Anda di halaman 1dari 10

"ALL PRAISES TO ALLAH"

Search... Cari

GENGGONG^^
 RENUNGIN YUKK . . .
 KISAH BIJAK
“PEMBELAJARAN SASTRA DI SD”

19 APR
BAB I
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Apresiasi bukanlah pengetahuan sastra yang harus dihafalkan, melainkan bentuk aktivitas jiwa.
Artinya, dalam mengapresiasi, siswa tidak sekedar mengambil informasi yang berkaitan dengan
isi atau mencari beberapa simpulan logis. Melalui apresiasi sastra idealnya siswa dapat
mengindra atau merasakan kehadiran pelaku, peristiwa, suasana, dan gambaran obyek secara
imajinatif. Lebih dari itu, menurut apresiasi harus mencakup tanggapan emosional pada isi
cerita, tanggapan pada pelaku atau peristiwa, dan perasaan siswa dalam merasakan/ menikmati
gaya bahasa pengarang cerita.

Dalam dunia pendidikan kajian sastra mampu memberikan sumbangsih yang cukup besar dalam
pola kebudayaan, sejarah, sosial dan dalam sastra itu sendiri, sebab  Sastra mampu menjawab
terhadap apa yang pernah ada di muka bumi,  karena sastra berasal dari hasil pengamatan
tentang apa yang terjadi disekelilingnya sebagai opini yang mesti di ungkapkan serta hasil dari
akibat pengalaman bathin. Sastra adalah hasil dari olah pikir rasa dan karsa manusia sehingga
sastra mengandung nilai estetika yang tinggi.

1. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Hakikat pembelajaran sastra


2. Tujuan Pembelajaran Sastra di SD
3. Pemilihan Bahan Sastra untuk siswa SD
 

BAB II
PEMBAHASAN
1. Hakikat Pembelajaran Sastra
Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’, yang berarti
teks yang mengandung instruksi atau pedoman, dari kata dasar ‘Sas’ yang berarti instruksi atau
ajaran dan ‘Tra’ yang berarti alat atau sarana. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan
untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau
keindahan tertentu.
Di sekolah dasar, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa
mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan
mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya
dan lingkungan hidup. Pengembangan kemampuan bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam
berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
Adapun pemilihan bahan ajar tersebut dapat dicari pada sumbersumber yang relevan
(Depdiknas, 2003 ).

Pembelajaran sastra di SD adalah Pembelajaran sastra anak. Sastra anak adalah karya sastra
yang secara khusus dapat dipahami oleh anak-anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan
anak-anak, yaitu anak yang berusia antara 6-13 tahun. Sifat sastra anak adalah imajinasi semata,
bukan berdasarkan pada fakta. Unsur imajinasi ini sangat menonjol dalam sastra anak. Hakikat
sastra anak harus sesuai dengan dunia dan alam kehidupan anak-anak yang khas milik mereka
dan bukan milik orang dewasa. Sastra anak bertumpu dan bermula pada penyajian nilai dan
imbauan tertentu yang dianggap sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan.

Sastra anak berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak,
serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang
moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta
memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat
membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita
ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin
sehingga menuntun kecerdasan emosinya.

1. Tujuan Pembelajaran Sastra di SD


Di sekolah dasar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia lebih diarahkan pada kompetensi
siswa untuk berbahasa dan berapresiasi sastra. Pelaksanaannya, pembelajaran sastra dan bahasa
dilaksanakan secara terintegrasi. Sedangkan pengajaran sastra, ditujukan untuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra. Pengetahuan
tentang sastra hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi.

Dan pernyataan pembelajaran sastra tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan apresiasi menjadi
tujuan utama, sedangkan perangkat pengetahuan sastra diperlukan untuk menunjang
terwujudnya apresiasi dan pembelajaran bahasa secara umum. Dengan demikian yang harus
terjadi dalam pembelajaran sastra ialah kegiatan apresiasi sastra bukan hanya sekedar
pengetahuan teori sastra. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Huck dkk. (1987) bahwa
pembelajaran sastra di SD harus memberi pengalaman pada murid yang akan berkontribusi
pada empat tujuan (1) menumbuhkan kesenangan pada buku, (2) menginterpretasi bacaan
sastra (3) mengembangkan kesadaran bersastra, dan (4) mengembangkan apresiasi.

1. Menumbuhkan Kesenangan Terhadap Buku


Salah satu tujuan utama pembelajaran sastra di SD ialah memberi kesempatan kepada anak
untuk memperoleh pengalaman dari bacaan, serta masuk dan terlibat di dalam suatubuku.
Pembelajaran sastra harus membuat anak merasa senang membaca, membolakbalik buku, dan
gemar mencari bacaan.

Salah satu cara terbaik untuk membuat siswa tertarik kepada buku menumt Huck (1987) ialah
memberi siswa lingkungan yang kaya dengan buku-buku yang baik. Beri mereka waktu untuk
membaca atau secara teratur gum membacakan buku untuk mereka. Perkenalkan mereka pada
berbagai ragam bacaan prosa dan puisi, realisme dan fantasi, fiksi historis dan kontemporer,
tradisional dan modern. Beni mereka waktu untuk membicarakan buku-buku, menceritakan
buku itu satu sama lain dan menginterpretasikannya melalui berbagai macam aktivitas respons
kreatif. Satu hal penting yang juga disarankan oleh Huck ialah siswa harus diberi kesempatan
mengamati atau melihat orang-orang dewasa menikmati buku. Melalui kegiatan-kegiatan yang
menarik minatnya, siswa akan memperoleh kesenangan.
Dengan demikian, langkah pertama di dalam pembelajaran sastra di SD ialah menemukan
kesenangan kepada buku. Hal ini hendaknya dijadikan tujuan utama pembelajaran bahasa dan
sastra di sekolah dasar dan hendaknya tidak dilakukan secara tergesa-gesa atau dengan jalan
pintas.Kesenangan kepada buku hanya muncul melalui pengalaman yang panjang (Sutherland &
Arbuthnot, 1991).

2. Menginterpretasikan Literatur
Untuk menciptakan ketertarikan kepada buku, siswa perlu membaca banyak buku. Siswa pun
perlu memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang mendalam dengan buku-
buku. Guru dan siswa dapat membicarakan tentang makna pribadi yang mungkin terdapat pada
suatu cerita untuk kehidupannya sendiri. Anak kelas lima daenam mungkin telah merefleksikan
perbandingan antara kejadian-kejadian yang ada pada cerita atau kaitan cerita dengan
kehidupannya secara nyata (Huck, 1987). Ketika siswa, mulai membahas penyebab perilaku
tertentu pada cerita, mereka bisa mengembangkawawasan lebih banyak kepada orang lain.
Ketika siswa menghubungkan apa yang mereka baca itu dengan latar belakang pengalamannya,
mereka menginternalisasikan makna cerita itu. Louis Rosenblatt merupakan salah seorang yang
pertama-tama mengingatkan kita bahwa pembaca itu sama-sama berartinya dengan karya yang
sedang dibacanya. Pengalaman literer katanya, harus dibuat bertahap seperti transaksi antara
pembaca dan teks (Rosenblatt, 1983). Pada murid sekolah dasar transaksi itu paling baik dimulai
dengan respons pribadinya pada cerita.
Membantu siswa dalam menginterpretasikan bacaan itu dengan cara mengidentifikasi para
pelaku yang ada pada cerita. Hal itu dapat dilakukan dengan mendramatisasikan (role
play) adegan tertentu yang ada pada buku cerita. Kegiatan dramatisasi adegan cerita selain
menguatkan pemahaman pada cerita juga akan melatih mereka bersosialisasi (Simpson, 1989).
Kelompok anak yang lain kemungkinan menulis essay. jurnal, atau surat yang berkaitan dengan
tokoh utama atau tokoh yang lainnya yang ada di dalam cerita. Semua aktivitas tersebut akan
menambah interpretasi murid terhadap cerita dan memperdalam tanggapannya pada bacaan.
 

3. Mengembangkan Kesadaran Bersastra


Anak-anak yang masih berada di sekolah dasar juga harus diajak mulai mengembangkan
kesadaran pada sastra. Tak dapat dipungkiri bahwa pemahaman literer meningkatkan
kenikmatan anak terhadap bacaan (Huck, 1987). Ada beberapa anak usia tujuh dan delapan
tahun yang sangat senang menemukan varian yang berbeda mengenai Cinderella, misalnya.
Mereka sangat senang membandingkan berbagai awal dan akhir cerita rakyat dan sangat suka
menulis sendiri kisahnya. Jelasnya kesenangan seperti ini berasal dan pengetahuan tentang
cerita rakyat.
Anak-anak harus pula diarahkan menemukan elemen-elemen sastra secara berangsurangsur,
karena elemen-elemen itu memberikan bekal bagi siswa dalam pemahaman makna cerita atau
puisi. Dengan demikian guru harus menguasai pengetahuan tentang bentuk-bentuk cerita,
elemen-elemen cerita, dan pengetahuan tentang pengarang.

Selama siswa berada di sekolah dasar mereka mengembangkan pemahaman mengenai bentuk
sastra yang berasal dari berbagai aliran sedikit demi sedikit. Mereka sudah dapat membedakan
bentuk prosa dan puisi, fiksi dan nonfiksi, antara realisme dan fantasi, tetapi tidak dengan
istilah-istilah tersebut. Mungkin cara mereka memahami hanya akan bercerita kepada gurunya
bahwa buku Dewi Nawangwulan itu memuat suatu cerita, atau Bawang Putih itu ceritanya
mirip Cinderella yang telah dibacanya. Hal ini langkah awal yang baik dalam mengembangkan
pemahaman tentang bentuk-bentuk sastra.
Demikian pula pengetahuan siswa mengenai elemen cerita misalnya alur, karakterisasi, tema,
dan sudut pandang pengarang akan muncul secara berangsur-angsur. Ada siswa yang minatnya
tergugah bila mengetahui piranti sastra seperti simbol, perbandingan, penggunaan sorot balik,
dan sebagainyna. Namun jenis pengetahuan ini lebih cocok untuk guru. Pembahasan tentang
piranti sastra pada siswa hendaknya hanya diperkenalkan apabila diperlukan benar untuk dapat
membawa ke arah pemahaman yang lebih kaya terhadap sebuah buku. Yang terpenting bukan
menghafal pirantinya, namun bagaimana anak-anak diberi waktu untuk memberikan tanggapan
personalnya pada cerita (Huck, 1987).

4. Mengembangkan Apresiasi
Sasaran jangka panjang pengajaran sastra di SD ialah mengembangkan kesukaan membaca
karya sastra yang bermutu. James Britton (dalam Huck, 1987) menyatakan bahwa dalam
pengajaran sastra, “siswa hendaknya membaca lebih banyak buku dengan rasa puas…. (dan) dia
hendaknya membaca buku-buku dengan kepuasan yang semakin tinggi”.

Margaret Early (dalam Huck, 1987) menyatakan bahwa terdapat tiga tahap urutan dan
perkembangan yang ada dalam pertumbuhan apresiasi (1) tahap kenikmatan yang tidak sadar,
(2) tahap apresiasi yang masih ragu-ragu atau berada antara tahap kesatu dan ketiga, dan (3)
tahap kegembiraan secara sadar. Tahap pertama sama dengan gagasan menumbuhkan
kesenangan terhadap bacaan, sehingga menjadi terlibat di dalamnya. Pada tahap ini siswa
membaca atau guru membacakannya untuk mendapatkan kesenangan. Mereka jarang
menyentuh cara pengarang menciptakan makna. Pembaca pada tahap kedua tertarik tidak hanya
pada alur cerita. Pembaca pada tahap ini mulai bertanya tentang apa yang terjadi pada suatu
cerita dan mendalami isi cerita untuk mendapatkan makna lebih dalam. Pembaca menikmati dan
mengeksplorasi cerita untuk melihat bagaimana pengarang, penyair, atau seniman memperkuat
makna dengan teks itu. Tahap ketiga, tahap pembaca yang sudah matang dan menemukan
kegembiraan dalam banyak jenis bacaan dan banyak periode waktu, memberikan penghargaan
pada aliran dan pengarangnya, dan memberikan tanggapan kritis sehingga mendapatkan
kegembiraannya secara sadar.

Pengajaran sastra untuk sekolah dasar menurut Huck (1987), terutama kelas-kelas awal,
difokuskan pada tahap pertama yaitu kesenangan yang tidak
disadari (unconscious enjoyment). Jika semua siswa bisa diberi kesempatan menemukan
kesenangan terhadap bacaan, mereka akan bisa membangun dasar yang kokoh bagi apresiasi
sastra. Diawalidari menyenangi karya sastra yang dibacanya itulah, siswa akan meningkat ke
tahap berikutnya. Setelah merasa senang dengan bacaan barn kemudian siswa didorong untuk
menginterpretasikan makna cerita atau puisi melalui diskusi atau aktivitas kreatif, mereka bisa
memasuki tahap kedua, tahap kesadaran pada apresiasi. Berangkat dari bekal itulah. siswa dapat
diajak untuk memberi tanggapan terhadap buku, membahas bagaimana perasaan mereka
tentang cerita itu dan apa makna cerita itu bagi mereka. Siswa juga dapat diajak untuk memberi
alasan “mengapa” mereka memiliki perasaan seperti itu dan cara-cara pengarang atau seni man
menciptakan perasaan itu. Para siswa akan memerlukan bimbingan dari guru untuk melalui
tahap-demi tahap tersebut, namun bukan mendiktenva atau memberi tafsiran yang harus
diterima begitu saja oleh siswa. Guru hanyalah pemberi jalan setapak untuk masuk ke dunia
indahnya sastra.
 

1. Pemilihan Bahan Sastra untuk siswa SD


Buku sastra anak-anak tidak dibatasi oleh pengarangnya anak-anak atau orang dewasa, tetapi
lebih ditekankan pada apa yang ditulisnya. Dengan demikian pada saat orang dewasa atau guru
harus memilah-milah mana buku sastra anak-anak dan mana yang bukan, tolok ukurnya tidak
ada kaitannya dengan siapa yang menciptakan, tapi sepenuhnya terpusat pada muatan isinya.
Jadi bekal yang wajib diketahui bila akan mengevaluasi buku sastra anak-anak adalah
seperangkat nilai ekstrinsik dan intrinsik sastra yang sesuai dengan kemampuan “melihat” dan
“memahami” dunia anak-anak.

Tugas guru dan orang tua dalam memilih buku sastra anak-anak adalah melakukan penelitian
lebih rinci terhadap unsur-unsur yang lazim ada dalam setiap bacaan cerita (fiksi). Unsur-unsur
itu meliputi (1) alur, (2) latar, (3)tema, (4) tokoh, (5) gaya, (6) sudut pandang, dan (6) format
buku cerita (Huck, 1987:17, Nurgiyantoro, 2005:66).

1. Alur
Unsur penting yang tidak dapat diabaikan dalam setiap karya fiksi bagi anak-anak adalah alur
atau plot (Huck, 1987). Biasanya pertanyaan pertama yang diajukan anakanak ketika membaca
bacaan cerita “Mengapa saya harus membaca buku ini, apakah buku ini menarik, mengandung
cerita yang seru? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu adalah alur atau plot, karena alur
biasanya menceritakan apa yang dilakukan oleh para tokoh cerita dan apa yang terjadi pada
mereka. Alur merupakan benang merah yang menjalin serta merangkaikan susunan cerita
menjadi terpadu sate sama lain dan membuat pembaca penasaran ingin terus membacanya
hingga selesai.

Buku sastra anak-anak memerlukan alur yang tertata rapi dan apik, dan saling berkaitan. Alur
cerita seperti itu biasanya tumbuh secara logis atau alamiah yang mengacu kepada tindakan-
tindakan dan sejumlah keputusan para tokoh dalam situasi-situasi yang tersedia berdasarkan
konteks peristiwa. Alur cerita buku sastra anak-anak harus terpercaya dan mengalirkan (bukan
tergantung pada) kejadian dan penemuan sejati. Dengan kata lain, alur cerita itu mesti
diupayakan asli dan segar, dan jangan sampai hambar, basi, melelahkan, membosankan, dan
terlalu mudah ditebak.

Kebanyakan alur-alur dalam sastra anak-anak disajikan dalam metode kronologis atau cara
linear, karena biasanya murid-murid di kelas awal belum mencapai kematangan untuk
mengikuti alur sorot balik (flashback) dalam waktu dan tempat. Pengarang menampakkan plot
melalui penyajian peristiwa pertama, diikuti oleh peristiwa kedua. dan seterusnya, sehingga
cerita itu menjadi lengkap.
Buku-buku yang dikarang untuk anak-anak yang lebih besar, usia 10-12 tahun, kadangkadang
menggunakan teknik sorot balik untuk menambah urutan kronologis. Teknik ini, bila pembaca
memiliki beberapa pertanyaan tentang latar belakang seorang tokoh, atau bingung mengapa
tokoh bertindak dalam cara tertentu, maka pengarang menghentikan urutan cerita dan
mengungkapkan informasi tentang saat dan pengalaman yang lebih awal.

Alur sastra anak-anak sebenarnya bukan hanya persoalan sorot balik atau linear. Hal yang pokok
adalah sejauh mana struktur alur cerita itu efektif dan jelas sehingga tidak membuat anak-anak
bingung dan tersesat dalam mengikuti alur cerita dari awal hingga akhir.

2. Latar Cerita
Bagaimana seorang pembaca dapat menyadari cara tokoh melihat, mendengar, merasa, dan
menyentuh? Apakah mungkin mengetahui cara tokoh bercakap-cakap, bertindak, atau
memahami nilai-nilai yang mereka anut? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dapat dijawab jika
lokasi geografis dan waktu cerita itu terjadi tidak diperkenalkan. Dalam bacaan cerita, waktu dan
tempat ini disebut latar. Hal itu dapat dicari dengan bertanya kapan dan di mana kejadian itu
berlangsung? Menurut Wellek dan Werren (1989: 290), latar adalah lingkungan yang dapat
dianggap berfungsi sebagai metonimia, atau metafora, ekspresi dari tokohnya. Dalam karya fiksi,
latar bukan hanya berfungsi sebagai latar yang bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita
menjadi logis. la juga memiliki fungsi psikologis sehingga latar mampu menuansakan makna
tertentu serta mampu menciptakan suasanasuasana tertentu yang menggerakkan aspek kejiwaan
pembacanya (Aminuddin, 2001: 67).

Latar ada tiga macam, yaitu latar waktu, latar tempat, dan latar suasana (Norton, 1988: 86).
Seperti dalam cerita untuk orang dewasa, cerita anak-anak dapat terjadi pada masa lalu, masa
sekarang, dan masa yang akan datang. Oleh sebab itu, plot dan penokohan sebaiknya konsisten
dengan apa yang sedang terjadi atau apa yang telah terjadi pada masa itu. Termasuk ke dalam
latar waktu adalah hari, bulan, tahun, atau periode sejarah, misalnya di zaman perang
kemerdekaan, di saat upacara kenaikan kelas. Latar tempat berkaitan dengan lokasi geografis
peristiwa terjadi. Dalam bacaan cerita anak-anak, jika lokasi geografis dapat dikenali, sebaiknya
lokasi itu disajikan secara akurat. Latar juga memiliki tujuan yang bukan hanya sekedar
memberikan suatu latar belakang, tetapi menciptakan suasana (mood). Latar suasana adalah
suasana atau keadaan yang mampu memberikan makna tertentu dan mampu menggerakkan
emosi pembaca (Aminuddin,2001:39; Sudjiman, 1988:44).
Dalam beberapa buku, latar merupakan bagian yang penting. Plot dan gerak laku tokoh tidak
dapat dikembangkan tanpa memahami waktu dan tempat. Namun, dalam cerita yang lain, latar
hanya memberikan sesuatu latar belakang. Kenyataannya, beberapa latar diperkenalkan hanya
melalui beberapa kata yang membawa pembaca dengan segera ke dalam suatu lokasi yang
dimaksud. Misalnya dengan pendahuluan cerita yang berbunyi “Pada zaman dahulu kala”. Tentu
saja, cerita terjadi pada waktu yang sangat lama dan sudah berlalu tetapi tidak dapat ditentukan
kapan terjadinya.

Harus disadari pula bahwa latar cerita dalam fiksi dimaksudkan pengarang-nya, paling tidak,
untuk kepentingan tiga hal. Pertama, menciptakan suasana hati (mood). Kedua, menciptakan
keotentikan. Ketiga, menciptakan kepercayaan, kredibilitas (Huck, 1987, Tarigan, 1995). Latar
cerita yang bagus untuk buku sastra anak-anak adalah memiliki suasana hati yang menggugah
kepekaan artistik anak-anak. Biasanya anak-anak akan hanyut membaca buku sastra bila
memiliki latar cerita yang menggambarkan hal-hal yang menjadi impiannya atau harapannya.
Latar cerita juga sebaiknya mampu meyakinkan anak-anak bahwa tempat dan waktu kejadian
dalam cerita yang dibacanya sangat meyakinkan untuk dipercaya dan merupakan sesuatu yang
baru, yang tak pernah dikenal sebelumnya.
 

3. Tema Cerita
Kriteria ketiga yang penting menjadi pusat perhatian ketika mengevaluasi buku sastra anak-anak
adalah tema. Pertanyaan yang lazim dipergunakan untuk menelusuri tema adalah, apa maksud
pengarang menulis suatu cerita? Yang harus segera diperiksa dalam tema buku sastra anak-anak
adalah, sejauh mana tema cerita itu berorientasi dan dilandasi oleh nilai-nilai etik yang terpuji
secara universal. Ini penting diperhatikan, mengingat periode psikologis anak-anak yang sedang
menjalani proses pembentukan diri dan identifikasi diri.

Betapapun pentingnya tema, jangan sampai suatu buku cerita anak-anak hanya didominasi oleh
semacam khotbah, nasihat, atau petuah-petuah verbal yang membosankan. Tema harus larut
dalam alur, latar dan karakteristik tokoh. Kecen-derungan didaktisisme yang harus segera
dihilangkan, karena tidak memberi peran kepada siswa untuk menemukan sendiri moral dan isi
hasil jerih payahnya membaca. Berikan anak-anak buku sastra yang “bercerita”, sehingga nilai-
nilai semacam kejujuran, keadilan, demokrasi, keterbukaan, ketaqwaan, kasih sayang, cinta,
diam-diam menyerap kuat pada kepribadian anak-anak. Tema cerita menyentuh aspek ini. Dan
karena tema cerita itu pula maka sebuah buku sastra menjadi bermakna bagi anak-anak.
 
4. Tokoh Cerita
Keindahan dan kesejatian buku sastra anak-anak selalu didukung penokohan yang meyakinkan,
unik, dan memikat. Anak-anak biasanya menyukai tokoh-tokoh yang berani, cerdik dan perkasa.
Kreatifitas pengarang buku sastra anak-anak selalu diuji untuk menciptakan tokoh-tokoh fantasi
yang unik tapi terpercaya.

Dalam mengevaluasi tokoh cerita dalam buku sastra anak diperlukan keje-lian dalam hal melihat
perkembangan perwatakannya. Ada pengarang yang gemar menuturkan perkembangan watak
tokoh cerita melalui gaya narasi. Artinya, perkembangan watak tokoh cerita digambarkan secara
parsial, tanpa melibatkannya dalam alur dan latar. Gaya seperti ini biasanya kurang menarik
minat anak-anak, karena mereka kurang sabar dalam menghadapi detail. Sedangkan gambaran
perkembangan watak tokoh cerita yang menyatu dengan perkembangan alur dan latar kerap
menjanjikan daya tarik dan memudahkan anakanak untuk memahami sosok tokoh yang
bergerak dalam rentetan cerita yang dibacanya. Dengan kata lain, bagi anak-anak, jauh lebih
mengesankan gerak yang tepat dan singkat daripada kata-kata yang panjang dan bertele-tele
(Tarigan, 1995).

Menurut Charlotte Huck (1987), kepercayaan kepada tokoh tergantung kepada kemampuan
pengarang mengungkapkan sifat, kekuatan dan kelemahan tokoh itu. Ia menyatakan bahwa hal
ini dapat dilakukan melalui (1) menceritakan tokoh melalui narasi, (2) mencatat percakapan
tokoh dengan tokoh lainnya, (3) mendes-kripsikan pikiran-pikiran tokoh, dan (4) menyajikan
tokoh dalam suatu lakon.
 

5. Gaya (Style) Cerita


Dalam karya fiksi, gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan
suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 2001: 72).

Dengan demikian diyakini bahwa gaya menulis seorang pengarang tercermin jelas dalam pilihan
dan susunan kata-kata yang diungkapkan ketika menyajikan cerita. Gaya menulis yang baik
haruslah serasi dengan alur, tema dan tokoh, baik da-lam penciptaan maupun dalam
perefleksian suasana hati cerita (Huck, 1987). Layaknya sebuah gaya, is senantiasa bersifat
individual dan khas. Ada memang kaidah-kaidah umum yang dijadikan acuan pokok oleh
seorang pengarang, tapi pada akhirnya yang muncul secara utuh adalah gaya perseorangannya
yang khas. Ini mengisyaratkan bahwa bila kita hendak mengevaluasi buku sastra anak-anak,
hendaknya faktor gaya cerita yang orisinal, individu, dan khas dijadikan salah satu tolok ukur.

Dengan banyak membaca buku sastra yang beragam gaya ceritanya, diharapkan anak-anak dapat
mengenali dan membedakan gaya bercerita yang khas dari setiap pengarang. Kemampuan
membandingkan ini menjadi indikator bahwa anak-anak dibimbing untuk berpikir kritis dalam
kegiatan membaca buku sastra, sehingga kualitas apresiasinya semakin meningkat.

Agar dapat memahami anak-anak ketika mereka mengapresiasi buku sastra, orang dewasa,
orang tua dan guru sedapat mungkin harus berjuang untuk “menganak-anakkan diri” (Huck,
1987). Hal ini boleh jadi tidak terlalu sukar, karena yang kini sudah dewasa pun pernah jadi
anak-anak. Kita dapat memahami kalau anak-anak tidak begitu suka (tidak dapat menikmati)
suatu cerita yang terlalu bersifat deskriptif. Mereka cenderung lebih menyenangi perbandingan-
perbandingan yang terjangkau oleh kemampuan pemahaman mereka.

Perlu diperhatikan juga bahwa anak-anak berada dalam masa pencarian panutan dan sosok
idola. Mereka sering merindukan sesuatu yang berada di luar dirinya, lantas mencoba
mengidentifikasi dirinya dengan sosok idolanya itu. Bila kita berkepentingan untuk
mempengaruhi anak-anak dengan sosok tokoh tertentu, maka pilihlah buku sastra yang memiliki
tokoh menarik dengan gaya bercerita yang memikat.

6. Sudut Pandang Cerita (Point of view)


Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang
dipaparkannya (Aminuddin, 2001: 90) atau menurut istilah Huck (1987) sudut
pandang (point of view) lazim diartikan dari arah mana atau dalam posisi apa pengarang
menempatkan dirinya dalam bercerita. Sebuah kejadian dapat diuraikan dalam istilah yang
berbeda oleh beberapa orang yang memiliki pengalaman yang sama. Detail yang mereka pilih
untuk diuraikan, perasaan-perasaan yang mereka alami, dan kepercayaan mereka tentang benar
atau salah dapat berubah disebabkan latar belakang, nilai-nilai, dan perspektif lainnya.
Akibatnya, cerita yang sama dapat berubah drastis tergantung pada sudut pandang seorang
pencerita.
Seorang pengarang memiliki beberapa pilihan ketika memilih sudut pan-dang. Pertama, cerita
itu dapat diceritakan dari sudut pandang orang pertama, yang mempengaruhi perkembangan
plot, penokohan, dan tema. Kedua, cerita itu diceri-takan dan sudut pandang yang objektif,
tindakan-tindakan yang mengungkapkannya. Dalam hal ini, pengarang menguraikan tindakan,
dan pembaca menduga makna dan pikiran tokoh. Ketiga, cerita diceritakan dari sudut pandang
mahatahu. Penulis menceritakan cerita sebagai orang ketiga, karena menggunakan tokoh “dia”
dalam bertuturnya. Pengarang tidak dibatasi oleh pengetahuan, pengalaman, perasaan satu
orang. Setiap detail perasaan, dan pikiran seluruh tokoh dapat diungkapkan (Sudjiman,
1988:59).

Sudut pandang orang ketiga biasanya lebih disukai anak-anak, karena pengarang bisa leluasa
mengeksploitasi apa saja yang menjadi obsesi kepengarangannya. Sedangkan sudut pandang
orang pertama, yang menggunakan tokoh aku, sering membuat anak-anak kurang puas, karena
jangkauan pengarang dalam bercerita menjadi terbatas (Huck, 1987).
 

7. Ilustrasi dan Format Buku


Ilustrasi adalah gambar-gambar yang menyertai cerita dalam buku sastra anak (Nurgiantoro,
2005:90).Kebanyakan dan buku sastr anak-anak menggunakan ilustrasi untuk daya tariknya.
Buku-buku yang tidak ada ilustrasinya, itu kurang cocok untuk dijadikan buku bacaan anak-
anak. Kehadiran ilustrasi untuk buku anak-anak menjadi keharusan apalagi u ntuk anak-anak
prasekolah.

Adanya ilustrasi dalam sastra anak-anak baik gambar maupun foto, sengaja untuk
mengkonnkretkan apa yang dikisahkan secara verbal, karena anak dalam tahap perkembangan
oparasinal konkret. Selain itu, ilustrasi dimaksudkan untuk menarik minat siswa. Oleh karena itu
ilustrasi harus jelas, berwarna, komunikatif, hidup dan ditampilkan secara variatif.

Format buku dalam sastra anak perlu mendapat perhatian khusus. Anak-anak kelas awal dan
prasekolah misalnya, pada waktu membuka-buka buku diupayakan formatnya cukup besar. Pada
waktu guru membaca nyaring untuk siswanya, sebaiknya menggunakan buku besar (big
book) supaya perhatian siswa terpusat pada gurunya. Dengan demikian, ukuran buku sastra
anak tidak harus baku seperti buku orang dewasa, bisa divariasikan agar lebih memudahkan
siswa dan lebioh komunikatif. Demikian juga ukuran huruf. Ukuran huruf untuk buku anak, bisa
lebih besar tidak ukuran standar untuk buku orang dewasa.
 

BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Di sekolah dasar, pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa
mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan

mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya
dan lingkungan hidup. Pengembangan kemampuan bersastra di sekolah dasar dilakukan dalam
berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.

Di sekolah dasar pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia lebih diarahkan pada kompetensi
siswa untuk berbahasa dan berapresiasi sastra. Pelaksanaannya, pembelajaran sastra dan bahasa
dilaksanakan secara terintegrasi. Sedangkan pengajaran sastra, ditujukan untuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra. Pengetahuan
tentang sastra hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi.

Tugas guru dan orang tua dalam memilih buku sastra anak-anak adalah melakukan penelitian
lebih rinci terhadap unsur-unsur yang lazim ada dalam setiap bacaan cerita (fiksi). Unsur-unsur
itu meliputi (1) alur, (2) latar, (3)tema, (4) tokoh, (5) gaya, (6) sudut pandang, dan (6) format
buku cerita (Huck, 1987:17, Nurgiyantoro, 2005:66).

1. Saran
Adapun saran dalam makalah ini adalah marilah kita tingkatkan kemampuan kita dalam
bersastra, utamanya para pendidik agar peserta didik yang kita ajar dapat betul-bertul
memahami dari inti sastra itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
 
Edu. Brata. 2009. Hakikat Pembelajaran Sastra Anak di SD, http://mbahbrata-
edu.blogspot.com/2009/12/hakikat-pembelajaran-sastra-anak-di-sd.html, (diakses 1 Februari
2014)
Resmini, Novi, Dadan Djuanda, & Isah Cahyani. 2006. Pembinaan dan Pengembngan
Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS.
Samosir, Aldon. 2008. Pembelajaran
Sastra, http://aldonsamosir.wordpress.com/kurikulum/pembelajaran-sastra/, ( diakses 2
Februari)
Wahab, Sabri. 2012. Hakikat Pembelajaran
Sastra, http://guruoemarsabri.blogspot.com/2012/05/hakikat-pembelajaran-sastra.html,
(diakses 2 Februari 2014)
         
 

Share this:

o Twitter
o Facebook
o
 KOMENTARTinggalkan sebuah Komentar
 KATEGORIKUMPULAN TUGAS
←  CHAPTER REPORT
RPP IPA kelas V semester  2  →

Tinggalkan Balasan

NEW POST <


 Artikel Model Pembelajaran Teman Sejawat (peer tutoring)
 KUKERTA FAMILY
 Be Positive ^.^
 RPP IPA kelas V semester 2
 “PEMBELAJARAN SASTRA DI SD”

ARSIP
 Februari 2015
 Oktober 2014
 Juli 2014
 Mei 2014
 April 2014
 Maret 2014
 November 2013
 Mei 2012
 Desember 2011

KATEGORI

     
THIS MONTH . .

S S R K J S M
  1 2 3 4 5 6
7 8 9 10 11 12 13
14 15 16 17 18 19 20
21 22 23 24 25 26 27
28 29 30  
April 2014
« Mar   Mei »

Widget Animasi

Iklan
LAPORKAN IKLAN INI
BLOG DI WORDPRESS.COM.

Anda mungkin juga menyukai