip telah diberikan, pemohon dapat
langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan, pemasangan,
dan instalasi peralatan, termasuk produksi percobaan dengan
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 Surat permohonan izin industri farmasi harus ditandatangani oleh direktur
utama dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu dengan
kelengkapan sebagai berikut:
(1) Fotokopi persetujuan prinsip Industri Farmasi
(2)Surat Persetujuan Penanaman Modal untuk Industri Farmasi dalam
rangka Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri;
(3)Daftar peralatan dan mesin-mesin yang digunakan;
(4) Jumlah tenaga kerja dan kualifikasinya
(5) Fotokopi sertifikat Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya
Pemantauan Lingkungan /Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(6)Rekomendasi kelengkapan administratif izin industri farmasi dari kepala
dinas kesehatan provinsi
(7)Rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB dari Kepala Badan
(8)Daftar pustaka wajib seperti Farmakope Indonesia edisi terakhir
(9)Asli surat pernyataan kesediaan bekerja penuh dari masing-masing
apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab
pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu;
(10) Fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan
mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu dari pimpinan
perusahaan;
(11) Fotokopi ijazah dan surat tanda registrasi apoteker (stra) dari
masingmasing apoteker penanggung jawab produksi, apoteker
penanggung jawab pengawasan mutu dan apoteker penanggung jawab
pemastian mutu; dan
(12) Surat pernyataan komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik
langsung atau tidak langsung.
 Permohonan izin industri farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala
Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi setempat

VI
1. Pasal 7
 Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang dan
lingkungan hidup.
2. Pasal 8
 Industri Farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB.
 (2) Pemenuhan persyaratan CPOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan sertifikat CPOB.
 (3) Sertifikat CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang memenuhi
persyaratan.
 (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara sertifikasi
CPOB diatur oleh Kepala Badan.
3. Pasal 9
 Selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1), Industri Farmasi wajib melakukan farmakovigilans.
 (2) Apabila dalam melakukan farmakovigilans sebagaimana dimaksud
pada ayat
 (1) Industri Farmasi menemukan obat dan/atau bahan obat hasil
produksinya yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat/kemanfaatan dan mutu, Industri Farmasi wajib melaporkan hal
tersebut kepada Kepala Badan.
 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai farmakovigilans diatur oleh Kepala
Badan.
4. Pasal 10
 Pembuatan sediaan radiofarmaka hanya dapat dilakukan oleh Industri
Farmasi dan/atau lembaga setelah mendapat pertimbangan dari lembaga
yang berwenang di bidang atom.
 (2) Pembuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan CPOB
 (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuatan sediaan radiofarmaka
diatur oleh Menteri.

VII
2.4 Alur registrasi dan distribusi
2. Registrasi produksi Obat PerKa BPOM No.24 tahun 2017 (Pasal 8)
1. Pendaftar yang melakukan permohonan Registrasi Obat Produksi Dalam
Negeri harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) Memiliki izin Industri Farmasi; dan
b) Memiliki sertifikat CPOB yang masih berlaku sesuai dengan jenis
dan bentuk sediaan yang diregistrasi.
b) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b, untuk Registrasi Obat Produksi Dalam Negeri yang dilakukan
oleh calon Industri Farmasi yang sedang melakukan pembangunan.
c) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
untuk Registrasi Obat Produksi Dalam Negeri yang dilakukan oleh Industri
Farmasi yang menambah fasilitas untuk bentuk sediaan baru atau Industri
Farmasi yang melakukan perluasan fasilitas produksi.
d) Persyaratan Registrasi Obat Produksi Dalam Negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) berupa rekomendasi berdasarkan hasil inspeksi
pemenuhan persyaratan CPOB.
e) Dalam hal Registrasi dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Izin Edar akan diterbitkan setelah
Pendaftar memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
f) Registrasi Obat Kontrak Produksi Dalam Negeri

2. PerKa BPOM No.24 tahun 2017


(Pasal 9)
 Registrasi Obat Kontrak produksi dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh
Pemberi Kontrak sebagai Pendaftar.
 Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
 Memiliki izin Industri Farmasi
 Memiliki paling sedikit 1 (satu) fasilitas produksi yang telah
memenuhi persyaratan CPOB
 Memiliki dokumen perjanjian kontrak.
 Industri Farmasi Pemberi Kontrak dan Industri Farmasi Penerima Kontrak
bertanggung jawab terhadap aspek khasiat, keamanan dan mutu Obat yang
dikontrakkan, dengan penanggung jawab utama Industri Farmasi Pemberi
Kontrak sebagai Pemilik Izin Edar.
 Industri Farmasi Penerima Kontrak harus memiliki sertifikat CPOB yang
masih berlaku sesuai dengan bentuk sediaan Obat yang akan diproduksi.
 Industri Farmasi Penerima Kontrak tidak dapat mengalihkan pembuatan
Obat yang dikontrakkan kepada pihak ketiga.

(Pasal 10)
 Pembuatan Obat Kontrak produksi dalam negeri berupa
a. seluruh tahapan pembuatan; atau
b. sebagian tahapan pembuatan.
 Formula Obat Kontrak produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. Formula dari Pemberi Kontrak; atau
b. Formula dari Penerima Kontrak.

 Obat Kontrak produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diproduksi pada lebih dari 1 (satu) tempat produksi dengan
memberikan justifikasi.
 Obat Kontrak produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus memiliki mutu yang sama, meliputi Formula dan spesifikasi produk.

2.5 Distribusi Obat


PerKa BPOM No.9 tahun 2019
a. KETENTUAN UMUM PASAL 1
 Cara Distribusi Obat yang Baik yang selanjutnya disingkat CDOB
adalah cara distribusi/penyaluran obat dan/atau bahan obat yang
bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran
sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya.
 Pedagang Besar Farmasi yang selanjutnya disingkat PBF adalah
perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk
pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam
jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
VIII
b. PENERAPAN CPOB
(Pasal 2)
 PBF, PBF Cabang, dan Instalasi Sediaan Farmasi dalam
menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran Obat
dan/atau Bahan Obat wajib menerapkan pedoman teknis CDOB.
 Pedoman teknis CDOB meliputi:
a. Manajemen mutu
b. organisasi, manajemen, dan personalia
c. Bangunan dan peralatan
d. Operasional
e. Inspeksi diri
f. Keluhan, obat, dan/atau bahan obat kembalian, diduga palsu
dan penarikan kembali
g. transportasi
h. Fasilitas distribusi berdasarkan kontrak
i. dokumentasi
j. Ketentuan khusus bahan obat
k. Ketentuan khusus produk rantai dingin dan
l. ketentuan khusus narkotika, psikotropika, dan prekursor
farmasi.

Pasal 3
 Industri dalam melaksanakan kegiatan distribusi Bahan Obat dan/atau
Obat wajib menerapkan pedoman teknis CDOB.
 Pedoman teknis CDOB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 secara
mutatis mutandis berlaku juga bagi Industri Farmasi dalam
melaksanakan kegiatan distribusi.

Pasal 4
 Untuk membuktikan penerapan pedoman teknis CDOB, PBF, dan PBF
Cabang wajib memiliki Sertifikat CDOB.
 Sertifikat CDOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Kepala
Badan.
 Tata cara penerbitan Sertifikat CDOB sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.6 Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi
Pencabutan izin usaha industri farmasi dilakukan apabila industri yang
bersangkutan melakukan pelanggaran :
 Melakukan pemindah tanganan hak milik izin usaha industri farmasi
dan perluasan tanpa izin.
 Tidak menyampaikan informasi industri secara berturut-turut 3 kali
atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar.
 Melakukan pemindahan lokasi usaha industri farmasi tanpapersetujuan
tertulis terlebih dahulu dari Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
 Dengan sengaja memproduksi obat jadi atau bahan baku yang
tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku (obat palsu).
 Tidak memenuhi ketentuan dalam izin usaha industri farmasi.

IX
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.1.1 Penyiapan Dokumen pembangunan industri farmasi Tentang Perizinan Industri Farmasi
(Ketentuan umum pasal 4,5,6,13)

3.1.2 Alur registrasi dan distribusi Tentang Registrasi produksi Obat


1. PerKa BPOM No.24 tahun 2017 (Pasal 8)
2. PerKa BPOM No.24 tahun 2017
3. PerKa BPOM No.9 tahun 2019

3.1.3 PENERAPAN CPOB


1. Pasal 2
2. Pasal 3
3. Pasal 4

3.2 SARAN
Industri Farmasi hendaknya terus meningkatkan pentingnya penerapan CPOB dalam
segala aspek yang berkaitan dengan proses produksi. Setiap pembangunan dan kegiatan yang
dilakukan di industri farmasi haruslah mengikuti pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik
dan Benar (CPOB), serta mengacu terhadap semua peraturan per-undang-undangan yang
dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

X
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia No. 36
Tahun 2009 tentang kesehatan. Jakarta: Ikatan ApotekerIndonesia; 2009. Hal 2.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Mentri KesehatanRepublik


Indonesia No.1799/MENKES/PER/XII/2010 Tentang IndustriFarmasi. Jakarta: Ikatan
Apoteker Indonesia; 2010.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 245 / MENKES / SK / X / 1990

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1799 / MENKES / Per / XII / 2010

PerKa BPOM No.24 tahun 2017 (Pasal 8)

PerKa BPOM No.24 tahun 2017

PerKa BPOM No.9 tahun 2019

Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.950 / Ph / 65 / b tahun 1965 Tentang


Pemeriksaan dan Pengawasan Produksi dan Distribusi Obat - Obat

Undang - Undang No.9 Tahun 1960 Tentang Pokok - Pokok Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai