Anda di halaman 1dari 17

Tinjauan Pustaka

A. BOVINE EPHEMERAL FEVER


Pengertian
Bovine Ephemeral Fever (BEF) adalah salah satu penyakit virus
arbo pada sapi dan kerbau , seperti Bostaurus, Bos indicus, dan Bos
javanicus. Pada ruminansia lainnya infeksi BEF biasanya tidak
menimbulkan gejala klinis. Penyakit BEF sering disebut ”three days
sickness, stiff sickness,dengue fever of cattle, bovine epizotica fever dan
lazy man’s disease”. Penyakit ini ditandai dengan demam selama tiga hari,
kekakuan dan kelumpuhan, namun demikian dapat sembuh spontan dalam
waktu tiga hari, oleh karena itu, nama BEF atau demam tiga hari lebih
sareing digunakan(Yeruham et al. 2002, Zheng et al. 2012).

Etiologi
Bovine Ephemeral Fever disebabkan oleh virus BEF, yang
termasuk dalam single stranded RNA, genus Ephemerovirus, family
Rhabdoviridae. Virus ini mempunyai besaran antara 80-140 nm, dan
berbentuk seperti peluru, mempunyai amplop, sehingga sensitif terhadap
diethylether dan sodium deaxycholate. Pada suhu 48oC virus BEF tetap
aktif dalam darah. Virus ini juga dapat diinaktifkan pada suhu 56oC selama
10 menit atau 37oC selama 18 jam (Della porta dan Brown 1979). Virus
BEF tidak aktif pada pH 2,5 atau pH 12,0 selama 12 menit. Hasil
karakterisasi isolat BEF asal Jepang, Taiwan, Cina, Turki, Israel dan
Australia, memiliki kesamaan gen yang conserve. Secara filogentik, BEF
Memiliki kesamaan berdasarkan daerah/negara, yang terbagi dalm tiga
kelompok klaster yaitu kelompok Asia, Australia, dan Timur Tengah
(Zheng dan Qiu 2012). Tidak ada perbedaan yang jelas antara strain virus
yang satu dengan yang lain meskipun di Australia, isolat virus BEF yang
diperoleh dari nyamuk berbeda dengan yang diperoleh dari ternak sapi
yang terinfeksi. Isolat yang diperoleh hanya membedakan antara virus
BEF virulen dan avirulen (Kato et al.2009).

Gejala Klinis
Gejala kilinis yang ditimbulkan akibat BEF antara lain demam tingi dan
mendadak, yang dapat mencapai 41-41oC, nafsu makan berkurang, lemas,
kelumpuhan, lakrimasi, leleran hidung, kekakuan terutama pada sendi-
sendi sehingga tidak dapat berdiri (Momtaz et al.2012). Pada sapi yang
sedang laktasi, infeksi BEF dapat menyebabkan produksi susu berhenti
total dan kembali berlakstasi setelah sembuh meskipun produksi susu tidak
dapt kembali normal seperti sebelum terinfeksi. Lebih lanjut, penurunan
produksi susu dapat berkisar antara 39-95% dengan rata-rata 46%
(Momtaz et al.2012).
Gejala klinis pada sapi betina bunting menyebabkan abortus,
sedankan pada sapi jantan dapat menyebabkan sterilitas sementara. Hal ini
berakibat fatal pada gagalnya repeoduksi ternak baik melalui inseminasi
buatan maupun kawin alami. Pada kasus tertentu dapat menimbulkan
kematian dalam 1-4 hari setelah mengalami kelumpuhan
(Nandi dan Negi 1999). Namun ternak dapat sembuh secara spontan
setelah 3 hari, yang dapat mencapai 97% dari kasus klinis. Komplikasi
penyakit ini dapat menimbulkan pneumonia, mastitis, abortus atau pada
pejantan menimbulkan sterilitas sementara ( Davies et al 1984;1990).

B. DISTOKIA
Pengertian
Distokia diartikan sebagai perpanjangan waktu pada tahap pertama
dan kedua dari proses kelahiran sehingga tidak memungkinkan bagi hewan
induk untuk melahirkan tanpa bantuan dari manusia. Anjing yang
mengalami distokia akan sangat memerlukan pertolongan dari pemilik
atau orang lain yang berkompeten. Tanpa penanganan dan bantuan,
kelahiran akan gagal dan hampir selalu diikiuti oleh kematian induk
(Toelihere, 1985).
Etiologi
Secara umum, penyebab distokia dapat diklasifikasi menjadi dua
kelompok utama yaitu: 1) faktor induk atau distokia maternal dan 2) faktor
janin atau distokia fetalis. Dalam sebuah studi yang dilakukan terhadap
182 indukan dari berbagai ras anjing yang dibawa dan ditangani di Rumah
Sakit Hewan, diketahui bahwa 75,3% kasus distokia terjadi karena
pengaruh dari faktor induk dan 24,7% dari pengaruh fetus (Junaidi,2006).
Sementara itu dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Arthur et al. (1996), menyatakan bahwa 60% kasus distokia dipengaruhi
oleh induk dan 40% oleh fetus. Kelahiran umumnya terjadi secara noral,
namun tidak menutup kemungkinan akan terjadi perpanjangan waktu
dalam proses kelahiran. Banyak sumber mengatakan bahwa distokia
diakibatkan oleh faktor keturunan atau herediter, namun banyak faktor
yang melatarbelakangi terjadinya distokia pada proses kelahiran anjing.
Dari faktor induk atau distokia maternal, dapat diakibatkan karena
adanya gangguan hormonal sehingga tidak memungkinkan bagi serviks
untuk terbuka ketika proses kelahiran berlansung, sebab lain adalah karean
sempitnya saluran peranakan, serta lemahnya kontraksi uterus atau inersia
uteri. Sejauh ini, inersia adalah penyebab tertinngi yang melatar belakangi
kejadian distokia pada anjin. Penyempitan saluran kelahiran atau
terhalangya masuknya fetus secara normal kedalam saluran kelahiran
dapat terjadi karena ukuran pelvis yang kecil (Jackson, 2007).
Sementara itu, dari faktor fetus dapat dibedakan menjadi tiga yaitu
karena ukuran fetus yang terlalu besar, ketidaknormalan pada presentasi
atau huungan sumbu tubuh fetus dengan pinggul serta ketidaknormalan
pada posisi dan postur dari fetus. Ukuran fetus yang abnormal dapat terjadi
karena hydrocephallus, anasarka dan ascites. Presentasi fetus yang
dikatakan normal adalah longitudinal anterior dan longitudinal posterior.
Tidak dapat dijelaskan apa yang menyebabakan terjadinya malposisi
tersebut. Sebelum lahir , secara normal fetus akan ada pada posisi ventral
dan berputar hingga 180% sebelum memasuki pelvis. Kegagalan
mencapai rotasi ini menyebabkan fetus dilahirkan di posisi lateral atau
ventral (purohit et.al,2011).

Gejala Klinis
Menurut Noakes & England (2001), beberapa tanda yang dapat
teramati pada kasus distokia adalah terjadinya penurunan temperatur tubuh
selama 24 hingga 36 jam namun hewan tamapk lemah. Induk akan tampak
gelisah dan tidak menemukan posisi yang nyaman selama lebih dari 12
jam dan tidak terjadi kelahiran selama 8 hingga 12 jam meskipun dalam
beberapa kasus, proses kelahiran dapat berlangsung hingga 24 jam. Akan
teramati adanya cairan vulva yang abnormal seperti discharge greenish
yang berasal dari pemisahan plasenta dengan uterus, darah yang
mengindikasikan adanya trauma pada uterus atau vagina, dan bahkan
mungkin mengindikasi terjadinya torsio uteri, nanah megindikasi adanya
infeksi pada rahim yang memungkinkan untuk terjadinya kematian pada
janin.
Terkadang akan terlihat adanya cairan hijau atau hitam (black or
green discharge) dengan tidak teramatinya tanda-tanda menjelang
kelahiran. Cairan ini terjadi ketika cairan berbebas dari marginal
hematoma pada plasenta. Hal ini mengindikasikan akan terjadinya
pemisahan antara plasenta dengan uterus. Terdapat beberapa kemungkinan
kasus seperti inersia uteri primer dengan paling tidak satu fetus mengalami
kematian dan pemisahan plasenta atau kematian fetus pada pertengahan
kebuntingan yang diikuti dengan mumifikasi. Sangat disarankan untuk
melakukan pemeriksaan dengan USG pada saat kebuntingan
(Slatter,2002).

C. HOG COLERA
Pengertian
Hog Colera atau kolera babi merupakan salah satu penyakit
menular yang secara ekonomi paling penting pada babi di dunia dengan
tingkat kematian mendekati 100% pada daerah wabah baru. Penyakit ini
meyebabkan kerugian ekonomi yang besar karena biaya eradikasi serta
vaksinasi yang sangat mahal. Hog Colera berlangsung secara akut,
subakut, kronis atau subklinis yang ditandai dengan pendarahan-
pendarahan pada berbagai organ tubuh (Depner dan Lies, 1994)

Etiologi
Agen penyebab hog colera adalah virus single stranded
Ribonucleic Acid (ssRNA) dari genus Pestivirus termasuk famili
Flaviviridae virus HC berada dalam genus yang sama dengan virus bovine
viral diarrhea (BHD). Virus berbentuk bulat helikal atau tidak teratur dan
berukuran antara 40-50 nm dengan nukleokapsid berukuran 29 nm. Materi
genetik virus tersusun dari RNA beruntai tunggal (ss-RNA) berukuran
panjang 12,5 kb. Virus HC memiliki amplop yang pada permukaannya
terdapat peplomer berukuran 6-8 nm. Struktur amplop tersebut tersusun
atas glikoprotein (Cheng,1992).

Gejala Klinis
Penyakit dapat berjalan perakut, akut, subakut, kronis atau tidak
tipikal. Bentuk klasik HC merupakan infeksi akut yang disertai demam
tinggi, kelesuan, penurunan nafsu makan dan konjungtivitis. Gejala
muncul setelah masa inkubasi 2-4 hari, diikuti adanya muntuh, diare dan
atau konstipasi, pneumonia, paresis, paralisis, latergi, termor, berputar dan
konvulsi (Ketut et.al 1996).
Pada bentuk akut ditandai dengan anoreksia, depresi, suhu
meningkat sampai 41-420C berlangsung selama 6 hari. Jumlah leukosit
menurun ( leukopemia) dari 9.000 menjadi 3.000/ml darah. Pada awal
sakit hewan mengalami konjungtivitis, dengan air mata berlebihan. Sekresi
mata berlebihan bersifat mucous atau mukopurulen. Demam tinggi diikuti
konstipasi dan radang saluran gastrointestinal menyebabkan diare encer,
berlendir, warna abu kekuningan dan babi terlihat kedinginan (Molina dan
Yepes, 1991).
Pada kasus subakut yang kurang tipikal, masa inkubasi menjadi
panjang dan kelangsungan penyakit klinis yang lebih lama dengan
kematian yang terjadi setelah berminggu atau berbulanan-bulan. Pada
kasus kronis dilaporkan ada 3 fase yakni fase permulaan yang ditandai
dengan gejala anoreksia, depresi, suhu tubuh naik dan lekopenia. Setelah
beberapa minggu nafsu makan dan keadaan umum terlihat membaik dan
suhu tuuh turun ke suhu normal atau sedikit diatas normal. Fase kedua
ditandai dengan leukopenia yang persisten. Pada fase ketiga, terlihat gejala
nafsu makan menurun, depresi , suhu tubuh meningkat sampai terjadinya
kematian. Babi menunjukan pertumbuhan yang terhambat, mempunyai
lesi pada kulit dan berdiri dengan punggun terlihat melengkung
(opistotonus) dan babi dapat bertahan hidup lebih dari 100 hari
( Kosmidau dan Mayers 1998).

D. RETENSI PLASENTA
Pengertian
Retensi plasenta adalah kejadian patologi dimana selaput fetus
tidak keluar dari alat kelamin induknya dalam waktu 1-12 jam setelah
kelahiran anaknya. Jika pengeluaran fetus membutuhkan waktu yang lebih
lama dari waktu tersebut, maka hal tersebut harus dipandang sebagai suatu
keadaan tidak normal atau patologi, pada sapi retensi plasenta dapat
berlangsung selama 4-8 hari atau bahkan lebih, bila tidak ada pertolongan
dalam keadaan demikian maka selaput fetus sudah mengalami perubahan-
perubahan berupa pembusukan di dalam saluran alat kelamin betina
khususnya di dalam uterus, hal ini dapat bersifat racun terhadap uterus
(Ronohardjo, 1984) .

Etiologi
Pada dasarnya retensi sekundinae atau retensi plasenta adalah
kegagalan pelepasan villi kotiledon foetal dari kripta karankula maternal
pada sapi, retensi plasenta dapat disebabkan beberapa faktor yaitu : (1)
Gangguan mekanis (hanya 0,3% kasusnya), yaitu selaput fetus yang sudah
terlepas dari dinding uterus, tetapi tidak dapat terlepas dan keluar dari alat
kelamin karena masuk dalam kornua uteri yang tidak bunting, atau kanilis
servikalis yang terlalu cepat menutup, sehingga selaput fetus terjepit. (2)
induk kekurangan kekuatan untuk mengeluarkan sekundinae setelah
melahirakan. Ini sebabkan adanya atoni uteri pasca melahirkan (kasusnya
1-2%). Mungkin juga karena defisiensi hormon yang menstimulir
kontraksi uterus pada waktu melahirkan, seperti oksitosin atau estrogen
( Vincent, 2005).
Atoni uteri pasca melahirkan juga bisa disebabkan oleh berbagai
penyakit seperti penimbunan cairan dalam selaput fetus, torsio uteri,
kembar, distokis dan kondisi patologik lainnya, (3) gangguan pelepasan
sekundinae yang berasal dari karankula induk. Ini adalah kasus yang
paling sering terjadi dan dapat mencapai 98%, (4) Avitaminosa –A
menyebabkan retensi plasenta, karena kemungkinan besar vitamin A perlu
untuk mempertahankan kesehatan dan resistensi epitel uterus dan plasenta.
Retensi plasenta terjadi pada 69% sapi dari suatu kelompok ternak yang
diberikan makanan dengan kadar karoten yang rendah (Toilehere, 1985).

Gejala
Gejala pertama yang tampak adalah adanya selaput fetus yang
menggantung diluar alat kelamin 12 jam atau lebih sesudah kelahiran
normal, abortus, ataupun distokia. Kadang- kadang sealput fetus tidak
keluar melewati vulva tapi tetap menetap dalam uterus dan vagina.
Pemeriksaan terhadap selaput fetus sebaiknya dilakukan sesudah partus
untuk mengetahui apakah terjadi retensi atau tidak. Pemeriksaan melalui
uterus dapat dilakukan dalam waktu 24-36 jam post partus. Sesudah 48
jam biasanya sulit atau tidak mungkin memasukkan tangan ke dalam
uterus atau selaput fetus dalam serviks. Adanya sealput fetus di dalam
serviks cenderung menghambat kontraksi serviks. Sekitar 75 – 80% sapi
dengan retensi sekundinae tidak menunjukan tanda-tanda sakit. Sekitar 20-
25% memperlihatkan gejala-gejala metritis seperti anoreksia, depresi, suhu
badan tinggi, pulsus meningkat dan berat badan turun (Toilehere, 1985).
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bovine Ephemeral Fever
Hasil
Pada hari Jumat tanggal 11 Mei 2018, seorang klien datang ke
Puskeswan Tanah Merah Kab. Batu Bara melaporkan bahwa salah satu
hewan ternaknya lesu dan nafsu makan menurun. Kami bersama satu
dokter hewan puskeswan turun langsung ke lokasi ternak yang dimaksud.
Tabel pemeriksaan.

No Tgl Signalement Gejala Diagnosa Diff. Penanganan


Klinis Diagnosa / Terapi
1. Jumat, Jenis Nafsu Bovine Vitamin B.
11 Hewan : Sapi makan Ephemeral Kompleks
Mei Jenis berkurang Fever Vet. Oxy
2018 Kelamin : dan Lemas (BEF) Colibact.
Umur : ± 2
tahun
Suhu : 41oC

Pembahasan
Pengobatan penyakit yang disebabkan oleh virus tidak efektif, namun
pemberian antibiotik dan anti inflamasi dapat dilakukan untuk mengurangi
terjadinya infeksi sekunder yang dapat memperparah kondisi hewan.
Sementara pemberian anti inflamasi untuk mengurangi gejala-gejala atau
perubahan fisiologis yang dirasakan berlebihan pada kondisi inflamasi,
misalnya nyeri yang tak tertahankan, rasa gatal yang berlebihan,
kemerahandan bengkak yang menggangu, namun inflamasi yang tidak
berlebihan merupakan fenomena menguntungkan karena merupakan
mekanisme pertahanan tubuh yang hasilnya adalah netralisasi dan
pembuangan agen penyerang, serta penghancuran jaringan nekrosis.
Sepertu dalam kasus ini kami melakukan pengobatan dengan
menginjeksikan antibiotik, anti inflamasi serta vitamin B Kompleks untuk
mengembalikan nafsu makan ternak yang menurun. Pemberian obat-obat
tersebut dilakukan secara intra muscular (IM).
Pencegahan penyakit ini dapat dilakukan dengan memberiksan
vaksinasi BEF atau mengontrol populasi nyamuk vektor. Namun cara
kedua ini sangatlah sulit, mengingat masing-masing jenis nyamuk
mempunyai media perkembangan yang berbeda. Selain itu, pengaruh
cuaca atau iklim sangat besar terhadap perkembangbiakan vektor.
Hingga saat ini terdapat dua macam vaksin BEF yang beredar
adalah vaksin mati dan vaksin hidup yang telah diatenuasi. Vaksin mati
memiliki kelemahan dalam menggertak respon imun, sehingga mulai
banyak digunakan vaksin yang telah diatenuasi. Selain pemberian vaksin
BEF, manajemen yang baik perlu diterapkan dimana sanitasi kandang dan
lingkungan harus diperhatikan, jumlah ternak pada satu kandang tidak
terlalu padat dan alur pembuangan air dan kotoran yang baik. Kondisi
tersebut dapat meminimalkan media perkembangbiakan naymuk vektor
dan penyebaran infeksi BEF pada ternak.

B. Distokia
Hasil
Pada hari senin tanggal 28 Mei 2018, seorang klien datang ke
puskeswan Tanah Merah Kab. Batu Bara dwngan membawa seekor anjing
domestik bernama moly dengan kondisi akan partus namun hewan tersebut
terlihat lemas.

Tabel. Pemeriksaan
No Tgl Signalement Gejala Diagnosa Diff. Penanganan
Klinis Diagnosa / Terapi
1. Senin , Jenis Gelisah, Distokia Caesar dan
28 Hewan : Lemas, Histerktomi
Mei Anjing Merejan
2018 Nama selama 7
Hewan : jam,Hyper
Moly salivasi,
Ras : Konjungti
Domestik vitis,
Jenis terengah-
Kelamin : engah
Umur : ± 6
tahun
Suhu :
38,5oC
Berat Badan
: 25 kg
Pembahasan

Biasanya tindakan awal yang di lakukan yaitu injeksi oksitosin


agar sang induk mengalami kontraksi. Tapi, jika sudah di induksi dwngan
oksitosin dalam 3 jam belum kontraksi sang induk harus segera
menjalankan operasi cecar. Ada beberapa kasus anjing pada awalnya
melahirkan secara normal tetapi karena banyaknya anak yang harus di
lahirkan atau janin terlalu besar sehingga sang induk kehabisan tenaga.
Maka sang induk juga harus segera di cecar. Kalau janin ternyata sudah mati
dalam kandungan tetapi tidak diangkat secepatnya nyawa sang induk akan
terancam karena proses pembusukan janin sangat cepat dan akan meracuni
semua system yang ada.

Namun dalam kasus anjing moly ini disebkan oleh faktor umur
yang sudah tua dan pada saat ultasonografi (USG) terlihat banyak fetus
sehingga menyebabkan moly kesulitan dalam mengejan. Tindakan yang
dilakukan pada anjing moly yaitu operasi sectio caesaria sekaligus
pengangkatan uterus (Histerektomi).

Pertama dilakukan pembiusan atau pemberian anesti umum pada


anjing tersebut dengan tujuan agar anjing tidak merasakan sakit pada saat
penanganan dan untuk keamanan dokter hewan yang menangani. Untuk
anestesi umum dengan menggunakan ketamine - xilazine dengan
premedikasi atropine sulfat. Premedikasi dilakukan secara IM. Jenis
premedikasi yang di berikan yaitu atropin sulfat dengan dosis 0,02 - 0,04
ml/kg BB, 15 - 20 menit sebelum pemberian anestesi, mengurangi sekresi
kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik,
mengurangi mual dan muntah pasca bedah, mengurangi isi cairan lambung,
dan mengurangi reflek yang membahayakan. Dilanjutkan dengan pemberian
anestesi umum kombinasi ketamin 0.1 mg/kg BB dan sedatif jenis xylazine
dengan lerbandingan 1:1 dilakukan secara IM.

Setelah dilakukan anestesi bulu hewan pada bagian yang akan


diinsisi di cukur untuk mempermudah tindakan operasi. Hewan
dipersiapkan seperti biasa untuk operasi, dianestesi di baringkan
dipunggungnya (dorsal recumbency). Buat irisan kulit melalui linea alba
didaerah ventral midline dari daerah xhipoid (sedikit dikranial umbilicus)
sampai ke tepi pubis. Kedua cornua dan corpus uteri ditarik keluar dengan
hati-hati karena cornua uteri dan pembuluh darahnya sangat mudah robek.
Di buat irisan longitudinal pada bagian dorsal corpis uteri dengan hati-hati
agar tidak melukai fetus. Fetus yang terdekat dengan insisi di tarik keluar
atau di dorong keluar dengan mendorong uterus. Selaput amnion di buka
dengan jari atau di gunting dan anak anjing di keluarkan. Umbilical cord di
jepit dengan dua hemostat pada jarak 3 cm dari perut anak anjing dan di
potong. Anak anjing di serahkan untuk perawatan selanjutnya dan placenta
di lepas dari uterus dengan jalan di tarik perlahan-lahan. Anak-anak lain di
dorong ke tempat insisi dan di keluarkan satu demi satu dengan cara yang
sama.

Setelah semua fetus telah dikeluarkan, selanjutnya kami ligasi di


kedua ujung uterus yang tersambung dengan uterus yang tersambung
dengan ovarium dan ujung uterus yang tersambung dengan vagina.
Selanjutnya dilakukan pengangkatan uterus, daerah yang diincisi yaitu
peritoneum dan linea alba dijahit dengan chomic catgut 2-0 atau 3-0 dengan
jahitan simple interrupted, subkutan dan fescia menurus dan kulit dengan
pola jahitan terputus, Anak-anak anjing yang sudah di keluarkan secepatnya
harus di bersihkan cairan yang berada di mulut dan di hidungnya serta
badannya di keringkan. Pengeringan dilakukan dengan di gosok agak keras
supaya menstimulis sirkulasi dan respirasi, Penanganan induk pasca operasi
berupa pengurangan aktifitas dan pemberian antibiotik.
C. Hog Cholera

Hasil

Pada hari senin tanggal 04 Juni 2018, seorang klien menghubungi


petugas puskeswan Tanah Merah Kab. Batu Bara dengan keluhan salah satu
ternak babinya lemas dantidak mau makan, serta satu ekor sudah mati
sebelumnya dalam kandang yang sama. Kami bersama dengan salah satu
dokter hewan Puskeswan turun langsang ke lokasi ternak yang di maksud.

Tabel Pemeriksaan

Pembahasan
No Tgl Signalement Gejala Diagno Diff. Penanganan
U n t u Klinis k sa k
Diagnosa a / Terapi
s u
1. Senin Jenis Nafsu Hog Africa Biosan
04 Hewan : makan Colera Swine Vet. Oxy
Juni Babi berkurang, Fever
2018 Jenis Lemas,Tel (ASF),
Kelamin : iga dan Salmonelosi
betina moncong s,pasteurelo
Umur : ± hemoragi sis,streptok
1,5tahun okosis,erysi
Suhu : 41oC pelas dan
infeksi
Haemophilu
somnus.E

babi yang telah di serang tidak adalagi harapan untuk di sembuhkan. Namun
untuk kasus oenyakit yang baru tahap awal besar harapan untuk sembuh melalui
pengobatan dengan serum anti cholera diberikan 1,25 - 1,50 dosis yang biasa di
campurkan untuk lencegahan. Selain dari serum teramycin (1 mg/kg BB/hari
selama 3-4 hari) hendaknya di berikan kepada babi yang terangsang untuk
mencegah inveksi sekunder.
Namun pada kasus hog cholera ini kami hanya melakukan
penanganan dengan memberikan antibiotik dan vitamin untuk mengertak
nafsu makan dari babi tersebut. Dan menyarankan bagi pemilik babi agar
memisahkan babi yang positif terinfeksi hog cholera dengan babi yang
sehat. Dengan tujuan babi yang terinfeksi tidak terlalu stress karena
berhempitan dengan babi yang lain dan agar babi yang sehat tidak
terinfeksi.

D. Retensi Plasenta

Hasil

Pada hari rabu tanggal 20 Juni 2018, seorang klien menghubungi


petugas Puskeswan Tanah Merah Kab. Batu Bara dengan keluhan salah satu
ternak dombanya pada pukul 06.30 WIB telah partus namun fertus yang
keluar dalam keadaan mati. Namun sampai sore hari plasenta belum keluar
sehingga domba terlihat gelisah dan tidak mau makan.

Tabel Pemeriksaan

No Tgl Signalement Gejala Diagnosa Diff. Penanganan


Klinis Diagnosa / Terapi
1. Rabu, Jenis Nafsu Retensi Oxytoksin
20 Hewan : makan Plasenta Vet. Oxy
Juni Domba berkurang, Rivanol
2018 Jenis Lemas,seb
Kelamin : agian
betina plasenta
Umur : ± 1 terlihat
tahun menggant
ung
divulva
Pembahasan

Tujuan pengobatan adalah untuk mendorong terjadi kontraksi


uterus sehingga menyebabkan keluarnya plasenta. Penyuntikan subkutan dan
intra muskuler hormon oksitosin dengan dosis 100 IU untuk pengobatan hewan
besar seperti sapi dan kuda, untuk domba, domba, dan babi dosisnya 30-50 IU
disuntikkan subkutan sementara untuk hewan kecil seperti anjing, dan kucing
diberikan 5-30 IU (menurut berat badan anjing dan kucing), disuntikkan
subkutan.

Pengobatan lain pada sapi dengan preparat dietilstibestrol dalam


larutan minyak sebanyak 15-16 mg secara intramuskuler dan diulangi selama 4
hari. Domba, dan babi dosinya adalah 0,5 mg suntikan intramuskuler.
Pertolongan lain dapat dilakukan dengan pengeluaran plasenta secara manual.
Pelepasan plasenta dilakukan bila hubungan antara selaput fetus dan karunkula
mudah dipisahkan. Dianjurkan pelepasan dilakukan sebelum 48 jam pasca
lahir.Bila ada infeksi, maka setelah mengeluarkan plasenta diadakan lencucian
dengan larutan antiseptis intra uterina seperti rivanol 1% atau larutan antiseptis
lain.Untuk mencegah metritis setelah plasenta di keluarkan, pada sapi dapat
diberikan kombinasi penicillin sebanyak 1 juta IU dan dihirostreptoimicin 1
gram yang dilarutkan dalam akudes sebanyak 50 ml, selanjutnya larutan
antibiotika ini dimasukkan kedalam uterus.

Obat antibiotika lain pada retensi plasenta karena infeksi, adalah


klortetrasiklin (aureomicin) dari 500 mg dalam bentuk bolus dan dimasukkan 2
bolus dalam uterus, oksitetrasiklin (terramisin) dalam kapsul sebyak 250 mg,
dimasukkan 4 kapsul kedalam uterus.

Namun pada kasus retensi plasenta pada domba di kasus ini


dilakukan penanganan dengan pemberian oksitosin kemudian plasenta
dikeluarkan dengen bantuan petugas Puskeswan menggunakan minyak.
Kemudian dilakukan pencucian di saluran reproduksi dengan menggunakan
rivanol 1% sebagai larutan antiseptik karena plasenta cukup lama menggantung
di vuva. Terakhir dilakukan penyuntikan antibiotik secara IM.

Anda mungkin juga menyukai