Anda di halaman 1dari 58

FORMAT LAPORAN ANALISIS SINTESIS TINDAKAN

PRAKTEK KEPERAWATAN DASAR

Dosen pengampu : Yunita Wulandari S.Kep.,Ns.,M.Kep.

.,

DISUSUN OLEH:
NAMA: MEGA UTAMI
NIM:S18244
KELAS:S18E

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA
2019/2020
FORMAT LAPORAN ANALISIS SINTESIS TINDAKAN

A. KELUHAN UTAMA
Diare
B. DIAKNOSA MEDIS
GEA ( Gastroenteritis Akut )
C. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Diare berhubungan dengan Iritasi Gastrointestinal (D.0020)
2. Resiko Hipovolemia berhubungan dengan Diare (D.0034)
3. Nausea berhubungan dengan Iritasi Lambung (D.0076)
D. DATA YANG MENDUKUNG
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
 DS ( Data subjektif)
a.Pasien mengatakan mencret,sehari BAB 10 x
b.Pasien mengatakan lemas,haus dan perutnya kruwes-kruwes
c.- Pasien mengatakan mual.
-. Pasien mengatakan ingin muntah tetapi tidak bisa
 DO ( Data Objektif )
a.- Bising usus 45 x/mnt
-. Feses cair sedikit berampas
b.-Tekanan darah : 90/60 mmHg
-Nadi : 100 x/menit
c.-Pasien tampak pucat
- Hb 14,5

E. DASAR PEMIKIRAN (TEORI DAN JURNAL)


Injeksi Intravena (IV) Terapi intra vena digunakan untuk
mengobati berbagai kondisi penderita disemua lingkungan perawatan di
rumah sakit dan merupakan salah satu terapi utama. Terapi intravena
bermanfaat untuk memperbaiki atau mencegah ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit dalam tubuh manusia. Terapi intravena perifer digunakan
untuk memberikan terapi cairan pada klien sakit akut atau kronis (Potter
& Perry,2006). Sistem terapi ini berefek langsung, lebih cepat, lebih
efektif, dapat dilakukan secara kontinu dan penderitapu merasa lebih
nyaman jika dibandingkan dengan cara yang lainnya.
Pemberian obat dengan cara memasukan obat kedalam pembuluh
darah vena secara langsung dengan menggunakan spuit, sehingga obat
langsung masuk ke dalam sistem sirkulasi darah. Injeksi dalam pembuluh
darah menghasilkan efek tercepat dalam waktu 18 detik, yaitu waktu satu
peredaran darah, obat sudah tersebar ke seluruh jaringan, tetapi lama
kerja obat biasanya hanya singkat. Cara ini digunakan untuk mencapai
ukuran yang tepat dan dapat dipercaya, atau efek yang sangat cepat dan
kuat dan jalur ini dipilih karena untuk menghindari ketidaknyamanan
yang ditimbulkan oleh pengguna jalur parental lainnya. Tidak untuk obat
yang tak larut dalam air atau menimbulkan endapan dengan protein atau
butiran darah (Sumijatun, 2010).

F. PRINSIP TINDAKAN KEPERAWATAN


Injeksi IV (Intra vena )

Tujuan : Untuk memberikan obat intra vena dengan menambahkan


atau memasukkan obat ke dalam wadah cairan intravena dan untuk
meminimalkan efek samping dan mempertahankan kadar terapeutik
dalam darah pada pasien .

G. ANALISIS TINDAKAN (DARI JURNAL)


Analisis Univariat
Analisis yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan dari
masing-masing variable yang akan diteliti, fungsinya untuk
menyederhanakan atau
meringkas kumpulan data hasil pengukuran menjadi informasi yang
berguna sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Analisis univariat
adalah cara menganalisis
data yang menghasilkan distribusi dan presentase dari tiap variabel . Data
yang telah terkumpul diolah dan dianalisis masing-masing variable.
meliputi :
1) Pengetahuan perawat
2) Sikap perawat
3) Praktik injeksi intravena
4) Kejadian phlebitis

Analisis Bivariat
Untuk melihat hubungan antara masing-masing variable independent dan
variable dependent dengan Uji bivariat korelasi. Adapun data yang akan
di analisis
secara bivariat adalah :
1) Pengaruh pengetahuan perawat dengan sikap
perawat
2) Pengaruh pengetahuan perawat terhadap praktik
injeksi intravena
3) Pengaruh sikap perawat dengan praktik injeksi
intravena
4) Pengaruh praktik injeksi intravena

H. BAHAYA DILAKUKANNYA TINDAKAN ( BILA TIDAK SESUAI


ANJURAN)
Bahaya injeksi intravena adalah dapat mengakibatkan terganggunya
zat-zat koloid darah dengan reaksi hebat, karena dengan cara ini “benda
asing” langsung dimasukkan ke dalam sirkulasi, misalnya tekanan darah
mendadak turun dan timbulnya shock. Bahaya ini
lebih besar bila injeksi dilakukan terlalu cepat, sehingga kadar obat dalam
darah meningkat
terlalu pesat. Oleh karena itu, setiap injeksi intravena sebaiknya dilakukan
amat perlahan,
antara 50-70 detik lamanya (Sumijatun, 2010)
I. TINDAKAN KEPERAWATAN LAIN YANG DILAKUKAN
1. . Memberikan obat oral sebelummakan atau setelah makan (New
Diatab)
2. Berikan asupan cairan oral Sebanyak 1500 cc
3. Menganjurkan pasien dan keluarga untuk menghindari makanan
pementuk gas, pedas yang mengandung laktosa agar pasien tidak
terkena Diare lagi

Hasil yang didapatkan setelah dilakukan tindakan


S : Pasien mengatakan BAB berwarna kuning, konsintesinya berbentuk,
dan sudah membaik
O : Pasien tampak membaik
A : Masalah teratasi
P : Hentikan intervensi.

J. EVALUASI DIRI
Saya merasa senang bisa diberi kesempatan untuk melakukan injeksi
intra vena dengan cara pemberian obat melalalui suntikan ini sehingga
saya bias lebih mendalami dan memahami prosedur injeksi intravena ini .

K. DAFTAR PUSTAKA/ REFERENSI


L. JURNAL ILMU KESEHATAN VOL. 6 NO. 1 JUNI 2018
60
Hubungan kepatuhan SPO pemasangang infus dengan kejadian plebitis
Di RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2015
Relationship Standard Operating Procedure Compliance with Plebitis
Event
In Hospital A. Wahab Sjahranie Samarinda 2015
Nunung Herlina¹, Sitti Shoimatul A², Swanti Pandiangan³, Fahrizal
Syam⁴
1Kepala Bidang Diklat di RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda
2Staff Komite Keperawatan di RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda
3Staff Instalasi Rawat Inap di RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda
4Staff Ruang ICU/ICCU Sakura di RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda
ABSTRAK
Jumlah kejadian plebitis menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah
pasien rawat inap,
Indonesia Tahun 2010 berjumlah 744 orang (17,11%). Berdasarkan data dari
rekam medik bahwa
angka kejadian plebitis secara umum pada pasien yang mendapatkan terapi
intravena di ruang rawat
inap penyakit dalam RSUD A.Wahab Sjahranie Samarinda pada tahun 2014
adalah 13,83% meningkat
dibanding tahun 2013 sebesar 8,437%.
Berdasarkan hasil penelitian observasi pemasangan infus diperoleh gambaran
bahwa mayoritas di
ruang rawat inap RSUD A.W. Sjahranie Samarinda tidak terjadi plebitis yaitu
berjumlah 193
responden (69,4%), sedangkan terjadi plebitis di ruang rawat inap RSUD A.W.
Sjahranie Samarinda
yaitu berjumlah 85 responden (30,6%) dengan rincian terjadi plebitis dalam 24
jam berjumlah 3 orang,
48 jam berjumlah 9 orang sedangkan sama dengan dan lebih dari 72 jam
berjumlah 73 responden.
Pengaruh yang paling dominan diantara empat variabel yang diteliti adalah
kepatuhan petugas
terhadap SPO. Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa mayoritas
perawat tidak patuh dalam
penerapan SPO pemasangan infus di ruang rawat inap RSUD A.W. Sjahranie
Samarinda yang
berjumlah 216 responden (77.7%), sedangkan perawat yang patuh dalam
penerapan SPO pemasangan
infus di ruang rawat inap RSUD A.W. Sjahranie Samarinda hanya berjumlah
62 responden (22,3%).
Kata kunci : Plebitis, Kepatuhan SPO
ABSTRACT
The number of events plebitis according to the distribution of the blood
circulatory system diseases
inpatients, Indonesia in 2010 amounted to 744 people (17.11%). Based on
data from the medical
records that the incidence of plebitis in general in patients receiving
intravenous therapy in inpatient
wards in hospitals A.Wahab disease Sjahranie Samarinda in 2014 was a
13.83% increase compared
to the year 2013 amounted to 8.437%.
Based on the results of observational studies infusion obtained a description
that the majority in
inpatient hospitals A.W. Samarinda Sjahranie not happen plebitis is numbered
193 respondents
(69.4%), while going plebitis in inpatient hospitals A.W. Sjahranie Samarinda
is numbered 85
respondents (30.6%) with details plebitis occur within 24 hours amounted to
3, 48 hours amounted to
9 whereas equal to and more than 72 hours amounted to 73 respondents.
The most dominant influence among the four variables studied is the
compliance officer of the SPO.
From the research illustrates that the majority of nurses do not comply in the
application of SPO
infusion in inpatient hospitals A.W. Sjahranie Samarinda totaling 216
respondents (77.7%), while the
nurses were obedient in implementing SPO infusion in inpatient hospitals
A.W. Sjahranie Samarinda
amounted to only 62 respondents (22.3%).
Kata Kunci : Plebitis, Kepatuhan SPO
JURNAL ILMU KESEHATAN VOL. 6 NO. 1 JUNI 2018
61
PENDAHULUAN
Terapi intra vena digunakan untuk mengobati berbagai kondisi penderita
disemua
lingkungan perawatan di rumah sakit dan merupakan salah satu terapi utama.
Terapi intravena
bermanfaat untuk memperbaiki atau mencegah ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit dalam tubuh
manusia. Terapi intravena perifer digunakan untuk memberikan terapi cairan
pada klien sakit akut atau
kronis (Potter & Perry,2006). Sistem terapi ini berefek langsung, lebih cepat,
lebih efektif, dapat
dilakukan secara kontinu dan penderitapu merasa lebih nyaman jika
dibandingkan dengan cara yang
lainnya. Pemasangan infus merupakan prosedur invasif dan merupakan
tindakan yang sering
dilakukan di rumah sakit. Namun, hal ini tinggi resiko terjadinya infeksi yang
akan menambah
tingginya biaya perawatan. Tindakan pemasangan infus akan berkualitas
apabila dalam
pelaksanaannya selalu mengacu pada standar yang ditetapkan (Priharjo,2008).
Sebanyak 70% pasien
yang dilakukan rawat inap mendapatkan terapi cairan infus. Tetapi karena
terapi ini diberikan secara
terus menerus dan dalam jangka waktu yang lama tentunya akan
meningkatkan kemungkinan
terjadinya komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah infeksi
(Hindley,2004).
Salah satu infeksi yang sering ditemukan dirumah sakit adalah plebitis, HAI’s
( Health Care
Infections) mengatakan plebitis tersebut diakibatkan oleh prosedur diagnosis
yang sering timbul
diantaranya plebitis. Keberhasilan pengendalian HAI’s pada tindakan
pemasangan infus bukanlah
ditentukan oleh canggihnya peralatan yang ada, tetapi ditentukan oleh perilaku
petugas dalam
melaksanakan perawatan klien secara benar.
Secara sederhana plebitis berarti peradangan vena. Plebitis berat hampir selalu
diikuti beku darah atau
tombus pada vena yang sakit. Plebitis dapat menyebabkan trombus yang
selanjutnya menjadi
tromboplebitis, perjalanan penyakit ini biasanya jinak, tapi walaupun demikian
jika trombus terlepas
kemudian diangkut dalam aliran darah dan masuk kejantung maka dapat
menimbulkan gumpalan
darah seperti katub bola yang bisa menyumbat atrioventrikular secara
mendadak dan menimbulkan
kematian (Sylvia, 2005)
Hasil penelitian Mulyani (2011), yang melakukan penelitian dengan judul
Tinjauan
Pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemasangan Infus Pada
Pasien Di Instalasi Gawat
Darurat (IGD) RS PKU Muhammadiyah Gombong menunjukan perawat
cenderung tidak patuh pada
persiapan alat dan prosedur pemasangan infus yang prinsip. Hasil penelitian
terhadap 12 perawat
pelaksana yang melakukan pemasangan infus, perawat yang tidak patuh
sebanyak 12 orang atau 100%
dan yang patuh sebanyak 0 atau 0%.
Hasil penelitian Pasaribu (2008), yang melakukan analisa pelaksanaan
pemasangan infus di
ruang rawat inap Rumah Sakit Haji Medan menunjukan bahwa pelaksanaan
pemasangan infus yang
sesuai Standar Operasional Prosedur katagori baik 27 %, sedang 40 % dan
buruk 33 %.
Jumlah kejadian plebitis menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah
pasien rawat inap,
Indonesia Tahun 2010 berjumlah 744 orang (17,11%). Berdasarkan data dari
rekam medik bahwa
angka kejadian plebitis secara umum pada pasien yang mendapatkan terapi
intravena di ruang rawat
inap penyakit dalam RSUD A.Wahab Sjahranie Samarinda pada tahun 2014
adalah 13,83% meningkat
dibanding tahun 2013 sebesar 8,437%. Dari data tersebut menunjukkan bahwa
masih di jumpai pasien
setelah dilakukan pemasangan infus terjadi plebitis. Hal ini menunjukkan
jumlah presentase pasien
yang mengalami infeksi lokal yakni plebitis masih cukup besar, oleh karena
masih di atas standar yang
direkomendasikan oleh Depkes yaitu ≤ 1,5 %.
METODE
Desain penelitian ini yaitu deskriptif korelasional dimana untuk mencari
hubungan antara
variabel independen (faktor-faktor yang berhubungan) dengan variabel
dependen (kejadian plebitis).
Menggunakan metode pendekatan cross sectional dimana suatu penelitian
dimana variabelvariabelyang diukur diobservasi sekaligus pada waktu yang
sama (Notoatmojo,2010). Pengambilan
data dilakukan di RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda dilakuka mulai bulan
Oktober hingga
Desember 2015. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 278 orang dengan
tehnik sampling
purposive sampling.
Tehnik analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisa bivariat
dimana
dilakukan analisa terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau
berkorelasi
(Notoadmojo,2010) dengan menggunakan uji chi-kuadrat (Chi Square) yang
merupakan pengujian
hipotesis tentang perbandingan antara frekuensi sampel yang benar-benar
terjadi. Variabel dalam
penelitian ini meliputi variabel pertama adalah Kejadian Plebitis dan varibael
kedua meliputi jenis
cairan, ukuran kanul, frekuensi ganti pada SPO lutan dan kepatuhan. Pada
analisis bivariat hasil
penelitian tersaji dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
HASIL
Varibel independen pada penelitian ini adalah jenis cairan infus, ukuran kanul,
frekuensi
dressing dan kepatuhan perawat terhadap SPO pemasangan infus. Dari hasil
jawaban kuisioner dari
278 responden diperoleh distribusi frekuensi berdasarkan factor-faktor yang
berhubungan dengan
kejadian plebitis seperti pada tabel berikut;
Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Cairaninfus di
RSUD A. Wahab Sjahranie
Samarinda Tahun 2015
Tabel di atas menunjukkan bahwa jenis cairan terbanyak adalah isotonis atau
90,6%.
Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Ukuran Kanul di RSUD
A. Wahab Sjahranie
Samarinda Tahun 2015
Tabel di atas menunjukkan bahwa ukuran kanul yang terbanyak adalah no 20
atau 61,2%.
Jenis Persentase
Frekuensi
Cairan (%)
Hipertoni
26 9,4 %
s
252 90,6 %
Isotonis
Total 278 100
M.
Ukuran Frekuen Persentase
Kanul si (%)
No 22 108 38,8 %
No 20 170 61,2 %
Total 278 100
N.
JURNAL ILMU KESEHATAN VOL. 6 NO. 1 JUNI 2018
63
Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan frekuensi dressing infus di
RSUD A. Wahab
Sjahranie Samarinda Tahun 2015
Tabel di atas menunjukkan bahwa frekuensi dressing infus yang terbanyak
adalah ≥ 24 jam atau
98,9%.
Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kepatuhan Perawat
terhadap SPO Pemasangan
Infus di RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2015
Tabel di atas menunjukkan bahwa kepatuhan Perawat Terhadap SPO
Pemasangan Infus yang
terbanyak adalah tidak patuh sebanyak 222 perawat atau 79,9%.
Varibel dependen pada penelitian ini adalah kejadian plebitis. Berdasarkan
hasil jawaban kuisioner
dari 278 responden diperoleh distribusi frekuensi berdasarkan kejadian plebitis
seperti pada tabel
berikut.
Tabel Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Plebitis di RSUD
A. Wahab Sjahranie
Samarinda Tahun 2015
Berdasarkan table menunjukkan bahwa responden yang mengalami kejadian
tidak plebitis ada 193
responden (69,4%). Responden yang mengalami kejadian plebitis ada 85
responden (30,6%).
Setelah diketahui karakteristik dari variabel independen dan dependen yaitu
kejadian plebitis
dan faktor-faktor yang berhubungan yaitu jenis cairan infus, ukuran kanul,
frekuensi dressing dan
kepatuhan perawat terhadap SPO pemasangan infus. Selanjutnya dilakukan
analisis bivariat dengan
menggunakan uji statistik chi-kuadrat (Chi Square), untuk mengetahui
hubungan kejadian plebitis
dengan faktor-faktor yang berhubungan di RSUD A. Wahab Sjahranie
Samarinda.
Frekuensi Persent
Frekuensi
Dressing ase (%)
≥ 24 jam 275 98,9%
24 jam 3 1,1%
Total 278 100
O.
Kepatuhan Frekue Persentas
SPO nsi e (%)
Tidak
222 79,9%
Patuh
56 20,1 %
Patuh
Total 278 100
P.
Kejadian
Frekuensi Persentase (%)
Plebitis
Plebitis
85 30,6%
Tidak
193 69,4 %
Plebitis
Total 278 100
Uji ini menggunakan Chi Square karena tidak ada nilai expected yang kurang dari lima. Pada
nilai
Chi Square menunjukkan Pvalue adalah 0,054 yang lebih kecil dari α 0,05 yang berarti H0
ditolak
sehingga dapat disimpulkan ada hubungan bermakna antara factor frekuensi dressingdengan
kejadian
plebitis. Nilai OR didapatkan 0,12 dengan IK 95% 0,12-0,958 yang artinya pada responden
yang
dilakukan frekuensi dressing ≥ 24 jam mempunyai kemungkinan 0,1 kali untuk terjadi
plebitis
dibandingkan dengan responden yang dilakukan frekuensi dressing 24 jam.
Hasil analisis multivariat terhadap keempat variabel mendapatkan hasil bahwa diantara empat
variabel independen yaitu variabel cairan infus, variable ukuran kanul, variable kepatuhan
perawat
terhadap SPO pemasangan infus dan variable dressing yang dihubungkan dengan kejadian
phlebitis,
ternyata dari keempat penilaian tersebut didapatkan hasil bahwa variable kepatuhan perawat
terhadap
SPO pemasangan infus dengan nilai signifikansi 0.040 sehingga dapat disimpulkan ada
hubungan
secara bermakna paling tinggi dengan kejadian plebitis dibandingkan dengan variable cairan
infus,
variable ukuran kanul, dan variable dressing.
PEMBAHASAN
1. Hubungan antara faktor Kepatuhan perawat dalam penerapa standar prosedur operasional
pemasangan infus dengan kejadian plebitis.
Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa mayoritas perawat tidak patuh dalam
penerapan
SPO pemasangan infus di ruang rawat inap RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda yang
berjumlah
216 responden (77,7%), sedangkan perawat yang patuh dalam penerapan SPO pemasangan
infus di
ruang rawat inap RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda berjumlah 62 responden (22,3%).
Bekerja
kurang memperhatikan standar yang ada, contohnya pada saat memasang infus menggunakan
sarung tangan tapi digunakan berjamaah maksudnya adlah sarung tangan tersebut digunakan
untuk
beberapa orang pasien setelah memegang pasien lain atau alat kesehatan lain lalu digunakan
untuk
memasang infus. Ada juga perawat yang tidak memperhatikan persiapan alat atau alat yang
dipersiapkan untuk pemasangan infus tidak lengkap sehigga pada saat memasang infusbelum
selesai terpaksa pergi lagi untuk mengambil alat yang kurang tersebut. Hal ini dikarenakan
perawat
menganggap penanganan pasien yang bersangkutan adalah pekerjaan rutin biasa dalam
kondisi
pemasangan infus tidak memerlukan alat tersebut sehingga merasa tidak perlu
mempersiapkan
semua alat sesuai SPO. Selain itu perawat tidak patuh terhadap cara desinfeksi daerah yang
akan
dilakukan pemasangan jarum infus dimana secara standar seharusnya mendesinfeksi tidak
bolak
balik .
Menurut Carpenito (2005) kepatuhan merupakan bagian dari perilaku individu yang
bersangkutan
untuk mentaati atau mematuhi sesuatu, sehingga kepatuhan perawat dalam melaksanakan
SPO
pemasangan infus tergantung dari perilaku perawat itu sendiri. Faktor-faktor yang
mempengaruhi
kepatuhan diantaranya adalah pemahaman tentang instruksi, tingkat pendidikan, keyakinan,
sikap,
kepribadian dan dukungan sosial. Adapun dalam hal kepatuhan terdapat enam prinsip dasar
yakni
komitmen, kelangkaan, hubungan sosial, validasi sosial, timbal balik dan otoritas. Seseorang
cenderung mematuhi orang lain apabila orang lain tersebut memiliki otoritas yang sah.
Adanya
otoritas yang sah yang dimiliki oleh atasan akan membuat bawahan taat kepada atasan dan
perintahnya. Jika bawahan menyadari akan otoritas yang sah dari pimpinannya maka hal itu
akan
membuat anggota taat terhadap perintah dan aturan yang ada.
Hasil penelitian terdahulu Puspitawati (2011) menyatakan bahwa ada hubungan otoritas yang
sah
dengan kepatuhan SPO pencegahan infeksi luka infus. Sebagian besar perawat memberikan
penilaian baik terhadap status figur otoritas. Meskipun demikian dari yang memberikan
penilaian
baik tersebut ada yang tidak patuh. Hal ini dimungkinkan kredibilitas, integritas, keahlian
sebagai
seorang perawat profesional kurang ditunjukkan kepada bawahan. Kredibilitas sebagai
seorang ahli
dan integritas akan mendorong kepatuhan dan menegaskan otoritas.
JURNAL ILMU KESEHATAN VOL. 6 NO. 1 JUNI 2018
65
Peneliti berasumsi bahwa ketidakpatuhan perawat terhadap SPO pemasangan infus di ruang
rawat
inap RSUD A.W. Sjahranie Samarinda tidak lepas dari campur tangan sistem yang berada di
rumah sakit. Hal ini terkait karenakurangnya sosialisasi pelaksanaan SPO yang telah
ditetapkan
rumah sakit oleh atasan, perawat hanya di himbau untuk membaca secara individu, selain itu
kebanyakan dibeberapa ruang rawat, buku SPO disimpan dalam lemari yang terkunci
sehingga saat
melaksanakan tindakan sesuai dengan apa yang hanya diingat saja.
Kepatuhan perawat adalah perilaku perawat sebagai seorang yang profesional terhadap suatu
anjuran, prosedur atau peraturan yang harus dilakukan atau ditaati. Dalam tindakan
pemasangan
infus, kepatuhan perawat diukur berdasarkan SPO dari setiap tahap pemasangan infus yakni
tahap
persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi. Pemasangan infus sedapat mungkin sesuai SPO yang
telah
ditentukan. Pemasangan selalu dilakukan secara steril karena merupakan tindakan invasif
yang
dapat menimbulkan infeksi.
Kepatuhan perawat dalam penerapan SPO sebagai salah satu ukuran keberhasilan pelayanan
keperawatan dan merupakan sasaran penting dalam manajemen sumber daya manusia.
Penerapan
SPO pelayanan keperawatan pada prinsipnya adalah bagian dari kinerja dan perilaku individu
dalam bekerja sesuai tugasnya dalam organisasi, dan biasanya berkaitan dengan kepatuhan.
Berdasarkan uraian di atas, RSUD A.W. Sjahranie Samarinda penting adanya kepatuhan
perawat
yaitu perilaku perawat sebagai seorang profesional terhadap suatu anjuran, prosedur atau
peraturan
yang harus dilakukan, ditaati dalam hal ini melakukan prosedur pemasangan infus dengan
berbagai
pertimbangan yaitu pertimbangan anatomi vena, pasien dan terapi dan dalam menyiapkan,
memberikan infus harus sesuai SPO. Juga perlu diperhatikan terutama para manejer
keperawatan
sebaiknya mensosialisasikan penggunaan SPO rumah sakit khususnya pemasangan infus
dimana
cara ini harus lebih gencardilaksanakan serta dukungan dan komitmen manajemen seperti
dalam
hal penyediaan sarana dan prasarana keperawatan sehingga kepatuhan dapat ditingkatkan.
Budaya
melaporkan kejadian tak diharapkan (KTD) dimana hal ini sudah distandarkan dalam
akreditasi
rumah sakit tanpa hukuman dan rahasia juga perlu ditingkatkan untuk mencari solusi yang
positif
agar masalah tersebut tidak terulang kembali.
2. Hubungan antara Faktor Dressing dengan kejadian Plebitis
Hasil penelitian ini menunjukkan frekuensi dressing paling banyak dilakukan dalam 72 jam
pada
142 responden (51,1%) dan lebih dari 72 jam sebanyak 96 responden (34,5%) Berdasarkan
hasil
analisis bivariate didapatkan data bahwa responden yang mengalami plebitis dengan dressing
72
jam yaitu sebanyak 50 orang(90%) > 72 jam berjumlah 23 responden sedangkan responden
yang
tidak mengalami plebitis namun mendapatkan dressing setelah 72 jam ada sebanyak 93 orang
(93%), > 72 jam sebanyak 73 orang (37.8%) pengaruh kemaknaan yang didapatkan dalam
penelitian ini yakni p value= 0,54Hal tersebut menginformasikan bahwa terdapat hubungan
antara
faktor dressing dengan kejadian plebitis.
Dressing (perawatan luka tusuk infus) adalah suatu upaya atau cara untuk mencegah
masuknya
mikroorganisme pada vaskuler sehingga tidak menimbulkan terjadinya infeksi saat terpasang
infus
dengan cara: mencuci tangan, memakai sarung tangan, membasahi plester dengan alkohol
dan
membuka balutan, membersihkan bekas plester, perawat memeriksa tempat penusukan IV
setiap
hari, perawat mengganti seluruh infus set sedikitnya setiap 3 hari, membersihkan daerah
tusukan
dan sekitarnya dengan NaCl, mengolesi tempat tusukan dengan iodin, dan menutup dengan
lecomed dan kemudian kasa steril dengan rapi. Sementara itu perawatan pada tempat
penusukan
juga harus dilakukan, antara lain: balutan steril diperlukan untuk menutup tempat masuk
kanula IV
perifer. Balutan harus di ganti jika balutan menjadi basah, kotor, atau lepas. Beberapa jenis
balutan,
meliputi balutan transparan, perban steril, kasa, dan plester, dapat digunakan sepanjang
sterilisasi
dapat di pertahankan (Aprilin, 2011).
Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai penyebab terjadinya plebitis pada pasien yang
mana
dikatakan sebenarnya tidak hanya di karenakan oleh dressing saja namun bisa juga berasal
dari
tingkat usia, cairan, penyakit penyerta, status gizi, stress, jenis kelamin, kepatuhan klien dan
sebagainya (Gayatri & Handayani, 2006) Begitu juga dengan penelitian Pasaribu, (2006), di
Rumah Sakit Haji Medan menyimpulkan bahwa yang paling dominan menimbulkan kejadian
plebitis adalah sikap perawat yang kurang baik pada saat melaksanakan pemasangan infus
bukan
karena proses perawatan infusnya. Akan tetapi pendapat ini dapat disanggah bahwa faktor
yang
berkontribusi terhadap adanya plebitis bakterial salah satunya adalah teknik aseptik dressing
yang
tidak baik. Pendeteksian dan penilaian plebitis bisa dilakukan dengan cara melakukan aseptik
dressing. Menurut Lee KE (2000) perawatan infus atau dressing dilakukan tiap 24 jam sekali
guna
melakukan pendeteksian dan penilaian adanya plebitis akibat infeksi kuman, sehingga
kejadian
plebitis dapat dicegah dan diatasi secara dini. Daerah insersi pada pemasangan infus
merupakan
jalan masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh, dengan dressing tiap 24 jam dapat
memutus
perkembangbiakan daripada kuman (Zahra,2010).
Asumsi peneliti dalam hal ini memang apabila dressing dilakukan 72 jam atau lebih yang
menyebabkan plebitis , dimana secara teoritis ganti balutan atau dressing infus dilakukan
dalam 24
jam atau setiap harinya. Faktor pemahaman terhadap waktu dressing yang simpang siur dan
tidak
adanya SPO untuk itu yang mungkin menyebabkan kejadian plebitis. Selayaknyalah manejer
keperawatan melakukan evaluasi dan berkoordinasi dengan bagian pencegahan serta
pengendalian
infeksi agar membuat SPO yang menstandarkan dressing dilakukan setiap 24 jam.
3. Hubungan antara Cairan Infus dengan Kejadian Plebitis
Pemberian cairan intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh masuk ke
pembuluh
darah vena untuk memperbaiki atau mencegah gangguan cairan dan elektrolit, darah, maupun
nutrisi (Perry & Potter, 2006). Pemberian cairan intravena merupakan salah satu tindakan
invasif
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Pemberian cairan intravena disesuaikan dengan
kondisi
kehilangan cairan pada klien, seberapa besar cairan tubuh yang hilang. Berdasarkan hasil
penelitian
didapatkan data bahwa sebagian besar responden mendapatkan cairan isotonik yaitu sebanyak
252
orang (90,6%) sedangkan yang mendapatkan cairan hipertonik sebanyak 26 responden
(9,4%).
Data hasil analisis bivariat dalam penelitian ini menyatakan ada 12 (14,1%) responden yg
mendapatkan infus cairan hipertonis yang menderita plebitis dan 73 (85,9%) responden yang
mendapatkan cairan isotonis yang menderita plebitis.Hasil analisis p value sebesar 0,069
dimana
nilai p lebih kecil dari 0.05 sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan antara faktorcairan
infus yang diberikan terhadap kejadian plebitis.
Terapi intravena adalah pemberian cairan atau obat ke dalam pembuluh darah vena dalam
jumlah
dan waktu tertentu melalui pemasangan infus (Perry & Potter, 2005). Terapi intravena
melalui
pemasangan infus digunakan untuk mengobati berbagai kondisi pasien di lingkungan
perawatan
rumah sakit.
Terapi intravena merupakan cara yang digunakan untuk memberikan cairan pada pasien yang
tidak
dapat menelan, tidak sadar, dehidrasi atau syok (WHO, 2005). Terapi intravena bertujuan
mencegah gangguan cairan dan elektrolit (Potter dan Perry, 2005). Infus merupakan cara atau
bagian untuk memasukkan obat, vitamin dan tranfusi darah ke tubuh pasien. Dalam terapi
intravena
dapat terjadi kompikasi salah satunya plebitis (Potter & Perry, 2005).
Sistem terapi ini memungkinkan terapi berefek langsung, lebih cepat, lebih efektif, dan dapat
dilakukan secara berkesinambungan. Beberapa masalah bisa timbul pada pemberian terapi
intravena melalui infus karena diberikan secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang
lama
antara lain dapat timbul kontaminasi mikroba melalui titik akse ke sirkulasi dalam periode
tertentu misalnya plebitis. Selain larutan hipertonis, penyuntikan obat melalui selang infus
juga
bersifat flebotogenik yang seterusnya dapat menyebabkan plebitis. Iritasi kimia merupakan
iritasi
JURNAL ILMU KESEHATAN VOL. 6 NO. 1 JUNI 2018
67
kimiawi zat adiktif dan obat-obatan yang diberikan secara intravena karena pengoplosan
(Potter
dan Perry, 2005). Osmolaritas cairan, pH cairan dan pemberian larutan yang terlalu cepat
merupakan salah satu faktor penyebab plebitis (Darmadi, 2008). Perawat memastikan obat
larut
sempurna saat pengoplosan dan mengatur kecepatan pemberian untuk mengurangi efek
samping
seperti plebitis (Jordan, 2003). Dengan demikian, plebitis dapat dihindari dan angka kejadian
plebitis disuatu rumah sakit dapat menurun.
Penempatan kanula pada vena proksimal atau lengan bawah sangat dianjurkan untuk larutan
infus
dengan osmolaritas > 500 mOsm/L. Osmolaritas cairan yang kurang dari 900 mOsm/L akan
mengurangi risiko peradangan pada vena.
4. Hubungan antara Ukuran Kanul dengan Kejadian Plebitis
Hasil penelitian menunjukkan ukuran kanul yang digunakan terbanyak no 20 sebanyak 150
responden (54,0%), kanul yang berukuran 18 sebanyak 27 responden (9,7%). Hasil analisis
bivariat
menggunakan Chi Square didapatkan nilai p sebesar 0,062.
Brooker (2008) menyatakan bahwa akibat kateter vena yang digunakan terlalu besar tidak
sesuai
dengan ukuran vena dan pemasangan yang kurang tepat dapat menimbulkan atau terjadi
plebitis.Menurut Gabriel, et al (2005) dalam Jeli (2014) plebitis terjadi karena faktor mekanik
yaitu
ukuran kateter infus, letak pemasangan infus dan fiksasi infus. Plebitis yang disebabkan oleh
ukuran kateter infus bisa di minimalisir jika perawat mempunyai pengetahuan tentang plebitis
atau
cara meminimalisir yaitu dari cara mempertimbangkan ukuran kateter infus dengan vena
pasien,
menyesuaikan ukuran infus sesuai fungsinya yaitu misalnya untuk usia lanjut harus memakai
ukuran 22G karena kondisi vena yang sudah buruk akibat penurunan fungsi fisiologis pasien
itu
sendiri sehingga dapat mengurangi risiko cederanya vena pasien dan tentunya dapat
meminimalisir
insiden plebitis. Kejadian plebitis yang disebabkan oleh letak pemasangan infus bisa di
minimalisirkan dengan menggunakan vena yang lokasinya jauh dari pergelangan
tangan/persendian
sebagai lokasi untuk pemasangan terapi intravena yang bagus, untuk mengurangi kejadian
plebitis
yaitu seperti median antebrachial vein. Plebitis yang disebabkan oleh fiksasi kateter infus
yang
tidak adekuat bisa di minimalisir dengan memilih letak pemasangan infus yang jauh dari area
persendian atau menghindari letak pemasangan yang sering digunakan pasien untuk
beraktivitas.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Asrin (2006) membuktikan bahwa ada kaitannya
ukuran kateter infus, letak pemasangan infus dan fiksasi kateter dengan angka kejadian
flebitis,
responden yang mengalami flebitis dikarenakan ukuran kateter 20 G (gauge), lokasi
pemasangan
infus terletak pada vena metacarpal dan kurangnya fiksasi (tidak adekuat) dan dekatnya
persambungan selang kanul dengan persendian lainnya.Para ahli umumnya sepakat bahwa
makin
lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko plebitis. Vena perifer yang
paling
besar dan kateter yang sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus
yang
diinginkan, dengan filter 0.45 mm. Kanula harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri atau
kemerahan.
KESIMPULAN
1. Gambaran karakteristik responden yang terlibat dalam penelitian ini paling banyak
berumur antara
46 tahun sampai dengan 65 tahun yaitu berjumlah 87 responden (31,3%), sedangkan jumlah
paling
rendah berumur lebih dari 65 tahun yaitu berjumlah 16 responden (5,8%). Jenis kelamin yang
mendominasi adalah perempuan yaitu berjumlah 203 responden (73%), sedangkan minoritas
berjenis kelamin laki-laki yaitu berjumlah 75 responden (27%). Dari 278 responden yang
terlibat
dalam penelitian ini mayoritas pendidikan lulusan SD dan lulusan SMU seimbang yaitu
masing
masing sebanyak 65 responden (23.4%).
2. Berdasarkan hasil penelitian observasi pemasangan infus diperoleh gambaran bahwa
mayoritas di
ruang rawat inap RSUD A.W. Sjahranie Samarinda tidak terjadi plebitis yaitu berjumlah 193
responden (69,4%), sedangkan terjadi plebitis di ruang rawat inap RSUD A.W. Sjahranie
Samarinda yaitu berjumlah 85 responden (30,6%) dengan rincian terjadi plebitis dalam 24
jam
berjumlah 3 orang, 48 jam berjumlah 9 orang sedangkan sama dengan dan lebih dari 72 jam
berjumlah 73 responden. Seperti diketahui pada hari pertama sudah terjadi tanda-tanda
plebitis
pada 3 orang responden, pada hari kedua terdapat 8 orang pasien mengalami kemerahan
sepanjang
vena dan 1 orang pasien mengalami kemerahan sepanjang vena yang disertai nyeri.
Kemudian pada
hari ketiga, bertambah menjadi 40 orang pasien mengalami kemerahan sepanjang vena, 32
orang
pasien mengalami kemerahan sepanjang vena yang disertai nyeri dan 1 orang pasien
mengalami
kemerahan sepanjang vena yang disertai nyeri dan bengkak pada daerah pemasangan infus.
3. Pengaruh yang paling dominan diantara empat variabel yang diteiti adalah kepatuhan
petugas
terhadap SPO. Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa mayoritas perawat tidak patuh
dalam penerapan SPO pemasangan infus di ruang rawat inap RSUD A.W. Sjahranie
Samarinda
yang berjumlah 216 responden (77.7%), sedangkan perawat yang patuh dalam penerapan
SPO
pemasangan infus di ruang rawat inap RSUD A.W. Sjahranie Samarinda hanya berjumlah 62
responden (22,3%).
Ucapan terima kasih
Terwujudnya penelitian ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah mendorong
dan
membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun pemikiran. Oleh karena itu dalam
kesempatan
ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Yth:
1. Bapak dr. Rachim Dinata Marsidi,Sp B,FINAC,M.Kes, selaku Pemimpin BLUD RSUD
A.W Sjahranie
Samarinda yang telah memberikan penulis kesempatan untuk melakukan penelitian ini.
2. Bapak Profesor DR. Dwi Nugroho, A Med, selaku tim ahli yang telah memberikan
dukungan dan
bimbingan kepada penulis untuk penyelesaian penelitian ini.
3. Bapak dr. Emil Bachtiar Moerad, Sp P, selaku tim ahli yang telah memberikan dukungan
dan
bimbingan kepada penulis untuk penyelesaian penelitian ini.
4. Ibu DR. Dr. Swandari Paramitha, M.Kes, selaku tim ahli yang telah memberikan dukungan
dan
bimbingan kepada penulis untuk penyelesaian penelitian ini.
5. Bapak DR. Dr. Yadi ,M.Kes, selaku tim ahli yang telah memberikan dukungan dan
bimbingan
kepada penulis untuk penyelesaian penelitian ini.
6. Ibu dr. Eva Rachmi, M.Kes,M.Pd, selaku tim ahli yang telah memberikan dukungan dan
bimbingan
kepada penulis untuk penyelesaian penelitian ini.
KEPUSTAKAAN
Alimul Hidayat.(2008). Ketrampilan Dasar Praktik Klinik Cetakan II. Jakarta : Salemba
Andreas & Willson (2008). Patofisiologi : konsep penyakit. Edisi 5. Jakarta : EGC
Aprilin. (2011). Hubungan Perawatan Infus Dengan Terjadinya Flebitis Pada Pasien Yang
Terpasang
Infus Di Puskesmas Krian Sidoarjo. Diperoleh pada tanggal 02 September 2015
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Asrin., Triyanto, E., & Upoyo, A.S. (2006). Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
kejadian
plebitis di RSUD Purbalingga. (Vol 1 No.1). Diperoleh pada tanggal 31 Mei 2013 dari the
soedirman journal of nursing.
Brunner, LS dan Suddarth, DS. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Edisi 8,
Jakarta: EGC
Terjemahan.
Darmadi. (2008). Infeksi nosokomial problema dan pengendaliannya, Jakarta: Salemba
Medika.
Darmawan.(2008). Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika
Darmawan, I. (30 Agustus 2008). Plebitis, apa penyebabnya dan bagaimana cara
mengatasinya?
Diperoleh tanggal 1 Oktober 2015
Fatmah. (2006). Respon imunitas yang rendah pada tubuh manusia usia lanjut. Makara
kesehatan
vol.10 no.1 Juni 2006:47-53. Diperoleh pada tanggal 01 Juli 2015
JURNAL ILMU KESEHATAN VOL. 6 NO. 1 JUNI 2018
69
Gayatri, D., Handayani, H. (2006). Hubungan Jarak Pemasangan Terapi Intravena Dari
Persendian
Terhadap Waktu Terjadinya Plebitis. Jurnal Keperawatan Universitas Indonesia, Volume 11,
No.1, hal 1-5;2007. Diperoleh pada tanggal 03 September 2015
Hidayat, A (2004). Pengantar Konsep Dasar Asuhan Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta.
Hindley, G. (2004). Infection control in peripheral cannulae. Nursing Standard, 18 (27), 37-
40.
Jordan, (2003). Farmakologi Kebidanan. Jakarta : EGC. Komite Keperawatan Rumah Sakit
Baptis
Kediri, (2010). Standar Prosedur Operasional Menyiapkan dan Memberikan Infus.
Notoatmojo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan
Pedoman Skripsi, Thesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Pasaribu. (2006). Analisis pelaksanaan standar operasional prosedur pemasangan infus
terhadap
kejadian plebitis di ruang rawat inap rumah sakit haji Medan. Diperoleh pada tanggal 03
Oktober 2015
Potter dan Perry, (2005). Buku Saku Keterampilan dan Prosedur Dasar. Edisi 5. Jakarta :
EGC
Potter, P. A. & Perry, A. G. (2006). Buku ajar fundamental keperawatan, konsep, proses dan
praktik.
Edisi 4 Volume 2 Jakarta: EGC.
Priharjo, r. (2008).Teknik Dasar Pemberian Obat Bagi Perawat .Jakarta: EGC.
Rivai, V., Mulyadi, D. (2010). Kepemimpinan dan perilaku organisasi. Jakarta: PT Raja
Grafindo
Persada
Riwidikdo, 2007,Statistik Untuk Penelitian Kesehatan dengan Aplikasi program dan SPSS,
Yogyakarta, Pustaka Rihana
Riyanto, 2011, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta
Saifuddin, 2008, Metode Penelitian, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Smeltzer, C. (2001). Buku ajar keperawatan medikal–bedah Brunner & Suddarth, Editor
Suzanne C.
Smeltzer., Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth Vol 2. Penerbit
Buku
Kedokteran. EGC. Jakarta.
Sugiarto, 2006, Metode Statistika, Gramedia Pustaka Utama,. Jakarta.
Sugiyono. (2010). Metodologi Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sylvia , 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC
Tamsuri, A. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC. Qittun. 2008. Teknik
Distraksi.http://qittun.blogspot.com/2008/10/teknikdistraksi.html. (diakses tanggal 25
September 2015).

Handayani, Eka Sila (2009) mengenaiPengaruh Lama


Bekerja Dan Tingkat Pendidikan Terhadap
Pelaksanaan Dokumentasi Keperawatan Di
Rumah Sakit Islam Sultan Agung SemarangJurnal Ilmu Kesehatan, 7(2); September 2015
144
PENGARUH PRAKTIK INJEKSI INTRAVENA OLEH PERAWAT TERHADAP
KEJADIAN PLEBITIS DI RUMAH SAKIT PUSAT INFEKSI
SULIANTI SAROSO TAHUN 2012
Nurma Dewi1
1Progam D III Keperawatan Fakultas Kesehatan Universitas MH Thamrin Jakarta Timur,
Indonesia
Alamat Korespondensi:
Program studi Keperawatan, Fakultas Kesehatan, Universitas MH.Thamrin
Jl.Raya Pondok Gede No.23-25 Kramat Jati, Jakarta Timur
Email : sayantiara@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap dan praktik
injeksi intravena
terhadap kejadian plebitis serta dampak yang diakibatkan oleh plebitis berupa penambahan
hari rawat yang
dilakukan di RSPI Sulianti Saroso. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional,
yang meneliti
pengetahuan perawat, sikap perawat dengan cara menilai hasil pengisian quesioner,
sementara praktik injeksi
intravena, dan plebitis dengan menggunakan lembar observasi. Penelitian ini melibatkan 62
responden perawat dan
42 pasien. Urutan analisis data meliputi univariat, bivariat dan multivariat. Analisis data
univariat dengan
menggunakan statistic deskriptif frekwensi, analisis data bivariat dengan menggunakan
pearson dan analisis data
multivariat dengan menggunakan path analisis dengan pengujian tiga jalur model. Model
pertama mencari
pengaruh tidak langsung dari variabel pengetahuan terhadap plebitis melalui variabel praktik
injeksi dan
menghasilkan pengaruh tidak langsung sebanyak 28%. Uji model kedua mencari pengaruh
pengetahuan terhadap
plebitis melalui variabel sikap dan praktik injeksi intravena dan didapatkan pengaruh tidak
langsung sebanyak
72,6%. Dan uji model ketiga mencari pengaruh langsung praktik injeksi intravena terhadap
kejadian plebitis dan
didapatkan hasil 21,8% pengaruh langsung
Kata kunci: Plebitis, Pengetahuan, Sikap, Injeksi
PENDAHULUAN
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat diselenggarakan upaya kesehatan yang
terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan
perorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) menyebutkan bahwa upaya
kesehatan termasuk upaya kesehatan di Rumah Sakit
bersifat menyeluruh, terpadu, bermutu merata,
terjangkau dan dapat diterima oleh masyarakat luas.
Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan rumah
sakit yang bermutu dan perlindungan yang layak, oleh
karena itu rumah sakit dalam memberikan pelayanan
wajib mematuhi standar profesi dan memperhatikan
hak pasien.
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan di rumah sakit disusun berbagai standar
pelayanan keperawatan sesuai dengan perkembangan
rumah sakit. Peraturan kesehatan dan keselamatan kerja
dibuat untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat
dan aman, sehingga petugas dapat bekerja dengan baik
dan tercapai tujuan yang diharapkan.Rumah sakit
merupakan institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna (promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitative) yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, Rumah
Sakit diwajibkan memberi pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu dan efektif sesuai dengan standar
pelayanan di rumah sakit.
Perawatan sebagai salah satu profesi di rumah
sakit yang cukup potensial dalam penyelenggaraan
upaya kesehatan, karena selain jumlahnya yang
dominan, juga pelayanannya menggunakan metoda
pemecahan masalah secara ilmiah melalui proses
keperawatan yang menjadi prinsip dasar dalam program
quality assurance. Dalam pelayanan kesehatan di
rumah sakit standar sangat membantu perawat untuk
mencapai asuhan yang berkualitas. Namun keberhasilan
dalam mengimplementasikan standar sangat tergantung
pada perawat itu sendiri. Keberhasilan rumah sakit
dalam penerapan standar operasional prosedur praktik
keperawatan harus didukung oleh adanya berbagai
sistem, fasilitas, sarana dan pendukung lainnya yang
ada di rumah sakit tersebut.mPemerintah terus
mengupayakan peningkatan pelayanan rumah sakit
sebagai bagian dari pelayanan kesehatan bagi
masyarakat, salah satu upaya itu adalah dengan
diterbitkannya Standar Pelayanan Rumah Sakit. Agar
penyelenggaraan pelayanan keperawatan dapat
mencapai tujuan, diperlukan suatu perangkat instruksi
atau langkah–langkah kegiatan yang dibakukan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu pasien, langkah-langkah
kegiatan tersebut adalah Standar Operasional Prosedur
(SOP). Tujuan umum standar operasional prosedur
adalah untuk mengarahkan kegiatan asuhan
Jurnal Ilmu Kesehatan, 7(2); September 2015
145
keperawatan untuk mencapai tujuan yang efisien dan
efektif sehingga konsisten dan aman dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan melalui pemenuhan
standar yang berlaku .
Semakin baik standar pelayanan yang
dilaksanakan di rumah sakit akan semakin kecil infeksi
nasokomial yang akan terjadi. Upaya pasien untuk
mendapatkan pelayanan yang baik di rumah sakit harus
didukung oleh petugas kesehatan yangmematuhi
standar profesi pelayanan, jika petugas tersebut perawat
maka harus mematuhi standar profesi pelayanan
keperawatan di rumah sakit khususnya mematuhi
standar operasional prosedur tindakan keperawatan
yang akan dilakukan kepada setiap pasien.
Banyak sekali standar operasional prosedur yang
dibuat salah satunya adalah standar operasional
prosedur injeksi, standar operasional injeksi dibuat
bertujuan untuk menghindarai terjadinya infeksi
nasocomial salah satunya kejadian plebitis. Plebitis
adalah infeksi yang terjadi pada pasien yang memakai
cateter vena perifer yang mengalami kelebihan cairan
lipid secara terus menerus salah satunya dari pemberian
injeksi5.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pasaribu
tahun 2006dijelaskan bahwa angka kejadian plebitis
masih sangat tinggi sekitar 52%. Dalam laporan
penelitian yang dilakukan oleh Idayanti tahun 2008 ada
51% kejadian plebitis di rumah sakit Arifin Achmad
Pekanbaru, dimana rata-rata kejadian plebitis terjadi
pada hari ke 3. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Darmawan pada tahun 2008 didapatkan hasil
mengenai kejadian plebitis berkisar antara 18 %-39%
dengan rincian sebagai berikut : 18 % pada pasien
bedah yang mendapatkan nutrisi parenteral, 35 % pada
pasien penyakit dalam, dan 39% pada psien pneumonia.
Menurut Darmawan faktor yang mempengaruhi
kejadian plebitis adalah : usia pasien yang lebih dari 60
tahun, penyakit penyerta seperti DM, lokasi kanula,
ukuran kanula yang besar dan teknik aseptik
Plebitis sering sekali tidak diperdulikan oleh
beberapa petugas kesehatan dan juga oleh pasien
karena dianggap tidak mengancam jiwa. Padahal
plebitis juga bisa berdampak terhadap beberapa
masalah, apalagi jika plebitis tersebut sampai pada
derajat yang paling tinggi yaitu derajat 5. Beberapa
masalah yang dapat dirasakan diantaranya adalah
perasaan tidak nyaman sehingga bisa menyebabkan
penambahan hari rawat dan kadang memerlukan
beberapa pemeriksaan yang dapat berdampak pada
penambahan biaya perawatan. Hal ini bisa semakin
memberatkan perekonomian masyarakat terlebih pada
tahun 2012 ini komoditas pangan mengalami kenaikan
yang cukup signfikan kenaikan harga BBM yang
berimbas pada seluruh harga komoditas lainya.
Keadaan ini sudah barang tentu membebani keadaan
ekonomi sebagian besar masyarakat apalagi jika harus
ditambah dengan hari perawatan di rumah sakit
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh langsung dan tidak langsung beserta
besaranya dari peraktik injeksi intravena yang
dipengaruhi pengetahuan dan sikap perawat terhadap
kejadian plebitis di Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti
Saroso (RSPISS) tahun 2012
METODE
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Pusat
Infeksi Sulianti Saroso. Obyek penelitian ini adalah
perawat yang melaksanakan injeksi intravena terhadap
pasien rawat inap yang telah diseleksi sesuai dengan
kriteria yang ditetapkan. Hal yang akan diteliti
mencakup pengetahuan perawat mengenai injeksi
intravena dan sikap perawat yang akan diukur
menggunakan kuesioner. Kemudian setelah pengukuran
pengetahuan dan sikap baru akan dinilai pelaksanaan
injeksi intravena dengan menggunakan lembar
observasi, kemudian terakhir akan di nilai kejadian
plebitis di pasien dengan menggunakan lembar
observasi, pada observasi plebitis data akan dinilai
berdasarkan derajat kejadian plebitis. Data diambil
secara langsung atau disebut dengan data primer
kepada 62 perawat ruang rawat inap.
Desain Penelitian
Pada penelitian ini data disajikan dalam bentuk
kuantitatif, dengan menggunakan metode deskriptif dan
analitik, yaitu untuk mengetahui gambaran masingmasing variabel dan mengidentifikasi
hubungan antara
variabel yang diteliti. Rancangan dalam penelitian ini
adalah cross sectionalyaitu pengambilan sampel dalam
satu waktu yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pengetahuan, sikap, dan praktik injeksi intravena
terhadap kejadian plebitis di Rumah Sakit Pusat Infeksi
Sulianti Saroso Tahun 2012.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian berada di Rumah Sakit Sulianti
Saroso di tiga ruangan rawat inap dewasa yaitu : Ruang
Dahlia, Ruang Cempaka dan Ruang Flamboyan.
Alasan di pilihnya Rumah Sakit Pusat Infeksi Sulianti
Saroso (RSPISS) karena rumah sakit tersebut
merupakan satu-satunya rumah sakit rujukan untuk
penatalaksanaan penyakit menular dan infeksi yang
memiliki misi untuk mengendalikan infeksi nasokomial
/ penatalaksanaan universal precaution. Adapun alasan
pemilihan ke tiga ruangan tersebut adalah karena ratarata pemberian obat pada pasien di
tempat ruangan
tersebut hampir seluruhnya dilakukan secara intravena
setiap harinya, selain itu ada pertimbangan medis
Jurnal Ilmu Kesehatan, 7(2); September 2015
146
mengenai kejadian plebitis yang memiliki resiko lebih
tinggi pada beberapa pasien seperi pasien dalam
kondisi penurunan imunitas. Penelitian ini dimulai
dengan melakukan penelusuran kepustakaan,
penyusunan proposal, seminar proposal, penelitian dan
analisis data serta penyusunan laporan akhir yang
membutuhkan waktu lebih kurang enam bulan.
Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian8.
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang
akan diteliti, dapat berupa orang, benda, gejala atau
wilayah yang ingin diketahui peneliti9. Populasi pada
penelitian ini adalah pasien yang dirawat di ruang rawat
inap Rumah Sakit Sulianti Saroso Jakarta beserta
dengan perawat yang bertugas di ruang rawat inap
Rumah Sakit Sulianti Saroso.
Sampel Penelitian
Sampel penelitian pada penelitian ini sebanyak 30
orang pasien.
Sedangkan sampel untuk perawat diambil dengan ratio
1 : 2 sehingga jika sampel pasien ada 30 maka sampel
untuk perawat adalah 60 orang .
Pengambil sampel dilakukan dengan beberapa tahap,
yaitu sebagai berikut :
1) Tahap pertama adalah mapping yaitu untuk
mengidentifikasi keberadaan populasi
2) Tahap kedua adalah memilih lokasi dengan
mempertimbangkan jumlah atau potensi responden
3) Tahap ketiga adalah menentukan jumlah sampel
Sampel Pasien
Kriteria inklusi:
1) Pasien menjalani rawat inap
2) Pasien terpasang intravena kanula
3) Pasien mendapatkan terapi obat injeksi intravena
Kriteria Ekslusi
Tidak bersedia jadi responden
Kriteria Non Ekslusi
Kriteria non eksklusi adalah karakteristik sampel yang
walaupun memenuhi kriteria tetapi tidak dapat
dimasukan atau tidak layak untuk diteliti karena
ditakutkan akan mempengaruhi hasil penelitian menjadi
bias. kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah
1) Pasien dicurigai/ didiagnosa mengalami HIV/AIDS
2) Pasien berusia anak-anak
3) Pasien mengalami diabetes melitus
4) Pasien yang dirawat oleh tim observer
Sampel Perawat
Kriteria Inklusi
1) Perawat yang bertugas di ruang rawat inap
2) Bersedia menjadi responden
Kriteria Ekslusi
Mengalami rotasi ruangan saat penelitian berlangsung
Kriteria Non Ekslusi
1) Termasuk tim observer
2) Cuti dalam periode pelaksanaan penelitian
Metode Pengumpulan Data
Data yang dipakai pada penelitian ini adalah data
primer. Pengumpulan data ini dilakukan secara
langsung di lokasi penelitian guna mendapatkan data
yang dibutuhkan dengan menggunakan lembar
kuesioner dan instrumen observasi. Instrumen observasi
digunakan untuk mengumpulkan data dan menilai
pelaksanaan kegiatan keperawatan yang sedang
dilakukan oleh perawat.
Variabel dan Defenisi Operasional
1) Pengetahuan perawat yang terdiri dari:
pemahaman perawat mengenai infeksi nasokomial,
plebitis, dan cara pelaksanaan injeksi intravena
2) Sikap perawat yaitu kesiapan perawat dalam
merespon tindakan
3) Praktik adalah langkah-langkah standar yang telah
disusun dalam pelaksanaan injeksi intravena terdiri
dari persiapan dan pelaksanaan
4) Plebitis adalah suatu tanda peradangan pada
pembuluh darah vena
5) Karakteristik perawat adalah faktor yang
mempengaruhi prilaku individu
Analisis
Analisis Univariat
Analisis yang bertujuan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan dari masing-masing variable yang
akan diteliti, fungsinya untuk menyederhanakan atau
meringkas kumpulan data hasil pengukuran menjadi
informasi yang berguna sesuai dengan tujuan yang akan
dicapai. Analisis univariat adalah cara menganalisis
data yang menghasilkan distribusi dan presentase dari
tiap variabel . Data yang telah terkumpul diolah dan
dianalisis masing-masing variable. meliputi :
1) Pengetahuan perawat
2) Sikap perawat
3) Praktik injeksi intravena
4) Kejadian phlebitis
Analisis Bivariat
Untuk melihat hubungan antara masing-masing
variable independent dan variable dependent dengan
Uji bivariat korelasi. Adapun data yang akan di analisis
secara bivariat adalah :
1) Pengaruh pengetahuan perawat dengan sikap
perawat
2) Pengaruh pengetahuan perawat terhadap praktik
injeksi intravena
3) Pengaruh sikap perawat dengan praktik injeksi
intravena
4) Pengaruh praktik injeksi intravena dengan
kejadian plebitis
Jurnal Ilmu Kesehatan, 7(2); September 2015
147
Korelasi pada benelitian ini dibagi menjadi:
R= 0.00 sampai 0.25 artinya tidak ada hubungan /
hubungan lemah
R= 0.26 sampai 0.50 artinya mempunyai hubungan
sedang
R= 0.51 sampai 0.75 artinya mempunyai hubungan
kuat
R= 0.76 sampai 1.00 artinya hubungan sangat kuat
Analisis Multivariat
Analisis multivariat adalah analisis untuk melihat
hubungan antara variable-variabel yang berpeluang
untuk terjadinya plebitis. Variabel yang akan dilakukan
path analisis terlebih dahulu harus mengikuti uji
normalitas secara multivariat, uji homogenitas, uji
signifikansi, uji linearitas,dan uji otokorelasi. Apabila
dari hasil beberapa uji tersebut memenuhi persyaratan
makan akan dilanjutkan dengan analisis path analisis
Path analisis adalah suatu tekhnik analisis yang
akan mengukur atau menguji besarnya sumbangan
(kontribusi) dimana kontribusi tersebut ditunjukan oleh
koefisien jalur pada setiap diagram, dan analisis ini
menggunakan bantuan program spss dengan memakai
analisis korelasi dan regresi yang merupakan dasar dari
perhitungan koefisien jalur.
HASIL
Karakteristik Responden Perawat
1) Umur Perawat
Hasil analisis umur perawat yang diambil sebagai
sampel penelitian sebanyak 62 orang perawat. Dari
analisis yang dibuat tampak bahwa sabagian besar
berada pada rentang umur diatas 25 tahun
sebanyak 51 orang atau sekitar 82.3 %, semetara
usia kurang dari 25 tahun sebanyak 11 orang atau
sekitar 17.7%.
2) Jenis Kelamin
Hasil analisis univariat untuk jenis kelamin
perawat yang paling banyak adalah perawat yang
berjenis kelamin perempuan yaitu sekitar 41 orang
atau 66,1% sedangkan sisanya adalah perawat
dengan jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 21
orang atau sekitar 33,9 %
3) Lama Kerja
Dari hasil analisis data didapatkan hasil bahwa
lama kerja perawat di Sulianti Saroso dimulai
dalam rentang 1 tahun sampai 15 tahun. mayoritas
lama kerja adalah kurang dari 5 tahun dengan
jumlah 53 orang atau sekitar 85.5%, sedangkan
sisanya bekerja lebih dari 5 tahun dengan jumlah 9
orang.
Status
4)
Kepegawaian
Dari hasil analisis didapatkan data
mengenai status
seluruh
bahwa perawat yang
kepegawaian
ruang Cempaka dan
Dahlia,
bekerjaa di
Flamboyan seluruhnya merupakan Pegawai Negeri
Sipil.
5) Golongan/ Pangkat
Hasilnya menjukukan bahwa dari seluruh
responden yang seluruhnya merupakan pegawai
negeri sipil didapatkan hasil 93,5 % pada golongan
II sampai , dan sisanya sejumlah 6,5 % yang
berada pada golongan III
6) Pendidikan
Hasil analisis univariat untuk pendidikan perawat
yang paling banyak adalah perawat yang berlatar
belakang pendidikan DIII yaitu sekitar 59 orang
atau sekitar 95.2% sedangkan sisanya adalah
perawat dengan pendidikan S1 keperawatan
dengan jumlah 3 orang atau hanya sekitar 4.8%
Analisis Univariat
Analisis univariat ini dilakukan untuk
mendapatkan gambaran disribusi menurut berbagai
karakteristik variabel yang diteliti, baik variabel
independent maupun variabel dependent. Data yang
akan yang dianalisis menurut univariat adalah:
pengetahuan perawat,sikap perawat, praktik
pelaksanaan injeksi intravena, dan derajat kejadian
plebitis. Adapun hasil analisis univariat adalah :
Pengetahuan perawat yang dikategorikan
menjadi 3 tingkatan berdasarkan jumlah pertanyaan
yang benar dijawab. Pengetahuan kurang apabila
perawat menjawab pertanyaan benar sebanyak 1
sampai 7 pertanyaan, didapatkan hasil yaitu 13 orang
responden atau 21% memiliki pengetahuan yang
kurang baik. Sementara perawat yang mempunyai nilai
pengetahuan sedang yang mampu menjawab 8 sampai
15 pertanyaan dengan benar sebanyak 33 orang atau
sekitar 53.2 %. Sedangkan perawat yang memiliki
pengetahuan baik adalah perawat yang mampu
menjawab 15 sampai 20 pertanyaan dengan benar dari
total 20 pertanyaan, hasilnya adalah 16 orang atau
sekitar 25.8 % memiliki pengetahuan baik.
Dari variabel sikap didapatkan hasil bahwa 6
orang perawat atau sekitar 9.7% memiliki sikap yang
tidak baik, 25 orang perawat memiliki sikap sedang
atau sekitar 40..3 % dan perawat yang memiliki sikap
baik sebanyak 31 orang atau sekitar 50%.
Pada variabel praktik perawat dapat disimpulkan
bahwa ada 14 orang perawat yang memiliki praktik
kurang baik atau sekitar 22.6%, sementara perawat
yang memiliki praktek sedang sebanyak 17 orang atau
sekitar 27.4 %, dan yang memiliki praktik baik
sebanyak 31 orang atau sekitar 50 %.
Pada variabel plebitis yang dibagi 6 tingkatan,
hasilnya adalah : yang tidak mengalami plebitis
sebanyak 5 orang, yang mengalami plebitis derajat 1
sebanyak 16 orang atau sekitar 25.8%, yang mengalami
plebitis derajat 2 sebanyak 13 orang atau sekitar 21 %,
yang mengalami plebitis derajat 3 sebanyak 11 orang
atau 17.7%, yang mengalami plebitis derajat 4
sebanyak 6 orang dan yang mengalami plebitis derajat
tertinggi atau derajat 5 sebanyak 11 orang atau sekitar
17.7%.
Jurnal Ilmu Kesehatan, 7(2); September 2015
148
Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan antara pengetahuan dengan sikap
perawat, mengetahui hubungan sikap dengan praktik
injeksi intravena, mengetahui hubungan praktik injeksi
intravena dengan kejadian plebitis dan mengetahui
hubungan kejadian plebitis dengan dampakplebitis
berupa penambahan hari rawat. Analisis dilakukan
dengan menggunakan uji statistik Bivariat Pearson,
adapun hasil penelitianya adalah:
1. Hasil Bivariat antara pengetahuan perawat dengan
sikap didapatkan hasi nilai R 0.605 dengan tingkat
signifikan 0.00 < 0.05 artinya adalah ada
hubungan korelasi positif antara pengetahuan
perawat dengan sikap perawat dimana dan
korelasinya kuat dengan kata lain jika pengetajuan
perawat baik maka akan mendapatkan sikap yang
baik.
2. Pengaruh pengetahuan perawat terhadap praktek
injeksi intravena yang dilakukan didapatkan hasil
ada hubungan yang signifikan. Dari hasil uji
statistik diperoleh nilai korelasi antara
pengetahuan perawat dengan pelaksanaan sebesar
0.491 dengan tingkat signifikan 0.000 . Dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa ada korelasi
yang sifatnya sedang, sifat korelasi positif
sehingga dapat diartikan bahwa semakin baik
pengetahuan perawat mengenai injeksi intravena
dan plebitis maka akan semakin baik dalam
melaksanakan praktek injeksi intravena
3. Korelasi antara sikap perawat denganla praktek
injeksi intravena adalah korelasi positif yang
bersifat sedang dengan nilai korelasi 0.491 dengan
signifikan 0.000 < 0.05 sehingga dapat
disimpulkan bahwa perawat yang memiliki sikap
yang baik dalam hal pelaksanaan injeksi intravena
akan memiliki praktin injeksi yang baik pula
4. Korelasi praktik injeksi yang dilakukan perawat
terhadap kejadian plebitis. Dari hasil uji statistik
didapatkan nilai korelai negatif sebesar -0.467 dan
nilai signifikan 0.000, sehingga dapat disimpulkan
bahwa adanya korelasi yang sedang dan bersifat
negatif antara praktik injeksi intravena dengan
kejadian plebitis . Artinya adalah semakin tinggi
nilai praktik atau semakin baik pelaksanaan injeksi
intravena yang dilakukan perawat kepada pasien
maka kemungkinan terjadinya plebitis akan
semakin kecil.
Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan model hubungan yang sahih
mengenai pengaruh yang paling dominan terhadap
kejadian plebitis. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan uji path analisis atau sering disebut
dengan uji jalur. Sebelum melakukan uji jalur terlebih
dahulu akan dilakukan uji normalitas, uji signifikansi,
uji linearitas, uji otokorelasi dan uji homogenitas,
setelah didapatkan hasil uji baru variabel akan
dilakukan analisis
1. Uji Normalitas
Uji normalitas pada model regresi digunakan
untuk menguji apakah populasi data berdistribusi
normal atau tidak Model regresi yang baik adalah
yang memiliki nilai residual yang terdistribusi
secara normal. Pada uji normalitas ini data yang
diikut sertakan harus memiliki nilai sig > 0.05 untuk
bisa dianalisi memakai analisi jalur. Uji ini biasanya
digunakan untuk mengukur data berskala ordinal,
interval, ataupun rasio. Pada penelitian ini data yang
dipakai adalah data interval sehingga menjadi jika
analisis menggunakan metode parametrik, maka
persyaratan normalitas harus terpenuhi yaitu data
berasal dari distribusi yang normal. Setelah
dianalisis maka data yang dihasilkan adalah :.
variabel pengetahuan memiliki nilai sig 0.231 > dari
0.05, variabel sikap memiliki nilai sig 0.141 > 0.05,
variabel praktek memiliki sig 0.082 > 0.05 dan
variabel plebitis 0.062 > 0.05. Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa semua variabel dalam
penelitian ini berdistribusi normal secara multivariat
2. Uji Signifikansi
Uji ini dilakukan untuk melihat signifikansi
dari masing – masing variabel pada penelitian ini
yaitu variabel pengetahuan, sikap, praktik injeksi
intravena dan plebitis, hasil dari analisisnya adalah
sebagai berikut:bahwa variabel dalam penelitian
memenuhi syarat uji signifikansi dengan tingkat
signifikan 0.000
3. Uji Linearitas
Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui
apakah dua variabel mempunyai hubungan yang
linear atau tidak secara signifikan. Uji ini digunakan
sebagai prasyarat dalam path analisis, adapun hasil
analisis linearitas adalah sebagai berikut :bahwa
variabel pengetahuan perawat, variabel sikap
perawat, variabel praktik injeksi intravena dan
variabel plebitis dalam penelitian ini memenuhi
syarat uji linearitas yaitu 0.000 < 0.05
4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui
ada atau tidaknya penyimpangan asumsi klasik
autokorelasi yaitu korelasi yang terjadi antara
residual pada satu pengamatan dengan pengamatan
lain pada model regresi. Metode pengujian yang
sering digunakan adalah dengan uji Durbin-Watson.
Dari hasil analisis data didapatkan nilai otokorelasi
sebesar 1.338, pada uji otokorelasi ini dikatakan uji
terpenuhi apabila nilai yang didapat berkisar -2
ampai +2. Dari penjebaran tersebut dapat
disimpulkan bahwa variabel pada penelitian ini
memenuhi syarat uji otokorelasi karena nilai yang
dihasilkan adalah 1.338
5. Uji Homogenitas
Pengujian homogenitas berfungsi untuk
mengetahui varians data bersifat homogen atau
heterogen berdasarkan faktor tertentu. Uji ini juga
Jurnal Ilmu Kesehatan, 7(2); September 2015
149
diperlukan pada beberapa analisis statistik
parametrik. Dari hasil analisis disimpulkan bahwa
data pada semua variabel pada penelitian ini
berdistribusi diantara nilai 0 (nol) sehingga dapat
disimpulkan bahwa data berdistribusi normal
Uji Regresi Model I
Pada uji regresi jalur I ini yang akan dinilai adalah
pengetahuan perawat dan sikap perawat, adapun
hasilnya adalah :
Tabel 1
Pengaruh Pengetahuan perawat Terhadap Sikap Perawat Dalam Melaksanakan Injeksi
Intravena
Unstandardized Standardized
Model t Sig
Cosfficient Cosfficient
B Std Error Beta
Constant 43,191 4,319 10,00 ,000
Pengetahua
2,150 0,365 0,605 5,891 ,000
n
Dari tabel 1 diatas dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan perawat memiliki pengaruh terhadap
sikap yang dimiliki perawat dengan nilai 0.605
Uji Regresi Model 2
Pada uji regresi jalur 2 ini akan menilai 3 variabel yang
terdiri dari : pengetahuan perawat dan sikap perawat
terhadap praktik perawat, apun hasilnya adalah :
Tabel 2
Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Perawat Terhadap Praktik Injeksi Intravena
Unstandardized Standardized
Model t Sig
Cosfficient Cosfficient
B Std Error Beta
Constant -1,410 3,866 -,365 ,717
Pengetahuan ,562 ,251 ,306 2,238 ,029
Sikap ,158 ,071 ,305 2,231 ,029
Dari tabel 2 diatas dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan perawat memiliki pengaruh sebanyak
0.306 terhadap praktek injeksi intravena yang
dilakukan perawat, sedangkan sikap memiliki nilai
0.305 terhadap praktik injeksi intravena yang dilakukan
perawat.
Uji Regresi Model 3
Pada uji regresi jalur 3 ini yang akan dinilai adalah
praktik injeksi yang dilakukan perawat terhadap
kejadian plebitis, adapun hasilnya adalah :
Tabel 3
Pengaruh Praktik Injeksi Intravena Terhadap Kejadian Plebitis
Unstandardized Standardized
Model t Sig
Cosfficient Cosfficient
B Std Error Beta
Constant 4,521 ,530 8,530 ,000
Praktik -,130 ,032 -,467 -4,089 ,000
Dari tabel 3 diatas dapat disimpulkan bahwa praktik
injeksi intravena yang dilakukan perawat memiliki
pengaruh terhadap kejadian plebitis dengan nilai -0.467
Dari hasil uji model yang sudah dilakukan diatas maka
akan dicari pengaruh langsung dan tidak langsung
terhadap kejadian plebitis, adapun persamaan yang bisa
dibuat adalah :
1. Pengaruh pengetahuan perawat mengenai injeksi
intravena terhadap kejadian plebitis melalui
praktik injeksi intravena melalui sikap :
Y1 = (r y₁ x ƿy₁) + (rx X ƿx ) 100%
= (0.491 x 0.306) + (-0.46 7 x -0.467) 100%
= 0.152 + 0.128
= 0.28 atau sekitar 28 %
2. Pengaruh pengetahuan terhadap plebitis melalui
variabe
l sik da variab pranti inje
intrave ap n el k ksi
na :
Y2= (r y X ƿy2) + ( r y₁ x ƿy₁) + r y₁
x ƿy₁) + (r rx X ƿx ) 100%
= (0.605 x 0.605) + (0.491 x 0.306)
+ (-0.46 7 x -0.467) 100%
= 0.366 + 0.152 + 0.218
= 0.726 atau 72,6%
3.
Pengaruh praktik injeksi intravena terhadap
terjadinya
plebitis
= (rx X ƿx )
Y3
100%
= (-0.46 7 x (-0.470) 100%
Jurnal Ilmu Kesehatan, 7(2); September 2015
150
= 0.218 atau 21,8 %
Dari persamaan matematis diatas dapat disimpulkan
bahwa:
1. Ada pengaruh tidak langsung dari pengetahuan
perawat mengenai injeksi intravena terhadap
kejadian plebitis melalui praktik injeksi intravena
sebesar 0.28 atau sekitar 28
2. Ada pengaruh tidak langsung dari variabel
pengetahuan terhadap plebitis melalui variabel
sikap dan variabel prantik injeksi intravena sebesar
0.726 atau sekitar 72,6 %
3. Ada pengaruh langsung praktik injeksi intravena
terhadap terjadinya plebitis sebesar 0.218 atau
sekitar 21,8%
DISKUSI
Kejadian Plebitis
Plebitis merupakan suatu peradangan pada tunika
intima pembuluh darah vena biasanya merupakan
komplikasi karena pemberian cairan melalui pembuluh
darah vena. Insiden plebitis akan meningkat seiring
dengan lamanya pembuluh darah vena dipakai sebagai
akses pemberian cairan dan obat-obatan kedalam tubuh.
Kondisi pemberian cairan dan obat-obatan kedalam
tubuh telah lama disinyalir sebagai tindakan yang
paling sering menyebabkan plebitis. Oleh sebab itu
perlu adanya pembuktian sehingga diperoleh data yang
akurat dan efektif untuk melakukan pencegahan
terhadap plebitis. Meskipun belum ada yang
melaporkan tentang dampak yang diakibatkan oleh
plebitis namun tidak menutup kemungkinan plebitis
tersebut bisa menyebabkan infeksi sistemik karena
plebitis sendiri merupakan serangan inflamai pada
pembuluh darah, apabila plebitis ini merupakan jenis
plebitis bakteri dan bakteri kemudian mengikuti
peredaran darah. Komplikasi plebitis yang sangat
berbahaya adalah dapat menyebabkan trombus, yang
merupakan gumpalan yang dapat menyumbat aliran
darah jika thrombus terlepas kemudian masuk dalam
peredaran darah dan masuk kejantung maka dapat
menimbulkan gumpalan darah yang bisa menyumbat
atrioventrikular secara mendadak dan menimbulkan
kematian .
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di
RSPISS pada perawat yang melakukan injeksi
intravena pada pasien didapatkan hasil bahwa 5
perawat atau 8.1% perawat tidak berkontribusi dalam
kejadian plebitis sementara 57 perawat lainya 91.9 %
berkontribui dalam kejadian plebitis dengan berbagai
derajat. Merujuk pada tingginya angka kejadian
plebitis tersebut dan bahayanya kejadian plebitis, perlu
adanya kajian-kajian atau penelitian mengenai
penyebab kejadian plebitis sehingga bisa disusun
kebijakan guna membatasi angka kejadian plebitis
tersebut khususnya yang disebabkan oleh prilaku
tenaga kesehatan. Ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi prilaku seseorang termasuk tenaga
kesehatan, faktot tersebut yang biasa kita sebut dengan
karakteristik, adapun karakteristik tersebut adalah :
pendidikan, umur, lama kerja, lingkungan,
jabatan/banyaknya tanggung jawab, jenis kelamin dan
stautus perkawinan.
Pengetahuan Perawat
Pengetahuan adalah informasi yang dimiliki
seseorang sebagai hasil proses mengindera suatu objek
tertentu dengan cara mengenal objek tersebut.
Pengetahuan merupakan salah satu bentuk operasional
dari perilaku manusia yang dapat mempengaruhi sikap
dan prilaku . Bila dilihat dari hasil penelitian yang
mempunyai tingkat pengetahuan kurang baik sejumlah
13 orang atau 21 %, yang mempunyai pengetahuan
sedang 33 orang atau sekitar 53.2 % dan yang memiliki
pengetahuan baik sekitar 25.8% atau 16 orang. Jika
dilihat dari angka tersebut dapat disimpulkan bahwa
masih banyak perawat yang belum memiliki
pengetahuan baik, padahal pengetahuan yang akan
berkontribusi terhadap tingginya angka kejadian
plebitis. Pengetahuan seseorang merupakan faktor
predisposisi dalam melakukan tindakan yang bisa
menjadi penyebab infeksi nasokomila. Tingkat
pendidikan mempengaruhi seseorang dalam
pengembangan nalar dan analisis sehingga bisa
mengantisipasi masalah yang akan timbul
Sikap Perawat
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa sikap
perawat yang kurang baik sejumlah 6 orang atau sekitar
9.7 % sikap perawat yang sedang sebanyak 40.3% atau
sejumlah 25 orang dan sikap yang baik sejumlah 50 %
atau sejumlah 31 responden. Melihat angka tersebut
walaupun nilai sikap yang baik lebih tinggi dari sikap
perawat yang tidak baik, namun jika melihat dampak
yang dapat ditimbulkan dari sikap yang kurang baik
tersebut akan sangat merugikan pasien. Terlebih jika
melihat angka kejadian plebitis yang masih tinggi.
Sikap merupakan suatu pembelajaran yang
dilakukan untuk merespon sebuah objek dengan baik
maupun tidak baik secara konsisten sehingga sikap
menentukan keberhasilan seseorang dalam pekerjaan.
Namun menurut Broto tahun 2009 yang menyatakan
bahwa ada beberapa tingkatan dalam sikap dan sikap
tidak selalu menggambarkan kesiapan seseorang dalam
bertindak, dan tidak selalu sikap yang baik
menggambarkan tindakan yang baik karena sikap dapat
berubah sesuai dengan situasi.
Praktik Perawat
Dalam hasil penelitian disebutkan bahwa perawat
yang melakukan praktik injeksi intravena baik
sebanyak 50 %, perawat yang melakukan praktik
dengan nilai sedang sejumlah 27.4 % dan perawat yang
melakukan praktik injeksi kurang baik sekitar 22.6 %.
Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
praktik adalah melaksanakan sesuatu secara nyata
seperti apa yg disebutkan dalam teori.
Jurnal Ilmu Kesehatan, 7(2); September 2015
151
Praktik adalah suatu tindakan nyata dalam
menjalankan perkerjaan profesinya yang disesuaikan
dengan teori ataupun SOP. Adapun penyusunan SOP
ditujukan agar dapat menjaga konsistensi tingkat
penampilan kerja atau kinerja sehingga dapat
meminimalkan kegagalan pelaksanaan kegiatan dan
sekaligus parameter untuk menilai mutu kinerja dan
pelayanan.
Sebuah teori yang disampikan oleh menyatakan
bahwa untuk mencegah infeksi nasokomial perlu
adanya standar yang harus dipatuhi karena dengan
menjalankan proses injeksi sesuai dengan standar dapat
menekan angka kejadian plebitis. Dari penjabaran
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa tingginya
angka kejadian plebitis dapat dikarenakan pelaksanaan
praktik injeksi intravena yang dilakukan perawat
dengan cara kurang baik.
Gambaran kejadian plebitis
Telah dikemukakan bahwa kejadian plebitis
sekitar 57 orang atau sekitar 91.9% dengan derajat
anatar 1 samapi derajat 5. Plebitis dapat disebabkan
oleh pemberian terapi intravena terutama obat atau
cairan yang sifatnya mengiritasi pembuluh darah vena.
Hubungan pengetahuan perawat mengenai injeksi
intravena dan plebitis dengan sikap perawat.
Dari hasil analisis penelitian didapatkan hasil
adanya hubungan korelasi positif yang bersifat kuat
antara pengetahuan perawat dengan sikap yang dimiliki
oleh perawat dengan angka korelasi 0.605 . Dari hasil
tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh
yang signifikan antara pengetahuan perawat mengenai
injeksi intravena dengan sikap yang dilakukan perawat,
artinya semakin tinggi pengetahuan perawat akan
menghasilkan sikap yang semakin baik pula, sikap
diperlukan untuk menghindari kenyataan yang tidak
menyenagkan dan merupakan penyiapan diri untuk
menyesuaikan diri untuk memberikan reaksi yang dapat
meningkatkan penghargaan diri dan dapat
menyederhanakan input yang sangat rumit.
Hubungan Pengetahuan Perawat Mengenai Injeksi
Intravena Dan Plebitis Dengan Praktek Injeksi
Intravena
Dari hasil analisis penelitian didapatkan hasil
adanya hubungan korelasi positif yang bersifat sedang
antara pengetahuan perawat dengan praktik yang
dimiliki oleh perawat dengan angka korelasi 0.491 .
Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya
pengaruh yang signifikan antara pengetahuan dengan
praktik injeksi yang dilakukan perawat, artinya semakin
tinggi pengetahuan perawat akan menghasilkan
tindakan atau praktik injeksi yang semakin baik pula.
Pengetahuan adalah salah satu bentuk
operasional dari prilaku seseorang yang mempengaruhi
sikap14. Dari makna tersebut jelas adanya hubungan
antara pengetahuan dan sikap perawat karena sikap
merupakan salah satu bentu dalam bertindak dan sikap
terbentuk karena adanya pengetahuan.
Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah
pilar dalam kehidupan baik untuk bersikap dan
bertindak, sehingga apabila pengetahuan baik atau
semakin tinggi pengetahuan maka akan memiliki sikap
dan prilaku yang baik pula. Terlebih dalam penelitian
ini semua responden memiliki tingkat pendidikan
akademik bahkan beberapa orang sudah sarjana penuh.
Hubungan Sikap Perawat Dengan Praktik Injeksi
Intravena
Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa
adanya korelasi yang positif dengan sifat korelasi yang
sedang antara sikap perawat dengan praktik injeksi
intravena dengan nilai korelasi 0.491
Sikap merupakan kesiapan untuk beraksi
terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai
penghayatan terhadap obyek dan merupakan bentuk
kesiapan dalam bertindak. Dari penjelasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa sikap mempunyai hubungan
dengan praktik, artinya semakin tinggi atau semakin
baik sikap seseorang akan tergambar dalam prilaku
yang baik pula.
Hubungan praktik injeksi intravena dengan
kejadian phlebitis
Faktor yang bisa menyebabkan plebitis adalah
pemberian terapi obat atau cairan yang diberikan secara
intravena . Plebitis dibagi atas plebitis kimia, plebiti
mekanis dan plebitis bakterial. Plebitis kimia banyak
disebabkan oleh PH cairan yang cenderung basa atau
asam, kecepatan pemberian larutan, dan partikel obat.
Sedangkan plebitis mekanis lebih dikarenakan
penempatan kanula yang biasanya didaerah lekukan
dan ukuran kanula. Sedangkan plebitis bakterial adalah
plebitis karena adanya kolonisasi bakteri salah satu
penyebab kolonisasi adalah kanula yang dipasang
terlalu lama, tekhnik pemasangan kanula yang buruk,
tekhnik pencucian tangan yang buruk, tekhnik aseptik
yang tidak baik, tekhnik pemberian cairan yang tidak
benar.
Dari penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa
praktik mempunyai hubungan yang signifikan dengan
kejadian plebitis. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang menyatakan bahwa ada hubungan korelasi negatif
yang bersifat sedang antara praktik injeksi intravena
dengan kejadian plebitis dengan nilai korelasi -0.467
didapatkan nilai signifikan 0.00. artinya bahwa adanya
pengaruh yang signifikan antara sikap praktik injeksi
yang dilakukan perawat dengan kejadian plebitis,
sehingga semakin baik praktik injeksi yang dilakukan
perawat akan memperkecil munculnya kejadian
plebitisnilai. Hal ini bisa disebabkan karena praktik
injeksi mempunyai kontak langsung dengan pasien
terutama pada port of entry yaitu pada lokasi injeksi,
sehingga jika praktik injeksi tidak dilakukan dengan
baik akan berpengaruh langsung pada plebitis.
Jurnal Ilmu Kesehatan, 7(2); September 2015
152
Uji hipotesa
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengetahuan
memiliki pengaruh tidak langsung terhadap terjadinya
plebitis melalui praktek injeksi intraavena sebesar 0.28
atau sekitar 28 %. Artinya pengetahuan hanya memiliki
pengaruh tidak langsung dengan plebitis melalui
praktek sebanyak 28% saja adapun sisanya
kemungkinan dari variabel lain dalam penelitian ini
ataupun variabel yang belum diteliti yang tidak bisa
dijelaskan pada penelitian ini
Pengetahuan memiliki pengaruh langsung pada
sikap dan praktek injeksi terhadap kejadian plebitis
sebesar 0.726 atau sekitar 72,6%, Sehingga dapat
disimpulkan bahwa dari jalur ini memiliki pengaruh
tidak langsung sebesar 72,6% adapun sisanya mungkin
dari variabel variabel lain yang dapat dilakukan
penelitian selanjutnya.
Sementara praktek injeksi intravena memiliki
pengaruh langsung terhadap kejadian plebitis sebanyak
0.218 atau sekitar 21,8% saja, adapun sisanya dapat
muncul dari variabel lain yang tidak diteliti.
Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa
plebitis dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain adalah :
1. Faktor kimia
Faktor kimia terdiri dari : jenis obat, kelarutan obat,
partikel obat, kecepatan pemberian
2. Faktor mekanis
Faktor mekanik terdiri dari : bahan katetervena,
ukuran kateter vena, lokasi penusukan, dan lama
kanulasi
3. Faktor infeksi
Faktor infeksi terdiri dari : tindakan aseptik
terutama yang menyangkut dengan pembuluh darah
dan faktor SOP terdiri dari persiapan alat dan
tahapan dalam melakukan injeksi
4. Faktor pasien
Faktor pasien terdiri dari usia pasien, kondisi dasar
pasien yang terdiri dari jenis penyakit yang diderita
oleh pasien dan jenis kelamin.
Infeksi nasokomial yang menyebutkan bahwa
kejadian infeksi bisa melalui port of entry dalam hal ini
praktek injeksi intravena sebagai media untuk
masuknya bakteri kedalam tubuh. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi terjadinya infeksi nasokomial
salah satunya plebitis adalah pengetahuan petugas
kesehatan karena pengetahuan merupakan domain yang
sangat penting untuk membentuk prilaku petugas dalam
hal ini prilaku dalam melakukan injeksi intravena.
Sementara teori lain menyebutkan bahwa sikap adalah
suatu pembelajaran yang dilakukan untuk merespon
sebuah tindakan yang akhirnya akan berintegrasi
dengan pola atau kebiasaan, dalam penelitian pola yang
terintegrasi tersebut merupakan tindakan dalam
melakukan injeki intravena.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis diatas makan penulis dapat
menyimpulkan bahwa kejadian plebitis dipengaruhi
langsung oleh praktek injeksi dan dipengaruhi tidak
langsung oleh pengetahuan dan sikap melalui tindakan
injeksi intravena yang dilakukan oleh perawat, adapun
rincianya sebagai berikut:
1 Pengaruh langsung pengetahuan perawat mengenai
injeksi intravena terhadap kejadian plebitis melalui
praktik injeksi intravena melalui sikap : 0.28 atau
sekitar 28 % adapun pengaruh lainya bisa berasal
dari variabel lain yang tidak diteliti pada penelitian
ini
2 Pengaruh langsung pengetahuan terhadap plebitis
melalui variabel sikap dan variabel praktik injeksi
intravena : 0.726 atau 72,6%
3 Sikap terhadap praktek injeksi Pengaruh praktik
injeksi intravena terhadap terjadinya plebitis 0.218
atau 21,8 %. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
dengan praktik yang baik akan berpengaruh
terhadap penurunan angka kejadian plebitis
sebanyak 21,8 %
Berdasarkan temuan diatas dapat disimpulkan
bahwa hanya sekitar 0,25% atau seperempat kejadian
plebitis yang diakibatkan oleh tindakan injeksi
intravena, adapun penyebab lainnya masih belum
diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian lagi
dikemudian hari.
REKOMENDASI
1. Meningkatkan kemampuan praktik injeksi intravena
yang baik
2. Perlu adanya pelatiah-pelatihan atau penyegaran
mengenai SOP beberapa tindakan sehingga SOP
yang sudah dibuat kemudian kegiatan tersebut
dibuat jadwal dan dilakukan secara berkala sehingga
SOP dapat dilaksanakan dengan benar
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ada
beberapa hal yang perlu direkomendasikan yaitu:
a. Penelitian yang lebih luas perlu dilakukan terkait
komunikasi terapeutik
b. Penelitian selanjutnya sebaiknya perlu
memperhatikan keseimbangan proporsi
demografi responden.
c. Penelitian selanjutnya diharapkan melakukan uji
coba validitas dan reabilitas sesuai dengan jumlah
ideal uji coba responden
d. Penelitian selanjutnya sebaiknya lebih banyak
membaca berbagai literatur tentang komunikasi
terapeutik terutama pada pasien dengan gangguan
jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
DepKes , 2014. Sistem Kesehatan Nasional,
DepKes, Jakarta.
Jurnal Ilmu Kesehatan, 7(2); September 2015
153
DepKes RI, 2011, Pedoman Bimbingan Teknis
Penyelenggaraan Pelayanan Keperawatan
Dirumah Sakit Khusus, Depkes, Jakarta
DepKes RI, 2006, Peningkatan Manajemen
Kinerja Klinik (PMKK) Perawat dan Bidan,
Depkes, Jakarta
Nursalam, 2007, Penerapan Meodologi Penelitian
Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, tesis dan
Instrumen Penelitian Keperawatan, Cetakan
ke-1 Salemba Medika, Jakarta
Perry dan Potter. 2009, Buku Ajar Fundamental
Keperawatan: Konsep, Proses danpraktik,
vol 1, EGC, Jakarta.
Suardi Rudi, 2005, Sistem Manajemen
Keselamatan & Kesehatan Kerja Panduan
Penerapan Berdasarkan OHSAS 18001 &
Permenaker 05/2006
Wibowo,2010, Manajemen Kinerja Edisi
Ketiga,Jakarta, Rajawali Pers
Arikunto, S, 2003, Menejemen Penelitian, Edisi
Revisi , Rineka Jakarta.
Aziz Alimul Hidayat, 2004, Pengantar Konsep
Dasar Keperawatan, Salemba Medika,
Jakart
a
Sylvia P, 1995, Buku Patofisiologi Keperawatan,
EGC : Jakarta
Baticola,2002, Angka Kejadian Plebitis dalam
dijibril.blogspot.com/2010/06/plebitis,
Diakses tanggal 25 Desember 2012 jam
20.00
Robbin, Stephen, Alih bahasa : Diana Angela,
2008, Prilaku Organisasi< Cetakan ke 12 :
Salemba Empat : Jakarta
Notoatmodjo, Soekidjo, 2003, Pendidikan dan
prilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta
Azwar Saifuddin, 2003. Sikap Manusia Teori dan
Pengukurannya, Edisi ke-2, Pustaka pelajar,
Yogyakarta.
DepKes , 2005, Instrumen Evaluasi Penerapan
Standar Asuhan Keperawatan Di Rumah
Sakit. Jakarta.
Darmawan I, 2008, Flebitis apa penyebabnya dan
bagaimana cara mengatasinya, Medical
Director : Jakarta
Notoatmodjo, Soekidjo, 1996, , Ilmu Kesehatan
Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar Penerbit
Rineka Cipta : Jakarta
Handayani, Eka Sila (2009) mengenaiPengaruh Lama
Bekerja Dan Tingkat Pendidikan Terhadap

Mahasisawa Mengetahui
Akademik Pembimbing
MEGA UTAMI Yunita Wulandari S.Kep.,Na.,M.Kep
(………………….………) (………………….…....)

Anda mungkin juga menyukai