Anda di halaman 1dari 55

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

GERONTIK PADA NY. K DENGAN DIAGNOSA HIPERTENSI DI


RT.05/02 DESA KENONGOMULYO KEC. NGUNTORONADI

Disusun Oleh:
Murniningtyas Putri R
4022021

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
2020
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN

A. KONSEP LANSIA
1. Pengertian Lansia
Lansia adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun keatas.
Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki
tahapan akhir dari fase kehidupannya. Kelompok yang dikategorikan
lansia ini akan terjadi suatu proses yang disebut Aging Process atau proses
penuaan (Fatmah, 2010).
Lansia adalah tahap dari siklus hidup manusia paling akhir, yaitu
bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan di
alami oleh setiap orang. Pada tahap tua ini individu mengalami banyak
perubahan baik secara fisik maupun psikis, khususnya kemunduran dalam
berbagai fungsi dan kemampuan yang pernah dimilikinya (Soejono, 2014)
Lansia menurut World Health Organisation (WHO), lansia adalah
seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun ke atas. Lansia merupakan
kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir dari
fase kehidupannya (WHO, 2016).
Pengertian Lanjut Usia Berdasarkan definisi secara umum, seseorang
dikatakan lansia apabila usianya 60 tahun ke atas,baik pria maupun wanita.
Sedangkan Departeman kesehatan RI menyebutkan seseorang dikatakan
berusia lanjut usia dimulai dari usia 55 tahun keatas. Menurut Badan
Kesehatan Dunia (WHO) usia lanjut dimulai dari usia 60 tahun
(Kushariyadi, 2010; Indriana, 2012; Wallnce, 2007).

2. Batasan-batasan Usia Lansia


Batasan umur pada usia lanjut dari waktu ke waktu berbeda. Menurut
World Health Organitation (WHO) lansia meliputi :
a. Usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai 59 tahun
b. Lanjut usia (elderly) antara usia 60 sampai 74 tahun
c. Lanjut usia tua (old) antara usia 75 sampai 90 tahun
d. Usia sangat tua (very old) diatas usia 90 tahun
Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi menjadi
tiga katagori, yaitu:
a. Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun.
b. Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas.
c. Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60 tahun ke
atas dengan masalah kesehatan.
Berbeda dengan WHO, menurut Departemen Kesehatan RI (2006)
pengelompokkan lansia menjadi :
a. Virilitas (prasenium) yaitu masa persiapan usia lanjut yang
menampakkan kematangan jiwa (usia 55-59 tahun).
b. Usia lanjut dini (senescen) yaitu kelompok yang mulai memasuki masa
usia lanjut dini (usia 60-64 tahun).
c. Lansia berisiko tinggi untuk menderita berbagai penyakit degeneratif
(usia >65 tahun).

3. Ciri-ciri Lansia
Ciri-ciri lansia menurut Kholifah (2016), sebagai berikut:
a. Lansia merupakan periode kemunduran.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor
psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam kemunduran
pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi yang rendah
dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat proses
kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi
yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama
terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak menyenangkan
terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang kurang baik,
misalnya lansia yang lebih senang mempertahankan pendapatnya maka
sikap sosial di masyarakat menjadi negatif, tetapi ada juga lansia yang
mempunyai tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap sosial
masyarakat menjadi positif.
c. Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami
kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya
dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas dasar tekanan dari
lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan sosial di masyarakat
sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan
lansia sebagai ketua RW karena usianya.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia.
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka cenderung
mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga dapat
memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari perlakuan
yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk pula.
Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga sering tidak dilibatkan
untuk pengambilan keputusan karena dianggap pola pikirnya kuno,
kondisi inilah yang menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan,
cepat tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah.

4. Perkembangan Lansia
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan
manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir kehidupan.
Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Semua orang
akan mengalami proses menjadi tua (tahap penuaan). Masa tua merupakan
masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada masa ini seseorang
mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial sedikit demi sedikit
sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap
penurunan). Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk
hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan
kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan
perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-
paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan kemampuan regeneratif
yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai penyakit, sindroma
dan kesakitan dibandingkan dengan orang dewasa lain. Untuk
menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat berbagai perbedaan teori,
namun para ahli pada umumnya sepakat bahwa proses ini lebih banyak
ditemukan pada faktor genetik (Kholifah, 2016).

5. Tugas Perkembangan Lansia


Menurut Havighurst dalam Stanley (2007), tugas perkembangan
adalah tugas yang muncul pada periode tertentu dalam keidupan suatu
individu. Ada beberapa tahapan perkembangan yang terjadi pada lansia,
yaitu :
a. Penyesuaikan diri kepada penurunan kesehatan dan kekuatan fisik.
b. Penyesuaian diri kepada masa pension dan hilangnya pendapatan.
c. Penyesuaaian diri kepada kematian pasangan dan orang terdekat
lainnya.
d. Pemenuhan kewajiban social dan kewarganegaraan.
e. Pembentukan kepuasan pengaturan dalam kehidupan.

6. Perubahan Pada Lanjut Usia


Perubahan yang terjadi pada lanjut usia Menurut Mujahidullah (2012)
dan Wallace (2007), beberapa perubahan yang akan terjadi pada lansia
diantaranya adalah perubahan fisik, intlektual, dan keagamaan.
a. Perubahan fisik
1) Sel, saat seseorang memasuki usia lanjut keadaan sel dalam tubuh
akan berubah, seperti jumlahnya yang menurun, ukuran lebuh besar
sehingga mekanisme perbaikan sel akan terganggu dan proposi
protein di otak, otot, ginjal, darah dan hati beekurang.
2) Sistem persyarafan, keadaan system persyarafan pada lansia akan
mengalami perubahan, seperti mengecilnya syaraf panca indra. Pada
indra pendengaran akan terjadi gangguan pendengaran seperti
hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga. Pada indra
penglihatan akan terjadi seperti kekeruhan pada kornea, hilangnya
daya akomodasi dan menurunnya lapang pandang. Pada indra
peraba akan terjadi seperti respon terhadap nyeri menurun dan
kelenjar keringat berkurang. Pada indra pembau akan terjadinya
seperti menurunnya kekuatan otot pernafasan, sehingga kemampuan
membau juga berkurang Sistem gastrointestinal, pada lansia akan
terjadi menurunya selara makan , seringnya terjadi konstipasi,
menurunya produksi air liur(Saliva) dan gerak peristaltic usus juga
menurun.
3) Sistem genitourinaria, pada lansia ginjal akan mengalami
pengecilan sehingga aliran darah ke ginjal menurun.
4) Sistem musculoskeletal, pada lansia tulang akan kehilangan cairan
dan makin rapuh, keadaan tubuh akan lebih pendek, persendian
kaku dan tendon mengerut.
5) Sistem Kardiovaskuler, pada lansia jantung akan mengalami pompa
darah yang menurun , ukuran jantung secara kesuruhan menurun
dengan tidaknya penyakit klinis, denyut jantung menurun , katup
jantung pada lansia akan lebih tebal dan kaku akibat dari akumulasi
lipid. Tekanan darah sistolik meningkat pada lansia kerana
hilangnya distensibility arteri. Tekanan darah diastolic tetap sama
atau meningkat.
b. Perubahan intelektual
Perubahan intelektual menurut Hochanadel dan Kaplan dalam
Mujahidullah (2012), akibat proses penuaan juga akan terjadi adalah
Kemunduran pada kemampuan otak seperti perubahan intelegenita
Quantion ( IQ) yaitu fungsi otak kanan mengalami penurunan sehingga
lansia akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi nonverbal,
pemecehan masalah, konsentrasi dan kesulitan mengenal wajah
seseorang. Perubahan yang lain adalah perubahan ingatan , karena
penurunan kemampuan otak maka seorang lansia akan kesulitan untuk
menerima rangsangan yang diberikan kepadanya sehingga kemampuan
untuk mengingat pada lansia juga menurun.
c. Perubahan keagamaan
Perubahan keagamaan menurut Maslow dalam Mujahidin (2012), pada
umumnya lansia akan semakin teratur dalam kehidupan
keagamaannya, hal tersebut bersangkutan dengan keadaan lansia yang
akan meninggalkan kehidupan dunia.
7. Masalah Khusus pada Lansia
a. Gangguan fisik
Banyak perubahan fisik yang terjadi pada lansia karena penyakit,
akan tetapi sebagian juga disebabkan karena proses penuaan. Beberapa
perubahan fisik yang terjadi adalah berkurangnya ketajaman
pancaindra, berkurangnya kemampuan melaksanakan sesuatu karena
turunnya kekuatan motorik, perubahan penampilan fisik yang
mempengaruhi peranan dan status ekonomi dan sosial, serta
kemunduran efisiensi integratif susunan saraf pusat, misalnya
penciutan minat, kelemahan ingatan dan penurunan inteligensi. Tidak
jarang terjadi depresi pada orang berumur 60-an. Depresi sering
mengisyaratkan adanya suatu penyakit organik. Penyakit yang laten
mungkin menunjukkan eksaserbasi, seperti diabetes, hipertensi, dan
glaukoma. Gangguan pembuluh darah yang progresif pada jantung dan
otak yang mengancam serta membatasi hidup, dapat menimbulkan
reaksi takut, amarah dan depresi. Sebaliknya, reaksi emosional yang
berlebihan dapat memperhebat gangguan kardiovaskuler, endokrin dan
penyakit lain yang sebelumnya masih ringan (Maramis, 2009).
Orang lanjut usia sering menyatakan kekhawatirannya terhadap
ketidak mampuan fisiknya, tetapi jarang tentang rasa takutnya terhadap
kematian. Ada yang dengan tenang menyiapkan diri dan mengatur
halhal duniawi (warisan, makam dan sebagainya) dalam menghadapi
hal yang tidak dapat dielakkan tersebut. Kadang-kadang memang
timbul depresi atau penyangkalan dan kompensasi (yang berlebihan)
terhadap hal mati (Maramis, 2009)
b. Kehilangan
Dalam bidang sosial ekonomi Kehilangan keluarga atau teman
karib, kedudukan sosial, uang, pekerjaan (pensiun), atau mungkin
rumah tinggal, semua ini dapat menimbulkan reaksi yang merugikan.
Perasaan aman dalam hal sosial dan ekonomi serta pengaruhnya
terhadap semangat hidup, rupanya lebih kuat dari pada keadaan badani
dalam melawan depresi (Maramis, 2009).
c. Seks pada usia lanjut
Orang usia lanjut dapat saja mempunyai kehidupan seks yang aktif
sampai umur 80-an. Libido dan nafsu seksual penting juga pada usia
lanjut, tetapi sering hal ini mengakibatkan rasa malu dan bingung pada
mereka sendiri dan anak-anak mereka yang menganggap seks pada
usia lanjut sebagai tabu atau tidak wajar. Orang yang pada masa muda
mempunyai kehidupan seksual yang sehat dan aktif, pada usia lanjut
masih juga demikian, biarpun sudah berkurang, jika saat muda sudah
lemah, pada usia lanjut akan habis sama sekali (Maramis, 2009).
Memang terdapat beberapa perubahan khusus mengenai seks. Pada
wanita; karena proses penuaan, maka pola vasokongesti pada buah
dada, klitoris dan vagina lebih terbatas. Aktivitas sekretoris dan
elastisitas vagina juga berkurang. Pada pria; untuk mencapai ereksi
diperlukan waktu lebih lama. Ereksi mungkin tidak akan dicapai
penuh, tetapi cukup untuk melakukan koitus. Kekuatan saat ejakulasi
juga berkurang. Pada kedua seks, semua fase eksitasi menjadi lebih
panjang, akan tetapi meskipun demikian, pengalaman subjektif
mengenai orgasme dan kenikmatan tetap ada dan dapat membantu
relasi dengan pasangan (Maramis, 2009).
d. Gangguan psikiatri
Gangguan psikiatri yang sering terdapat pada usia lanjut adalah,
sindrom otak organik dan psikosis involusi. Skizofrenia, psikosis
bipolar dan ketergantungan obat bila ada, mungkin terjadi sejak masa
muda. Hampir semua gangguan jiwa pada masa muda dapat bertahan
sampai atau timbul lagi pada masa usia lanjut. Neurosis sering berupa
neurosis cemas dan depresi. Gangguan psikosomatis dapat juga
berlangsung sampai masa tua, tetapi beberapa menjadi lebih baik atau
hilang dengan sendirinya. Diabetes, hipertensi dan glaukoma dapat
menjadi lebih parah karena depresi. Insomnia, anorexia dan konstipasi
sering timbul dan tidak jarang gejalagejala ini berhubungan dengan
depresi. Depresi pada masa usia lanjut sering disebabkan karena
aterosklerosis otak, tetapi juga tidak jarang psikogenik atau kedua-
duanya (Maramis, 2009).
Gangguan fisik Banyak perubahan fisik yang terjadi pada lansia
karena penyakit, akan tetapi sebagian juga disebabkan karena proses
penuaan. Beberapa perubahan fisik yang terjadi adalah berkurangnya
ketajaman pancaindra, berkurangnya kemampuan melaksanakan
sesuatu karena turunnya kekuatan motorik, perubahan penampilan fisik
yang mempengaruhi peranan dan status ekonomi dan sosial, serta
kemunduran efisiensi integratif susunan saraf pusat, misalnya
penciutan minat, kelemahan ingatan dan penurunan inteligensi. Tidak
jarang terjadi depresi pada orang berumur 60-an. Depresi sering
mengisyaratkan adanya suatu penyakit organik. Penyakit yang laten
mungkin menunjukkan eksaserbasi, seperti diabetes, hipertensi, dan
glaukoma. Gangguan pembuluh darah yang progresif pada jantung dan
otak yang mengancam serta membatasi hidup, dapat menimbulkan
reaksi takut, amarah dan depresi. Sebaliknya, reaksi emosional yang
berlebihan dapat memperhebat gangguan kardiovaskuler, endokrin dan
penyakit lain yang sebelumnya masih ringan (Maramis, 2009).
Orang lanjut usia sering menyatakan kekhawatirannya terhadap
ketidak mampuan fisiknya, tetapi jarang tentang rasa takutnya terhadap
kematian. Ada yang dengan tenang menyiapkan diri dan mengatur
halhal duniawi (warisan, makam dan sebagainya) dalam menghadapi
hal yang tidak dapat dielakkan tersebut. Kadang-kadang memang
timbul depresi atau penyangkalan dan kompensasi (yang berlebihan)
terhadap hal mati (Maramis, 2009).

8. Karakteristik Penyakit Lansia di Indonesia


a. Penyakit persendian dan tulang. Misalnya: rematik, osteoporosis,
osteoartritis.
b. Penyakit kardiovaskular. Misalnya: penyakit jantung koroner,
hipertensi, kolesterolemia, angina, cardiac attack, stroke, trigliserida
tinggi, anemia.
c. Penyakit pencernaan, yaitu gastritis dan ulkus peptikum.
d. Penyakit urogenital, seperti infeksi saluran kemih (ISK), gagal ginjal
akut atau kronis, benign prostat hiperplasia.
e. Penyakit metabolik atau endokrin. Misalnya: diabetes mellitus,
obesitas.
f. Penyakit pernafasan, seperti asma dan tuberkulosis paru.
g. Penyakit keganasan, seperti kanker.
h. Penyakit lainnya, seperti dimensia, alziemer, depresi, parkinson
(Haryono, 2013).
Selain penyakit yang telah disebutkan di atas ada tujuh penyakit
kronik degeneratif yang kerap dialami para lanjut usia, yaitu:
a. Osteoartritis (OA)
Osteoartritis adalah peradangan sendi yang biasa disebut juga dengan
rematik, terjadi akibat peristiwa mekanik dan biologik yang
mengakibatkan penipisan rawan sendi, tidak stabilnya sendi, dan
perkapuran. OA merupakan penyebab utama ketidak mandirian pada
usia lanjut, yang dipertinggi resikonya karena trauma, penggunaan
sendi berlebihan dan obesitas.
b. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan salah satu bentuk gangguan tulang dimana
masa atau kepadatan tulang berkurang. Terdapat dua jenis
osteoporosis, tipe I merujuk pada percepatan kehilangan tulang selama
dua dekade pertama setelah menopouse, sedangkan tipe II adalah
hilangnya masa tulang pada usia lanjut karena terganggunya produksi
vitamin D.
c. Dimensia
Dimensia merupakan kumpulan gejala yang berkaitan dengan
kehilangan fungsi intelektual dan daya ingat secara perlahan-lahan,
sehingga mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari. Alzheimer
merupakan jenis demensia yang paling sering terjadi pada usia lanjut.
Adanya riwayat keluarga, usia lanjut, penyakit vaskular atau pembuluh
darah (hipertensi, diabetes mellitus, kolesterol tinggi), trauma kepala
merupakan faktor risiko terjadinya demensia. Demensia juga kerap
terjadi pada wanita dan individu pendidikan rendah.
d. Kanker
Kanker merupakan sebuah keadaan dimana struktur dan fungsi sebuah
sel mengalami perubahan bahkan sampai merusak sel-sel lainnya yang
masih sehat. Sel yang berubah ini mengalami mutasi karena suatu
sebab, sehingga sel tidak bisa menjalankan fungsinya dengan normal.
Biasanya perubahan sel ini mengalami beberapa tahapan, mulai dari
yang ringan sampai sangat berubah dari keadaan awal (kanker).
e. Diabetes mellitus
Sekitar 50% dari lansia memiliki gangguan intoleransi glukosa dimana
gula darah masih tetap normal meskipun dalam kondisi puasa. Kondisi
ini dapat berkembang menjadi diabetes mellitus, dimana kadar gula
darah sewaktu diatas atau sama dengan 200 mg/dL dan kadar gula
darah saat puasa diatas 126 mg/dL. Obesitas, pola makan yang buruk,
kurang olah raga dan usia lanjut mempertinggi risiko DM. Sebagai
ilustrasi, sekitar 20% dari lansia berusia 75 tahun menderita DM.
Beberapa gejala adalah sering haus dan lapar, banyak berkemih,
mudah lelah, berat badan terus menurun, dan luka yang sulit sembuh.
f. Penyakit jantung koroner
Penyempitan pembuluh darah jantung sehingga aliran darah menuju
jantung terganggu. Gejala umum yang terjadi adalah nyeri dada, sesak
napas.
g. Hipertensi
Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik sama atau
lebih tinggi dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90
mmHg, yang terjadi karena menurunnya elastisitas arteri pada proses
menua. Bila tidak ditangani, hipertensi dapat memicu terjadinya stroke,
kerusakan pembuluh darah.

9. Tujuan Pelayanan Kesehatan pada Lasia


Pelayanan pada umumnya selalu memberikan arah dalam
memudahkan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan sosial,
kesehatan, perawatan dan meningkatkan mutu pelayanan bagi lansia.
Tujuan pelayanan kesehatan pada lansia terdiri dari :
a. Mempertahankan derajat kesehatan para lansia pada taraf yang
setinggi-tingginya, sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan.
b. Memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas-aktifitas fisik dan
mental
c. Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lansia yang
menderita suatu penyakit atau gangguan, masih dapat
mempertahankan kemandirian yang optimal.
d. Mendampingi dan memberikan bantuan moril dan perhatian pada
lansia yang berada dalam fase terminal sehingga lansia dapat
mengadapi kematian dengan tenang dan bermartabat.
Fungsi pelayanan dapat dilaksanakan pada pusat pelayanan sosial
lansia, pusat informasi pelayanan sosial lansia, dan pusat pengembangan
pelayanan sosial lansia dan pusat pemberdayaan lansia.

10. Pendekatan Perawatan Lansia


a. Pendekatan Fisik
Perawatan pada lansia juga dapat dilakukan dengan
pendekatan fisik melalui perhatian terhadap kesehatan, kebutuhan,
kejadian yang dialami klien lansia semasa hidupnya, perubahan fisik
pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih dapat dicapai dan
dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah atau progresifitas
penyakitnya. Pendekatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia
dapat dibagi 2 bagian:
1) Klien lansia yang masih aktif dan memiliki keadaan fisik
yang masih mampu bergerak tanpa bantuan orang lain
sehingga dalam kebutuhannya sehari-hari ia masih mampu
melakukannya sendiri.
2) Klien lansia yang pasif, keadaan fisiknya mengalami
kelumpuhan atau sakit. Perawat harus mengetahui dasar
perawatan klien lansia ini, terutama yang berkaitan dengan
kebersihan perseorangan untuk mempertahankan kesehatan.
b. Pendekatan Psikologis
Perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan
pendekatan edukatif pada klien lansia. Perawat dapat berperan
sebagai pendukung terhadap segala sesuatu yang asing,
penampung rahasia pribadi dan sahabat yang akrab. Perawat
hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberi
kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai
bentuk keluhan agar lansia merasa puas. Perawat harus selalu
memegang prinsip triple S yaitu sabar, simpatik dan service. Bila
ingin mengubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap
kesehatan, perawat bisa melakukannya secara perlahan dan
bertahap.
c. Pendekatan Sosial
Berdiskusi serta bertukar pikiran dan cerita merupakan salah
satu upaya perawat dalam melakukan pendekatan sosial. Memberi
kesempatan untuk berkumpul bersama dengan sesama klien lansia
berarti menciptakan sosialisasi. Pendekatan sosial ini merupakan
pegangan bagi perawat bahwa lansia adalah makhluk sosial yang
membutuhkan orang lain. Dalam pelaksanaannya, perawat dapat
menciptakan hubungan sosial, baik antar lania maupun lansia
dengan perawat. Perawat memberi kesempatan seluas-luasnya kepada
lansia untuk mengadakan komunikasi dan melakukan rekreasi. Lansia
perlu dimotivasi untuk membaca surat kabar dan majalah.

B. KONSEP HIPERTENSI
1. Definisi Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan
abnormal tekanan darah dalam pembuluh darah arteri yang mengangkut
darah dari jantung dan memompa keseluruh jaringan dan organ–organ
tubuh secara terus–menerus lebih dari suatu periode (Irianto, 2014).
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari
140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali
pengukuran selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
tenang/istirahat (Kemenkes RI, 2013).
Menurut Sheps (2005) dalam Masriadi (2016), hipertensi adalah
penyakit dengan tanda adanya gangguan tekanan darah sistolik maupun
diastolik yang naik diatas tekana darah normal. Tekanan darah sistolik
adalah tekanan puncak yang tercapai ketika jantung berkontraksi dan
memompakan darah keluar melalui arteri. Tekanan darah diastolik
diambil tekanan jatuh ketitik terendah saat jantung rileks dan mengisi
darah kembali.

2. Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi tekanan darah sistolik dan diastolik dibagi menjadi empat
klasifikasi (Smeltzer, 2012), yaitu :
Tabel 2.1 Kalsifikasi Hipertensi Berdasarkan Tekanan Darah Sistolik
dan Diastolik

Kategori TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg)


Normal <120 mmHg <80 mmHg
Prahipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg
Stadium I 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Stadium II 160 mmHg 100 mmHg
Sumber : Smeltzer, et al, 2012
Hipertensi juga dapat diklasifikasi berdasarkan tekanan darah orang
dewasa menurut Triyanto (2014), adapun klasikasi tersebut sebagai
berikut:
Tabel 2.2 Klasfikasi Hipertensi Berdasarkan Tekanan Darah Pada
Orang Dewasa.

Kategorik TD Sistolik (mmHg) Tekanan Diastolik


Normal < 130 mmHg < 85 mmHg
Normal Tinggi 130 – 139 mmHg 85-89 mmHg
Stadium 1 (ringan) 140 – 159 mmHg 90-99 mmHg
Stadium 2 160 – 179 mmHg 100-109 mmHg
(sedang)
Stadium 3 (berat) 180 – 209 mmHg 110-119 mmHg
Stadium 4 ≥ 210 mmHg ≥ 120 mmHg
(maligna)
Sumber : Triyanto, 2014

3. Etiologi Hipertensi
a. Hipertensi primer atau esensial
Hipertensi primer atau esensial adalah tidak dapat diketahuin
penyebabnya. Hipertensi esensial biasanya dimulai sebagai proses
labil (intermiten) pada individu pada akhir 30-an dan 50-an dan
secara bertahap “ menetap “ pada suatu saat dapat juga terjadi
mendadak dan berat, perjalanannya dipercepat atau “maligna“ yang
menyebabkan kondisi pasien memburuk dengan cepat. Penyebab
hipertensi primer atau esensial adalah gangguan emosi, obesitas,
konsumsi alkohol yang berlebihan, kopi, obat – obatan, faktor
keturunan (Brunner & Suddart, 2015).
Sedangkan menurut Robbins (2007), beberapa faktor yang
berperan dalam hipertensi primer atau esensial mencakup pengaruh
genetik dan pengaruh lingkungan seperti: stress, kegemukan,
merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi garam dalam
jumlah besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam hipertensi.
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah kenaikan tekanan darah dengan
penyebab tertentu seperti penyempitan arteri renalis, penyakit
parenkim ginjal, berbagai obat, disfungsi organ, tumor dan kehamilan
(Brunner & Suddart,2015). Sedangkan menurut Wijaya & Putri
(2013), penyebab hipertensi sekunder diantaranya berupa kelainan
ginjal seperti tumor, diabetes,kelainan adrenal, kelainan aorta,
kelianan endokrin lainnya seperti obesitas, resistensi insulin,
hipertiroidisme dan pemakaian obat-obatan seperti kontasepsi oral
dan kartikosteroid.
c. Faktor-Faktor Resiko Hipertensi
Faktor-faktor resiko hipertensi yang tidak dapat diubah dan yang
dapat diubah oleh penderita hipertensi menurut Black & Hawks
(2014) adalah sebagai berikut :
1) Faktor-faktor resiko yang tidak dapat diubah
a) Riwayat keluarga
Hipertensi dianggap poligenik dan multifaktorial yaitu, pada
seseorang dengan riwayat keluarga, beberapa gen
berinteraksi dengan yang lainnya dan juga lingkungan yang
dapat menyebabkan tekanan darah naik dari waktu ke waktu.
Klien dengan orang tua yang memiliki hipertensi berada
pada risiko hipertensi yang lebih tinggi pada usia muda.
b) Usia
Hipertensi primer biasanya muncul antara usia 30-50 tahun.
Peristiwa hipertensi meningkat dengan usia 50-60 % klien
yang berumur lebih dari 60 tahun memiliki tekanan darah
lebih dari 140/90 mmHg. Diantara orang dewasa,
pembacaan tekanan darah sistolik lebih dari pada tekanan
darah diastolic karena merupakan predictor yang lebih baik
untuk kemungkinan kejadian dimasa depan seperti penyakit
jantung koroner, stroke, gagal jantung, dan penyakit ginjal.
c) Jenis kelamin
Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria dibandingkan
wanita sampai kira-kira usia 55 tahun. Resiko pada pria dan
wanita hamper sama antara usia 55 sampai 74 tahun, wanita
beresiko lebih besar.
d) Etnis
Peningkatan pravelensi hipertensi diantara orang berkulit
hitam tidaklah jelas, akan tetapi penigkatannya dikaitkan
dengan kadar rennin yang lebih rendah, sensitivitas yang
lebih besar terhadap vasopressin,tinginya asupan garam, dan
tinggi stress lingkungan.
2) Faktor-faktor resiko yang dapat diubah
a) Diabetes mellitus
Hipertensi telah terbukti terjadi lebih dua kali lipat pada
klien diabetes mellitus karena diabetes mempercepat
aterosklerosis dan menyebabkan hipertensi karena kerusakan
pada pembuluh darah besar.
b) Stress
Stress meningkat resistensi vaskuler perifer dan curah
jantung serta menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Stress
adalah permasalahan persepsi, interpretasi orang terhadap
kejadian yang menciptakan banyak stressor dan respon
stress.
c) Obesitas
Obesitas terutama pada tubuh bagian atas, dengan
meningkatnya jumlah lemak disekitar diafragma, pinggang
dan perut, dihubungkan dengan pengembangan hipertensi.
Kombinasi obesitas dengan faktor-faktor lain dapat ditandai
dengan sindrom metabolis, yang juga meningkatkan resiko
hipertensi.
d) Nutrisi
Kelebihan mengosumsi garam bisa menjadi pencetus
hipertensi pada individu. Diet tinggi garam menyebabkan
pelepasan hormone natriuretik yang berlebihan, yang
mungkin secara tidak langsung menigkatkan tekanan darah.
Muatan natrium juga menstimulasi mekanisme vaseoresor
didalam system saraf pusat. Penelitan juga menunjukkan
bahwa asupan diet rendah kalsium, kalium, dan magnesium
dapat berkontribusi dalam pengembangan hipertensi.
e) Penyalahgunaan obat
Merokok sigaret, mengosumsi banyak alcohol, dan beberapa
penggunaan obat terlarang merupakan faktor-faktor resiko
hipertensi. Pada dosis tertentu nikotin dalam rokok sigaret
serta obat seperti kokain dapat menyebabkan naiknya
tekanan darah secara langsung.

4. Patofisiologi
Menurut Yusuf (2008), Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung
dan tahanan perifer. Tubuh mempunyai sistem yang berfungsi mencegah
perubahan tekanan darah secara akut. Sistem tersebut ada yang bereaksi
ketika terjadi perubahan tekanan darah dan ada juga yang bereaksi ketika
terjadi perubahan tekanan darah secara akut. Sistem tersebut ada yang
bereaksi ketika terjadi perubahan tekanan darah dan ada yang bereaksi
lebih lama. Sistem yang cepat tersebut antara lain reflek kardiovaskular
melalui baroreseptor, reflek kemorereptor, respon iskemia susunan saraf
pusat, dan reflek yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis, dan otot
polos. Sistem lain yang kurang cepat merespon perubahan tekanan darah
melibatkan respon ginjal dengan perngaturan hormon angiotensin dan
vasopresor.
Kejadian hipertensi dimulai dengan adanya atherosklerosis yang
merupakan bentuk dari arterioklerosis (pengerasan arteri).
Antherosklerosis ditandai oleh penimbunan lemak yang progresif pada
dinding arteri sehingga mengurangi volume aliran darah ke jantung,
karena sel-sel otot arteri tertimbun lemak kemudian membentuk plak,
maka terjadi penyempitan pada arteri dan penurunan elastisitas arteri
sehingga tidak dapat mengatur tekanan darah kemudian mengakibatkan
hipertensi. Kekakuan arteri dan kelambanan aliran darah menyebabkan
beban jantung bertambah berat yang dimanisfestasikan dalam bentuk
hipertrofo ventrikel kiri (HVK) dan gangguan fungsi diastolik karena
gangguan relaksasi ventrikel kiri sehingga mengakibatkan peningkatan
tekanan darah dalam sistem sirkulasi. (Hull, 1996; dalam Bustan 2007).
Berdasarkan uraian patofisiologi hipertensi diatas dapat
disimpulkanbahwa hipertensi dimulai adanya pengerasan arteri.
Penimbunan lemak terdapat pada dinding arteri yang mengakibatkan
berkurangnya volume cairan darah ke jantung. Penimbunan itu
membentuk plak yang kemudian terjadi penyempitan dan penurunan
elastisitas arteri sehingga tekanan darah tidak dapat diatur yang artinya
beban jantung bertambah berat dan terjadi gangguan diastolik yang
mengakibatkan peningkatan tekanan darah.

5. Manifestasi Klinis Hipertensi


Pada pemeriksaan fisik, mungkin tidak dijumpai kelainan apapun
selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan
pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan
pembuluh darah, dan pada kasus berat edema pupil (edema pada diskus
optikus ) (Brunner &Suddart, 2015).
Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakkan gejala
sampai bertahun – tahun.Gejala, bila ada, biasanya menunjukkan adanya
kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai system organ
yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan.Penyakit arteri
koroner dengan angina adalah gejala yang paling menyertai hipertensi.
Hipertrofi ventrikel kiri terjadi sebagai respons peningkatan beban kerja
ventrikel saat dipaksa berkontraksi melawan tekana sistemik yang
menigkat.Apabila jantung tidak mampu lagi menahan peningkatan beban
kerja, maka dapat terjadi gagal jantung kiri (Brunner & Suddart, 2015).
Crowin (2000) dalam Wijaya & Putri (2013), menyebutkan bahwa
sebagian besar gejala klinis timbul :
a. Nyeri kepala saat terjaga, kadang–kadang disertai mual dan muntah
akibat peningkatan tekana intracranial.
b. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi.
c. Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf
pusat.
d. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerolus.
e. Sulit tidur di malam hari
f. Telinga berdenging.
6. Pemeriksaan Penunjang Hipertensi
Pemeriksaan penunjang hipertensi menurut Anonim, 2013 diantaranya:
a. Hemoglobin / hematokrit : mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap
volume cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor-faktor
resiko seperti hipokoagulabilitas, anemia.
b. BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi/fungsi
ginjal.
c. Glukosa : Hiperglikemia (diabetes melitus adalah pencetus
hipertensi) dapat diakibatkan oleh peningkatan kadar katekolamin
(meningkatkan hipertensi).
d. Kalium serum : hipokalemia dapat mengindikasikan adanya
aldosteron utama (penyebab) atau menjadi efek samping terapi
diuretik.
e. Kalsium serum : peningkatan kadar kalsium serum dapat
meningkatkan hipertensi.
f. Kolesterol dan trigeliserida serum : peningkatan kadar dapat
mengindikasikan pencetus untuk/adanya pembentukan plak
ateromatosa (efek kardiofaskuler)
g. Pemeriksaan tiroid : hipertiroidisme dapat mengakibatkan
vasikonstriksi dan hipertensi.
h. Kadar aldosteron urin dan serum : untuk menguji aldosteronisme
primer (penyebab).
i. Urinalisa : darah, protein dan glukosa mengisyaratkan disfungsi
ginjal dan atau adanya diabetes.
j. VMA urin (metabolit katekolamin) : kenaikan dapat mengindikasikan
adanya feokomositoma (penyebab); VMA urin 24 jam dapat
digunakan untuk pengkajian feokromositoma bila hipertensi hilang
timbul.
k. Asam urat: hiperurisemia telah menjadi implikasi sebagai faktor
resiko terjadinya hipertensi.
l. Steroid urin : kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme,
feokromositoma atau disfungsi ptuitari, sindrom Cushing’s; kadar
renin dapat juga meningkat.
m. IVP : dapat mengidentifikasi penyebab hipertensi, seperti penyakit
parenkim ginjal, batu ginjal dan ureter.
n. Foto dada : dapat menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub;
deposit pada dan/ EKG atau takik aorta; perbesaran jantung.
o. CT scan : mengkaji tumor serebral, CSV, ensevalopati, atau
feokromositoma.
p. EKG: dapat menunjukkan perbesaran jantung, pola regangan,
gangguan konduksi. Catatan : Luas, peninggian gelombang P adalah
salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.

7. Penatalaksanaa Hipertensi
Tujuan tiap program penanganan bagi setiap pasien adalah mencegah
terjadinya morbiditas dan mortalitas penyerta dengan mencapai dan
mempertahankan tekanan darah dibawah 140/90 mmHg. Efektivitas
setiap program d itentukan oleh derajat hipertensi, komplikasi, biaya
perawatan dan kualitas hidup sehubungan dengan terapi (Brunner &
Suddart, 2015).
a. Terapi nonfamakologis
Wijaya & Putri (2013), menjelaskan bahwa penatalaksanaan non
farmakologis terdiri dari berbagai macam cara modifikasi gaya hidup
sangat penting dalam mencegah tekanan darah tinggi.
Penatalaksanaan hipertensi dengan non farmakologis terdiri dari
berbagai macam cara modifikasi gaya hidup untuk menurunkan
tekanan darah yaitu :
1) Mempertahankan berat badan ideal
Radmarsarry, (2007) dalam Wijaya & Putri (2013), mengatasi
obesitas juga dapat dilakukan dengan melakukan diet rendah
kolesterol namun kaya dengan serat dan protein, dan jika berhasil
menurunkan berat badan 2,5 – 5 kg maka tekanan darah diastolik
dapat diturunkan sebanyak 5 mmHg.
2) Kurangi asupan natrium
Radmarsarry (2007) dalam Wijaya & Putri (2013), penguramgan
konsumsi garam menjadi ½ sendok the/hari dapat menurunkan
tekanan sistolik sebanyak 5 mmHg dan tekanan diastolic
sebanyak 2,5 mmHg.
3) Batasi konsumsi alkohol
Radmarsarry (2007) dalam Wijaya & Putri (2013), konsumsi
alkohol harus dibatasi karena konsumsi alkohol berlebihan dapat
meningkatkan tekanan darah. Para peminum berat mempunyai
resiko mengalami hipertensi empat kali lebih besar dari pada
mereka yang tidak meminum berakohol.
4) Diet yang mengandung kalium dan kalsium
Kaplan, (2006) dalam Wijaya & Putri (2013), Pertahankan
asupan diet potassium ( >90 mmol (3500 mg)/hari) dengan cara
konsumsi diet tinggi buah dan sayur seperti : pisang, alpukat,
papaya, jeruk, apel kacang-kangan, kentang dan diet rendah
lemak dengan cara mengurangi asupan lemak jenuh dan lemat
total. Sedangkan menurut Radmarsarry (2007) dalam Wijaya &
Putri (2013), kalium dapat menurunkan tekanan darah dengan
meningkatkan jumlah natrium yang terbuang bersama
urin.Dengan mengonsumsi buah-buahan sebanyak 3-5 kali dalam
sehari, seseorang bisa mencapai asupan potassium yang cukup.
5) Menghindari merokok
Dalimartha (2008) dalam Wijaya & Putri (2013), merokok
memang tidak berhubungan secara langsung dengan timbulnya
hipertensi, tetapi dapat menimbulkan resiko komplikasi pada
pasien hipertensi seperti penyakit jantung dan stroke, maka perlu
dihindari rokok karena dapat memperberat hipertensi.
6) Penurunan Stress
Sheps (2005) dalam Wijaya & Putri ( 2013), stress memang tidak
menyebabkan hipertensi yang menetap namun jika episode stress
sering terjadi dapat menyebabkan kenaikan sementara yang
sangat tinggi.
7) Terapi pijat
Dalimartha (2008) dalam Wijaya & Putri (2013), pada prinsipnya
pijat yang dikukan pada penderita hipertensi adalah untuk
memperlancar aliran energy dalam tubuh sehingga gangguan
hipertensi dan komplikasinya dapat diminalisir, ketika semua
jalur energi tidak terhalang oleh ketegangan otot dan hambatan
lain maka risiko hipertensi dapat ditekan.
b. Terapi Farmakologis
Penatalaksanaan farmakologis menurut Saferi & Mariza (2013)
merupakan penanganan menggunakan obat-obatan, antara lain :
1) Diuretik (Hidroklorotiazid)
Diuretik bekerja dengan cara megeluarkan cairan berlebih dalam
tubuh sehingga daya pompa jantung menjadi lebih ringan.
2) Penghambat simpatetik (Metildopa, Klonidin dan Reserpin)
Obat-obatan jenis penghambat simpatetik berfungsi untuk
menghambat aktifitas saraf simpatis.
3) Betabloker (Metoprolol, propanolol dan atenolol)
Fungsi dari obat jenis betabloker adalah untuk menurunkan daya
pompa jantung, dengan kontraindikasi pada penderita yang
mengalami gangguan pernafasan seperti asma bronkhial.
4) Vasodilator (Prasosin, Hidralisin)
Vasodilator bekerja secara langsung pada pembuluh darah
dengan relaksasi otot polos pembuluh darah.
5) Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor (Captopril)
Fungsi utama adalah untuk menghambat pembentukan zat
angiotensin II dengan efek samping penderita hipertensi akan
mengalami batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas.
6) Penghambat angiotensin II (Valsartan)
Daya pompa jantung akan lebih ringan ketika jenis obat-obat
penghambat reseptor angiotensin II diberikan karena akan
menghalangi penempelan zat angiotensin II pada resptor.
7) Angiotensin kalsium (Diltiasem dan Verapamil)
Kontraksi jantung (kontraktilitas) akan terhambat.

8. Komplikasi Hipertensi
Hipertensi yang tidak ditanggulangi dalam jangka panjang akan
menyebabkan kerusakan arteri didalam tubuh sampai organ yang
mendapat suplai darah dari arteri tersebut. Komplikasi hipertensi dapat
terjadi pada organ-organ tubuh menurut Wijaya & Putri (2013), sebagai
berikut :
a. Jantung
Hipertensi dapat menyebab terjadinya gagal jantung dan penyakit
jantung koroner. Pada penderita hipertensi, beban kerja jantung akan
meningkat, otot jantung akan mengendor dan berkurang
elastisitasnya, yang disebut dekompensasi. Akibatnya, jantung tidak
lagi mampu memompa sehingga banyaknya cairang yang tetahan
diparu maupun jaringan tubuh lain yang dapat menyebabkan sesak
nafas atau oedema. Kondisi ini disebut gagal jantung.
b. Otak
Komplikasi hipertensi pada otak, menimbulkan resiko stroke, apabila
tidak diobati resiko terkena stroke 7 kali lebih besar.
c. Ginjal
Hipertensi juga menyebabkan kerusakan ginjal, hipertensi dapat
menyebabkan kerusakan system penyaringan didalam ginjal akibat
lambat laun ginjal tidak mampu membuang zat-zat yang tidak
dibutuhkan tubuh yang masuk melalui aliran darah dan terjadi
penumpukan di dalam tubuh.
d. Hipertensi dapat mengakibatkan terjadinya retinopati hipertensi dan
dapat menimbulkan kebutaan
9. WOC Faktor genetik, jenis kelamin, ras, suku, usia dan gaya hidup

Perubahan status Ketidakadekuatan


Hipertensi pemahaman
kesehatan
(kecemasan, kurang
motivasi)
Kerusakan vasikuler Kurang terpapar
pembuluh darah informasi
Menolak menjalani
MK :
Beban akhir pengobatan/perawatan
PENURUNAN Penyumbatan
kerja jantung MK : DEFISIT
CURAH pembuluh darah
meningkat PENGETAHUAN
JANTUNG (aterosklerosis)
MK :
KETIDAKPATUHAN
MK : Suplai O2 ke Vasokontruksi
INTOLERANSI tubuh
AKTIVITAS menurun Pemilihan gaya hidup tidak
sehat (merokok, konsumsi
Gangguan sirkulasi
alcohol, makan makanan tinggi
koresterol)
Resistensi
Otak Mata Ginjal
pembuluh darah ke
otak naik Kegagalan dalam
Suplai O2 ke Spasme arteriol pada Vasokontruksi pencegahan masalah
MK : NYERI otak turun retina (penyempitan pembulu darah ginjal kesehatan peningkatan
arteri) tekanan darah
AKUT
Gangguan penglihatan
MK : PERFUSI (star figure) Blood flow aliran
PERIFER TIDAK darah menurun
Upaya peningkatan status
EFEKTIF
kesehatan yang minimal
MK : MK : RESIKO Respon RAA
GANGGUAN CIDERA
POLA TIDUR MK : PERILAKU
Rangsang aldosteron
KESEHATAN
CENDERUNG
BERESIKO
MK : HIPERVOLEMIA Edema Retensi Na
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Penyakit Hipertensi Dan Cara Penanganannya. Diakses Mei 2018
Darihttps://health.detik.com/beritadetikhealth.ac/3503396/penanganahipe
rtensi6789sebut-kasus-hipertensi-di-indonesia-terus
089/unfiles/sehat.html

Black & Hawk. 2014. Medikal Surgical Nursing Clinical Management for
Positive outcomes (Ed. 7). St. Louis : Missouri Elsevier Saunders.

Brunner & Suddarth. 2015. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta : ECG.

Bustan, M.N. 2007. Epidemologi Penyakit Tidak Menular. Cetakan 2. Jakarta:


Rineka Cipta.

Kemenkes RI. Info Data Dan Informasi Kesehatan Indonesia Tahun 2013.
Jakarta : Kemenkes RI; 2014.

Koes Irianto. 2014. Epideminologi Penyakit Menular dan Tidak Menular Panduan
Klinis. Bandung: IKAPI

Masriadi . 2016. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : TIM

Nurarif & Kusuma. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &
NANDA NIC-NOC. Jogjakarta : MediAction.

Robbins. 2007. Buku ajar : Patologi. Jakarta : EGC

Smeltzer, S. C. And Bare, B. G. 2012.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Brunner & Sudart Edisi 8. Jakarta: EGC

Triyanto, Endang. 2014. Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita Hipertensi secara


Terpadu. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Wijaya, Andra Saferi & Yessie Mariza Putri. 2013. Keperawatan Medikal Bedah.
Yogyakarta : Nuha Medika

Yonata, A., Satria, A. 2016. Hipertensi sebagaiFaktor Pencetus Terjadinya Stroke.


Majority

Yusuf, I. 2008. Hipertensi Sekunder. Jurnal Medicines


Kholifah, Siti Nur. 2016. Keperawat Gerontik. Modul Bahan Cedak
Keperawatan.Pusdik SDM Kesehatan

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia(1st
ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia. Retrieved from http://www.inna-ppni.or.id.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia(I).
Jakarta. Retrieved from http://www.inna-ppni.or.id

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan(1st ed.). Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Retrieved from
http://www.inna-ppni.or.id.
DOKUMENTASI

Pemeriksaan TTV
Pendidikan Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai